Bab 19
“ Kembalinya Aku Bukan untuk Menebus Apapun”
Sudah bertahun-tahun berlalu sejak Senja meninggalkan kota kecil itu.
Ia kembali kini bukan untuk mencari siapa pun.
Bukan untuk mencari Kala.
Hanya untuk memenuhi janji kecil yang pernah ia ucapkan kepada orang tua baik hati Pak Ahmad, penjaga toko buku tempat ia dulu bekerja.
“Kalau suatu hari aku berhasil menyelesaikan studi ini, aku akan kembali ke sini menemuimu.”
Senja datang dengan syal abu-abu yang pernah ia pakai di Quba. Langkahnya ringan, tapi ada sesuatu yang menggantung di dadanya.
Pak Ahmad menyambutnya dengan mata berkaca.
“Kamu tetap Senja yang aku kenal… tenang, tapi kuat.”
“Kamu juga tetap Pak Ahmad yang suka menyelipkan puisi di tas belanja,” jawab Senja sambil tertawa kecil.
Setelah obrolan panjang dan hangat, Pak Ahmad menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna cokelat tua.
Di dalamnya, ada beberapa foto cetak, foto-foto Senja di Quba. Dari kejauhan. Dalam balutan salju. Saat ia duduk di bangku universitas. Saat ia tertawa kecil di café kecil di sudut jalan.
“Dari seseorang yang tak pernah menyerah melihatmu… meski kamu tak pernah tahu dia ada di sana.” Kata pak Rahmad bicara lembut.
Senja terdiam.
Di bawah tumpukan foto, terselip sebuah amplop. Tua, sedikit kusam.
Tertulis: “Untuk Senja, bila dia kembali.”
Senja membaca surat itu di bangku taman tempat mereka dulu bertemu.
Air matanya jatuh diam-diam, seperti hujan yang pernah menyatukan langkah mereka untuk pertama kali. Tangannya gemetar saat membuka surat itu.
Ada 2 surat didalam kotak tua itu. Surat yang Kala tulis saat dia di Quba yang menceritakan masa lalu, dan surat yang ia tulis di kota kecil itu, surat yang menjelaskan tentang cintanya pada Senja.
Senja,
Aku tidak tahu kapan kamu akan kembali. Atau apakah kamu akan kembali.
Tapi aku titip surat ini pada Pak Ahmad, seperti dulu kamu menitipkan suratmu lewat buku puisi.
Aku pernah melihatmu… di Quba.
Tapi aku tidak datang untuk menyapa.
Aku hanya ingin tahu bahwa kamu baik-baik saja. Dan aku lega, kamu lebih dari baik.
Mungkin aku harusnya menghampirimu.
Tapi kamu tahu, aku tidak pernah bisa dengan kata-kata.
Cintaku tidak pernah tahu cara berteriak.
Sampai sekarang, rasa itu belum pergi. Tapi aku tahu, kita adalah dua garis yang diciptakan sejajar, bukan untuk saling menyatu.
Aku tidak menyesal mencintaimu.
Bahkan jika cinta ini selamanya diam.
Jika suatu hari kita berada di kota yang sama lagi—di taman yang sama, di langit yang sama—dan kita saling melihat tapi tidak mendekat…
Percayalah, hatiku tetap memanggil namamu. Dalam diam yang paling setia.
– K
Dan, tak jauh dari bangku Senja, Kala berdiri di antara pepohonan taman, seperti dulu—menatap dari jauh.
Ia melihat Senja membaca suratnya.
Ia tidak berniat mendekat.
Karena ia tahu… ada cinta yang cukup dengan saling tahu.
Senja tidak menoleh. Tapi ia tahu, seseorang sedang melihatnya dengan cinta yang tak berubah.
Ia menatap langit—langit kelabu yang menggantung di atas taman.
Mereka tidak saling menyapa.
Tidak saling berjalan ke arah yang sama.
Tapi mereka diam di bawah langit yang sama.
Sepi, tapi penuh cinta.
Sunyi, tapi saling tahu.
Dan mungkin memang begitu takdir mereka:
Menjadi dua musim yang datang dan pergi… tapi tak pernah bisa menetap bersama.
Seperti bayang-bayang cinta yang tak pernah selesai tapi juga tak pernah benar-benar hilang.
Mereka tak pernah benar-benar bersatu,
Tapi cinta mereka tak pernah pergi.
Di taman yang sama, di bawah langit yang sama,
Mereka berdiri di ujung sunyi masing-masing.
Dan meski tak saling menggenggam,
Mereka tahu: hati mereka tak pernah benar-benar melepaskan.
Karena beberapa cinta, ditakdirkan bukan untuk memiliki…
Tapi untuk tetap tinggal dalam diam. Selamanya.
****
Bab 20
“ Saling Memiliki Dalam Diam”
Tahun-tahun berlalu seperti desir angin yang tak pernah benar-benar berhenti.
Waktu tak menunggu siapapun, dan begitu pula hidup. Tapi di antara kesibukan, perjalanan, pencapaian, dan hari-hari yang terus berganti… masih ada dua hati yang diam-diam saling memanggil tanpa suara.
Senja, kini seorang dosen muda. Ia kembali dari luar negeri dengan segalanya gelar, pengalaman, dan pengakuan. Tapi dalam banyak hal… ia tetap sendiri.
Bukan karena tak ada yang datang, bukan karena tak dicinta, tapi karena hati kecilnya tetap menunggu seseorang yang tak pernah benar-benar pergi.
Ada lelaki-lelaki baik yang pernah mencoba masuk.
Ada bahu yang menawarkan pelukan.
Ada tawa yang terdengar akrab.
Tapi tidak ada yang terasa cukup…
Karena cinta pertamanya adalah diam yang tak pernah bisa digantikan.
Di kota kecil yang masih sama, Kala kini hidup lebih tenang. Ia bekerja sebagai penerjemah, lebih banyak waktu ia habiskan di rumah, membaca atau menulis. Kadang ia pergi ke taman, kadang ia duduk di halte, kadang ia berjalan sendirian menyusuri jalur yang pernah ia lalui bersama kenangan.
Kala pun tetap sendiri. Bukan karena menutup diri, tapi karena hati itu pernah sedikit terbuka untuk satu orang… Tapi tidak pernah benar-benar tertutup kembali.
Ia masih menyimpan foto-foto dari Quba. Masih menyimpan catatan lama yang tak pernah dikirim. Dan saat ia duduk sendirian, kadang-kadang ia membuka lembar puisi tua yang sampulnya sudah memudar , puisi yang dulu dipilihkan Senja untuknya.
Mereka tidak saling mencari lagi. Tidak juga saling menunggu.
Tapi dalam setiap sudut sunyi di hati mereka, masih ada nama yang tak pernah diganti.
Bukan cinta yang menggila, bukan rindu yang melukai , Tapi ketenangan, bahwa di dunia yang luas ini, ada satu orang yang pernah begitu mengerti, tanpa perlu banyak kata.
Malam-malam sepi, saat hujan turun perlahan,
Kala akan menatap langit dan membatin:
“Senja… apa kamu juga sedang melihat langit yang sama?”
Sementara di tempat berbeda, di sela waktu yang tak berisik,
Senja akan tersenyum kecil di depan jendela dan berbisik dalam hati:
“Aku tahu kamu masih di sana. Tak dekat, tapi juga tak pergi.”
Mereka tidak bersama, tapi tidak pernah benar-benar sendiri.
Karena meski tak lagi saling hadir dalam wujud,
Mereka tetap saling tinggal… dalam ruang paling diam di hati masing-masing.
Cinta mereka tak pernah selesai.
Hanya berubah wujud, dari langkah yang sejajar,
Menjadi kenangan yang paling setia.
Dan pada akhirnya…
Mereka memilih hidup sendiri,
Bukan karena tak dicinta…
Tapi karena pernah saling mencinta…
Sedalam itu , hingga dunia pun tak mampu menyatukan.
Mereka tidak saling memiliki, tapi juga tidak pernah saling melepaskan.
Di bawah langit yang sama, mereka berjalan sendiri-sendiri.
Dengan cinta yang tidak bersuara,
Tapi selalu pulang ke nama yang sama, dalam hati masing-masing.
“Senja datang saat langit lelah…
Tapi bagi Kala, Senja datang saat hatinya mulai hidup.
Karena Senja bukan hanya waktu,
Senja adalah nama yang membuat dunia tak lagi sama.”
Kreator : Resti Nur Afifah
Comment Closed: Kala Senja (4)
Sorry, comment are closed for this post.