KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Kala Senja (5)

    Kala Senja (5)

    BY 19 Agu 2025 Dilihat: 2 kali
    Kala Senja_alineaku

    Bab 21

    “ Kala Setelah Senja”

     

    (Batin Kala )

    Aku tidak pernah tahu bagaimana cara melupakanmu, Senja.

    Tapi aku juga tak pernah mencari tahu. 

    Karena sejak kepergianmu, hidupku memang bukan tentang melanjutkan…

    Tapi tentang bertahan dengan ruang kosong yang kamu tinggalkan.

    Aku makan, aku tidur, aku tertawa,
    tapi selalu ada jeda yang tak bisa dijelaskan.
    Seperti musik yang hilang nadanya,
    atau puisi yang kehilangan kata terakhir.

    Aku belajar banyak bahasa,

    Mungkin karena aku tak pernah bisa menyampaikan rindu ini dalam satu lidah saja.

    Mungkin aku berharap…

    Suatu hari, dalam aksara asing yang tak kita kenal,

    Aku bisa menyebut namamu tanpa menyakiti diriku sendiri.

    Aku tidak mencarimu.

    Tapi aku tidak pernah berhenti menunggumu.

    Tidak di bandara. Tidak di taman. Tidak di kota mana pun.

    Tapi di dalam diriku sendiri—

    Tempat terakhir aku melihatmu tinggal,

    Sebelum kamu pergi membawa setengah dari aku.

    Di playlist-ku masih ada lagu kita.

    Di rak bukuku masih ada catatan tanganmu.

    Di sudut kamarku masih ada senyummu, dalam bentuk foto yang tak pernah berganti.

    Dan di dalam kepalaku…

    Kamu masih berjalan. Masih tertawa.

    Masih memanggil namaku dalam diam.

    Aku tak punya dendam padamu.

    Bahkan saat kamu pergi tanpa pamit.

    Karena aku tahu, jika kamu pamit… aku tak akan pernah bisa melepaskan.

     

    Jadi pergilah. Sudah lama, memang.

    Tapi jangan pernah merasa kamu tidak tinggal.

    Karena kamu tidak pernah benar-benar pergi.

    Aku hidup, Senja.

    Tapi hanya dengan setengah jiwaku.

    Dan setengahnya lagi…

    Masih menunggumu pulang, meski tahu kamu tak akan kembali.

     

    Setelah Senja pergi, hidup tetap berjalan, tapi bagi Kala hari-hari itu tak lagi memiliki ujung.

    Bukan karena ia tak kuat kehilangan.

    Bukan juga karena ia berharap Senja akan kembali.

    Tapi karena kepergian Senja bukanlah sebuah akhir, melainkan kekosongan yang tinggal.

    Dan kekosongan itu… menetap, seperti bayangan yang menempel pada cahaya.

     

    Kala tidak pernah menjadi seseorang yang sibuk mengejar dunia. Ia tidak tumbuh menjadi orang yang gemerlap, atau mendaki tangga karier dengan ambisi menyala-nyala.

     

    Tapi ia tidak pernah benar-benar diam juga.

    Hidup membuatnya berjalan. Langkah kecil, perlahan.

    Ia belajar banyak bahasa mulai dari Prancis, Turki, Jepang, hingga bahasa sunyi dalam puisi.

     

    “Jika aku tidak bisa berbicara padamu dalam satu bahasa,

    Mungkin aku akan menemukan caramu dalam bahasa lain.”

    (Begitu ia pernah menulis di ujung sebuah catatan kecil untuk senja.)

     

    Sudah lama kala menjadi seorang penerjemah, 

    Buku-buku asing mampir ke tangannya setiap bulan.

    Ia menghabiskan malam-malam panjang menerjemahkan halaman demi halaman, Tapi setiap kata yang ia tulis seolah kembali padanya sendiri , seolah semua kalimat, ujung-ujungnya, selalu kembali pada Senja.

     

    Ia tidak pernah mencoba melupakan Senja.

    Tidak sekali pun. Tidak saat pagi datang dengan sinar yang sama seperti pagi-pagi bersama Senja dulu.

    Tidak saat ia melihat rak buku dan mengingat bagaimana Senja menyusun puisi dengan tangan pelan.

    Dan tidak juga saat hujan turun perlahan, menyentuh jendela seperti kenangan yang tak diundang.

     

    Ia tidak sibuk memikirkannya. Tapi Senja selalu ada. Seperti bayangan yang diam di pojok matanya. Seperti aroma yang muncul dari halaman buku tua. Seperti lagu-lagu dalam playlist-nya… yang tak pernah ia ganti sejak Senja pergi.

     

    Di sudut kamarnya, sebuah bingkai foto kecil berdiri diam.
    Foto yang diambil diam-diam saat Senja membaca buku di Quba , jauh bertahun lalu.
    Warna fotonya mulai pudar. Tapi senyum dalam gambar itu tetap sama.
    Hangat. Tapi jauh.

     

    Dan setiap malam sebelum tidur, Kala menatap foto itu.

    Ia tak berkata apa-apa. Karena bahkan diam pun terasa cukup, ketika seseorang telah begitu lama tinggal di hati

     

    Kala hidup. Ia bertahan.
    Tapi ia tahu, hidupnya berjalan hanya dengan setengah jiwa.
    Karena separuh lainnya… telah pergi bersama Senja.

    Bukan untuk selamanya, mungkin.
    Tapi cukup lama…
    Hingga tak ada siapa pun yang bisa menggantikannya.

     

    ****

    Bab 22

    “ Senja Tanpa Kala”

     

    Setelah perlahan menarik diri dari Kala, Senja menyadari satu hal: Ada luka yang tidak bisa dipulihkan dengan keheningan semata. Dan keheningan antara dirinya dan Kala… justru memperdalam luka itu.

    Kala tidak pernah menyakitinya. Tapi, juga tidak pernah benar-benar membiarkan dirinya masuk , dan mencintai seseorang yang hanya berdiri di depan pintu… adalah luka yang sangat pelan, tapi dalam. Senja lelah, dengan rindu yang tak pernah bisa ia ucapkan. Dengan harapan yang ia sendiri tak tahu harus diarahkan ke mana.

    Pada suatu sore, saat langit kota kecil itu redup tanpa hujan, Senja berkemas. Bukan dengan marah, bukan juga dengan air mata. Hanya dengan satu bisikan kecil di hatinya, “Aku butuh pulang. Bukan untuk melupakan, tapi untuk menenangkan.”

    Senja kembali ke kampung halamannya. Di sana, sawah masih terbentang seperti dulu. Angin masih bergerak pelan, membawa aroma yang menua tapi akrab. Ia berjalan ke pemakaman, membawa sebuket bunga putih kesukaan ibunya. Duduk di depan nisan yang sederhana, ia menyentuh batu itu dengan ujung jarinya, lalu tersenyum getir.

    “Bu…”

    “Aku pulang. Bukan karena menang, juga bukan karena kalah. Tapi karena hatiku terlalu penuh, dan hanya tempat ini yang bisa menampungnya.”

    “Ada seseorang yang kutemui di kota kecil itu. Namanya… Kala.”

    “Ia tidak seperti lelaki yang bisa Ibu doakan untuk jadi suami anakmu. Ia pendiam, menyimpan banyak luka, dan tak pernah benar-benar menunjukkan apa yang ia rasakan.”

    Tapi, Bu… Aku jatuh cinta padanya.”

    “Aku mencintainya bukan karena dia sempurna. Tapi, karena di balik dinginnya, aku tahu… Ia punya kehangatan yang tak semua orang bisa lihat. Dan, aku… sempat melihatnya, walau hanya sebentar.”

    Senja terdiam. Matanya menerawang ke langit yang mendung.

    Lalu, dengan suara yang nyaris hilang tertiup angin.

    “Tapi aku tidak bisa tinggal di dekatnya, Bu… Karena hatiku terus bertanya, apakah aku dicintai, atau hanya dikagumi dari jauh?”

    “Jadi aku pulang. Bukan untuk lari, tapi untuk menyembuhkan. Karena aku tak ingin mencintai dalam luka.”

    “Aku tahu Ibu akan memelukku dari langit. Dalam sunyi yang tak berkata, seperti Kala… Tapi, aku harap pelukan Ibu jauh lebih hangat.” Senja menutup matanya sejenak.

    Hening. Tak ada jawaban dari nisan itu. Tapi anehnya, hatinya terasa sedikit lebih tenang.

    Pulang ini bukan pelarian, tapi jeda.

    Dan ia tahu… Mungkin, untuk melupakan seseorang seperti Kala, ia tak harus lupa. Hanya harus sembuh lebih dulu.

     

    (Batin Senja)

     Kala,

    Aku pernah berjalan sangat jauh,

    Menempuh ribuan kilometer hanya untuk membungkam namamu

    di dalam kepalaku.

    Tapi ternyata,

    Namamu bukan suara…

    Namamu adalah denyut.

    Dan denyut tak bisa diredam,

    Kecuali jika aku berhenti hidup.

    Aku pergi bukan karena aku ingin meninggalkanmu,

    Tapi karena aku tak tahu bagaimana cara bertahan dengan seseorang

    Yang tak pernah benar-benar membuka pintunya.

    Kamu ada di sekelilingku, Kala.

    Tapi seperti kabut yang terlihat, terasa, tapi tak pernah bisa kupeluk.

     

    Aku pikir dengan menjauh, aku akan tenang.

    Tapi di negeri asing, di tengah salju yang membekukan jari,

    Aku justru semakin ingat caramu diam,

    Caramu melihat langit sore,

    Caramu tak berkata apapun… tapi membuatku merasa dimiliki.

     

    Aku pernah dicintai oleh banyak orang setelahmu.

    Tapi tak satupun bisa membuatku pulang.

    Rumahku tetaplah kamu.

     

    Aku memilih sendiri bukan karena tak ingin ditemani,

    Tapi karena hatiku tetap menunggumu,

    Bahkan saat aku tahu… kamu tak pernah berjanji untuk datang.

     

    Di bawah langit yang sama,

    Aku masih sering menyebut namamu dalam hati.

    Tidak untuk memintamu kembali.

    Tapi untuk mengingatkan diriku sendiri,

    Bahwa pernah ada cinta yang begitu sunyi…

    Tapi begitu dalam.

     

    Di kampung halamannya, Senja menemukan sesuatu yang tidak pernah ia temukan di kota kecil tempat ia mengenal Kala: diam yang tidak menuntut apa-apa. Ia bangun setiap pagi dengan udara segar yang menampar pipinya perlahan. Ia berjalan menyusuri pematang sawah, menunduk memetik bunga liar yang tumbuh di pinggir jalan.

    Ia duduk di beranda rumah tua peninggalan orang tuanya, menulis halaman-halaman sunyi di buku jurnal yang tak pernah ia tunjukkan pada siapapun.

    “Aku sedang belajar melupakan… bukan dengan memaksa, tapi dengan menerima bahwa ada cinta yang memang tidak harus dimiliki.”

    Hari-hari Senja diisi dengan kegiatan sederhana. Membantu tetangga membuat tape ketan, menyusun buku-buku tua di perpustakaan desa, dan sesekali membaca puisi di radio lokal.

    Semua itu tidak membuatnya melupakan Kala, tapi setidaknya membuat hatinya tidak terus-menerus sakit.

     

    Ia sering duduk di bawah pohon mangga tua, menatap langit, dan membisikkan pada dirinya sendiri:

     

    “Aku bisa sembuh. Aku akan sembuh.

    Dan jika pun tidak… aku akan belajar hidup berdampingan dengan kenangan.”

     

    Waktu berlalu. Bukan dalam hitungan hari, tapi dalam ketenangan yang meresap pelan.

    Senja tidak lagi menangis ketika mendengar lagu-lagu yang biasa diputar Kala.

    Tidak lagi merasa perih saat membuka catatan yang dulu sempat ditulis bersama.

    Ia tak sedang melupakan, Tapi sedang melepaskan tanpa menyakiti dirinya sendiri.

     

    Dan pada suatu pagi yang biasa,

    Saat langit kampungnya cerah dan burung-burung ribut berceloteh, Senja bangun dengan rasa yang aneh: lega. Tapi juga hampa.

     

    “Mungkin… aku harus pergi sebentar lagi dari sini. Bukan karena aku tidak bahagia. Tapi karena hatiku sudah cukup tenang untuk kembali melihat apa yang dulu kutinggalkan.”

     

    Lalu, seperti dituntun oleh sesuatu yang lebih dari sekadar alasan, Senja mengemas barang-barangnya.

    Bukan banyak. Hanya beberapa buku, satu syal lama, dan secarik catatan bertuliskan: 

     

    “Aku tidak tahu apa yang akan kutemukan di sana. Tapi aku ingin kembali, bukan untuk mengulang. Hanya untuk memastikan… bahwa aku sudah bisa berdiri tegak, di tempat terakhir aku roboh.”

     

    Dan begitu saja…

    Senja kembali ke kota kecil itu. Tidak dengan rencana, tidak dengan harapan. Tapi dengan hati yang lebih lapang—siap untuk apapun, bahkan jika hanya melihat langit yang dulu pernah mereka pandangi bersama.

     

    *****

    Bab 23

    “ Di Antara Ruang Kelas dan Rindu yang Tertata”

    Kepulangan Senja dari kampung halamannya bukan sebuah akhir dari jeda, tapi permulaan baru yang tenang meski tidak sepenuhnya utuh.

    Beberapa bulan setelah ia kembali ke kota kecil itu, Senja menerima tawaran menjadi dosen di sebuah universitas. Awalnya, ia ragu. Bukan karena tidak percaya pada kemampuannya, tapi karena ia belum benar-benar yakin apakah hatinya telah selesai dengan masa lalu yang masih tinggal diam di beberapa sudut kota. Tapi kemudian, ia ingat sesuatu: “Ada waktu untuk mencintai, dan ada waktu untuk bertumbuh.”

    Dan, disinilah ia kini, berdiri di depan ruang kelas dengan papan tulis yang penuh coretan, menyampaikan teori, sastra, dan puisi… tapi juga diam-diam mengajarkan tentang luka yang tidak harus diumumkan.

     

    Sebagai dosen muda, hari-hari Senja begitu penuh: Mengajar, meneliti, menulis jurnal, mendampingi mahasiswa, menghadiri seminar lintas kota dan negara. Ia terlihat sibuk. Produktif. Penuh tujuan.

    Senja menjadi dosen yang tidak keras, tapi tidak mudah pula disentuh. Ia tegas tapi lembut, jarang tersenyum tapi matanya hangat. Mahasiswa menyukai caranya berbicara, perlahan, dalam, dan seolah menyentuh sesuatu yang lebih dari sekadar ilmu.

    Di luar dinding kampus, dunia berjalan seperti biasa. Tapi di dalam ruang kelasnya, Senja menciptakan ruang di mana setiap orang boleh berpikir, merasa, dan diam tanpa takut kehilangan.

    Di hari-hari penuh tugas, presentasi, dan diskusi panjang, Senja mungkin tampak seperti perempuan yang sepenuhnya pulih. Tapi di malam hari, ketika semua suara hilang, ia masih mendengar gema langkah yang pernah berjalan di sampingnya. Ia tidak lagi menunggu Kala. Tapi namanya masih ada, di dalam dirinya seperti jejak halus yang tak bisa dibersihkan waktu.

     

    Saat malam tiba dan semua orang kembali ke rumah mereka masing-masing, Senja kembali pada dirinya sendiri dan pada ruang kosong yang tak pernah ia isi lagi.

    Bukan karena tak ada yang datang, tapi karena tak ada yang bisa menggantikan diamnya Kala.

     

    Kala tak pernah hadir dalam bentuk apapun lagi. Tidak dalam kabar, tidak dalam surat, bahkan tidak dalam mimpi. Namun, dalam sunyi, Senja merasa ia tetap ada. Dan, mungkin karena itulah… ia tidak pernah berani benar-benar mencintai yang lain.

    Kini, Senja tak lagi bertanya “kenapa” atau “seandainya.”

    Ia hanya menjalani, dengan diam yang tidak sepi ,

    Karena di hatinya sudah tumbuh kedewasaan untuk merelakan, tanpa perlu melupakan.

     

    Pada suatu malam yang hujan di tengah semester yang padat, Senja membuka laptopnya dan mulai menulis ,  tanpa rencana, tanpa arah.

    Hanya satu kalimat di awal:

    “ Kala Senja , aku tidak ingin menyimpan ini sendirian selamanya.”

     

    Malam demi malam,

    Halaman demi halaman,

    Senja mulai merangkai keping-keping hatinya yang tercecer.

    Tentang hujan pertama yang membuatnya dan Kala bertemu,

    Tentang bangku taman, tentang senyap yang terasa hangat,

    Tentang kepergian, tentang diam,

    Dan tentang bagaimana cinta kadang tak tumbuh dari kata, tapi dari keberanian untuk tetap tinggal meski tak pernah bisa saling menggenggam.

     

    Judul itu datang perlahan:

    “Dua Suara dalam Satu Kesunyian.”

    Satu suara adalah miliknya.

    Satu lagi, milik seseorang yang pernah mencintainya dalam diam.

    Dan kesunyian itu… adalah ruang tempat mereka pernah saling tahu,

    Meski kini kesunyian itu kembali terasa begitu asing.

    Buku itu tak ditulis untuk pasar.

    Tak ditulis untuk pengakuan.

    Tapi untuk dirinya sendiri,

    Sebagai tanda bahwa ia pernah mencintai dengan seluruh jiwanya.

     

    Setiap kali ia membuka naskahnya,

    Senja tahu , Kala tidak pernah benar-benar pergi.

    Hanya berdiam di antara baris-baris tulisan itu.

    Menjadi jeda, menjadi napas, menjadi bisikan lembut yang hanya bisa didengar oleh hatinya sendiri.

     

    Dan begitulah Senja hidup.

    Penuh aktivitas, banyak karya, penuh makna.

    Tapi di balik semua itu… masih ada satu nama,

    Yang diam-diam menjadi alasan kenapa ia menulis ,  untuk tidak melupakan.

     

    ****

    Bab 24

    “ Senja Menulis”

     

    Menulis buku itu bukan bagian dari rencana Senja.
    Buku itu lahir bukan dari ambisi, tapi dari keheningan panjang yang terus tinggal di dadanya , bahkan setelah Kala tak lagi hadir dalam hidupnya.

     

    Awalnya, Senja hanya menulis sepenggal demi sepenggal.

    Beberapa catatan pribadi, potongan puisi, kalimat-kalimat yang dulu ia bisikkan hanya pada dirinya sendiri.

    Semua itu terserak di buku harian, di belakang kertas ujian mahasiswa, bahkan di notes ponselnya yang tak pernah terkunci.

     

    Hari-hari berikutnya, ia mulai menata kembali catatan yang dulu berantakan.

    Ia mengedit, menyesuaikan, menambahkan kata yang tak sempat dituliskan dulu karena terlalu perih.

     

    Anehnya, menulis bukan lagi soal membuka luka,

    Tapi seperti menyisir rambut masa lalu dengan hati-hati agar tidak ada simpul yang tertinggal.

     

    Saat menulis bab demi bab,

    Senja sering berhenti, bukan karena bingung,

    Tapi karena teringat oleh kenangan yang datang seperti angin sore , pelan, tapi membawa sesuatu.

     

    Ada bab yang ia tulis sambil tersenyum lirih.

    Ada yang ia tulis dengan mata berkaca.

    Dan ada yang selesai tanpa satu pun air mata , hanya dada yang terasa lebih lapang dari sebelumnya.

     

    ( Tulisan Senja )

    Tidak ada suara yang benar-benar sunyi.

    Bahkan keheningan pun menyimpan gema.

     

    Aku pernah mencintai seseorang…

    Bukan dari kata-katanya,

    Bukan dari sentuhannya,

    Tapi dari caranya diam dengan begitu dalam—

    Hingga aku merasa,

    Jika aku bisa tinggal lebih lama di diamnya,

    Aku mungkin bisa mengerti hatinya.

     

    Namanya, aku simpan sendiri.

    Tapi kamu yang sedang membaca ini…

    Mungkin pernah merasakan hal serupa:

     

    Mencintai seseorang yang tak pernah benar-benar membuka pintu,

    Tapi terlalu hangat untuk kamu tinggalkan begitu saja.

     

    Aku mengenalnya bukan karena takdir,

    Tapi karena dunia sedang malas memberi penjelasan.

    Kami bertemu karena hujan.

    Bersama seperti jeda.

    Lalu terpisah karena sunyi yang terlalu lama dipelihara.

     

    Dan anehnya,

    Yang paling membekas dari semua kenangan itu

    Bukan saat kami bicara panjang…

    Melainkan saat kami duduk di taman,

    Di bangku kayu yang dingin,

    Tanpa saling menyentuh, tanpa saling bicara—tapi tahu bahwa kami saling merasa.

     

    Ada cinta yang tumbuh dari pelukan.

    Ada yang lahir dari puisi.

    Tapi cinta kami…

    Lahir dari mata yang menatap tanpa tuntutan,

    Dan diam yang menggema lebih keras dari suara mana pun.

     

    Aku pernah berpikir,

    Jika kami tidak bisa saling memiliki,

    Setidaknya kami bisa saling menyimpan.

    Tapi ternyata menyimpan pun ada batasnya.

    Dan diam… bisa menyakiti lebih tajam dari kepergian.

     

    Kini aku menulis.

    Bukan untuk membuka luka,

    Tapi untuk menata sunyi yang terlalu lama dibiarkan tak bernama.

    Karena cinta yang tidak selesai,

    Tetap perlu diberi ruang.

    Bukan untuk kembali,

    Tapi untuk dimaafkan.

     

    Buku ini bukan kisah cinta.

    Tapi jejak dua suara yang pernah saling mengisi

    Dalam satu kesunyian,

    Yang tidak pernah benar-benar hilang,

    Meski waktu terus berjalan.

     

    Buku ini adalah tempat tinggal terakhir

    dari rasa yang tidak bisa disuarakan dengan lantang,

     

    Setiap malam, ia  menggerakkan penanya untuk terus merangkai kata demi kata,,

    Diiringi secangkir kopi dan suara musik instrumental yang lembut.

     

    Dalam proses itu, Senja mulai sembuh dengan tenang.

    Bukan sembuh karena lupa,

    Tapi karena menerima bahwa apa yang ia dan Kala miliki… memang tidak untuk diselesaikan bersama.

     

    Menulis adalah caranya mencintai tanpa menggenggam.

    Adalah bentuk keikhlasan paling lembut yang pernah ia temukan.

    Bahwa ada cinta yang cukup dikenang,

    Cukup ditulis,

    Cukup dibiarkan tinggal di halaman-halaman kertas tanpa harus dihidupkan kembali.

     

    Dan saat buku itu hampir rampung, Senja menutup laptopnya malam itu,

    Menatap langit dari jendela kamarnya, Lalu bergumam pelan:

     

    “Aku tidak lagi menunggu.

    Aku juga tidak berharap akan ada yang kembali.

    Tapi aku bersyukur pernah mengalami.

    Karena meskipun cinta itu tak sampai…

    Ia membawaku pulang pada diriku sendiri.”

     

    ****

    Bab 25

    “ Tentang nama Sebelah Senja”

     

    Kala kembali sibuk pada pekerjaannya sebagai penerjemah bahasa asing ,

    Ia sering menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar.

    Menerjemahkan dokumen, artikel, kadang surat cinta yang tidak pernah sampai.

     

    Pekerjaan itu sunyi, cocok dengan karakternya.

    Tak banyak interaksi. Tak banyak suara.

    Hanya dia, kata-kata, dan musik yang pernah ia dengarkan bersama Senja.

     

    Namun, ada satu kebiasaan yang selalu ia ulang,

    Bahkan sejak Senja pergi:

     

    Secangkir kopi  setiap pagi.

     

    Ia tak pernah benar-benar menyukai kopi sebelumnya.

    Tapi Senja…

    Senja menyukai kopi.

     

    “Kopi itu seperti hidup,” kata Senja suatu hari di taman.

    “Pahitnya terasa, tapi ada sesuatu yang menenangkan setelahnya.”

     

    Sejak saat itu, setiap cangkir kopi yang diseduh Kala adalah bentuk kecil dari merawat kenangan.

     

    Suatu sore, ketika sedang menyerahkan terjemahan kepada salah satu kliennya , dia juga adalah seorang teman lama yang baru membuka kedai kopi. kala mampir untuk pertama kalinya.

     

    Kedai itu kecil, hangat, dan dipenuhi aroma kopi dan kayu manis.

    Temannya, Aryo, menyambut dengan senyum lebar dan menyodorkan cangkir kecil.

     

    “Kau harus coba ini. Kopi racikanku sendiri.”

     

    Kala mencicipi… dan dalam satu tegukan, ada sesuatu yang mengguncang diamnya.

    Bukan karena rasa kopinya,

    Tapi karena ingatan yang datang bersamaan dengan aromanya:

    Mata Senja yang meredup di bangku taman,

    Tangan Senja yang menggenggam gelas kopi dengan dua tangan karena takut tumpah,

    Dan tawa kecilnya setelah menyesap kopi yang terlalu pahit.

     

    Hari-hari berikutnya, Kala sering mampir ke kedai itu.

    Bukan untuk bersosialisasi, tentu,

    Tapi untuk duduk di pojok, membaca, bekerja, dan sesekali berbincang dengan Bima tentang kopi.

     

    “Aku tak pandai berbicara, Bim,” ujar Kala suatu malam.

    “Tapi aku ingin belajar menyeduh sesuatu yang bisa bicara… meski aku tak mengucapkan apa pun.”

     

    Bima menatapnya lama, lalu tersenyum.

     

    “Kalau begitu, biar kopi yang bicara untukmu, Kal.”

     

    Dari situlah semuanya dimulai.

    Kala belajar pelan-pelan.

    Tentang biji kopi, tentang suhu air, tentang takaran, tentang aftertaste.

     

    Ia mulai menemukan bahwa kopi,

    Seperti bahasa,

    Punya nada dan nuansa.

    Dan jika diterjemahkan dengan tepat,

    Ia bisa menyampaikan perasaan tanpa perlu satu kata pun.

     

    Hingga pada satu malam yang tenang,

    Saat ia menatap layar laptop yang kosong dan dadanya mulai sesak oleh rindu yang tak kunjung reda,

    Kala menuliskan satu kalimat di buku catatannya:

     

    “Aku ingin membuat ruang yang bisa menyimpan satu nama,

    Bahkan jika orang itu tak pernah datang lagi.”

     

    Lalu di bawahnya, ia menulis:

    Rencana: Kedai Kopi — “Sebelah Senja.”

     

    Itulah awalnya.

    Bukan karena ambisi.

    Bukan karena uang.

    Tapi karena secangkir kopi yang dulu dinikmati dalam senyap bersama seseorang yang kini hanya tinggal sebagai kenangan yang harum… dan hangat.

    Seseorang yang diam-diam telah menanamkan rasa cinta terhadap secangkir kopi dalam ingatannya: Senja.

     

     

    Kreator : Resti Nur Afifah

    Bagikan ke

    Comment Closed: Kala Senja (5)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021