Hujan kembali turun malam itu. Bukan badai. Hanya gerimis yang menyapa sebentar. Hanya gerimis yang turun pelan seperti senja yang sedang menunggu seseorang ,dengan tenang tapi penuh rindu.
Embun menempel di kaca jendela, dan udara beraroma basah yang samar. Langkah Senja ringan, tapi pikirannya dipenuhi banyak hal termasuk tentang Kala, yang akhir-akhir ini, selalu hadir dalam hidupnya.
Saat ia sampai di depan pintu kamar kontrakannya yang sempit, ia tertegun.
Di bawah pintu, terselip bungkus plastik kecil berisi sesuatu. Ia memungutnya, membuka pelan-pelan. Di dalamnya ada dua benda:
❤️Sebuah roti isi coklat yang masih hangat.
❤️Secarik kertas kecil, dengan tulisan tangan yang rapi tapi agak kaku:
“Kamu bilang belum sempat makan siang. Aku ingat.”
-K
Senja menatap kertas itu lama. Ia tidak tahu kapan Kala datang ke kontrakannya. Tapi hatinya… sesak oleh hangat yang tak bisa dijelaskan.
Ia duduk pelan di tempat tidurnya. Menggenggam kertas itu. Dan, dalam diam, air matanya jatuh. Bukan karena sedih, tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa benar-benar diperhatikan.
Beberapa hari setelah itu, mereka kembali duduk di taman. Kala datang, seperti biasa, tanpa banyak bicara. Ia duduk di sebelah Senja, menyodorkan satu earphone, lalu memainkan lagu baru.
Senja sudah terbiasa. Tapi sore itu berbeda. Karena lagu yang dimainkan adalah lagu favorit ibunya. Lagu lama, lawas, yang hanya dinyanyikan ketika ibunya membersihkan rumah sambil berdansa pelan di ruang tamu.
Senja terkejut.
Menoleh.
Menatap Kala dengan sorot yang bergetar.
Senja (pelan)
“Dari mana kamu tahu lagu ini?”
Kala (menatap ke depan, tidak menjawab dulu)
“Suatu kali kamu menyebut judulnya… sambil melihat langit. Aku simpan, lalu kucari.”
(hening beberapa detik. Senja hampir tak bisa berkata apa-apa.)
Senja
“Kamu mendengar bahkan saat aku tidak sedang bicara padamu.”
Kala
“Aku mendengar… karena aku tidak ingin lupa.”
Lalu, Senja tahu.
Ia tahu.
Bahwa cinta tidak selalu datang dalam kalimat puitis atau pengakuan besar.
Kadang cinta hadir dalam lagu yang kau pilih dengan hati.
Dalam roti yang dibeli karena seseorang belum makan,
Dalam tindakan kecil yang nyaris tak terlihat… tapi terasa besar di dalam dada.
Malam itu, ketika ia pulang dan duduk sendiri di kamarnya, Senja menatap langit dari balik jendela kecilnya. Dan untuk pertama kalinya, ia berani mengakui, meski hanya pada dirinya sendiri:
“Dia mencintaiku. Aku tahu… meski dia belum pernah mengatakannya.”
****
Senja duduk di bangku taman sore itu. Tapi berbeda dari biasanya, Kala belum datang.
Angin bergerak perlahan, menggoyang ujung daun yang kering. Burung-burung kecil melintasi langit senja yang seperti lukisan tak selesai. Di pangkuannya, sebuah buku terbuka, tapi matanya tidak membaca. Ia menunggu. Tapi bukan hanya tubuh yang ia tunggu, melainkan kepastian yang mungkin tak akan pernah datang.
Sudah beberapa minggu terakhir, Kala hadir dengan cara yang paling lembut. Roti di pagi hari, musik di senja hari, keheningan yang tak pernah membuatnya merasa sendiri. Tapi di balik semua itu, Senja mulai merasakan sesuatu yang menggantung jarak yang tidak pernah bisa ia jangkau sepenuhnya.
Kala selalu mendengarkan, tapi tidak pernah benar-benar berbicara. Ia tahu segalanya tentang Senja: tentang ibunya, tentang kesepian, tentang buku favoritnya. Tapi Senja tidak tahu apa-apa tentang luka-luka Kala, selain sepatah dua patah kata yang menggantung tanpa akhir.
Sampai hari itu, ketika Kala akhirnya datang telat, tanpa menjelaskan.
Ia duduk di sebelah Senja, seperti biasa. Tapi kali ini, Senja tidak menyambut dengan senyum.
Senja (pelan, menatap ke depan)
“Apa kamu selalu begini?”
Kala (menoleh perlahan)
“Begini bagaimana?”
Senja
“Memberi kehangatan… tapi juga memberi jarak?”
(Kala terdiam. Suasana jadi berbeda. Dingin. Tapi bukan karena angin.)
Senja
“Aku tidak butuh kamu jadi orang sempurna, Kala. Aku hanya ingin tahu… kamu sungguh ada di sini bersamaku. Bukan hanya bayangan yang datang dan pergi saat aku lengah.”
Kala menatap Senja. Mata itu tetap tenang, tapi ada riak kecil yang tak bisa disembunyikan.
Kala
“Aku tidak tahu bagaimana caranya… membiarkan orang masuk ke tempat yang pernah ditinggalkan.”
(hening)
Kala : “Tapi setiap hari bersamamu, aku mencoba. Sekecil apapun itu.”
Senja menarik napas panjang. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia tahan.
Senja : “Aku tahu kamu mencoba. Dan itu yang membuatku takut… karena aku mencintai seseorang yang belum benar-benar bisa kupeluk , aku ingin memeluknya tanpa membuatnya retak.”
Mereka terdiam. Tidak ada pelukan, tidak ada permintaan maaf. Tapi di antara mereka kini terbentang dua hal yang tak bisa dipisahkan , yaitu cinta dan luka.
Senja menatap langit. Kala menatap tanah. Tak satu pun dari mereka beranjak, tapi juga tidak mendekat.
Dan sore itu, mereka belajar bahwa mencintai seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya… adalah bentuk kesabaran paling sunyi.
****
Toko buku itu tetap buka seperti biasa. Jam pulang kerja tetap sama. Jalanan tetap ramai di sore hari. Tapi ada satu yang berubah , Senja tak lagi menoleh ke seberang jalan.
Kala masih datang. Berdiri di tempat yang sama.
Tapi tidak lagi mengirim pesan. Tidak lagi menyodorkan payung. Tidak lagi duduk di taman dan berbagi lagu. Cinta senja berhenti bertumbuh , bukan karena kurang rasa, tapi karena terlalu banyak luka yang tak mau kala bagi.
Senja tahu ia masih diperhatikan. Ia tahu langkah kaki itu masih setia di belakangnya, walau tak pernah mendekat. Ia merasakannya. Tapi kali ini, ia memilih untuk tidak menoleh. Bukan karena ia tak lagi mencintai. Tapi karena ia mencintai terlalu dalam untuk terus berharap pada ketidakpastian.
Sore itu di taman kota, bangku tempat biasa mereka duduk kini hanya diisi oleh satu tubuh , kala, dengan earphone yang tak ia pasang. Tangannya hampa. Pandangannya kosong ke arah kursi di sebelah yang selalu diisi oleh Senja.
Beberapa meter dari sana, Senja berdiri di balik pohon tua, diam, memperhatikan dari jauh.Ia menggenggam buku yang biasa ia bawa. Tapi kali ini tidak untuk dibaca.
Kali ini hanya untuk dikenang.
Karena di sanalah cinta itu pernah tumbuh. Diam-diam. Tapi tulus.
Matanya berkaca-kaca, tapi ia tahu:
Cinta bukan soal bertahan tanpa alasan.
Ia sudah terlalu lama menunggu kejujuran yang tak kunjung datang.
Kala menatap bangku kosong itu.
Hatinya ingin berlari. Ingin memanggil. Ingin menjelaskan semua hal yang selama ini ia sembunyikan—tentang Aruna, tentang rasa bersalah yang tak selesai, tentang ketakutan mencintai yang selalu berujung kehilangan.
Tapi tubuhnya tak bergerak.
Karena bagian terdalam dari dirinya tahu:
“Kamu tidak bisa meminta seseorang tetap tinggal… di ruang yang kamu tutup rapat.”
Malam itu, hujan turun lagi.
Senja duduk di kamarnya. Tidak menangis, tapi tidak juga tenang.
Ia memutar lagu dari playlistnya.
Dan di lagu ketiga, tiba-tiba terdengar lagu instrumental piano lagu yang dulu diputar Kala saat mereka berbagi earphone. Ia tahu lagu itu bukan miliknya.
Itu lagu dari playlist Kala. Dan saat lagu itu mengalun… Senja menangis.
Bukan karena ia marah. Tapi karena ia rindu.
Dan karena ia tahu:
“Ada seseorang yang mencintainya dari jauh… tapi tidak berani memeluknya dari dekat.”
Cinta Kala Senja pernah hampir jadi, tapi akhirnya tinggal dalam bentuk yang paling sepi , yaitu kenangan.
***
Selama ini, Senja tidak hanya bekerja di toko buku , diam – diam dia mengajukan beasiswa S2. Di sela jadwal jaga dan malam-malam sepi di kamar sempit itu, Senja berusaha merajut kembali mimpi yang dulu pernah ia tunda karena hidup terlalu berat setelah kepergian ibunya.
Dan suatu hari, email itu datang. Beasiswa penuh S2 di Quba, Azerbaijan.
Sebuah tempat jauh , tapi tiba-tiba menjadi tujuan baru bagi hati yang selama ini berjalan tanpa arah.
Senja menangis malam itu. Bukan karena sedih akan pergi, tapi karena ia tahu, ada satu orang yang tidak akan ia temui sebelum berangkat.
Kala
Senja tidak berpamitan. Bukan karena ia tidak peduli. Tapi karena ia takut jika bertemu, hatinya akan goyah.
Senja tahu, jika ia melihat mata Kala, ia akan tinggal.
Dan jika ia tinggal, ia akan terus mencintai seseorang yang masih menyembunyikan sebagian jiwanya.
Di sisi lain, Kala sudah tahu segalanya.
Ia mengetahuinya dari Pak Ahmad, penjaga toko buku yang sudah menganggap Senja seperti anak sendiri. Saat Kala datang untuk membeli buku dengan alasan yang dibuat-buat , Pak Ahmad menatapnya penuh iba.
“Kamu belum tahu, ya?” katanya waktu itu.
“Senja dapat beasiswa ke luar negeri. Ke Quba. Dia akan berangkat hari Kamis… pagi-pagi sekali.”
Kala terdiam. Tak menjawab.
Ia hanya mengangguk pelan. Lalu keluar dari toko. Tapi kali ini, langkahnya berat. Seperti baru saja kehilangan sesuatu… yang bahkan belum sempat ia genggam sepenuhnya.
Hari demi hari berlalu. Kala tidak lagi datang ke toko buku.
Ia tidak menyapa. Tapi ia mengawasi. Dari seberang jalan. Dari halte tempat mereka pertama kali bertemu. Dari kursi taman tempat Senja duduk sendiri.
Kala menemukan Senja duduk sambil membuka paspor. Menatap langit biru dengan mata yang teduh , tak terdengar sedikitpun suaranya , terlihat rambut nya sedikit bergerak terkena angin sore .
Pagi itu, sebelum fajar, Kala berdiri di kejauhan terminal bandara kecil kota itu.
Kala berdiri di balik pilar beton, di tempat gelap, mengawasi tubuh Senja yang berjalan sendiri menarik koper.
Tidak ada yang mengantar. Tidak ada pelukan. Tidak ada air mata di luar. Tapi Kala tahu: Senja sedang menangis di dalam hatinya. Sama seperti dirinya.
Dan saat Senja menoleh sekali , memandang langit yang mulai terang, seperti mencari sesuatu. Mata mereka tidak bertemu. Tapi hati mereka masih saling terpaut.
Kala tidak mengejarnya. Ia hanya berdiri di tempat. Karena cinta yang tidak pernah ia ucapkan, juga tidak akan ia tahan saat hendak pergi.
Tapi dalam diam, ia berkata dalam hati:
“Maaf karena aku tidak sepenuhnya membukakan pintu untukmu. Tapi jika hatimu kembali mencari rumah… aku masih di sini.”
Kala dan Senja saling mencintai, tapi tidak pernah benar-benar saling memiliki.
**”*
Surat Senja untuk Kala , Diselipkan di Halaman 32 Buku “Hujan Bulan Juni” dia titipkan di toko buku Pak Ahmad.
Kala,
Jika kamu membaca surat ini, itu berarti kamu datang ke toko buku lagi.
Dan itu berarti… kamu masih mencariku, meski hanya dalam sunyi.
Aku ingin minta maaf. Untuk pergi tanpa pamit. Untuk diam yang mungkin melukai.
Tapi kau tahu, sejak awal, aku dan kamu adalah dua orang yang terlalu terbiasa mencintai dalam diam dan mungkin juga berpisah dengan cara yang sama.
Aku tidak kuat bertemu. Bukan karena aku tidak ingin. Tapi karena aku tahu…
Jika aku melihat matamu sekali saja, aku akan batal pergi.
Dan aku tahu, kamu tidak akan pernah menahanku. Karena begitulah kamu mencintaiku dengan tidak pernah memenjarakan apa pun.
Selama ini, kamu tidak pernah berkata “jangan pergi.”
Tapi setiap langkah kecilmu, setiap lagu yang kau putar, setiap pagi yang kau lewati hanya untuk memastikan aku aman…
Kamu membuatku ingin tinggal.
Tapi aku juga tahu, ada ruang dalam dirimu yang belum selesai.
Ada luka yang masih kamu peluk sendirian.
Dan aku mencintaimu terlalu dalam untuk meminta kamu membaginya saat kamu belum siap.
Maka aku pergi, bukan untuk melupakanmu.
Tapi untuk tidak menghancurkan diriku sendiri, karena terus berharap pada hati yang belum terbuka penuh.
Aku ingin kamu tahu…
Tidak ada satu pun hari yang aku lewati tanpa membawamu di dalam doa.
Dan jika suatu hari nanti kita bertemu lagi, entah di jalan kecil kota ini, atau di negeri yang sama sekali asing…
Aku harap saat itu kamu sudah berani menceritakan segalanya padaku.
Dan jika belum, tidak apa-apa. Aku tetap akan mengenalmu dari caramu diam.
Dengan cinta yang tetap tinggal.
Senja
(Yang mengingat punggungmu dari seberang jalan sebelum tahu namamu.)
Kala membaca surat itu di bangku taman. Hujan rintik mulai turun. Ia tidak menangis, tapi menggenggam surat itu erat , seolah kertas itu adalah perpanjangan tangan dari Senja yang pergi, tapi tak pernah benar-benar jauh.
Di telinganya, lagu dari playlist lama mulai berputar lagi.
Lagu instrumental yang hanya mereka berdua tahu artinya.
Dan untuk pertama kalinya setelah lama, Kala tersenyum.
Bukan karena luka itu hilang.
Tapi karena ia tahu di suatu tempat di dunia ini, ada seseorang yang memahami cintanya… bahkan dalam diam.
****
Setelah membaca surat itu, Kala duduk lama di bangku taman.
Sore berganti malam. Tapi tubuhnya tak bergerak.
Ia menggenggam kertas itu seperti menggenggam detak terakhir dari sesuatu yang nyaris hilang , cinta yang pernah tumbuh.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Kala menangis. Bukan karena kehilangan. Tapi karena ia sadar, Senja pernah ingin tinggal. Tapi ia terlalu lama menutup pintu.
Sejak hari itu, Kala berubah. Tapi bukan menjadi orang yang cerewet. Bukan pula menjadi pria yang tiba-tiba romantis. Ia tetap pendiam. Tetap berjalan sambil mendengarkan musik. Tapi kini langkahnya punya tujuan. Ia mulai bekerja lebih keras.
Ia menerima banyak kerja tambahan. Menjadi penerjemah lepas online saat malam.
Kadang menyusun buku bekas untuk dijual kembali di kios murah dekat terminal.
Ia menabung. Diam-diam. Tanpa pernah menyebut nama Senja pada siapa pun.
Bukan untuk mengejar.
Bukan untuk meminta kembali.
Tapi karena ia ingin tahu… bahwa perempuan yang mencintainya dengan sabar, masih tersenyum di negeri yang jauh.
Butuh waktu hampir tiga tahun. Akhirnya, dengan paspor dan koper kecil, Kala naik pesawat pertamanya menuju Quba.
Kota dingin, sunyi, dan asing. Tapi dalam diamnya, Kala merasa akrab. Karena ada Senja , cinta yang tak pernah selesai, sekarang hidup di kota itu.
Quba – Musim Dingin dan Syal abu-abu
Kala tidak datang dengan bunga. Tidak juga dengan rencana besar untuk bertemu Senja. Ia hanya membawa satu hal , yaitu kerinduan yang tak ingin memaksa.
Ia tahu di mana universitas Senja berada.
Ia duduk di kafe kecil di seberang gedung itu, setiap sore.
Dengan Hoodie tuanya, dan buku catatan di tangan , pura-pura membaca, padahal matanya terus mencari satu sosok.
Lalu suatu sore, ia melihatnya.
Senja.
Berjalan pelan dengan tas di pundaknya, dikelilingi salju yang belum lebur.
Ia memakai syal abu-abu, rambutnya lebih panjang, tapi wajahnya tetap sama.
Ada senyum kecil di wajah itu. Tapi juga… lelah yang ia kenal betul.
Kala tidak menyapa. Tidak melambaikan tangan.
Ia hanya menatapnya dalam diam, seperti dulu.
Dan di momen itulah, hatinya kembali retak, tapi dengan cara yang indah.
“Kamu hidup. Kamu bertahan. Kamu tetap seindah dulu
, dan itu sudah cukup.” Kata kala dalam hati
Malam itu, di penginapan kecilnya, Kala menulis sesuatu di buku catatannya:
Aku mencintaimu, Senja…
Dan meski aku belum bisa membuka seluruh pintu hatiku,
Aku berterima kasih karena kamu pernah berdiri di depan pintu itu begitu lama.
Hari ini aku tak datang untuk mengetuk,
Aku hanya ingin tahu bahwa kamu sudah memilih jalanmu sendiri,
Dan kamu bahagia.
Senja,
Aku tidak tahu harus mulai dari mana.
Atau apakah surat ini akan kuberikan padamu suatu hari nanti.
Tapi kalau aku tidak menulisnya sekarang, aku takut luka ini akan tumbuh menjadi tembok yang makin tinggi dan tak akan ada satu pun yang bisa masuk, termasuk kamu.
Pernah ada seseorang sebelum kamu. Namanya Bunga.
Dia… lembut. Kuat. Suka tertawa kecil saat gugup.
Dia datang di waktu hidupku nyaris tak tertinggal apa-apa. Dan, entah bagaimana, ia membuatku merasa cukup.
Hari itu, dia bilang ingin datang ke kantorku.
Katanya, “Aku ingin lihat dunia kamu.”
Aku ingat betul kata-katanya.
Tapi aku sedang sibuk. Aku bilang padanya untuk datang besok saja.
Tapi dia tetap datang. Tapi kemudian aku tidak pernah melihatnya lagi dalam sosok yang ceria.
Mobil yang ia tumpangi ditabrak truk di tikungan kota.
Dia meninggal dalam perjalanan menuju aku.
Dan sejak saat itu… semua orang mulai berubah. Sikap mereka berubah dan cukup untuk membuatku hancur.
Ibunya tidak mau melihatku. Ayahnya bilang, “Kalau bunga tidak berniat menemuiku hari itu, dia masih hidup.”
Aku mulai percaya… bahwa aku adalah sebab.
Bahwa jika aku mencintai seseorang, orang itu akan hilang.
Jadi aku membangun tembok dan menutup pintu.
Menjauh sebelum terlalu dekat.
Dan kemudian kamu datang.
Dengan nama yang tenang “ Senja”
Kamu tidak pernah memaksa masuk.
Tapi kehadiranmu pelan-pelan membuat aku membuka jendela kecil di hatiku , tapi ternyata aku belum sanggup membuka pintu untukmu.
Karena aku takut.
Aku takut jika aku biarkan kamu terlalu dekat,
Kamu juga akan hilang. Sama sperti Bunga.
Maka aku mencintaimu… dari luar pintu.
Aku minta maaf, Senja.
Aku tahu kamu pantas tahu semuanya.
Tapi aku masih kalah dengan rasa bersalah yang tinggal di tubuhku seperti parasit.
Jika suatu hari nanti kamu membaca ini entah dari tanganku, atau dari takdir seperti cara kita bertemu.
“Jangan pernah berpikir bahwa kamu tidak cukup untukku. Hanya saja, aku yang belum selesai dengan diriku sendiri.”
_K
Kala tidak pernah memberikan kertas itu pada siapa pun.
Ia melipatnya, menyimpannya di dalam buku tua yang dia bawa ke Quba, lalu pulang ke kota kecil penuh kenangan, tempat Kala dan Senja bertemu.
Sejak malam ia menulis itu, ia sedikit lebih damai.
Karena untuk pertama kalinya, ia mengaku pada dirinya sendiri… bahwa ia masih bisa mencinta, meski takut.
Kreator : Resti Nur Afifah
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Kala Senja (3)
Sorry, comment are closed for this post.