Dua tahun sudah aku menjalani proses pengabdian di desa ini. Di tahun 2011, akhirnya aku berhasil menyelesaikan studi S1 Pendidikan Bahasa Inggris. Resmi, aku menyandang gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.). Lalu, apakah setelah itu aku berhenti? Apakah pengabdianku selesai sampai di situ? Tentu tidak.
Bukan karena aku tak punya pilihan lain. Bukan karena sulit mencari pekerjaan tetap. Dan, bukan pula karena sekadar ingin mengisi waktu. Kalau soal honor, jangan ditanya, honor guru pengabdi hanya cukup untuk membeli satu lipstik matte Make Over, mungkin. Tapi bukan itu yang aku cari.
Sejak awal, aku memang punya misi: mengabdi sampai aku berubah status. Bukan status pekerjaan, tapi status pernikahan. Ya, aku bercita-cita terus mengabdi sambil menunggu jodohku menjemput. Dan, sementara menunggu itu, aku memilih untuk tetap berada di sini, di desa kecil terpelosok tempat aku dilahirkan.
Setelah lulus kuliah, waktu luangku terasa lebih banyak. Aku memutuskan untuk tidak hanya mengajar di SDN 6 Tianyar Barat, sekolah induk tempatku bertugas, tetapi juga ikut mengajar di beberapa sekolah filialnya. Sekolah filial ini adalah sekolah cabang yang dibuka untuk menjangkau anak-anak di daerah pelosok, yang letaknya jauh dari sekolah utama dan sulit dijangkau. Meski jaraknya berjauhan dan medannya berat, semangat anak-anak di sana untuk belajar tak pernah surut. Itu yang membuatku ingin hadir dan berbagi ilmu di tempat-tempat itu.
Ada tiga sekolah filial yang berada di bawah naungan SDN 6 Tianyar Barat: Filial Kelumpu, Filial Baru, dan Filial Tiying Tali. Masing-masing berdiri di atas tanah milik warga yang dengan sukarela menyerahkan lahannya demi pendidikan anak-anak desa. Bangunannya sangat sederhana, sebagian besar tanpa jendela, tanpa pintu, bahkan ada beberapa kelas yang lantainya masih berupa tanah, belum di rabat semen. Saat musim hujan, air kerap masuk ke dalam ruangan. Namun, ruang-ruang sederhana itu justru menjadi saksi semangat besar dari anak-anak di pelosok ini.
Untuk menuju ke sana, kami harus melewati bukit, lembah, dan sungai-sungai kering yang saat hujan bisa berubah menjadi aih bah, banjir yang deras dan tiba-tiba datang. Setiap perjalanan menuju sekolah filial selalu menyisakan cerita. Kadang basah kuyup, kadang harus menunggu air surut, tapi di ujung perjalanan itu, ada anak-anak yang menunggu dengan senyum cerah dan penuh semangat.
Sekolah filial di desaku bukan sekadar tempat belajar. Ia adalah simbol harapan. Harapan agar anak-anak di pelosok bisa mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan, harapan agar jarak, medan berat, dan keterbatasan fasilitas tak memadamkan mimpi mereka. Aku bersyukur bisa menjadi bagian dari upaya kecil ini, karena aku percaya, pendidikan bukan tentang di mana kita belajar, tetapi tentang siapa yang berani bermimpi di dalamnya.
Sejak didirikannya sekolah filial ini, angka anak yang tidak bersekolah maupun anak yang putus sekolah menurun drastis. Kini, anak-anak di pelosok desa bisa bersekolah sesuai dengan usia mereka, tanpa harus menunggu besar atau rela berjalan jauh ke sekolah induk. Sekolah filial benar-benar menjadi jembatan bagi mereka yang sebelumnya terhalang jarak, medan berat, dan keterbatasan fasilitas.
Hal-hal seperti yang pernah dialami Arya dan Yasa, dua anak yang dulu terpaksa menunda sekolah karena jarak dan medan yang sulit, kini tidak lagi terjadi. Kehadiran sekolah filial memberi harapan baru bagi anak-anak di desa ini untuk tetap bisa belajar, bermain, dan bermimpi besar tanpa harus meninggalkan kampung halaman mereka.
Kreator : kade Restika Dewi
Comment Closed: Jendela Harapan di Sekolah Tanpa Jendela
Sorry, comment are closed for this post.