Nama kedainya: “Sebelah Senja.”
Bukan “Senja.”
Karena ia tahu, Senja tak lagi di sisinya.
Tapi ia masih ingin berdiri di sebelahnya, meski hanya sebagai kenangan yang tak pernah meminta kembali.
Kala tidak ingin kedainya hanya sekadar tempat menjual kopi. Ia ingin membuat ruang untuk mengingat, tanpa harus terus-menerus tenggelam dalam luka. Maka ia membangun “Sebelah Senja” bukan dengan kemewahan, melainkan dengan kenangan yang ditata perlahan-lahan.
Dinding di salah satu sudut berwarna hangat nuansa senja yang membias oranye pucat dan merah tanah. Jendela besar menghadap ke arah barat, agar cahaya matahari sore selalu masuk dan membasuh ruangan dengan lembut.
Di dinding, tergantung beberapa foto kota Quba yang diam-diam pernah ia potret sendiri dari jauh, Saat mengikuti jejak Senja ke negeri asing itu… Bukan untuk mengganggu hidupnya, Tapi untuk memastikan Senja bahagia, meski tanpanya.
Begitu memasuki kedai, pengunjung akan disambut oleh aroma kopi yang baru diseduh.
Di sudut ruangan, ada sebuah rak kecil berisi buku-buku puisi dan sastra klasik, beberapa di antaranya masih menyimpan tanda baca robek yang pernah digunakan Senja. Kala sengaja meletakkannya di sana bukan untuk dikenang terus-menerus, tapi agar siapapun yang membaca, bisa ikut merasakan hangatnya sesuatu yang pernah hidup.
Taman kecil di belakang kedai masih seperti rencana awal, dihiasi dengan tanaman liar, pohon trembesi, dan satu bangku kosong yang tidak pernah diduduki. Kala tidak pernah menjelaskan mengapa bangku itu kosong, tapi semua orang yang datang lebih dari sekali tahu:
Bangku itu punya cerita sendiri. Kala tidak pernah memutar lagu dengan lirik di dalam kedainya. Yang terdengar hanya instrumental piano, petikan gitar lembut, atau alunan biola samar.
Karena Senja pernah bilang, “Musik tanpa kata adalah tempat terbaik untuk menaruh pikiran yang tidak ingin didengar siapa-siapa.”
Kala tidak sekadar menyajikan kopi. Ia menyatakan perasaan yang pernah tumbuh dalam diam. Setiap menu punya nama, dan di bawahnya, ada catatan kecil tidak mencolok, tapi cukup untuk membuat yang peka merasa.
“Hangat. Lembut. Seperti mata yang tak pernah kau lupakan sejak hari pertama bertemu.”
Dinginnya lambat tapi dalam. Aftertaste coklat hitam.
“Seperti cinta yang tidak diucapkan, tapi tumbuh perlahan di sela-sela keheningan.”
Pahit bersih. Tidak menyamarkan rasa.
“Untuk kenangan yang tidak bisa dibungkus manis, tapi tetap kau sruput sampai habis.”
“Untuk sore yang kau habiskan membaca, berharap seseorang menoleh dan menyapamu.”
“Harum dan renyah di mulut. Seperti tawa yang dulu selalu kau simpan.”
Kala mencatat semua resepnya sendiri. Ia tidak pernah berkata untuk siapa semua ini. Tapi jika kau bertanya:
“Mengapa namanya Sebelah Senja?”
Ia hanya akan menjawab pelan:
“Karena aku tidak pernah benar-benar di sisinya. Tapi aku masih ingin berdiri cukup dekat… untuk menyapanya dalam diam.”
Kala bekerja sendiri melayani pelanggan tanpa banyak bicara, membuat kopi dengan tangan yang pelan, dan tersenyum kecil setiap kali seseorang duduk lama tanpa memesan banyak karena ia tahu, kedainya bukan untuk orang yang sedang terburu-buru, tapi untuk mereka yang sedang belajar menerima.
Kala tidak pernah menikah. Tidak karena ia tidak bisa mencintai lagi, tapi karena hatinya sudah menata Senja terlalu rapi, hingga tak ada ruang untuk cinta yang lain. Ia tidak kesepian, tapi juga tidak benar-benar utuh. Namun ia cukup. Cukup tenang, cukup hidup, cukup menerima bahwa:
“Cinta tidak harus disuarakan. Kadang cukup dengan menjaga satu bangku tetap kosong… dan tidak menggantinya, walau bertahun-tahun.”
Dan setiap sore, saat langit mulai memerah, Kala akan duduk sendiri di bangku kedainya , dekat dengan bangku yang kosong itu.
Memandang matahari yang perlahan tenggelam, Sambil menyeruput kopi, dan membisikkan pada dirinya sendiri:
“Terima kasih, Senja. Aku masih mencintaimu, tapi kini… aku tidak lagi menyakitiku karenanya.”
Sambil menikmati senja dengan secangkir kopi , sesekali matanya melihat ke area kecil di kedainya. Di sudut paling sunyi dari kedai “Sebelah Senja,” Terdapat satu area kecil yang berbeda dari tempat lainnya.
Dindingnya tidak dilukis. Dibiarkan polos, penuh paku-paku kecil dan tali tambang melintang, tempat pelanggan menempelkan potongan hidup mereka:
Foto lama, tiket bioskop, surat yang tak pernah dikirim, tulisan tangan, dan puisi-puisi yang tak pernah dibacakan.
Kala menyebutnya:
“Ruang Yang Tak Pernah Selesai.”
Setiap orang bebas menaruh kenangan di sana. Tanpa nama pun tak mengapa. Yang penting jujur, yang penting pernah terasa.
Bagi Kala, ruang itu adalah perpanjangan dari hatinya. Tempat ia belajar menerima bahwa bukan hanya dia yang pernah menyimpan cinta diam-diam, bukan hanya dia yang pernah melepaskan tanpa bisa melupakan.
Dan di antara banyak kertas yang menempel, Ada satu puisi, ditulis dengan tinta hitam di atas kertas buram, dengan tanda tangan kecil di pojok kanan bawah: —K
Puisi itu tidak mencolok, tapi siapapun yang membacanya akan tahu Puisi itu milik seseorang yang sudah belajar mencintai tanpa berharap kembali.
“Jika Kau Lewati Kedai Ini.”
Jika esok kau lewat Kedai ini,
Dan tak mengenal aroma yang menyambutmu,
Tak apa.
Jika matamu tak melihat bangku yang mirip dengan bangku dulu yang sempat kita duduki bersama,
Tak apa.
Jika tanganmu tak menyentuh secangkir kopi yang aku racik dari rindu yang kering,
Tak apa.
Tapi jika hatimu diam-diam terasa hangat,
Meski tak tahu kenapa,
Itu sudah cukup.
Karena di tempat ini,
Aku tidak lagi menunggumu…
Hanya menyambut kenangan yang pernah singgah,
Dan kini kubiarkan tumbuh seperti pohon rindang:
Tanpa paksa untuk kembali,
Hanya cukup untuk dikenang.
Dan kau, Senja…
Biarlah namamu tetap menjadi waktu paling indah dalam hidupku
Waktu yang tak datang dua kali,
Tapi cukup sekali,
Untuk aku tahu rasanya mencintai kembali.
Kala tidak pernah menunjukkan puisi itu pada siapa pun. Sebelumnya ,
Ia tidak menempelkannya pertama kali. Ia menuliskannya berhari-hari, melipatnya pelan, Lalu diam-diam menyelipkannya di dinding itu , satu malam setelah hujan yang membasahi jendela dan pikirannya.
Hari-hari Kala kini tak lagi sepi, tapi tetap sunyi. Bukan karena tak ada yang datang, melainkan karena ia memilih menjadikan sunyi sebagai teman, bukan musuh.
Setiap pagi, sebelum matahari naik tinggi, Kala akan tiba di kedai kecilnya, membuka pintu dengan suara lonceng lembut, dan menyalakan lampu gantung yang menghangatkan ruangan.
Ia menyapu lantai pelan, menyeduh kopi pertamanya bukan untuk pelanggan, tapi untuk dirinya sendiri.
“Kopi pertama adalah untuk mengingat,” katanya dalam hati.
“Yang kedua baru untuk menjalani hari.”
Saat kedai mulai ramai oleh pelanggan yang datang satu-satu, kala menyambut mereka dengan senyum kecil. Tak banyak bicara, hanya beberapa kata sederhana:
“Silakan.”
“Mau yang hangat atau dingin?”
“Bisa duduk di taman, kalau mau.”
Namun bagi para pelanggan tetap,
Itu sudah cukup untuk merasa pulang.
Di sela-sela membuat pesanan, Kala akan duduk di meja kecil di belakang bar, menyelesaikan proyek-proyek penerjemahan. Layar laptopnya penuh dengan dua kolom bahasa, dan di antara jeda mengetik, ia akan menyeruput kopi pelan. Seolah mengaduk kenangan bersama dengan kata-kata asing. Ia menerjemahkan buku puisi, jurnal, cerita pendek, kadang surat pribadi orang asing untuk kekasih mereka. Ironis, pikirnya kadang.
Ia membantu orang lain menyampaikan cinta…
Sementara cintanya sendiri disimpan rapi,
Tak pernah sampai.
Kala tidak pernah merasa hidupnya mewah.
Tapi ia tahu, ia hidup dengan tenang, dan dengan tujuan.
Setiap kata yang ia terjemahkan,
Setiap cangkir kopi yang ia racik,
Semuanya punya benang merah:
Membawa rasa kepada mereka yang diam.
Malam hari, saat kedai tutup, Kala akan memutar lagu instrumental terakhir, merapikan bangku, membersihkan bar, dan menatap bangku kosong di taman. Lalu ia akan menutup lampu, meninggalkan ruangan dengan pelan. Dalam diam itu, ia selalu berpikir:
“Aku tidak mengejar siapapun lagi.
Tapi jika suatu hari kau lewat kedai ini,
Semoga tempat ini masih bisa menyambutmu,
Meski hanya sebentar.”
Awalnya, Dua Suara dalam Satu Kesunyian bukan untuk dibaca banyak orang. Buku itu lahir dari malam-malam panjang yang diisi dengan air mata, hening yang menggigil, dan ingatan yang tidak kunjung reda.
Senja menulisnya sebagai bentuk perlawanan terhadap kesedihan yang terlalu rapi disimpannya. Ia tidak berniat membuat bab. Tidak pernah berpikir tentang penerbit. Ia hanya menulis.
Tiap kata adalah luka yang ditumpahkan, tiap kalimat adalah pelukan yang tak pernah sempat ia berikan, dan tiap halaman… adalah bisikan pada dirinya sendiri.
“Aku harus sembuh. Aku harus berdamai.”
Buku itu selesai tanpa perayaan. Ia hanya mencetaknya satu eksemplar. Disimpan di laci meja, diberi sampul coklat tua polos tanpa judul.
Hari itu Senja sedang terburu-buru. Tumpukan makalah, buku catatan mahasiswa, dan jurnal penelitiannya bercampur di meja kerja. Di antara semua itu, terselip satu bundel kertas bersampul coklat tua. Naskah awal buku “Dua Suara dalam Satu Kesunyian.”
Ia menaruhnya di sana setelah membacanya kembali malam sebelumnya sekadar ingin mengenang, tanpa niat membagikannya.
Lalu Ayla datang, mahasiswa tingkat akhir yang lembut dan tekun. Ia hendak merevisi tugas akhirnya. Saat Senja meninggalkan ruangan sebentar, ia berkata kepada Ayla :
“Saya keluar sebentar , jika saya lebih lama sedikit dan kamu bosan menunnggu, kamu boleh membaca buku-buku yang ada di atas meja saya” ( saat itu senja tidak sadar bahwa buku karyanya terselip diantara buku-buku materi kuliah)
Ayla duduk menunggu. Matanya mencari-cari bacaan untuk mengisi waktu. Sampul coklat polos itu menarik perhatiannya. Tidak ada judul. Hanya tumpukan kertas dengan tulisan tangan di halaman pertamanya. Ayla mulai membaca. Dan sejak itu, waktu seolah berhenti.
Beberapa hari berlalu , Ayla datang lagi, kali ini dengan mata yang berkaca-kaca.
“Bu…,” katanya pelan.
“Saya tahu ini mungkin bukan untuk dibaca. Tapi saya tak bisa berhenti membacanya. Dan saya tak bisa membiarkanya berhenti di saya.”
Senja terdiam.
Ayla melanjutkan,
“Tulisan ibu… bukan sekadar kisah. Tapi seperti hati yang bicara. Dan rasanya… semua orang yang pernah merasa sendiri, perlu mendengarnya.”
Senja masih bungkam. Ia bingung tentang apa yang dikatakan oleh Ayla , karena ia tidak tahu bahwa Ayla telah membaca karyanya. Sampai akhirnya Ayla menceritakan bahwa dia telah membaca buku karya Senja beberapa hari yang lalu , saat ia menunggu senja di ruangannya.
Senja belum yakin untuk membagi kisahnya. Baginya, naskah itu adalah luka yang dijahit perlahan, bukan sesuatu untuk diperlihatkan pada dunia. Namun Ayla menatapnya dengan yakin.
“Bu, saya kuliah sastra. Saya tahu mana tulisan bagus, dan mana tulisan yang jujur. Ini… dua-duanya. Ini indah, tapi juga nyata.”
“Kalau Ibu izinkan, saya ingin bantu mengirimkan naskah ini ke kenalan saya di penerbit kecil. Hanya untuk dibaca. Tak ada paksaan.”
Malamnya, Senja membaca ulang naskah itu. Kali ini, bukan sebagai pelampiasan rasa sakit, tapi sebagai hasil dari perjalanan panjang yang menjadi lebih kuat.
Ia tersenyum kecil, karena menyadari sesuatu yang selama ini ia tolak untuk percaya:
“Mungkin memang saatnya…
Suara yang pernah tersembunyi,
Diberi tempat untuk didengar.”
Keesokan harinya, Senja memberikan isyarat pelan kepada Ayla, Sambil menyerahkan naskah itu dalam map putih bersih.
“Boleh kau bantu kirimkan. Tapi biarkan buku ini tetap jujur. Jangan ubah isi hatinya demi pasar. Jika harus tetap sunyi, biarlah begitu.”
Ayla tersenyum lebar.
“Tentu, Bu. Dunia layak membaca ini.”
Itulah awalnya.
Sebuah buku yang ditulis untuk diri sendiri, Akhirnya berjalan dengan kaki orang lain dan menjadi suara yang menyentuh hati banyak orang, berkat seorang mahasiswa yang percaya pada kejujuran dalam tulisan.
Beberapa Minggu kemudian setelah Ayla menyerahkan naskah Senja ke penerbit. Angin mengetuk-ngetuk jendela ruang kerja Senja dengan pelan. Ia duduk di balik meja, memeriksa tugas mahasiswa, menyeduh kopi panas , dan mengira hari itu akan sama seperti hari-hari lainnya , biasa dan tenang.
Hingga sebuah notifikasi email muncul di pojok layar “Dari Penerbit naskah Angkasa.”
Tangannya berhenti bergerak. Matanya menatap layar beberapa detik lebih lama. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat seolah tubuhnya tahu, bahwa kalimat-kalimat di dalam email itu akan mengubah sesuatu yang penting dalam hidupnya.
Email itu berisi :
Yth. Ibu Senja Pratiwi,
Kami dengan senang hati mengabarkan bahwa naskah Anda, “Dua Suara dalam Satu Kesunyian,” telah kami baca dan tinjau dengan penuh penghargaan. Setelah diskusi redaksi, kami sepakat untuk menerbitkan karya Anda dalam program “Suara-Suara Sunyi” khusus untuk karya sastra yang ditulis dari ruang batin yang personal.
Karya Anda memiliki suara yang jujur dan menyentuh. Kami percaya banyak orang akan merasa terwakili oleh keheningan yang Anda tuliskan dengan begitu indah.
Kami berharap dapat melanjutkan proses penerbitan ini dengan diskusi lebih lanjut mengenai desain sampul, tata letak, dan waktu peluncuran. Terlampir dokumen detail kerja sama.
Dengan hormat dan penuh semangat,
Redaksi Penerbit Angkasa
Senja menatap email itu lama. Matanya perlahan memanas, tapi tak ada senyum yang lebar. Hanya sebuah desahan yang keluar pelan dari bibirnya.
“Jadi… tulisanku akan benar-benar dibaca…”
Bukan ketakutan yang ia rasakan, tapi semacam campuran getir dan lega. Seperti meletakkan beban yang lama ia bawa, dan membiarkannya dilihat bukan sebagai kelemahan, tapi sebagai kekuatan yang lahir dari luka.
Ia menyandarkan punggung ke kursi, menatap langit kelabu di balik jendela, lalu membuka folder di laptopnya yang berisi naskah itu. Tangannya mengusap perlahan nama file-nya:
“Duasuara_senjakalafinal.docx “
Ia membuka halaman pertama, dan membaca kembali kalimat pembuka yang ia tulis setahun lalu:
“Ini bukan cerita cinta. Ini adalah suara yang tidak sempat bicara.”
Sore itu, Senja membalas email penerbit dengan satu kalimat tenang:
“Dengan sepenuh hati, saya izinkan tulisan ini berjalan sendiri ke tangan siapa pun yang membutuhkannya.”
Dan saat ia mengirimkannya, ia menangis. Bukan karena kehilangan. Tapi karena telah berhasil merangkul dirinya sendiri.
–Di Ruang Penerbit–
Ruang pertemuan di lantai dua kantor Penerbit Angkasa , ruangan yang tidak terlalu besar. Berjendela lebar, dipenuhi rak-rak buku, dan ada aroma kopi yang samar dari sebuah sudut ruangan. Aroma kopi yang entah kenapa terasa begitu akrab.
Senja duduk berhadapan dengan tiga editor dan seorang direktur naskah. Di meja mereka, naskah Dua Suara dalam Satu Kesunyian telah dicetak lengkap, disampul bening, dan diberi catatan kecil di pinggirannya.
Editor utama, Mbak Sari, membuka pembicaraan dengan senyum ramah.
“Bu Senja, kami sangat tersentuh dengan naskah ini. Ada kejujuran yang sangat langka. Tapi kami juga ingin menyampaikan bahwa, dari sisi penerbitan, akan ada beberapa proses penyuntingan ringan , lebih ke teknis, bukan isi.”
Senja mengangguk kecil. Ia mendengarkan dengan tenang. Namun, saat editor kedua mulai menyebutkan kemungkinan mengubah beberapa kalimat agar lebih “efektif secara pasar”.
Senja angkat bicara. Suara Senja pelan, tapi jelas:
“Maaf… saya tahu ini bukan naskah sempurna dari sisi gaya bahasa. Tapi tulisan ini lahir dari titik paling rapuh dalam hidup saya. Satu kalimat pun, saya harap tidak diubah.”
Ruang itu hening sejenak. Mbak Sari meletakkan penanya, lalu menatap Senja dalam-dalam. Editor kedua tampak ragu. Direktur naskah justru tersenyum kecil.
“Ibu yakin tak ingin sedikit pun penyesuaian? Bahkan tanda baca?”
Senja menarik napas.
“Saya yakin. Kalau harus rapi tapi kehilangan jiwanya, lebih baik tetap berantakan tapi jujur.”
Ketiganya saling pandang, lalu mengangguk pelan.
“Baik, Bu Senja. Kami akan menghormati permintaan itu. Buku ini akan terbit sebagaimana adanya , seperti suara yang tak pernah disunting oleh dunia.”
Sebelum keluar ruangan, Senja melihat naskah yang telah diberi coretan kecil pensil. Ia membelainya perlahan, lalu berkata dalam hati:
“Ini kisah ku yang akan segera orang baca , semoga buku ini tidak hanya menguatkan aku, Tapi juga memberi ruang bagi para pembaca untuk mencintai luka mereka sendiri tanpa harus menyembunyikannya di balik ejaan yang sempurna”
-Peluncuran Buku dan Sunyi yang Tak Pernah Pergi-
Hari itu langit kota kecil diguyur hujan rintik-rintik sejak pagi. Dedaunan mengilap, dan udara terasa sedikit lebih bersih dari biasanya.
Gedung budaya sederhana di pusat kota tampak lebih hidup dengan bunga-bunga kertas dan meja-meja yang terisi buku.
Senja mengenakan blus putih sederhana dan rok panjang berwarna tanah. Tak ada riasan mencolok. Tak ada ekspresi euforia. Namun matanya tenang , seperti permukaan danau yang telah menyerap terlalu banyak badai.
Hari itu adalah peluncuran Dua Suara dalam Satu Kesunyian. Hari ketika hatinya dibacakan di depan orang-orang yang tak mengenalnya.
Di atas panggung kecil yang dihias minimalis, Senja duduk di tengah, diapit moderator dan pembaca puisi. Ia menjawab pertanyaan dengan hati-hati, seperti seseorang yang tahu kata-kata bisa membuka luka yang sudah dijahit rapat.
Di hadapan puluhan pasang mata, Senja berkata:
“Saya tidak pernah menulis buku ini untuk diterbitkan. Tapi saya percaya… bahwa setiap luka yang dibagikan dengan jujur, punya kemungkinan menyembuhkan orang lain.”
Tepuk tangan tak terlalu riuh, tapi tulus. Di kursi-kursi depan, beberapa pembaca tampak menyeka mata. Salah satu dari mereka memeluk bukunya erat, seolah sedang memeluk dirinya sendiri.
Sementara itu, di sudut kota yang sama…
Kala sedang membersihkan meja taman yang basah karena gerimis. Kedainya tak terlalu ramai, tapi hangat. Ada suara musik instrumental lembut mengalun di dalam. Seseorang sedang menulis, pasangan muda tertawa pelan, dan seorang pria paruh baya duduk sendiri dengan secangkir kopi hitam dan wajah tenang.
Kala sibuk, seperti biasanya. Menyeduh, membersihkan, memeriksa stok, dan kadang mengangguk ramah pada pelanggan yang pulang.
Namun di sela semua itu… Selalu ada ruang kecil dalam dirinya yang hening, dan dalam ruang itu, Senja masih tinggal.
Kala tak tahu hari itu peluncuran buku Senja.
Ia tidak pernah tahu tentang buku itu.
Ia tidak bertanya.
Ia tak mencari tahu.
Tapi sore itu, entah kenapa,
Saat gerimis turun dan jendela berkabut…
Kala duduk sebentar di kursi pojok,
Membuka lembar jurnal kecilnya,
Dan menulis satu kalimat:
“Ada suara yang tak pernah kembali,
Tapi selalu ada di setiap langkahku.”
Mereka berada di kota yang sama. Di bawah langit yang sama.
Tapi tidak saling tahu. Tidak saling sapa. Tidak saling mencari.
Namun dalam sunyi…
Dalam ramai…
Masing-masing dari mereka masih menyimpan satu nama.
Dan itu sudah cukup,
Untuk membuat dunia tetap terasa bernyawa.
—Beberapa hari setelah peluncuran buku—
Kota kecil itu kembali tenang. Gerimis yang beberapa hari lalu turun seolah menyisakan kelembaban dalam udara dan kenangan. Kala sedang merapikan sudut rak buku kecil di kedainya , rak yang memang ia sediakan untuk pengunjung yang ingin membaca sembari menyeruput kopi.
Ia tidak mengisinya dengan banyak buku. Hanya beberapa yang ia pilih sendiri ,puisi, novel pendek, dan buku catatan perjalanan.
Hingga hari itu, saat seorang pelanggan tetap, seorang perempuan muda bernama Alea, datang membawa satu buku dan berkata pelan:
“Mas Kala, aku baru beli buku ini di peluncurannya kemarin. Aku rasa ini cocok buat rak di sini. Isinya… tenang tapi dalam. Seperti tempat ini.”
Alea meletakkan buku itu di atas meja. Kala menoleh sekilas. Dan saat matanya jatuh pada sampulnya, dadanya terasa bergetar.
“Dua Suara dalam Satu Kesunyian” – oleh Senja Pratiwi
Namanya.
Nama itu. Duduk diam di atas kertas, dalam huruf-huruf tenang berwarna hitam. Kala tak berkata apa-apa. Hanya mengangguk pelan dan mengucapkan,
“Terima kasih.”
Setelah Alea pergi. Kala menatap buku itu. Lama.
Ia tak langsung membuka. Ia hanya menyentuh sampulnya dengan jari pelan, seperti menyentuh kenangan yang belum siap ia hadapi.
Malamnya, setelah kedai tutup dan musik instrumental dimatikan, kala duduk sendirian di meja paling belakang.
Kopi sudah dingin di cangkir. Dan buku itu… masih utuh di tangannya. Ia membuka halaman pertama , dan membaca pelan seperti membaca dirinya sendiri yang dipantulkan lewat kalimat orang lain.
“Ini bukan cerita cinta. Ini adalah suara yang tidak sempat bicara.”
Kala terdiam.
Tiap kalimat yang ia baca,
Terasa seperti ia pernah mendengarnya—bukan lewat suara,
Tapi lewat tatapan, diam, dan senyum yang tidak pernah terucap.
Di halaman tengah, ada satu bagian yang membuat Kala menutup buku itu perlahan:
“Aku tidak menyesal telah mencintainya.
Yang kutangisi bukan kepergiannya,
Tapi keberanianku yang datang terlambat untuk menggenggamnya.”
Kala bersandar di kursi, menatap langit-langit kedai.
Ada getir di matanya.
Ada… perasaan lama yang belum pernah benar-benar pergi.
Ia menyimpan buku itu, bukan di rak umum, tapi di balik etalase kayu kecil di dekat bar,
Tempat ia menyimpan hal-hal yang hanya dia tahu nilainya.
Di samping foto senja.
Di dekat playlist lagu-lagu mereka.
Dan di antara puisi-puisi yang tak pernah ia kirim.
Buku itu sampai tanpa ia cari. Tapi mungkin memang begitu cara takdir bekerja:
Datang tanpa suara, tapi membuat hati bergetar lama.
Kedai kopi milik Kala sudah tutup sejak satu jam lalu,
Tapi lampu gantung di pojok ruangan masih menyala redup.
Kala duduk di meja kerjanya, buku Dua Suara dalam Satu Kesunyian tergeletak terbuka di halaman yang telah berulang kali ia baca.
Tak ada musik.
Tak ada suara.
Hanya detak jarum jam dan sedikit gemericik air dari atap seng di luar sana yang jatuh diantara dedaunan sisa hujan tadi.
Tangannya meraih pena. Kertas putih kosong di hadapannya terasa lebih berat dari biasanya.
Dan ia mulai menulis.
Senja.
Aku membacanya.
Bukan hanya halaman-halamannya,
Tapi juga getar yang tersembunyi di antaranya.
Aku membaca dirimu,
Seperti dulu aku menatapmu dari jauh ,
dengan hati yang tidak pernah tahu cara mendekat.
Setiap kalimat di buku itu terasa seperti nafasmu yang pernah menghangatkan hariku.
Tapi sekarang, aku hanya bisa memeluknya dalam diam.
Terima kasih sudah berani menuliskannya.
Terima kasih sudah jujur.
Aku… masih di sini.
Masih menjalani hari seperti biasa,
Dengan secangkir kopi dan bangku kosong di taman kecil kedai ini
yang diam-diam selalu kutujukan untukmu.
Aku tidak tahu apakah kamu masih mengingatku.
Atau apakah kamu masih percaya bahwa cinta bisa tinggal dalam dada tanpa harus dimiliki.
Tapi aku ingin kamu tahu satu hal:
Aku membacanya.
Dan aku mendengarmu.
Bahkan jika dunia tidak.
—K
Kala melipat kertas itu perlahan.
Ia tidak memasukkannya ke dalam amplop.
Tidak menuliskan alamat.
Tidak berniat mengirimkannya.
Ia hanya menyelipkan surat itu ke dalam halaman terakhir buku Senja.
Lalu menaruhnya kembali di etalase bar,
Tempat ia menyimpan hal-hal yang paling ia jaga dalam hidup:
Foto, potongan puisi, tiket bioskop yang sudah pudar,
Dan sekarang… surat itu.
Ia menatap jendela yang masih basah oleh gerimis.
Dan dengan nafas berat yang tidak mengeluh, Kala berkata dalam hati:
“Kadang, cinta tak harus disampaikan.
Kadang, cukup dengan membiarkannya hidup…
Di tempat yang sunyi, tapi tulus.”
****
Setelah peluncuran yang sederhana namun menyentuh hati,
Buku Dua Suara dalam Satu Kesunyian perlahan mulai mendapat tempat di dunia sastra.
Ulasan demi ulasan bermunculan, bukan karena plotnya rumit atau dramatis, melainkan karena kesunyiannya berbicara lebih dalam daripada teriakan.
Pihak penerbit mulai menerima permintaan dari luar negeri.
Beberapa pembaca dari Malaysia, Singapura, bahkan Belgia dan Turki mengirim pesan:
“Bisakah buku ini diterjemahkan? Suaranya menyentuh, dan kami ingin mengenalnya dalam bahasa kami.”
Maka Ibrahim , editor dari Penerbit Angkasa, yang memegang proyek Senja sejak awal , dia mulai mencari penerjemah. Tapi bukan sembarang penerjemah. Buku ini terlalu personal, terlalu lirih, terlalu sarat perasaan, Hingga tidak bisa diterjemahkan oleh seseorang yang hanya paham bahasa… tanpa paham rasa.
Ibrahim ingat satu nama.
Kala.
Ia pernah melihat portofolio penerjemahannya. Karya-karyanya halus dan tidak kaku.
Dan… ia tinggal di kota yang sama dengan Senja , sebuah kebetulan yang tidak pernah ia anggap lebih jauh dari itu.
Maka ia menghubungi Kala.
Kala menerima pesan itu malam hari. Email sederhana dari seorang editor sastra:
“Kami ingin menawarkan proyek penerjemahan. Buku yang sedang tumbuh dengan indah.
Judulnya: Dua Suara dalam Satu Kesunyian.”
Kala membeku sejenak. Ia menatap layar lama.
Lalu perlahan… senyum kecil muncul di sudut bibirnya bukan karena gembira, tapi karena takdir seperti sedang bermain halus di balik tirai waktu.
Ia tidak menolak.
Ia tidak menerima dengan gegap gempita.
Ia hanya membalas dengan satu baris kalimat:
“Saya bersedia menerjemahkannya. Tapi izinkan saya melakukannya dengan perlahan.”
Ibrahim, tentu saja, menyetujui. Yang ia tahu, pria itu hanya penerjemah berbakat.
Yang tidak ia tahu…
Kala sedang bersiap menerjemahkan suara seseorang yang masih hidup di dalam jiwanya.
Kala menerima naskah digital resminya. Membacanya ulang. Menandai setiap kalimat.
Menulis ulang setiap rasa. Dan saat ia mulai mengetik kalimat pertama dalam bahasa Inggris, ia membisikkan dalam hati:
“Aku menerjemahkan suaramu, Senja…
Bukan agar dunia mengerti,
Tapi agar aku sendiri tidak lupa bagaimana rasanya mencintaimu dalam diam.”
Beberapa bulan telah berlalu sejak peluncuran pertamanya.
Buku Dua Suara dalam Satu Kesunyian kini telah diterbitkan dalam beberapa bahasa.
Penerbit mengirimkan satu paket istimewa ke rumah Senja versi terjemahan bahasa Inggris edisi terbatas, dengan sampul berwarna biru laut dan pita perak mengikatnya rapi , serta sebuah kertas kecil seperti sebuah pesan yang lama ingin disampaikan.
Senja menerimanya dengan perasaan campur aduk.
Ia belum pernah membaca ulang bukunya sendiri dalam bentuk lain.
Ia takut… tak lagi menemukan getaran yang dulu ia tulis dengan darah dan air mata.
Tapi malam itu, ia membuka perlahan buku versi terjemahan itu.
Membaca pelan.
Menyeruput secangkir kopi.
Dan menghela nafas setiap kali satu paragraf terasa asing karena bukan dalam bahasanya namun anehnya, tetap terasa akrab.
Penerjemahnya… luar biasa.
Kalimat-kalimatnya tidak kaku.
Ada keheningan yang sama.
Ada rasa yang tetap tinggal.
Hingga akhirnya,
Di halaman terakhir,
Tepat sebelum daftar pustaka,
Ia membaca satu surat dengan catatan kecil.
Bukan dari penerbit. Bukan dari editor. Tapi dari penerjemah.
Tulisan miring, tanpa nama.
Hanya sepotong kalimat:
“Some silences are meant to be preserved, not filled.
Thank you… for writing what I never dared to say.”
Senja membacanya dua kali.
Lalu tiga kali.
Dan kemudian… ia tahu.
Hanya satu orang di dunia ini yang bisa menulis kalimat sehening itu. Hanya satu orang yang mengerti bahwa kesunyian bukanlah ruang kosong, tapi ruang yang pernah terisi begitu dalam.
Kala.
Bukan karena ia menuliskan namanya. Tapi karena isi kalimat itu terdengar seperti suara yang dulu pernah tinggal di dadanya.
Senja menutup buku perlahan. Tangannya gemetar ringan, tapi wajahnya tenang.
“Kau membaca…”
“Dan sekarang kau bicara.”
“Dengan caramu sendiri.”
“Dalam bahasa yang tak semua orang bisa pahami…”
“Tapi aku selalu mengerti.”
Malam itu, Senja menatap jendela kamarnya yang terbuka.
Langit kota kecil itu masih sama.
Diam.
Dan luas.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama,
Ia berbisik pelan…
Seolah pada angin:
“Terima kasih, Kala. Bukan karena kau kembali,
Tapi karena kau tidak pernah benar-benar pergi.”
Waktu terus berjalan, seperti sungai yang tak pernah menoleh pada air yang sudah mengalir jauh.
Kala dan Senja menjalani hidup mereka di dua tempat yang kadang bersisian, kadang berjauhan, tapi selalu di bawah langit yang sama.
Mereka belum pernah bertemu kembali setelah surat, buku, dan terjemahan itu.
Tak ada pesan masuk.
Tak ada panggilan tak terjawab.
Tak ada jejak yang sengaja ditinggalkan.
Namun…
Tidak satu hari pun berlalu tanpa kehadiran yang diam-diam.
Kala tetap dengan kedainya. Setiap pagi membuka jendela, menyapa tanaman di taman kecil depan kedai, dan menyeduh kopi untuk pelanggan yang tidak tahu… bahwa di setiap aroma kopi, ada nama yang masih hangat di dalam hatinya.
Ia masih menerjemahkan buku-buku dari berbagai bahasa, tapi hanya satu buku yang tidak pernah ia buka lagi:
“Dua Suara dalam Satu Kesunyian.”
Karena ia sudah menyimpannya bukan di rak, tapi di dalam dirinya.
Senja pun begitu.
Ia kini sibuk dengan kelas, diskusi sastra, dan kadang menjadi pembicara di berbagai kota.
Ia dikenal sebagai penulis yang “tenang tapi dalam”.
Namun tak banyak yang tahu,
Bahwa satu-satunya cinta yang paling kuat dalam hidupnya…
Adalah cinta yang tidak pernah ia miliki sepenuhnya.
Di rak bukunya, versi terjemahan bukunya disandingkan dengan satu surat kecil yang ia simpan dalam sampul belakang.
Surat dari penerjemahnya.
Dari Kala.
Mereka tidak pernah saling datang.
Tapi juga tidak pernah saling meninggalkan.
Dan cinta itu tetap tinggal.
Tidak tumbuh…
Tidak mati…
Tapi menetap.
Seperti lagu yang terus diputar meski tak terdengar.
Seperti bangku kosong yang tak pernah diisi, tapi selalu disediakan.
–Takdir Tak Pernah berhenti Menyatukan—
Satu sore dikamar Senja. Senja membuka laptopnya , sudah seminggu lebih ia mengabaikan email yang masuk , karena terlalu sibuk dengan berbagai kegiatan. Ternyata Senja menerima email dari pihak penerbit pusat.
Subjeknya sederhana:
“Invitation from Istanbul: Literary Translation Festival 2026.”
Isi pesannya lebih panjang.
Buku Dua Suara dalam Satu Kesunyian mendapat perhatian khusus dari penerbit sastra independen di Istanbul, Turki.
Pihak penerbit di Turki, ingin mengundang sang penulis dan penerjemahnya untuk menghadiri sesi diskusi, pembacaan puisi, dan tour budaya selama satu minggu.
Senja membacanya perlahan. Ada jeda napas di antara tiap kalimat. Lalu di bagian akhir email itu tertulis:
“The translator, Kala A., has confirmed his availability.”
Matanya menatap layar lama. Kemudian ia menutup laptop perlahan, dan menatap jendela kamarnya yang terbuka lebar pada senja yang sedang turun pelan.
Kala juga menerima email yang sama seminggu sebelumnya.
Ia menimbang. Ia diam.
Lalu menjawab:
“Saya bersedia ikut serta.”
Bukan karena dia ingin terbang ribuan kilometer hanya demi bertemu Senja.
Tapi karena dalam hatinya, dia tahu… ada bagian dari dirinya yang belum selesai sepenuhnya. dan mungkin, di tanah asing itu, ia bisa berdiri di hadapan Senja sebagai dirinya yang baru tanpa harus mengulang masa lalu.
Hari keberangkatan ditetapkan. Tim penerbit menyiapkan itinerary.
Senja dan Kala, dalam pesan resmi dari penerbit, bahkan ditempatkan dalam satu sesi panel sastra yang sama:
“Voices Between Languages: When a Writer and Her Translator Meet.”
Tak ada yang menolak.
Tak ada yang meminta dipisah.
Hanya saling diam… dan bersiap.
Dan pada pagi itu,
Di bandara internasional,
Dengan koper sederhana dan wajah tenang,
Senja dan Kala akhirnya berdiri dalam satu ruang yang sama lagi.
Tidak sebagai kekasih.
Tidak sebagai masa lalu.
Tapi sebagai dua manusia yang pernah saling mencintai dalam diam , dan kini duduk di samping satu sama lain, Menatap awan yang sama, dalam perjalanan menuju satu negara,
Untuk mempromosikan satu buku…
Yang ditulis oleh hati mereka berdua.
Kreator : Resti Nur Afifah
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Kala Senja (6)
Sorry, comment are closed for this post.