Hari itu Istanbul bermandikan cahaya musim semi. Langit cerah, angin lembut membawa aroma kopi, roti panggang, dan suara azan yang menggema lembut dari menara tua. Senja berjalan menyusuri lorong-lorong batu di sekitar hotel tempat mereka menginap. Ia mengenakan coat abu-abu lembut, rambutnya dikuncir sederhana, dan tas kecil berisi catatan serta buku.
Ia diminta menghadiri sesi foto santai sebelum acara utama dimulai esok harinya. Di satu sudut halaman berhiaskan bunga-bunga liar, Ada kursi kayu panjang yang menghadap Bosphorus, tempat yang disiapkan tim dokumentasi untuk pengambilan gambar outdoor. Ia tiba lebih awal dari jadwal. Tempat itu masih sepi. Hanya suara burung camar dan riak air dari kejauhan.
Dan, satu sosok yang sedang berdiri membelakangi arah kedatangannya. Lelaki itu tinggi. Pundaknya masih setegas yang ia ingat. Dan, punggungnya punggung yang dulu pertama kali mencuri perhatiannya di seberang jalan kota kecil itu, masih sama.
Kala.
Senja berhenti. Nafasnya tertahan, tapi tidak terburu-buru. Ia menatap sosok itu yang perlahan berbalik, seolah tahu dirinya sedang dilihat. Mata mereka bertemu.
Tak ada kata. Tak ada lambaian tangan.
Tapi mata itu…
Masih menyimpan tatapan yang sama, tajam, tapi teduh. Dan Senja tahu, tak ada jarak yang benar-benar memisahkan apa yang memang tinggal di dalam.
“Sudah lama…”
Suara itu datang dari Senja, pelan, hampir seperti angin.
Kala mengangguk.
“Tapi terasa seperti kemarin.”
“Aku baca yang kamu sisipkan,” kata Senja.
Kala tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap langit.
“Itu bukan untuk dibaca. Tapi mungkin… untuk didengar.”
Senja mengangguk kecil.
“Aku mendengarnya.”
Mereka duduk di bangku kayu yang sama. Masih menjaga ruang di antara tubuh mereka, tapi tak ada ruang di antara perasaan yang pernah tumbuh.
Mereka tidak berbicara tentang masa lalu. Tidak membahas mengapa tak ada yang mengejar, atau menunggu. Karena mereka tahu… semua sudah cukup.
Sesi dokumentasi pun dimulai. Fotografer meminta mereka berdiri berdampingan. Senja tersenyum kecil. Kala mengangguk, diam-diam memejamkan mata sebentar , merekam momen itu, bukan dengan kamera, tapi dengan hati.
Dan, saat kamera menjepret mereka berdua, berdiri dengan latar laut Istanbul dan langit luas di belakang…
Hati mereka sama-sama berbisik:
“Kita pernah saling mencintai dalam diam.”
“Kini kita saling hadir…”
“Meski masih tanpa janji.”
Setelah sesi pemotretan selesai, para kru mulai membereskan perlengkapan. Cahaya sore mulai turun pelan di atas kota Istanbul, menyisakan bias keemasan di jendela-jendela tua dan dinding batu. Senja berdiri sambil merapikan syalnya. Kala juga bersiap pergi, hendak kembali ke hotel sebelum latihan untuk panel esok hari.
Mereka berjalan berdampingan, tanpa banyak bicara. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di lorong panjang berubin batu.
Di persimpangan kecil sebelum area hotel, Senja menghentikan langkahnya. Begitu pula Kala.
Tak ada pelukan.
Tak ada genggaman tangan.
Hanya saling pandang dalam diam yang cukup dalam untuk mengatakan:
“Kita pernah.”
Kala tersenyum kecil.
Senyuman yang tidak menuntut, tidak menyakitkan, hanya… hangat.
“Terima kasih, Senja.” katanya pelan.
“Untuk apa?” Senja menatapnya, suara serak lembut.
“Untuk pernah mengisi kesunyianku. Dan, menuliskannya, agar aku tidak lupa.”
Senja tidak membalas dengan kata. Hanya mengangguk pelan. Lalu, melangkah pergi. Tidak buru-buru, tapi pasti.
Kala pun berbalik arah. Langkah mereka berpisah, tapi hati mereka tetap berjalan ke arah yang sama: ke satu sore yang tidak akan pernah mereka hapus dari ingatan.
Hari berikutnya, aula utama Universitas Istanbul dipenuhi pecinta sastra, akademisi, mahasiswa, dan para pembaca dari berbagai negara.
Di panggung utama, dua kursi telah disiapkan. Di satu sisi, Senja Pratiwi, sang penulis. Di sisi lain, Kala A., sang penerjemah.
Moderator memperkenalkan mereka sebagai:
“Penulis dan penerjemah yang berhasil membawa sunyi menjadi bahasa yang dapat dimengerti lintas dunia.”
Sesi dimulai.
Moderator bertanya:
“Bagaimana rasanya, menerjemahkan karya yang begitu personal seperti ini?”
Kala tersenyum. Lalu menjawab dengan suara tenang:
“Menerjemahkan buku ini bukan soal memindahkan bahasa. Tapi soal menyentuh kembali kenangan , yang dulu tak pernah sempat bicara. Dan menerjemahkannya… membuat saya berdamai, bukan hanya dengan teks, tapi dengan bagian diri yang pernah diam terlalu lama.”
Lalu giliran Senja.
“Menulis buku ini adalah proses merangkul sunyi saya. Tapi melihatnya diterjemahkan… rasanya seperti seseorang memeluk kembali luka yang saya pikir hanya saya yang tahu. Dan, entah bagaimana, itu… membuat saya merasa tidak sendirian.”
Ruangan hening.
Tidak satu pun dari penonton tahu, bahwa yang sedang mereka saksikan… adalah dua hati yang pernah saling mengisi, dan kini bicara lewat kata-kata yang akhirnya bisa didengar dunia.
Di akhir sesi, moderator bertanya:
“Kalau kalian boleh menggambarkan proses ini dalam satu kalimat, apa yang ingin kalian sampaikan satu sama lain?”
Kala dan Senja saling pandang sejenak.
Senja bicara dulu.
“Terima kasih telah menyampaikan sunyiku ke telinga dunia.”
Lalu Kala menyambung:
“Dan terima kasih telah membuat sunyiku punya arti.”
Tepuk tangan pun bergema. Namun, hanya mereka berdua yang tahu bahwa kata “terima kasih” yang mereka ucapkan di hadapan publik, jauh lebih dalam dari sekadar ucapan sopan yang biasa orang ucapkan.
—Perjalanan dan Pengakuan–
Usai panel diskusi dan promosi buku, pihak penyelenggara memberi waktu tim untuk tour kebudayaan dan relaksasi.
Senja dan Kala termasuk dalam daftar peserta yang berangkat menuju Cappadocia , tanah dongeng dengan lembah-lembah sunyi dan langit yang dipenuhi balon udara.
Perjalanan dengan bus membawa mereka menembus padang datar yang luas. Langit Turki berubah warna perlahan dari biru muda menjadi tembaga, Sementara gurun dan tebing cadas berdiri mematung di kejauhan, seperti masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Kala duduk di sisi jendela. Senja di sisi lain.
Tak saling sapa. Tapi tak juga menghindar. Hening yang kini… terasa damai.
Malam hari di sebuah hotel batu khas Cappadocia. Beberapa orang memilih tidur lebih awal, yang lain duduk di restoran atau balkon batu, menyeruput teh sambil memandang bintang.
Senja turun ke taman kecil hotel, duduk di bangku batu, menyandarkan diri pada dinding berlumut.
Tak lama, langkah seseorang mendekat.
Kala.
Ia tidak meminta izin, hanya duduk di samping menjaga ruang seperti biasa. Beberapa menit berlalu hanya diisi suara angin dan riuh jangkrik dari kejauhan.
“Boleh aku bercerita?” Suara Kala rendah, hampir seperti gumam.
Senja menoleh, lalu mengangguk. “Silahkan.”
Kala menarik napas panjang. Lalu mulai bercerita.
“Namanya Bunga.”
“Kami dulu dekat, sangat dekat. Mungkin terlalu cepat. Aku mencintai ketenangan yang ia beri saat bersamaku.”
“Sampai suatu malam… dia mengirim pesan, katanya ingin menemuiku.”
“Aku sibuk, seperti biasa. Aku bilang: nanti saja.”
Kala berhenti sebentar.
Tangannya mengepal perlahan.
“Dia tak pernah sampai. Dalam perjalanan ke tempatku, ia mengalami kecelakaan. Dan, meninggal.”
Senja menunduk pelan. Ia tidak menyela.
“Sejak itu… aku dibanjiri rasa bersalah. Teman-teman kami… beberapa dari mereka menyalahkanku. Mengapa aku tidak menjemputnya? Mengapa aku membiarkannya pergi sendirian?”
“Tapi aku lebih menyalahkan diriku sendiri. Aku pikir… siapa pun yang mencintaiku, jika terlalu dekat denganku, akan terluka. Dan aku takut… takut jika aku mencintai seseorang, dia akan hilang juga. Seperti Bunga.”
Kala menatap langit. Bintang bertabur seperti serpihan kenangan.
“Itulah alasan aku tak pernah benar-benar bisa mendekatimu, Senja. Bukan karena aku tak ingin. Tapi karena aku takut akan kehilanganmu, seperti aku kehilangan dia.”
Senja tidak menangis.
Ia menatap wajah Kala lama. Dan, kali ini, bukan dengan luka, tapi dengan pemahaman.
“Terima kasih sudah menceritakannya. Aku hanya ingin kamu tahu, bahkan sebelum kamu cerita ini, Aku tidak pernah membencimu.” Kata Senja.
“Aku tidak memintamu kembali… Aku hanya ingin kamu tahu.” Kata Kala.
Kala menoleh, pelan, dan untuk pertama kalinya, mata mereka bertemu dalam pengakuan yang tidak ingin dimiliki, tapi ingin dimengerti.
–Hari Terakhir di Istanbul–
Pagi itu, Istanbul masih diliputi kabut tipis. Langit pucat, dan aroma laut dari Selat Bosphorus menyelinap ke sela-sela jalan batu tua. Senja bangun lebih awal dari biasanya. Ia berjalan sendiri, membawa jaket panjang dan syal tipis, menuju satu tempat yang kemarin hanya sempat ia lihat sekilas dari jendela mobil: Galata Bridge, jembatan tua yang membelah dua sisi kota, menghubungkan masa lalu dan masa kini. Tak disangka, Kala juga ada di sana. Ia berdiri di ujung jembatan, menatap air yang bergelombang lembut. Sebuah buku kecil di tangannya, catatan penerjemahannya.
Ia tak terkejut melihat Senja. Ia hanya tersenyum kecil, lalu menepuk pagar jembatan pelan mengisyaratkan,
“Kalau kau mau, mari berdiri sebentar bersama.”
Mereka berdiri bersebelahan, memandang kapal kecil yang lewat perlahan di bawah jembatan. Tak ada percakapan besar. Karena mereka tahu, tidak semua akhir harus penuh kata-kata.
“Kita akan pulang hari ini,” kata Senja
Kala mengangguk.
“Ya. Ke kehidupan masing-masing.”
“Tapi… mungkin kita tidak akan benar-benar pulang ke orang yang sama.”
“Mungkin kita pulang sebagai versi kita yang sedikit lebih damai.”
Senja tersenyum.
“Terima kasih… karena sudah jujur kemarin. Karena cerita itu, aku jadi bisa menempatkan segalanya ke tempat yang seharusnya.”
Kala menjawab pelan,
“Dan aku bisa pulang tanpa membawa penyesalan lagi.”
Sebelum mereka beranjak, Senja merogoh tas kecilnya, mengeluarkan sebuah kartu pos bergambar langit Cappadocia yang dipenuhi balon udara. Di balik kartu pos itu, hanya ada satu kalimat:
“Aku tidak pernah menyesal telah mengenalmu, bahkan jika akhirnya kita tidak ditakdirkan untuk saling memiliki.”
Senja menyerahkannya pada Kala. Lalu berbalik perlahan. Kala menatap kartu itu lama. Lalu memasukkannya ke dalam bukunya di antara halaman kosong terakhir.
*****
Beberapa hari setelah kepulangannya dari Turki, Senja kembali menjalani rutinitas. Kelas, membaca, dan urusan dengan penerbit yang masih harus dibahas pasca panel diskusi internasional kemarin.
Hari itu, ia melangkah masuk ke kantor Penerbit Angkasa, dengan niat membicarakan beberapa catatan minor dari buku barunya yang akan segera masuk cetak ulang versi internasional. Ia membawa catatan kecil, dan secangkir kopi dari rumah. Namun baru beberapa langkah di dalam lobi,
sebuah aroma menyambutnya… hangat, pahit, dan lembut sekaligus.
Kopi.
Tapi bukan sembarang kopi. Kopi dengan aroma yang ia kenal baik , aroma yang pernah menemaninya duduk diam di bangku taman, atau saat senja turun perlahan di kota kecil itu.
Senja menghentikan langkahnya sejenak. Matanya menyapu ruangan. Tidak ada yang mencurigakan. Hanya Icha, salah satu editor muda, yang tengah sibuk membuka kemasan cup kopi di mejanya. Senja mendekat sambil tersenyum.
“Kopi itu…” Senja bertanya pelan, nyaris seperti bertanya pada dirinya sendiri.
“Aromanya familiar sekali.”
Icha menoleh cepat, tersenyum cerah.
“Oh! Ini kopi favoritku, Kak. Dari kedai kecil. Namanya Sebelah Senja.”
Dada Senja bergetar pelan. Ia menahan reaksi wajahnya, namun tatapannya mulai kosong.
“Kamu beli disana langsung?” tanyanya, berusaha terdengar biasa.
“Kadang aku pesan online. Tapi kalau lagi libur, aku mampir. Yang punya… agak misterius gitu, tapi enak banget bikin kopinya. Suasananya juga unik, penuh puisi dan bangku taman. Kayak tempat buat melamun.” Jawab Icha.
Senja mengangguk pelan.
Dalam hatinya, hanya satu nama yang muncul: Kala.
Tentu saja. Dia tahu. Aroma ini.
Senja tidak mengatakan apa-apa setelah itu. Ia mengikuti meeting dengan tenang, membahas ulang beberapa bagian dari catatan panel Turki, dan menandatangani dokumen untuk cetak ulang bukunya.
Tapi sebelum pulang, dia kembali ke meja Icha.
“Kau bilang kopi itu dibeli online juga, kan?”
“Iya, mau aku kirimin link-nya?”
Senja mengangguk, tersenyum.
Namun yang lebih dari itu, dia merasa, semesta seolah ingin bilang sesuatu. Bahwa meski mereka memilih jalan masing-masing, Jejak satu sama lain masih menempel. Di aroma, di kata, dan di hal-hal kecil yang tanpa sengaja kembali.
—ketika aroma membawa Senja kembali ke jejak yang dulu ia tinggalkan—
Beberapa hari setelah pertemuan di kantor penerbit, Senja akhirnya memesan kopi itu secara online. Ia tidak tahu apa yang mendorongnya, mungkin rasa rindu yang samar, atau keinginan sederhana untuk mencicipi lagi jejak yang dulu pernah terasa begitu akrab. Lalu, kopinya tiba. Dalam kemasan sederhana berwarna coklat tua, dengan stempel tinta bergambar bangku taman dan sebuah catatan kecil : Sebelah Senja.
“Untuk siapapun yang membaca ini, terima kasih telah memilih merayakan harimu dengan Sebelah Senja, meski mungkin hanya sesaat. Sebab ada yang singkat, tapi tetap tinggal di hati untuk selamanya.”
—K
Senja menatap lembaran itu lama. Tangannya menggenggam erat, tapi tidak gemetar.
Dan pada hari Minggu sore, ia mengambil keputusan kecil untuk mampir ke kedai itu. Bukan untuk bertemu, tapi untuk melihat tempat di mana jejak dirinya mungkin pernah ditinggalkan.
Senja tiba di kedai kecil itu menjelang sore. mengenakan blouse putih dan cardigan hitam membawa tas jinjing kecil, dan satu keinginan dalam hati: Membiarkan kenangan tidak sekadar tinggal di pikiran, tapi mengalir lagi sebentar.
Kedai itu berdiri di sudut yang tenang. Dindingnya bata ekspos dari bagian depan. Halamannya ditumbuhi bunga dan satu bangku di taman belakang.
Di papan kayu depan kedai tertulis:
Sebelah Senja — tempat untuk sunyi yang tak perlu dijelaskan.
Senja melangkah masuk.
Interior kedai hangat dan personal. Rak buku di sisi kiri, lukisan-lukisan kecil di dinding, dan di sudut ruangan… Ruang kenangan, tempat pelanggan boleh meninggalkan foto, puisi, atau secarik kisah.
Di balik meja kasir, seorang pria sedang menyeduh kopi. Punggungnya tegak, gerakannya tenang.
Kala.
Ia menoleh saat mendengar suara lonceng pintu. Wajahnya membeku sebentar, namun cepat ia kembalikan senyum kecil itu. Senyum yang pernah Senja lihat di halte, di taman, di jembatan Istanbul.
Senja berdiri di depan bar. Lalu berkata pelan, “Aku ingin satu kopi, seperti yang dulu pernah aku bawakan di taman. Yang tidak terlalu pahit, tapi bisa menghangatkan sore.”
Kala menatapnya lama. Lalu tersenyum kecil, seolah berkata: “Tentu saja aku masih ingat.”
“Satu Sajian Senja untuk Kak Senja,” jawabnya pelan.
Tak banyak yang dibicarakan hari itu. Setelah kopi diantar, mereka duduk di bangku taman di luar kedai. Bangku yang selalu kosong itu, akhirnya terisi.
Tak bersuara. Tak berusaha menjelaskan.
Karena pada akhirnya, pertemuan ini bukan untuk mengulang cerita lama, Tapi untuk menghormati bahwa keduanya… Masih memilih menjaga satu sama lain,
Dalam bentuk yang paling tenang: kehadiran.
Dan sore itu, saat matahari mulai turun, Senja menyeruput kopi dari Sebelah Senja. Sedangkan, Kala diam-diam memperhatikan langit.
Mereka tahu cinta yang dulu tak bisa disatukan, tapi kini mereka bisa duduk berdampingan tanpa harus saling memiliki.
***
Beberapa minggu setelah Senja berkunjung ke kedai kopi itu, keduanya kembali ke hidup masing-masing. Tak ada janji untuk bertemu lagi. Tak ada pesan yang menggantung.
Namun sore itu, untuk terakhir kalinya, Senja kembali duduk di bangku taman kedai Sebelah Senja.
Kala menyuguhkan secangkir kopi, lalu duduk di sampingnya masih dengan jarak aman,
Seperti kebiasaan mereka sejak dulu. Tidak pernah saling mendekap, tapi selalu hadir dalam diam yang penuh makna.
Langit perlahan berubah warna.
Ungu. Jingga.
Dan, matahari mulai menyentuh garis cakrawala.
“Setelah ini, aku akan pulang. Bukan ke kampung halamanku, tapi benar-benar pulang. Ke diriku sendiri.” Kata Senja pelan.
Kala tersenyum kecil. “Sudah waktunya, ya?”
Senja mengangguk. Ia menatap cangkirnya yang sudah hampir kosong.
Lalu menatap wajah Kala, wajah yang dulu penuh misteri, kini hanya menyisakan keteduhan yang dewasa.
“Terima kasih, karena sudah menjadi bagian dari cerita yang tidak semua orang bisa miliki.” Kata Senja, sedikit menghela nafas di sela-sela perkataannya.
Kala membalas, suaranya lembut. “Dan, terima kasih… karena telah mengubah sunyiku menjadi sesuatu yang bisa kuterima. Aku tidak pernah ingin menahanmu. Hanya ingin kau tahu, namamu akan tetap tinggal, di antara halaman-halaman hidupku yang tenang.”
Senja berdiri. Kala tidak menahan. Ia hanya mengikuti langkah Senja dengan matanya, mata yang tak lagi menyimpan beban, hanya kenangan yang dijaga.
Sebelum melangkah pergi, Senja menoleh sekali lagi.
“Semoga langit kita tetap tenang meski kita tak lagi duduk di bawahnya bersama.”
Kala mengangguk.
Dalam hati Senja berucap,
“Tenang adalah hal terbaik yang bisa kita berikan, setelah cinta yang tak bisa kita miliki.”
Senja pergi.
Kala kembali masuk ke kedainya. Menyeduh kopi untuk pengunjung berikutnya. Dan, langit pun berubah menjadi senja, warna yang selalu menjadi saksi.
Tak ada pelukan.
Tak ada air mata.
Hanya dua jiwa, yang akhirnya benar-benar tahu caranya mencintai tanpa menggenggam. Dan, melepaskan tanpa kehilangan.
Cinta mereka tidak selesai.
Tapi telah sampai.
Bukan pada sebuah kepemilikan, tapi pada kedewasaan untuk membiarkannya tetap hidup.
Dalam diam,
Dalam kenangan,
Dan dalam segala yang tak pernah diucapkan.
Kreator : Resti Nur Afifah
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Kala Senja (7)
Sorry, comment are closed for this post.