Pesona dari raut wajahnya enggan cepat-cepat pergi meninggalkan memori orang-orang yang menyayanginya. Pembicaraan tentangnya masih hangat di antara kami bahkan sebelas tahun setelah Ibu pergi. Kebaikan masih seperti hujan yang terus menyuburkan tanah kering di sekitar mereka yang dibantunya. Entah itu berupa pelunasan SPP tetangga kami yang kekurangan. Sekarung beras untuk bibi tukang cuci. Pinjaman modal untuk tukang sayur langganan. Uang berobat untuk anaknya Bu Ani. Pakaian layak pakai untuk Mpok Juju, Mpok Zuwairiyah dan yang lainnya. Memberikan pekerjaan kepada Mang Jumadi. Tak habis-habis berbagi kesenangan itu, yang konon dilakukannya sejak usia tujuh tahun sampai detik menjelang ajalnya, terus dilakukan.
***
Jam menunjukan waktu tepat pukul satu dini hari. Satu jam lagi Ibu akan dijemput menuju kehidupan abadi. Tak ada firasat yang muncul darinya beberapa waktu menjelang hari kematian itu. Aku sempat berkunjung pada hari Rabu dan kisah ceria masih mengalir ketika kami duduk berdua di teras samping. Aku asyik mendengarkan cerita yang tak pernah bosan-bosan dia utarakan, tentang kesehariannya atau sesekali berkeluh kesah tentang Bapak. Hahaha.. Hal yang amat sangat dapat dimaklumi untuk mereka yang telah menikah 39 tahun.
***
Pukul dua dini hari, sudah menjadi kebiasaannya bangun di sekitar waktu ini untuk melaksanakan shalat malam. Ibu bangkit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar untuk mengambil air wudhu terakhir agar dapat segera shalat tahajjud yang ternyata tak pernah dilaksanakannya.
Ketika Ibu keluar dari kamar mandi, Bapak pun sudah terbangun. Rencananya hari ini seperti kebanyakan umat muslim di seluruh dunia, mereka akan sahur hari pertama Ramadhan 1434 H bersama. Tetapi ketika berpapasan dengan Ibu, tubuh wanita yang tampak masih segar bugar dalam usainya ke-62 tahun itu lunglai, langsung terjatuh dalam pelukan Bapak.
***
Sekitar pukul 2.30 kijang hijau menderu memecah malam. Bapak sendiri yang menyupir. Di belakang Ibu dipapah oleh dua orang mbak yang telah bekerja lama di rumah kami. Tujuannya rumah sakit terdekat. Setelah melalui standar proses pemeriksaan, dokter menyatakan Ibu telah wafat. Inna lillahi wa inni illaihi rajiun. Tercatat pada surat keterangan kematian wafat pukul 03.00 hari Rabu tanggal 10 Juli 2013. Hari itu bertepatan dengan 1 Ramadhan.
***
Pagi itu rumah kami dipenuhi para pelayat. Aku tak beranjak dari dipan tempat jenazah Ibu disemayamkan. Tak henti aku ciumi keningnya hingga kehangatan berangsur-angsur lenyap dari sana.
Sesekali aku memperhatikan para pentakziah: Bu Eha, Mpok Ipah, Pak Rahmat, Bu Gani, Bu Juleha, Pak Bahlawan, Pak Agus, Ustadzah Aisyah hingga Pak RT. MaasyaAllah mereka jauh lebih senior dari Ibu. Dalam tidur panjangnya pun Ibu masih tampak segar, wajahnya bening. Batinku menggugat: “Kenapa ia pergi lebih dulu ya Allah?!?”
Rekan-rekan Bapak dan Ibu dari instansi tempat mereka bekerja dulu banyak yang hadir di rumah maupun pemakaman. Ada yang dituntun suster, ada yang tertatih dibantu berjalan oleh tongkat di tangan kanan. “Ibuku sehat, ya Allah tidak kurang suatu apa pun!” Jika keimanan tak segera menguasai diri, bahwa Allah menciptakan hidup dan mati sebagai ujian bagi orang beriman mungkin gugatan demi gugatan akan terus aku lontarkan. Bahkan kesedihan yang amat sangat ini dapat membuncah menjadi gusar dan tak ikhlas menerima takdir.
***
Pukul 13.00 setelah zuhur, prosesi pemakaman berjalan khidmat. Kerabat yang hadir menguatkan kami lalu berpamitan satu per satu. Aku tak segera beranjak dari pusara yang tertimbun mawar melati. Sengaja kutunggui hingga semua pergi. Ketika tak seorang pun ada di dekatku, baru kuputuskan bangkit dari tempat jazad perempuan tercintaku dikebumikan. Perempuan yang sangat aku kasihi. Ibu yang tak akan pernah tergantikan perannya dalam hidup sepanjang hayat.
Saat menjauh, aku hitung langkah perlahan. Pada hitungan ketujuh aku pejamkan mata untuk memanjatkan doa semoga Allah memudahkan urusan Ibu selanjutnya. Batin ini sungguh pedih. Ibu tak pernah bepergian seorang diri. Selalu aku yang menyupirinya atau diantar Adik dan Mbak di rumah. Sejak aku menikah, jarang sekali ia mau diajak bermalam di rumahku.
“Kasihan Bapak sendirian,” katanya.
“Lalu kenapa hari ini Ibu meninggalkan Bapak?” kembali batinku menggugat.
***
Pukul 17.30. Sore itu kami bertiga duduk dalam diam. Tenda masih berdiri di halaman rumah. Kursi-kursi sudah dirapikan, disusun menjadi satu di sisi garasi. Tiga puluh menit lagi waktu maghrib. Soto ayam kuning sudah siap disantap. Masakan yang terakhir kalinya sempat Ibu masak. Mungkin rencananya akan dimakan saat sahur berdua dengan Bapak. Tapi kenyataannya kami yang menikmati soto ayam itu tanpa didampingi Ibu.
***
Beberapa hari setelah Ibu meninggal, suster anakku mengingatkan, “Bu, ingat tidak sebelum puasa setiap lewat makam Ibu bilang, nanti kalau bulan puasa akan sering berkunjung ke makam.” Aku tercenung, inikah firasat. Niat ketika berucap adalah untuk mengunjungi makam kakek nenek. Bukan makam Ibu.
Usiaku 38 tahun pada tahun 2013. Umur yang sudah cukup dewasa bahkan aku telah memiliki dua orang puteri. Tapi rasa sedih yang selalu menusuk khususnya setiap habis Isya menghujam ke dalam dada sepertinya hadir tidak perduli tanpa mempertimbangkan kedewasaan. Aku selalu was-was, bertanya-tanya dalam hati ke mana jiwa Ibu pergi. Ketika berusaha menemukan jawabannya di dalam Al Quran, saat kubuka kitab suci ini yang pertama kali terbaca adalah Surat Ali Imran Ayat 169.
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.”
***
Ramadhan 1445 H. Sebelas tahun setelah Ibu wafat. Dan, Bapak pun telah menyusul Ibu enam tahun setelah kematiannya. Aku berdiri di sisi pusara dua orang yang menjadi perantara kelahiranku di muka bumi. Mereka berbagi makam dan nisan yang sama.
Di kepalaku menyelinap terjemahan Surat Al Fajar Ayat 27-30.
“Wahai jiwa-jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan jiwa yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.”
Ibu… Bapak… suatu saat kami pasti akan menyusulmu memenuhi panggilan Illahi.
Kreator : Dini Masitah
Comment Closed: Kami akan Menyusul
Sorry, comment are closed for this post.