Kerinduan akan kebaikan dan pengampunan adalah perasaan mendalam yang hadir dalam diri setiap manusia. Kita semua, dalam berbagai momen kehidupan, merasakan keinginan untuk berada di dunia yang penuh dengan kebaikan, di mana orang-orang saling menghargai dan memberikan yang terbaik satu sama lain. Namun, ada sebuah realitas yang sering kali terlupakan: kerinduan ini bukanlah sesuatu yang bisa kita capai hanya dengan berharap. Kebaikan yang kita idamkan harus diwujudkan melalui tindakan nyata, karena seperti yang dikatakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles, “Kebajikan adalah kebiasaan; kita adalah apa yang kita lakukan secara berulang.”
Kebaikan bukanlah sesuatu yang datang dari luar, tetapi sesuatu yang harus kita ciptakan dari dalam diri kita. Ketika kita merindukan kebaikan, sebenarnya kita sedang merindukan suatu keadaan di mana kita sendiri adalah pelaku kebaikan tersebut. Dalam konteks ini, kita bisa merujuk pada pemikiran Mahatma Gandhi, yang terkenal dengan ucapannya, “Jadilah perubahan yang ingin kamu lihat di dunia.” Ucapan ini menggarisbawahi pentingnya tindakan dalam mewujudkan kebaikan yang kita rindukan. Kebaikan tidak akan datang dengan sendirinya; kita harus berusaha menciptakannya melalui perbuatan-perbuatan kecil yang kita lakukan setiap hari.
Namun, di sinilah letak tantangannya. Manusia seringkali terjebak dalam sikap menunggu. Kita menunggu orang lain untuk berbuat baik kepada kita, berharap untuk diperlakukan dengan adil dan dihargai. Kita lupa bahwa kebaikan adalah sebuah siklus, yang dimulai dari diri kita sendiri. Ketika kita melakukan kebaikan, kita menanam benih yang suatu saat akan tumbuh dan kembali kepada kita dalam bentuk yang mungkin tidak kita duga. Dalam hal ini, kita dapat merujuk pada konsep “karma” dalam filsafat Hindu dan Buddha, yang mengajarkan bahwa setiap tindakan yang kita lakukan akan membawa konsekuensi, baik dalam kehidupan ini maupun kehidupan yang akan datang.
Sebagai contoh, kita sering berharap untuk dimaafkan ketika melakukan kesalahan. Kita menginginkan orang lain untuk memahami dan memaafkan kita, menghapus rasa bersalah yang kita rasakan. Namun, di sisi lain, kita sendiri sering kali sulit untuk memaafkan orang lain. Kita menyimpan dendam, marah, dan sakit hati, tanpa menyadari bahwa sikap ini justru menambah beban bagi diri kita sendiri. Dalam konteks ini, kita bisa merujuk pada pemikiran filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, yang mengatakan, “Seseorang harus memiliki kekuatan untuk melupakan agar dapat bertahan hidup.” Pengampunan adalah tindakan yang membebaskan, baik bagi yang memaafkan maupun yang dimaafkan. Ini adalah cara untuk melepaskan beban emosi negatif dan membuka jalan bagi penyembuhan.
Pengampunan juga berkaitan erat dengan konsep “Amor Fati,” yang diterjemahkan sebagai “cinta pada takdir,” sebuah ide yang dipopulerkan oleh Nietzsche. Ini adalah penerimaan total terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita, baik itu kebaikan maupun keburukan. Dengan memaafkan, kita tidak hanya menerima kesalahan orang lain tetapi juga menerima takdir kita sendiri, termasuk segala penderitaan yang mungkin ditimbulkannya. Ini adalah bentuk tertinggi dari cinta dan penerimaan, yang memungkinkan kita untuk melanjutkan hidup tanpa membawa beban masa lalu.
Prinsip ini, yakni berbuat baik ketika kita merindukan kebaikan dan memaafkan ketika kita berharap dimaafkan, mengajarkan kita untuk menjadi lebih aktif dalam menciptakan dunia yang kita inginkan. Filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre, dalam pandangannya tentang eksistensialisme, menekankan bahwa manusia bebas untuk menentukan nasibnya sendiri melalui tindakan. “Manusia dikutuk untuk bebas; karena setelah dilemparkan ke dunia, dia bertanggung jawab atas segala yang dia lakukan,” kata Sartre. Artinya, kita memiliki tanggung jawab penuh atas tindakan kita dan atas bagaimana kita memilih untuk merespons dunia di sekitar kita. Jika kita ingin dunia yang penuh kebaikan, kita harus bertindak dengan kebaikan. Jika kita mendambakan pengampunan, kita harus terlebih dahulu belajar untuk memaafkan.
Kreator : Wista
Comment Closed: Kebaikan dan Pengampuana
Sorry, comment are closed for this post.