Aroma laut yang khas bercampur dengan wangi tanah basah menyambut kedatangan Febriana dan Michelle di Pulau Keakwa. Dua perempuan muda dengan semangat membara, diutus oleh gereja mereka untuk melayani masyarakat di pesisir Timika, Papua. Febriana, gadis enerjik berdarah Makassar, terbiasa dengan hiruk pikuk kota besar tempatnya lahir dan dibesarkan. Sementara Michelle, dengan senyum lembutnya, adalah gadis Minahasa yang besar di Tomohon, kota bunga yang sejuk di kaki Gunung Lokon.
Perbedaan latar belakang dan budaya menjadi tantangan pertama yang harus mereka taklukkan. “Kelas Pasir” yang mereka adakan di halaman rumah sederhana mereka, menjadi saksi bisu perdebatan kecil tentang metode mengajar, pemilihan lagu rohani, bahkan soal selera makan. Namun, tekad untuk berbagi ilmu dan kasih kepada anak-anak Pulau Keakwa, perlahan meleburkan ego mereka.
Tantangan semakin nyata ketika mereka mulai mengajar di SD satu-satunya di pulau itu. Pak Markus, guru pensiunan yang telah puluhan tahun mengabdi, menyambut mereka dengan hangat. Namun, kondisi sekolah yang memprihatinkan, kekurangan buku dan alat tulis, serta siswa dari kelas satu sampai enam yang digabung dalam satu ruangan, membuat hati mereka terasa seperti teriris.
“Sabar, Nak,” kata Pak Markus suatu hari. “Mengajar di sini butuh hati seluas lautan yang mengajarkan kita tentang kesabaran dan hutan bakau yang mengajarkan kita tentang keteguhan.”
Febriana dan Michelle belajar banyak dari Pak Markus. Mereka belajar beradaptasi dengan bahasa lokal, menciptakan permainan edukatif dari bahan-bahan alam, dan mendekati anak-anak dengan cinta dan pengertian. Mereka menyadari, mengajar di Pulau Keakwa bukan hanya tentang mentransfer ilmu, tapi juga tentang menanamkan impian dan harapan.
Tantangan terbesar datang setiap tahun ajaran, saat ujian akhir sekolah tiba. Anak-anak kelas 6 harus pergi ke ibukota kabupaten, menempuh perjalanan panjang dan berbahaya. Perahu kayu sederhana akan menyusuri sungai yang dihuni buaya, lalu melewati pantai dengan ombak yang tak terduga, hujan deras dengan angin kencang kadang menyerang tanpa ampun. Perjalanan yang sulit namun tak berarti mustahil dilalui.
“Semoga pasang besar ini cepat surut,” gumam Michelle cemas, sambil membantu anak-anak menaiki perahu. Pasang besar air laut seringkali mengisolasi Pulau Keakwa selama berhari-hari tak nampak daratan. Air tawar untuk masak dan minum hanya berharap dari hujan yang turunnya tak dapat diprediksi.
Febriana, dengan keberaniannya, mencoba menenangkan Michelle dan anak-anak. “Tuhan beserta kita,” katanya mantap. “Kita pasti selamat dan berhasil melalui semua ujian ini,”
Sepulang ujian, rasa syukur dan haru menyelimuti mereka. Melihat senyum bangga di wajah anak-anak yang berhasil lulus, membuat semua perjuangan dan pengorbanan yang didedikasikan terasa sepele. Mereka bukan hanya guru, tapi juga kakak, teman, dan ibu bagi anak-anak Pulau Keakwa.
“Kelas Pasir” pun semakin berkembang. Tak terasa, masa pelayanan Febriana dan Michelle akan segera berakhir. Namun, agar pendidikan anak-anak di pulau Keakwa ini tak terputus, dua orang Misionari berikutnya datang menggantikan pelayanan yang telah mereka berdua pelopori .
Berita tentang Dua Misionari di Pulau Keakwa menyebar ke pulau dan desa lain, menjadi kesaksian hidup yang menginspirasi banyak orang. Febriana dan Michelle, dua perempuan muda dari dunia yang berbeda, telah bersatu dalam satu misi mulia yang menaburkan ilmu, cinta, dedikasi dan persahabatan dalam pelayanan yang tulus.
Kreator : Vidya D’CharV (dr. Olvina ML.L. Pangemanan, M.K.M.)
Comment Closed: Kelas Pasir di Pulau Keakwa
Sorry, comment are closed for this post.