KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Kala Senja (2)

    Kala Senja (2)

    BY 19 Agu 2025 Dilihat: 2 kali
    Kala Senja_alineaku

    Bab 6

    ‘‘Tatapan yang Memberi Ruang untuk Bernapas”

     

    Dia menatapku. Tidak lama. Tidak dalam. Tapi, cukup untuk mengacaukan cara dunia biasanya bekerja dalam pikiranku.

    Aku tidak tahu siapa dia. Tapi matanya… matanya seperti jendela kecil yang dibuka pelan ke arah tempat yang pernah aku tutup rapat-rapat. Ada kelembutan dalam sorotnya, tapi juga semacam luka yang akrab , luka yang tidak bisa dijelaskan. Dan untuk sesaat, aku merasa… aku tidak sendirian.

    Lucu.

    Aku terbiasa menghindar. Terbiasa menunduk. Terbiasa membiarkan orang lewat tanpa aku pedulikan. Tapi kali ini, aku berhenti, dan membiarkannya lewat lebih dulu. Entah kenapa, aku ingin dia merasa aman.
    Entah kenapa, aku ingin dia tahu walau tak kuucapkan. bahwa dunia ini tidak sepenuhnya penuh orang yang terburu-buru menyingkirkan yang lain. Bahwa ada yang bersedia menunggu.

    Aku tidak tahu apakah dia mengingatku. Mungkin tidak. Tapi aku ingat dia. Tapi ada sesuatu dari caranya memandang, yang… tidak biasa. Seperti musim yang datang terlalu pelan, tapi pasti membawa perubahan.

    Aku takut.

    Takut bahwa aku sedang membuka pintu yang seharusnya tidak kubuka lagi.

    Takut bahwa aku akan kehilangan, lagi.

    Tapi lebih dari itu, aku sadar aku mulai ingin. Ingin tahu siapa dia.

    Ingin tahu kenapa diamnya terasa akrab.

    Ingin tahu… apakah mungkin, aku boleh mencintai lagi?

     

    “Bagi dunia, senja hanyalah tanda bahwa hari telah usai. Tapi, bagi Kala, Senja adalah awal segalanya. Awal rasa, awal luka, dan awal cinta yang tak pernah selesai meski waktu terus berjalan.”

    “Bagi dunia, senja hanyalah tanda bahwa hari telah usai…”

     

    ****

    Bab 7

    “Taman – Kala Senja”

     

    Langit sore menggantung rendah di atas taman kota itu. Menguning keemasan dengan lembut, seolah tahu dunia sedang menyimpan percakapan yang belum terucap. Daun-daun gugur perlahan, membentuk semacam simfoni sunyi yang hanya bisa didengar oleh mereka yang benar-benar diam.

    Kala duduk di bangku taman, dengan satu earphone masih menggantung di telinganya ,musik mengalun pelan, tapi tak lagi ia dengar dengan sepenuh hati. Ada sesuatu yang lebih menarik daripada lagu kesayangannya. Seseorang yang duduk di bangku seberang.

    Senja.

    Gadis itu duduk tenang, tubuhnya sedikit condong ke depan, tenggelam dalam buku yang terbuka di pangkuannya. Rambutnya terurai, bergerak pelan diterpa angin sore. Wajahnya serius, tapi ada damai yang terpancar di situ. Seperti dunia di sekitarnya tidak mengganggunya sedikit pun.

    Kala memperhatikannya diam-diam. Bukan karena ia ingin mencuri pandang, tapi karena ada sesuatu dari kehadiran perempuan itu yang… menenangkan. Dan itu membuatnya takut.

    Karena dalam hidup Kala, yang menenangkan sering kali berujung pergi.

    Tapi tetap saja, hatinya tak bisa menahan. Setiap hitungan detik, ia berharap Senja akan menoleh. Sekilas saja. Sekali saja.

    Agar ia tahu, bahwa ia bukan satu-satunya yang merasakan kehadiran itu.

    Namun Senja tak menoleh.

    Dan di situlah Kala tahu, jika ingin tahu namanya, suaranya, siapa dia sebenarnya, maka ia harus bergerak mendekat.

    Tangannya gemetar sedikit, tapi ia genggam lututnya sejenak, menarik napas panjang. Tidak ada alasan logis. Tidak ada rencana. Hanya satu rasa yang pelan-pelan tumbuh menjadi keberanian kecil di dada, rasa ingin tahu yang tak bisa dibungkam.

    Kala bangkit dari bangkunya. Langkahnya pelan, hampir ragu. Tapi setiap jarak yang ia pangkas adalah semacam keikhlasan.
    Keikhlasan bahwa mungkin ia akan ditolak atau diabaikan.

    Dan ketika ia sampai beberapa langkah dari bangku itu, suaranya akhirnya keluar pelan, dalam, dan jujur: 

    “Buku itu bagus ya,” katanya, sedikit kaku.

    “Aku pernah baca… tapi lupa akhirnya.” (hanya itu yang ada dipikiran kala saat melihat judul buku yang dipegang senja , karena ia sudah kehabisan alasan untuk hanya diam.)

    Senja menoleh. Mata mereka bertemu lagi, untuk kedua kalinya tapi kali ini, lebih dalam 

    Hening. Tapi bukan hening yang canggung.

    Lebih seperti hening yang tahu:

    “Kita akan mulai sesuatu di sini. Pelan-pelan. Tanpa paksaan. Tapi sungguh-sungguh.”

     

    ****

     

    Bab 8

    “ Kembalimu Meninggalkan Bunga ”

    Taman itu sunyi , seperti memberi ruang bagi pikiran untuk berjalan perlahan, sejajar dengan waktu yang enggan berlari. Angin hanya menyentuh pelan, seolah tahu ia sedang membaca. Buku di pangkuan Senja terbuka di halaman tengah, jari-jarinya menyentuh lembut tepi kertas yang mulai kusut. 

    Namun matanya tidak benar-benar membaca. Sudah sejak pertengahan halaman , pikirannya berjalan ke tempat lain. Ia tidak tahu ke mana, hanya tahu bahwa dadanya terasa agak kosong, seperti… sedang menunggu sesuatu. Bukan seseorang, bukan kejadian. Hanya sebuah kebetulan yang terasa akrab.

    Hatinya gelisah tapi tak gaduh. Sama seperti perasaan yang muncul ketika melihat matahari tenggelam ,kau tahu hari akan berakhir, tapi tetap tenang dan terus menjalani hari.

    Sampai akhirnya, ia merasakan sesuatu. Sebuah kehadiran.

    Bukan bayangan, bukan langkah. Tapi getar kecil yang hadir di udara.

    Seseorang berjalan mendekat , dan sebelum Senja mengangkat wajahnya, suaranya terdengar duluan. 

    “Buku itu bagus ya,” katanya, sedikit kaku.

    “Aku pernah baca… tapi lupa akhirnya.” 

    Suara laki-laki ,  dalam, tenang, tapi terdengar seperti sedang memaksakan keberanian.

    Senja mengangkat wajahnya , dan dalam sepersekian detik dunia terasa berhenti.

    Itu dia.

    Mata itu.

    Sorot yang sama seperti di halte bus.

    Sosok yang diam-diam aku harapkan muncul lagi.

    Dan sekarang, dia berdiri di hadapanku ,  bukan hanya bayangan punggung di seberang jalan.

    Senja menelan ludah kecil. Hatinya berdetak tak teratur. Bukan karena gugup, tapi karena sesuatu dalam dirinya sedang menyesuaikan kembali kenyataan dengan harapan.

    Dia berdiri di sana. Hoodie hitam yang sama. Earphone yang tergantung di lehernya. Dan sorot mata yang entah bagaimana terasa mengenalinya dengan sangat akrab.

    Senja tersenyum kecil, sopan. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tapi pikirannya hanya bisa berkata satu hal:

    “Terima kasih, semesta, karena akhirnya aku bisa bertemu kembali dengannya”

     

    ****

    Bab 9

    “Kala Senja Dalam Kata”

     

    Kala (masih berdiri, menatap buku di tangan Senja)

    “Boleh kutebak? Kamu lebih suka membaca daripada ngobrol dengan orang asing.”

     

    Senja (tersenyum kecil, menutup bukunya perlahan)

    “Tergantung… kalau orang asingnya tidak terlalu mengganggu, mungkin aku bisa buat pengecualian.”

     

    (Kala mengangguk pelan, setengah tersenyum. Ia menunjuk bangku kosong di samping Senja.)

     

    Kala

    “Boleh duduk?”

     

    Senja

    “Tentu. Bangkunya bukan milik pribadi.”

     

    (Kala duduk perlahan. Hening sebentar. Keduanya mendengar angin lewat dan mengizinkan daun jatuh.)

     

    Kala

    “Kita pernah bertemu sebelumnya… di halte bus.”

     

    Senja (menoleh, menatapnya beberapa detik)

    “Aku ingat… kamu yang membiarkanku  ke pintu bus lebih dulu sehingga aku tidak tertinggal bus lagi.”

     

    (Mereka saling tatap. Sekejap yang terlalu lama untuk orang asing, tapi terlalu sebentar untuk dua orang yang sedang saling mencari sesuatu.)

     

    Senja (menambahkan, sedikit tertawa pelan)

    “Dan kamu pura-pura pernah baca buku ini.”

     

    Kala (tersenyum samar)

    “Ketahuan, ya?”

     

    Senja

    “Sedikit. Tapi tidak apa-apa. Itu kalimat pembuka yang cukup sopan.”

     

    Kala

    “Aku… bukan orang yang pandai bicara. Tapi entah kenapa, aku ingin bicara padamu.”

     

    Senja (terdiam sejenak, lalu menjawab pelan)

    “Aku juga bukan orang yang mudah bicara. Tapi… saat ini rasanya tidak terlalu sulit.”

     

    (Hening lagi. Tapi kali ini, hening yang nyaman. Seperti dua orang yang tidak merasa harus mengisi waktu dengan suara.)

     

    Kala

    “Boleh aku tahu… namamu?”

     

    Senja

    “Senja.”

     

    (Kala menoleh. Ia seperti sudah menduga.)

     

    Kala

    “Senja… cocok. Seperti waktu yang tidak pernah benar-benar pergi.”

     

    Senja

    “Dan kamu?”

     

    Kala (menatap langit sebentar, lalu menjawab)

    “Kala.”

     

    (Senja sedikit terkejut. Ia menatapnya dengan senyum tipis yang penuh makna.)

     

    Senja

    “Kala dan Senja. Kedengarannya… seperti waktu yang saling berkejaran.”

     

    Kala (suaranya lebih pelan)

    “Atau mungkin… saling menemukan.”

     

    Beberapa menit kemudian…

     

    Langit mulai meredup. Senja berdiri, merapikan bukunya. Kala ikut berdiri, langkahnya masih pelan, seperti tidak ingin waktu terlalu cepat mengakhiri pertemuan itu.

     

    Senja

    “Terima kasih… sudah menyapa. Biasanya tidak ada yang berani, dan biasanya aku tidak terlalu nyaman.”

     

    Kala

    “Terima kasih… sudah membalas.”

     

    (Senja tersenyum. Mereka berjalan beriringan keluar dari taman, pelan. Tak bersentuhan, tapi jarak di antara mereka sudah lebih kecil dari sebelumnya.)

     

    Di persimpangan kecil, mereka berhenti.

     

    Senja

    “Mungkin kita akan bertemu lagi?”

     

    Kala (menatapnya, tenang)

    “Aku tidak akan berharap terlalu keras. Tapi… aku akan tetap datang ke taman ini.”

     

    Senja

    “Dan aku… mungkin akan membawa buku yang berbeda.”

     

    (Keduanya saling pandang. Senyum yang tak sepenuhnya selesai. Tapi cukup untuk membuat hati hangat.)

     

    Lalu mereka berpisah.

    Saling menjauh, tapi tidak benar-benar meninggalkan.

    Karena di sore itu, waktu akhirnya mempertemukan dua hati yang diam-diam saling mencari, melalui langkah yang sederhana, dan keberanian yang lahir dari rasa ingin tahu yang tulus.

     

    “Bagi banyak orang, senja adalah perpisahan hari… Tapi bagi Kala, Senja adalah permulaan: dari diam, dari rindu, dari cinta yang tumbuh tanpa janji.”

     

    ****

    Bab 10

    “ Taman yang Memeluk dengan Kehangatan”

    Taman itu masih menjadi saksi. Tempat yang sama, bangku yang sama, tapi suasananya berbeda. Kali ini, tidak ada kecanggungan di antara mereka. Bahkan saat mereka duduk bersebelahan tanpa saling bicara, keheningan itu terasa hangat.

     

    Senja membawa dua gelas kopi hangat dalam sebuah tas yang ia jinjing. Ia menyerahkannya ke Kala, dan Kala menerimanya tanpa banyak kata, hanya dengan anggukan dan mata yang sedikit melembut.

     

    Kala

    “Kamu terlihat lelah hari ini.”

     

    Senja (tersenyum miris)

    “Mungkin karena aku mulai merasa… ini bukan lagi pelarian. Tapi kenyataan.”

     

    Kala menoleh perlahan, menatapnya. Senja meminum kopinya sebentar sebelum berkata lagi, kali ini suaranya lebih pelan, lebih jujur.

     

    Senja

    “Aku datang ke kota ini tiga bulan lalu. Tanpa rencana, tanpa siapa-siapa. Setelah… ibuku meninggal.”

    (hening)

    “Dia satu-satunya yang tersisa. Dan saat dia pergi, rumah pun tak lagi terasa rumah. Jadi aku pergi. Bukan untuk mencari, tapi untuk menjauh.”

     

    (Kala menunduk. Senja melanjutkan.)

     

    “Aku kerja paruh waktu di sebuah toko buku, tinggal di sebuah kamar kost kecil. Setiap malam, aku menghitung uang sambil menenangkan hati agar tidak terlalu sunyi.”

    (tersenyum tipis)

    “Aku hidup… keras. Tapi aku belajar bertahan. Dan sejak bertemu kamu, entah kenapa, rasanya sedikit lebih ringan.”

     

    Kala terdiam. Lama. Tangannya menggenggam segelas kopi, tapi pikirannya jauh. Ia ingin berkata sesuatu untuk  membalas kejujuran itu. Tapi ada pintu dalam dirinya yang belum sanggup ia buka.

     

    Kala

    “Aku mengerti… rasa kehilangan.”

     

    Senja (menatapnya lembut)

    “Kamu juga kehilangan seseorang?”

     

    Kala 

    “Seseorang… atau sebagian dari diriku bersamanya.”

     

    (Senja tidak bertanya lebih lanjut. Ia tahu luka seperti itu tak bisa dipaksa keluar. Tapi ia juga tahu kata-kata itu datang dari tempat yang dalam.)

     

    Kala menatap ke depan, ke langit yang mulai senja.

     

    Kala : “Dulu aku percaya, jika kita  mencintai seseorang, dia akan tetap tinggal. Tapi ternyata tidak semua cinta bisa menahan seseorang untuk pergi.”

     

    Senja

    “Kamu ditinggalkan?”

     

    (Kala tidak menjawab. Tapi sorot matanya menyimpan luka.)

     

    Kala : “Ada bagian dari kisahku yang belum bisa kuceritakan. Bukan karena aku tak ingin… tapi karena aku takut, ketika aku mengucapkannya, kamu akan pergi.”

     

    Senja (pelan)

    “Aku tidak akan pergi… hanya karena seseorang punya luka.”

     

    (Kala menatap Senja. Dalam. Ada sesuatu yang bergeser di matanya keraguan yang mulai pudar.)

     

    Senja

    “Aku tidak butuh jawaban sekarang. Aku hanya butuh tahu, kamu tidak akan tiba-tiba menghilang.”

     

    (Kala menggenggam gelas kopinya sedikit lebih erat. Lalu mengangguk.walau sebenarnya iya ragu untuk menjawab.)

     

    Kala

    “Aku tidak tahu bagaimana caranya tinggal… tapi untuk pertama kalinya, aku ingin belajar.”

     

    Pertemuan di taman itu membuat mereka tidak lagi asing. Ada kepercayaan kecil yang mulai tumbuh. Masih rapuh. Tapi hidup.

    Dan di dalam hati Senja, ia tahu meski Kala belum membuka semuanya, ia sedang berusaha. Dan itu cukup… untuk sekarang.

     

    ****

    Bab 11

    “Hujanku Berbeda Kali Ini”

     

    Malam itu hujan turun lagi, deras, dan dingin seperti biasanya. Toko buku tempat Senja bekerja sudah hampir tutup. Senja merapikan buku-buku yang tersisa. Cahaya kuning temaram dari lampu gantung membuat suasana toko terlihat seperti mimpi yang belum sepenuhnya sadar.

     

    Senja mengintip dari balik tirai kaca depan. Hujan belum reda. Jalanan sepi. Payungnya hilang dua hari lalu, dan ia belum sempat membeli yang baru. Tapi ia tak mengeluh. Ia sudah biasa berjalan pulang basah-basahan. Namun saat ia membuka pintu toko dan melangkah ke luar, seseorang berdiri di sana.

     

    Kala tanpa payung, tanpa jas hujan. Hanya hoodie gelap yang sudah sedikit basah, dan satu tangan yang menggenggam… payung kecil berwarna biru.

     

    Ia tidak bicara. Hanya menatap Senja sebentar, lalu membuka payung itu perlahan, menyodorkan kepadanya.

     

    Senja (terkejut, pelan)

    “Kamu… dari mana?”

     

    Kala (masih diam, lalu berkata pelan)

    “Aku tahu kamu biasanya pulang jalan kaki. Dan, aku tahu kamu nggak bawa payung.”

    Senja menatapnya. Mata mereka bertemu. Tak ada senyum lebar, tak ada pujian. Tapi dada Senja terasa indah oleh hal yang sangat sederhana itu.

    Kala tidak menawari untuk mengantar. Ia tahu Senja lebih suka berjalan sendiri. Tapi ia berdiri di sana, menunggu dalam hujan, hanya untuk menyerahkan satu hal kecil yang menunjukkan ia memperhatikan.

    Senja mengambil payung itu dengan kedua tangan, pelan. Tangannya sedikit menyentuh jari Kala. Keduanya saling diam. Tapi hati mereka gaduh oleh rasa yang tidak bisa diungkap dalam kalimat.

    Senja (nyaris berbisik)
    “Terima kasih… untuk payungnya.”

    Kala
    “Untuk kamu.”

    Lalu, Senja membuka payung itu. Kala mundur setengah langkah. Senja berjalan pelan melewati Kala, tapi sebelum benar-benar pergi, ia menoleh ke belakang.

     

    Kala masih berdiri di tempat, kepalanya sedikit menunduk, membiarkan hujan menyapu rambut dan bahunya. Ia tidak bergerak.

     

    Tapi saat Senja menatap lebih dalam, ia tahu tidak ada satu hujan pun yang terasa dingin bagi seseorang yang sedang jatuh cinta.

     

    Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Senja pulang sambil tersenyum… dengan payung biru kecil dan hati yang terlalu penuh oleh sesuatu yang belum bisa ia beri nama.

     

    ***

    Bab 12

    “ Tentang Senja dalam Kala”

     

    Kala tidak pernah berkata langsung bahwa ia menyukai Senja.

    Ia bahkan belum pernah menyebutkan bahwa setiap sore, ia sengaja melewati toko buku itu meski jalan itu bukan jalur biasa pulangnya. Ia tidak pernah bilang bahwa ia tahu jadwal masuk dan pulang kerja Senja, hanya karena ia memperhatikan detak jam dari arah sana.

     

    Tapi ada hal-hal kecil yang tak pernah ia tinggalkan, dan itu adalah caranya mencintai.

    Di kamar sempitnya yang sepi, di dalam ponselnya yang ia jarang buka untuk siapa pun, ada satu playlist yang ia beri nama: “Senjaku”

    Lagu-lagu di dalamnya bukan sembarang lagu yang ia simpan rapi.

    Ada satu lagu yang ia dengar waktu melihat Senja pertama kali membaca buku di taman. Lagu itu kini jadi pembuka daftar.

    Ada satu lagu instrumental piano, tanpa lirik, yang ia dengarkan setiap malam setelah mengantar payung biru itu.

    Dan setiap kali ia melihat Senja , meski hanya sekilas, ia menambahkan satu lagu baru dalam hatinya. Setiap kali ia menatap wajah senja, ia bisa mendengar semacam nada. Bukan dari dunia, tapi dari dalam dirinya sendiri.

    Ia juga menyimpan satu sobekan halaman koran , bukan karena penting, tapi karena ia melihat Senja menggunakannya sebagai pembatas buku. Saat kertas itu tertinggal di bangku taman, Kala memungutnya. Dilipat rapi. Diselipkan di dalam dompetnya, tanpa pernah ia ceritakan.

     

    Suatu hari, saat Senja mampir ke taman setelah hujan, ia duduk di sebelah Kala. Tidak ada percakapan. Hanya duduk bersama, menikmati sore yang basah.

    Kala memberikan salah satu earphone-nya, tanpa berkata apa-apa.
    Senja menerimanya, juga tanpa tanya.

    Lalu, lagu dari playlist itu mengalun.
    Instrumental lembut. Hanya piano.
    Senja menoleh padanya, sedikit tersenyum. Tidak bertanya apa-apa. Tapi dari matanya, Kala tahu ia merasakannya.

    “Apakah kamu tahu, bahwa lagu ini diam, tapi mengisi ruang?” tanya Senja.

    Kala hanya mengangguk. Ia ingin mengatakan:

    “Seperti kamu.”

    Tapi, ia tidak berkata. Kala hanya menatapnya sebentar dengan mata yang sudah jatuh cinta, tapi belum berani bersuara. Dan di dalam playlist itu, lagu terus bertambah. Satu lagu setiap kali ia melihat Senja tertawa kecil. Satu lagu setiap kali ia melihat Senja tertidur di bangku taman. Satu lagu setiap kali Senja memalingkan wajah, dan Kala tahu, ia sedang menyembunyikan luka kecil di balik senyumnya.

    Cara mencintai Kala, Tenang. Tapi terus hidup dalam lagu, dalam benda-benda kecil, dalam ingatan yang ia kumpulkan diam-diam.

    Dan Senja? Ia mungkin belum tahu semuanya. Tapi dalam hati, ia mulai merasa:

    “Ada seseorang di dunia ini, yang mencintaiku… tanpa harus berkata apa-apa.”

     

     

    Kreator : Resti Nur Afifah

    Bagikan ke

    Comment Closed: Kala Senja (2)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021