KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Kampungan Merata

    Kampungan Merata

    BY 17 Okt 2024 Dilihat: 172 kali
    Kampungan Merata_alineaku

    Ardo bertanya kepada Nindi, sahabatnya.

    “Nind, lo sadar nggak, penyakit paling berbahaya di dunia ini bukan flu burung atau demam berdarah.”

    “Oh, iya? Terus apa? Aku tebak, penyakit ‘nanya password Wi-Fi di kafe sebelum pesen minum’?” Nindi balik bertanya.

    “Bukan, Nind. Yang gue maksud itu, penyakit penyangkalan. Lo tau kan, yang kayak orang bilang ‘Oh, gue nggak tahu!’ padahal sebenernya tahu banget. Itu semacam virus yang menular, dan lucunya, melintasi batas-batas kelas sosial!”

    “Hah? Maksud lo, penyakit ini nggak cuma buat orang-orang yang biasa dikira ‘kurang info’ gitu?”

    “Nah, dulu kita pikir gitu. Endemik di kalangan masyarakat kelas bawah. Tapi, sekarang virus ketidakjujuran ini udah nyampe ke elit, Nind. Mereka malah makin jago bikin alasan dan nyelipin frasa ‘Nggak tahu’ di tiap kesempatan. Yang penting tampak polished, meski otaknya kayak lagi buffering,” jelas Ardo.

    “Hahaha, jadi elit juga kena demam ‘pure denial’, ya? Mereka kayak punya antivirus buat tanggung jawab, tapi bukan antivirus buat kebohongan!”

    Ardo mengiyakan, “Iya, kayak gitu. Sekarang semua lapisan kena. Penyakit denial globalisasi, Nind!”

    Kemudian lanjutnya, “Nin, kamu tahu nggak soal skandal keuangan yang bikin geger dunia? Yang kayak Panama Papers dan Paradise Papers itu. Jerman. Jerman. Tahun 2021.”

    “Oh, yang tokoh-tokoh penting dunia pura-pura ‘nggak tahu’ soal duit di akun offshore mereka? Duh, klasik banget deh. Pola denial-nya itu udah kayak template gitu,” jawab Nindi.

    “Iya, tepat banget! Misalnya, mantan Perdana Menteri Islandia, Sigmundur Davíð Gunnlaugsson—langsung lengser gara-gara ketahuan main akun offshore buat ngehindarin pajak.”

    Nindi mengiyakan, “Iya, aku ingat tuh. Waktu ketahuan, dia langsung bilang ‘nggak tahu apa-apa’ padahal jelas-jelas rekeningnya ada di sana, ya kan? Kayak bilang, ‘Aduh, aku kira itu cuma tabungan buat liburan musim panas, bukan buat ngelindungin uang dari pajak negara!’”

    Lanjut Ardo, “Dan lucunya, bukan cuma dia yang begitu. Semua yang terlibat, dari politisi sampai selebriti, bilang ‘nggak tahu.’ Yang paling parah, mereka malah nyalahin konsultan keuangan mereka. Seolah-olah mereka kayak, ‘Eh, aku kan cuma nyuruh nabung, kok jadi main pajak begini?’“

    “Bener banget! Padahal jelas-jelas mereka ngerti skemanya. Udah kayak main catur finansial level dunia, tapi begitu ketangkep bilangnya ‘Aku nggak ngerti peraturannya.’ Hebat, kan? Jenius banget deh mereka. Huh. Gemes aku,” Nindi tampak sangat geram.

    “Ya, denial mereka itu emang sistematis banget. Kalo kita yang ngomong kayak gitu, udah pasti kena. Tapi ya, beginilah dunia. Yang penting bilang nggak tahu, beres deh!” Ardo nyinyir.

    “Ardo, kamu tahu nggak sih cerita tentang Eduardo Cunha, politisi Brasil yang katanya lupa punya rekening luar negeri?” Nindi tak kalah melucu.

    “Hah, lupa punya rekening luar negeri? Serius? Aku aja nggak pernah lupa saldo GoPay, apalagi rekening luar negeri!” Ardo terkejut.

     “Iya, Lucunya bilang dia nggak tahu rincian operasional rekening itu. Padahal, setelah diusut lebih lanjut, ternyata dia aktif banget pakai rekening itu buat sembunyiin aset-asetnya. Dasar!” lanjut Nindi.

     “Wah, klasik banget. Jadi dia pura-pura nggak tahu sambil asik transfer-transfer? Gaya denial-nya lumayan, nih. Taktik ‘saya tidak tahu, Pak Hakim’ memang sering dipakai buat ngulur waktu, sengaja, biar publik adem dulu,” Ardo membocorkan salah satu trik.

    “Iya, dan itu trik yang udah sering dipakai elit politik. Mereka pakai tameng ‘tidak tahu’ biar nggak kena semprot massa, padahal sebenarnya semua sudah direncanakan dengan rapi. Ini penyakit denial yang udah menular ke seluruh dunia elit,” Nindi menyimpulkan.

    “Jadi, ini bukan sekedar lupa lagi, tapi strategi. Gilanya, yang seharusnya jadi panutan malah jadi aktor utama korupsi. Kaya bilang, ‘Saya elite, tapi ya begitulah, korban kebijakan juga’. Padahal mereka main licik demi keuntungan pribadi.”

    “Bener banget, Do. Dan ini nggak cuma di Brasil, tapi global. Kekayaan dan kekuasaan bikin mereka keblinger. Mereka berani ambil resiko besar, bahkan walaupun tahu bakal dihujat publik. Demi apa? Duit, cuy,” ujar Nindi dan lanjutnya,“Sama reputasi yang jadi taruhan. Tapi ya, dengan strategi denial model begitu, mereka bikin orang bingung sendiri. ‘Oh, dia nggak tahu, kasian juga.’ Padahal, di belakang layar, mereka lagi ketawa-ketawa sambil hitung duit. Iya, kaya bilang ‘Lupa naruh duit di rekening luar negeri’ sama dengan ‘Lupa ada makanan di kulkas.’ Yang jelas, ini udah jadi bagian dari budaya korupsi elit di seluruh dunia. Selalu aja ada yang siap ngeles kalau ketahuan.”

    “Dan publik? Paling cuma bisa bilang, ‘Ya namanya juga elite, beda level kesalahannya.’ Untung aja aku bukan elite. Mungkin pernah lupa bayar tagihan listrik, tapi nggak akan sampai lupa lah kalau punya rekening di luar negeri!” balas Ardo seraya tertawa, dan sambungnya lagi sambil tersenyum miring, ”Nin, tahu nggak, strategi penyangkalan itu kayak senjata andalan para elit korupsi. Mereka tuh kayak punya skrip rahasia. Contoh deh, ada menteri di sebuah negara Asia Tenggara, yang korupsinya besar-besaran. Pas kasusnya kebongkar, bukannya ngaku, dia malah bilang, ‘Gue cuma korban kebijakan ekonomi global yang rumit’. Bener-bener mind-blowing, kan?”

    Nindi tertawa kecil,“Ya ampun, korban katanya! Jadi dia maling miliaran dolar tapi merasa cuma ikut-ikutan aja? Serius?”

    “Nah, itu dia! Dalihnya, ‘kebijakan buat kesejahteraan negara’. Padahal, yang sejahtera ya rekening bank dia sendiri! Yang bikin lucu, dia bener-bener percaya kalau narasi itu bisa nutupin jejak. Kayak dia mau bikin orang lupa kalau uangnya ngalir langsung ke kantong pribadi,” Ardo pintar menyindir juga.

    “Wah, hebat juga ya, manipulasi narasi publik level dewa. Korupsi, tapi tetap tampil sebagai ‘pahlawan’. Keren nggak tuh?” ujar Nindi.

    Sambil berlagak serius Ardo berkomentar, “Bener banget, Nin. Ini bukan cuma soal duit—ini soal jago ngatur cerita. Si menteri itu tetap keras kepala, nggak ngaku salah, meskipun udah kepergok basah kuyup. Media bongkar habis, publik ngamuk, tapi dia malah bilang, ‘Gue nggak sengaja, Bro’.

    Nindi tertawa terbahak dan berkata, “Gimana bisa nggak sengaja ngegelapin miliaran? Salah ketik nominal transfer gitu?”

     Sambil mengangkat bahu dengan santai Ardo menjawab,“Mungkin pas mau ketik seratus ribu, dia nggak sengaja nambahin sembilan nol lagi. Kan bisa aja? Teknologi, gitu loh.”

    “Iya, ya? Teknologi memang jahat. Bisa bikin orang kaya nggak sengaja. Tapi sayangnya, makin lama dalihnya nggak mempan. Publik makin pintar, apalagi gerakan anti-korupsi tuh terus ngejar, investigasi sana-sini. Dan boom, bukti baru keluar. Aliran dana gelap langsung nyambung ke keputusan-keputusan si menteri.”

    Ardo mengangguk sambil berdecak, “Yap. Lama-lama, strategi penyangkalannya jebol juga. Media makin kenceng, rakyat makin bising, tekanan politik makin terasa. Bahkan rekan politiknya mulai menjauh, takut ketarik dalam pusaran korupsi ini.”

    Nindi membalas, “Ya, wajar sih, reputasinya udah ancur. Bayangin, yang dulunya dielu-elukan sebagai pemimpin sukses, sekarang jadi bahan meme di media sosial.”

    Ardo menyela dengan berkata, “Dan akhirnya, dia nggak bisa ngelak lagi. Hakim menjatuhkan vonis berat. Efek jera, katanya. Padahal, ujung-ujungnya, efek terhibur bagi kita, si penonton. Drama penyangkalannya kalah dengan bukti.”

    “Tapi bener juga, ya. Strategi denial itu kayak serial TV yang gagal season terakhirnya. Awalnya seru, penuh twist, tapi makin lama plotnya bolong-bolong dan ketebak,” Nindi menjelaskan.

    “Yah, memang begitu dunia korupsi, Nin. Penuh dengan plot twist yang memaksa kita berpikir… sampai ingat kalau mereka cuma sedang akting buruk aja. Nindi, pernah nggak sih kamu merasa kalau pejabat-pejabat kita tuh suka main ‘petak umpet’? Maksudku, kalau udah ketangkep basah korupsi, bukannya ngaku, malah nyalahin yang lain. Terus ujung-ujungnya bilang, ‘ini demi kepentingan rakyat’. Rakyat yang mana ya? Rakyat imajiner?”

    “Haha, iya! Mereka kayak punya kamus sendiri. Kata ‘korupsi’ di kamus mereka tuh artinya ‘pemerataan ekonomi’ kali ya. Solusinya? Transparansi dan akuntabilitas, dong. Kita butuh lembaga independen yang nggak cuma namanya aja besar, tapi juga wewenangnya. Kalau keuangan negara nggak diawasi bener-bener, ya makin lama makin ‘kempes’ kantong rakyat!” jawab Nindi.

     “Setuju. Dan jangan lupa, kita juga butuh regulasi yang lebih ketat soal konflik kepentingan. Biar nggak ada lagi tuh pejabat yang sempet-sempetnya korupsi sambil bilang, ‘ini untuk anak cucu’. Anaknya siapa? Anak tetangga sebelah?”

    Nindi menjawab, “Iya, makanya pendidikan anti-korupsi tuh penting! Dari sekolah sampai tempat kerja. Biar dari kecil udah tahu, korupsi itu nggak keren. Integritas tuh kayak vitamin C buat masyarakat, harus rutin diminum biar nggak gampang ‘sakit’ moral.”

    “Pas banget! Dan yang lebih penting lagi, penegakan hukum yang tegas, tanpa tebang pilih. Jadi, kalau ada yang ketangkep korupsi, nggak peduli seberapa banyak followers Instagram mereka atau seberapa viral ‘quotes bijak’ mereka, hukum tetap jalan. Gimana mau bersih kalau pelaku korupsi cuma dihukum seminggu, itupun di ‘villa mewah’?”

    “Bener. Kasus ini ngingetin kita bahwa kekuasaan dan kekayaan mungkin bisa jadi tameng sementara, tapi kebenaran pada akhirnya bakal tembus juga. Strategi penyangkalan itu cuma bertahan di jangka pendek. Di jangka panjang, tekanan publik dan hukum bakal menang,” Nindi meramalkan masa depan dengan penglihatan intuisinya yang tajam.

    Ardo menimpali, “Makanya, reformasi sistem itu wajib. Tapi yang lebih penting, partisipasi masyarakat juga. Kalau kita semua berperan aktif, masa depan bisa lebih cerah. Jangan sampai deh kita terjebak di pola yang sama.”

    “Iya, tapi di Indonesia, pola itu udah kayak template! Pejabat kena kasus, menyangkal, nyalahin pihak lain, terus pake dalih ‘demi rakyat’. Lucunya lagi, ada juga yang masih percaya sama mereka! Kadang aku heran, ini rakyatnya yang terlalu sabar, atau udah kebal sama janji-janji kosong sih?” Nindi mengeluhkan.

    “Sayangnya itu benar. Di satu sisi, masyarakat kita ada yang makin kritis, vokal, bahkan protes di media sosial. Tapi di sisi lain, ada yang masih kebawa narasi pejabat. Mungkin karena sentimen politik atau nggak dapet informasi yang akurat. Mereka tuh kayak masih mendukung pejabat korup walaupun udah ada bukti jelas, kayak, ‘Gak papa, asal pemimpinku.’“

    “Benar! Padahal, kalau nggak ada perubahan sistem dan kita tetap diem aja, kita bakal terus-terusan ada di siklus korupsi dan penyangkalan ini. Kasus-kasus serupa bakal terus muncul, dan ujung-ujungnya kita lagi yang kena imbasnya,” ujar Nindi.

    Ardo mengiyakan, “Iya. Jadi, intinya, kita butuh reformasi sistem yang mendalam, masyarakat yang melek informasi, dan pejabat yang nggak sekadar jadi ‘aktor drama penyangkalan’. Kalau nggak, ya siap-siap aja nonton ‘serial korupsi’ berikutnya! Nindi, lo tahu nggak, masalah terbesar kita tuh sebenarnya apa sih?”

    “Ya jelas tahu, korupsi kan? Itu mah udah bukan rahasia umum lagi, Do.”

    “Bener, tapi ada yang lebih mendasar. Titik masalahnya itu, pertama, budaya patronase dan loyalitas politik yang kental banget. Jadi, meskipun ada pejabat yang ketahuan korup, mereka tetap dilindungi sama pendukungnya. Ibaratnya, lo salah juga, asal ‘keluarga besar’ ngedukung, aman lah!” jelas Ardo.

    “Oh iya, itu yang namanya ‘asal gue kenyang, gue tenang’. Kalau pejabatnya masih ngasih ‘jatah’ ke masyarakat, ya didiemin, malah dibela. Persis kayak fans berat yang nggak peduli idolanya ngapain, yang penting gue dapat manfaat,” ujar Nindi.

    “Nah, yang kedua, penegakan hukum kita juga lemah, Nind. Ada sih KPK, tapi seringkali kalah sama yang namanya tekanan politik atau duit. Banyak kasus macet di tengah jalan, kayak drama seri yang nggak ada ending-nya. Jadi, korupsi kayak jadi dosa yang bisa diampuni, asal lo punya kekuatan modal,” lanjut Ardo.

    “Jadi gini, selama masih ada ‘uang tutup mulut’ atau ‘lobi-lobi politik’, hukum itu cuma pajangan ya, Do? Kayak papan peringatan ‘Dilarang Buang Sampah’, tapi jelas-jelas tempat sampahnya nggak ada,” ujar Nindi.

    Exactly. Ketiga, pendidikan masyarakat tentang integritas dan anti-korupsi masih belum maksimal. Banyak yang anggap korupsi cuma urusan politik. Padahal, dana publik yang dikorupsi itu langsung berdampak ke kehidupan sehari-hari. Pendidikan jelek, infrastruktur berantakan, kesehatan? Jangan tanya!”

    “Iya, ya. Masyarakat bawah sering nggak sadar, dana yang dikorupsi itu sebenarnya hak mereka. Tapi karena merasa ‘ah, gue dapet untung juga dari si pejabat’, jadi yaudah, dibiarin.”

    “Solusinya tuh mesti sistemik, Nind. Reformasi hukum harus ditegakkan, lembaga anti-korupsi harus independen, dan masyarakat juga mesti kritis. Jangan cuma ngandelin lembaga formal, tapi juga aktif lewat advokasi, media sosial, apapun itu.”

    “Betul. Dan pendidikan anti-korupsi itu harus dari akar, bukan cuma teori di sekolah, tapi lewat kampanye publik yang menyeluruh. Tapi masalahnya, Do, kalau pejabat masih mikir ‘bisa diatur’ ya reformasi itu cuma wacana.”

    “Tapi ada secercah harapan kok. Menurut survei, Gen Z kayak kita ini nih, mulai lebih kritis soal korupsi. Sekitar 65% anak muda kayak kita ini udah anti banget sama korupsi. Walau, yaa, di lapisan bawah masyarakat masih banyak yang mikir korupsi itu ‘normal’, apalagi kalo buat dapetin akses cepat ke layanan publik,” Ardo menjelaskan.

    “Iya sih, tapi tantangan terbesar itu memang di masyarakat bawah. Mereka udah terikat sama sistem patronase. Jadi, selama masih ada ‘manfaat langsung’, kayaknya bakal susah lepas dari kebiasaan itu,” Nindi mencermati.

    “Makanya, solusi nggak cuma dari atas, tapi juga dari bawah. Masyarakat bawah perlu diberdayakan, dikasih akses ke informasi yang lebih luas, pelatihan soal hak-hak warga negara, dan keterlibatan langsung dalam pengawasan. Intinya, perubahan harus terjadi di semua lapisan,” Ardo bersemangat.

    “Hmm… Jadi kalo nggak ada partisipasi semua pihak, ya ujung-ujungnya kita cuma bakal ngeluh di warung kopi sambil bilang, ‘Ya, namanya juga Kampungan Merata,“ sindir Nindi.

    “Hahaha, bener banget! Kampungan Merata! Itu kan alasan sejuta umat.”

     

    Pesan Moral:

    Enggan mengakui kesalahan dengan berpura-pura tidak tahu atau berdalih ‘tidak tahu’ adalah sikap kampungan, yang tidak hanya dipertontonkan oleh masyarakat kelas bawah, tetapi juga oleh mereka yang seharusnya duduk di kursi empuk kelas sosial ekonomi atas. 

    Parahnya, sikap ini justru menegaskan bahwa mereka resmi menjadi warga kelas bawah. Kalau korupsi itu olahraga, mungkin para pelakunya sudah dapat medali emas di tiap kejuaraan dunia. Tapi, ingat, main curang di lapangan publik itu beda sama main monopoli di rumah. 

    Di monopoli, kamu bisa kabur dari penjara pakai ‘kartu bebas,’ tapi di dunia nyata, kartu bebas itu namanya reformasi hukum dan transparansi.

    Sementara Gen Z di Indonesia kini bukan sekadar generasi yang sibuk bikin TikTok dance, mereka juga asyik bikin ‘laporan anti-korupsi’ viral. Jadi, kalau masih berpikir bisa sembunyi di balik setumpuk alasan dan klaim ‘saya hanya korban kebijakan,’ siap-siap aja! 

    Gen Z bakal bikin korupsi jadi tren yang out of style, secepat mode celana cutbray! Di dunia korupsi, ada satu mantra yang sering diulang-ulang: ‘Saya tidak tahu!’ Seolah-olah mereka hidup di gua Plato, di mana bayangan adalah kenyataan. Jika ‘tidak tahu’ itu bisa dijadikan kursus, pasti sudah banyak yang ambil S1. Tapi, di dunia nyata, kata ‘tidak tahu’ itu sama kayak main petak umpet di tengah lapangan dimana semua orang bisa lihat, tapi kita yang bersembunyi malah cuek.

    Gen Z sudah pakai kacamata anti-korupsi yang bikin mereka mampu melihat jelas siapa yang bersembunyi di balik jargon ‘kebijakan yang kompleks.’ Mereka bilang, ‘Eh, jangan pakai ‘tidak tahu’ untuk lepas tanggung jawab! Kecuali kamu bercanda dalam video TikTok, itu baru lucu!’ 

    Jadi, buat para tokoh yang hobi berkata ‘tidak tahu,’ ingat: kamu mungkin bisa mengelak dari hukum, tapi kamu nggak bisa mengelak dari challenge Gen Z yang siap viral dan bikin kamu jadi meme seumur hidup! 😄

     

     

    Kreator : Adwanthi

    Bagikan ke

    Comment Closed: Kampungan Merata

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021