Kota kecil itu bukan tujuan Senja. Kota kecil itu hanya persinggahan. Tapi, di situlah Senja bertemu dia, pria dengan segudang rahasia dan keteduhan yang menyejukkan.
Namanya Kala, yang sampai saat ini masih menghiasi hati Senja. Kala adalah cinta terdalamnya, namun juga merupakan cinta yang paling melukai hati.
Belum genap satu bulan Senja menginjakkan kaki di kota itu, seorang diri ia pergi dari kampung kecil untuk mengadu nasib. Senja berjalan penuh harapan agar dia bisa hidup lebih lama. Harapan kecil dari Senja yang sudah tidak memiliki orang tua, hidup sebatang kara bersama harapan.
Pergi dari kampung kecil yang membesarkannya dengan cinta, kini dia berada jauh dari sana, bersendirian menggenggam mimpi.
Senja gadis yang cerdas namun sedikit tertutup. Dia tidak mudah bergaul dengan banyak orang. Senja bukan perempuan yang suka mencari perhatian. Dia tidak pernah mencoba menjadi pusat. Bahkan terkadang, ia berharap menjadi bayangan saja.
Ia lahir dan besar di sebuah desa kecil dimana langit masih bersih, udara masih segar dan orang-orang masih saling sapa. Tapi, dunia tempatnya berpijak kini sungguh berbeda. Dunianya kini penuh dengan keangkuhan dan penuh dengan wajah-wajah kemunafikan.
Senja gemar membaca. Dia gadis yang cerdas, bacaan bukunya mungkin melebihi rak perpustakaan kecil di desanya. karena itu, ia sering merasa tidak cocok berada di antara orang-orang yang bicara tanpa berpikir, bicara semaunya, bicara selantangnya.
Ketika orang lain berkumpul dan tertawa, Senja lebih suka menyendiri di sudut ruang hampa dan menyeduh kopi kesukaannya. Bukan karena ia membenci orang lain, tapi karena dunianya kini terlalu ramai dan berisik. Sedangkan Senja selalu memiliki pikiran dan dunianya sendiri. Ia selalu merasa sedikit asing, canggung saat berbicara dengan orang baru, tak tahu harus mulai dari mana, atau bagaimana cara “menjadi ringan.” Ia takut terlihat salah, atau lebih buruk, dianggap “aneh.”
“Aku bukan Orang yang sombong, Aku hanya belum menemukan orang yang tepat untuk bisa menjadi diriku,” katanya dalam diam di suatu keramaian.
Senja tidak keras kepala, tapi ia punya prinsip. Senja tidak suka basa-basi. Jika ia tertawa, maka itu tulus. Jika ia diam, maka itu berarti sesuatu.
****
Kala adalah pria yang sulit ditebak. Ia tampan, dengan tatapan mata yang tegas. Pesonanya terdapat pada sorot matanya. Tatapan mata yang tajam namun meneduhkan saat dipandang.
Ia berjalan sendiri hampir setiap sore, langkahnya tenang menyusuri trotoar kota kecil, mengenakan hoodie berwarna gelap dan sepasang earphone di telinga. Bukan untuk menghindari dunia, tapi untuk menciptakan dunianya sendiri di tengah keramaian. Melodi yang mengalir ke telinga seolah menjadi penghalang agar kenangan tidak terlalu dekat. Agar bisikan masa lalu tidak menembus pikirannya yang sudah terlalu penuh oleh luka.
Kala tidak banyak bicara, bahkan pada teman kerjanya. Ia tidak membenci orang, hanya… tidak pernah merasa cocok dengan banyak dari mereka. Hidup membuatnya menjaga jarak, seperti orang yang pernah terlalu dekat dengan api, dan kini takut terbakar lagi.
Kala tidak menunjukkan cinta dengan kata-kata atau pelukan hangat. Ia menunjukkannya dengan cara-cara yang nyaris tak terlihat seperti mengingat detail kecil, menepati janji, dan menyimpan foto setiap momen agar tetap abadi.
“Aku tidak bisa menunjukkan kasih sayang secara jelas. Namun, jika cinta datang, akan aku bawa seluruh cahaya bulan dalam hidupnya.”
Kala adalah cinta dalam diam. Tidak mengejar, tidak memaksa. Tapi jika kau berhasil menembus lapisan-lapisannya, kau akan menemukan satu hal yang paling tulus– seseorang yang akan melindungimu bahkan lebih dari dirinya sendiri.
Senja sepulang kerja. Ia sedang berjalan, mengejar bus kota di antara pukul lima dan pukul enam. waktu-waktu yang selalu terasa melelahkan sejak ia tinggal di kota kecil itu.
Ia melewati jalanan kota yang padat, ada sebuah bangku kayu tua dan pepohonan yang menggugurkan daun tanpa tergesa. Langit senja mulai mencairkan warnanya. Warna jingga yang pudar perlahan menjadi keunguan, seperti perasaan yang tak tahu arah.
Lalu matanya menangkap sosok itu, di seberang jalan yang bising dengan suara kendaraan yang menderu di keramaian.
Seorang pria berjalan dengan langkahnya yang mantap tapi tidak terburu-buru, mengenakan Hoodie berwarna hitam dengan tulisan sederhana, “laut yang tenang”. Di telinganya terpasang earphone putih dan tatapannya tertuju ke jalan di depan, bukan ke dunia sekitar.
Ia tampak asing. Tidak hanya karena Senja belum pernah melihatnya, tapi karena ia tampak… seolah sedang berada di tempat lain. Seolah tubuhnya di sini, tapi jiwanya sedang kembali ke waktu yang lalu.
Senja berhenti tanpa sadar. Melihat dengan lebih detail. Ada sesuatu dari pria itu yang membuatnya menghela napas. Mungkin karena bahunya, seolah sedang membawa beban yang tak terlihat, mungkin karena bahunya yang tegap tapi tidak terkesan sombong. Atau mungkin karena matanya. walau jauh, Senja bisa merasakan bahwa mata itu pernah melihat sesuatu yang dalam, dan belum selesai dihadapinya.
Senja tidak tahu siapa pria itu. Tapi dalam samar pertemuan itu meninggalkan jejak.
Itu adalah awal dari sesuatu yang tidak ia mengerti, tapi ingin ia pahami. Perlahan.
“Mungkin dia seperti aku juga. Terlihat tenang, tapi menyimpan luka di balik diamnya.” Pikir Senja.
Pria itu tidak melihat ke arahnya. Hanya berjalan terus menunduk sambil menikmati alunan melodi di earphone-nya, sampai tubuhnya menyatu dengan bayang-bayang pepohonan dan mulai hilang tak terlihat lagi.
Tapi Senja tahu, dalam hati kecilnya ia akan mengingat punggung itu.
Punggung yang menarik perhatiannya.
****
Ketika Senja berdiam diri menikmati hari liburnya dengan secangkir kopi dan sebuah buku yang sudah dua kali dia baca, tiba – tiba dia merasa ada hal aneh yang tertinggal dalam ingatan. Bukan karena penting, tapi karena diam-diam menyentuh bagian hati yang tidak pernah diberi nama.
Bagi Senja, itu adalah punggung seorang pria. Senja tak tahu siapa pria itu. Tak pernah mendengar suaranya. Bahkan wajahnya pun hanya samar terlihat di celah celah keramaian sore itu, yang kemudian menyatu bersama bayangan pohon dan sinar sore yang mulai memudar.
Tapi punggung itu…
Tegap, tenang, dan seperti membawa cerita yang tak pernah selesai.
Punggung itu berjalan menjauh dalam diam, seperti seseorang yang sudah terlalu terbiasa meninggalkan atau ditinggalkan. Tidak ada getar berlebihan dalam langkahnya, tapi juga tidak ada kelegaan. Hanya ada semacam pasrah, yang tersisa.
Sejak hari itu, Senja menyimpan gambaran itu dalam pikirannya seperti seseorang menyimpan foto lama di bawah bantal. Ia tidak tahu kenapa. Ia bahkan tak yakin akan melihat pria itu lagi. Tapi diam-diam, ada harapan kecil dalam hatinya
Harapan kecil dalam hatinya.
Bukankah kota ini kecil? Mungkin, suatu hari aku akan melihat punggung itu lagi.
Dan jika takdir berbaik hati, mungkin aku akan berjalan di sampingnya.
Bukan hanya melihat dari arah seberang jalan.
Ia tidak tahu nama pria itu, bahkan wajahnya pun tersamar dalam ingatannya. Tapi, ia tahu, punggung itu telah tertanam dalam dirinya, lebih dalam dari sekedar kenangan, lebih halus dari sekadar rasa penasaran.
Seolah … dunia memberi isyarat kecil bahwa kisah besar bisa dimulai dari hal yang sangat sederhana.
Seperti punggung seseorang yang tak sengaja tertangkap mata tapi tertinggal di hati.
******
Hujan turun deras sore itu. Bukan gerimis yang manis, tapi hujan yang mengguyur kota kecil dengan kesungguhan seolah langit pun sedang meluruhkan sesuatu dari dalam dirinya. Senja berlari kecil, mengangkat ujung roknya, nafasnya sedikit terengah saat akhirnya menemukan halte bus di ujung jalan.
Langkahnya masuk ke dalam atap seng yang berdenting terkena hujan. Beberapa orang sudah berdiri di sana, diam, sibuk dengan ponsel masing-masing, atau sekadar menatap kosong ke jalan yang mulai tergenang.
Bus kota yang seharusnya datang sepuluh menit lalu belum juga datang. Orang-orang mulai menggerutu pelan, tapi hujan terlalu nyaring untuk mengizinkan keluhan terdengar jelas.
Setelah menunggu, suara rem bus memecah suara hujan. Bus datang dengan basah, setengah kosong harapan. Orang-orang segera bergerak. Beberapa saling mendahului, menyisakan suara langkah terburu-buru dan tubuh-tubuh basah yang mendesak masuk ke dalam pintu bus yang sempit.
Senja ikut maju. Tapi sesampainya di pintu bus, tubuh-tubuh di dalam sudah terlalu penuh. Sopir mengangkat tangan, memberi isyarat tak bisa lagi menampung siapa pun. Pintu menutup dengan bunyi dingin, lalu bus perlahan melaju menjauh, membawa serta suara riuh penumpang dan menyisakan hanya segelintir yang tertinggal, mereka basah, diam, dan menunggu dengan pasrah.
Senja mundur selangkah, sedikit kecewa bercampur lelah. Ia menyeka ujung poninya yang lembab, menggosok – gosokkan kedua tangannya karena merasa dingin, lalu menatap ke arah jalan.
Dan saat itulah matanya menangkap sosok itu. Punggung itu. Punggung yang sama.
Yang pernah ia lihat di seberang jalan, beberapa minggu lalu. Masih saja tegap dalam diam. Tapi kini berdiri hanya beberapa meter darinya, dalam jaket hitam yang kini basah di bagian bahu. Rupanya takdir baik benar – benar memihaknya kali ini.
Detak jantung Senja melambat. Ia tidak segera menyadari, tapi tubuhnya seolah tahu lebih dulu. Ada semacam keheningan yang berbeda. Semacam bisikan yang menyuruhnya untuk memperhatikan. Untuk mengingat.
Ia menatap lama. Masih belum melihat wajahnya. Masih belum tahu namanya.
Tapi ada perasaan ganjil yang menyentuh dasar hatinya , rindu pada seseorang yang bahkan belum pernah ia kenal.
Kala berdiri tenang, seperti tak terganggu oleh dinginnya hujan, atau oleh kenyataan bahwa ia harus menunggu lebih lama. Earphone-nya masih terpasang. Dunia mungkin gaduh, tapi tidak untuknya. Dia terlalu sendiri untuk mengerti bahwa ada Senja yang merindukannya.
Senja ingin berkata sesuatu , atau setidaknya mendekat. Tapi lidahnya kelu, dan langkahnya berat. Ia memilih diam, memandangi punggung itu sekali lagi dan membiarkan ingatan pertamanya tentang pria itu melebur bersama kenyataan bahwa ia bertemu kembali dengan jarak yang lebih dekat.
Bus kota berikutnya datang perlahan, lampu kuningnya membelah hujan yang masih turun setia. Halte yang tadinya penuh kini hanya menyisakan beberapa orang termasuk Senja, dan pria yang punggungnya telah ia kenali bahkan sebelum wajahnya terlihat.
Kali ini, Senja ikut bergerak maju. Langkahnya mantap meski jantungnya berdetak tak beraturan. Ada keinginan aneh yang tumbuh dalam dirinya untuk melihat wajah itu. Wajah yang selama ini hanya ia samar terbayang dalam diam. Kala pun melangkah tanpa tergesa dan tanpa ragu. Mereka berdua menuju pintu yang sama.
Dan, pada langkah yang hampir bersamaan, mereka tiba tepat di depan pintu bus. Pintu sempit, basah oleh hujan, hanya cukup untuk satu orang masuk lebih dulu.
Mereka berhenti. Bersisian. Hanya selisih sehela nafas.Saat itulah, tatapan mereka bertemu untuk pertama kalinya. Sorot mata pria itu tajam , bukan tajam yang mengintimidasi, tapi tajam seperti mata yang telah banyak melihat kehilangan, namun tetap memilih untuk tidak menyerah pada dunia.
Tatapannya membawa keteduhan, seperti langit yang murung namun masih menyisakan cahaya di ujung awan. Mata Senja membalas, tanpa kata. Ada keheranan, tapi juga rasa yang sulit dijelaskan. Seolah tubuhnya mengenal laki-laki ini lebih dulu daripada pikirannya.
Kala tak mengatakan apa-apa. Tapi langkahnya terhenti. Tubuhnya mundur sedikit, hampir tak terlihat isyarat halus yang lebih sopan dari kata-kata.
“Masuklah. Kau duluan. Aku tak buru-buru, dan entah kenapa, aku ingin kau yang mendahuluiku.” begitu seolah ucap matanya.
Senja ragu sesaat, tapi kemudian mengangguk kecil, pelan, sopan, dan sedikit gugup. Ia melangkah masuk ke dalam bus, hatinya masih menahan getar. Saat tubuhnya melewati pintu, ia sempat menoleh sedikit ke belakang.
Kala masih berdiri di sana. Tidak tersenyum. Tapi, tatapannya masih mengikuti, tenang dan penuh diam yang berbicara.
Dan untuk pertama kalinya, Senja melihat wajah pria yang selama ini hanya ia kenali dari punggungnya.
Wajah yang tidak banyak bicara.
Tapi dari sorot matanya, Senja tahu ia telah bertemu seseorang yang tidak biasa.
Senja bergegas mencari tempat duduk di dalam bus , namun matanya selalu mencuri pandang kepada Kala, memastikan mereka bersama di bus yang sama.
Kreator : Resti Nur Afifah
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Kala Senja
Sorry, comment are closed for this post.