Pombakka, sebuah dusun yang jauh dari keramaian, penduduknya berladang, pekarangan rumah masih banyak yang kosong.Tahun 1991 keluarga kecil Pak madong merayakan kehadiran bayi kecil mungil, berkulit coklat hampir ungu itu di pagi buta diiringi rintik hujan yang menuai dingin. Bayi mungil itu di dekap erat oleh Pak Madong yang baru saja membantu istrinya mengeluarkan bayinya keluar dari rahimnya. Kemudian dipotongnya ari-ari bayi itu dicuci hingga bersih, dan dibungkus erat. Lengkingan suara bayi membangunkan keempat kakak-kakaknya luput dari tidurnya.
Hai….. Adik kita sudah lahir, ayo kita tengok Mama di tempat tidurnya”.Ayo kata Karin si sulung.
Sambil menarik tangan adiknya Salma dan Ammang. Adiknya Mina yang baru berumur 2 tahun dibiarkan masih tergolek di tempat tidur yang dialasi tikar pandan.
“Hu…hu..hu… kakak ikut, tunggu” Mina yang masih cadel itu menangis karena merasa ditinggalkan oleh ketiga kakaknya.
Karing yang masih berusia 8 tahun itu, jika dia sekolah sudah duduk di bangku kelas 3 SD, segera menahan langkahnya dan membiarkan kedua adiknya menuju tempat tidur ibunya yang disekat dengan kain sarung kotak-kotak. Karing lalu meraih Mina.
” ayo! Naik di punggungku, kudengeko!” Kata Karing pada adiknya Mina. Mina pun menurut perintah kakaknya dan dibawa berkumpul di tempat ibunya. Salma dan Ammang melompat kegirangan.
“Hore …hore… hore …adik kecil lahir…. adik kecil lahir”
Sambil melompat-lompat di depan dipan tempat ibunya berbaring. Lalu Karing menanyai Salma,
” Salma mau ko adik perempuan atau laki-laki?”
“ Perempuan” jawab Salma.
“Ammang, kalau kamu mau kok adik apa?”
Laki-laki” seru Ammang tegas.
“Tidak, saya mau perempuan, ” kata Salma.
” Tidak, saya mau laki-laki” kata Ammang.
Pak Madong masuk ke tempat istrinya, sehabis menyelesaikan ari-ari dari anaknya yang kelima itu.
Hus,… hus,… ribut! jangan di sini ribut.
Keluar di sana main nanti adikmu terkejut!”
“Karing! Bawa adik mau main di luar dan berikan minum dan sarapan!” Kata Pak Madong.
“Tapi Bapak, saya tidak tahu bagaimana?”
“Nanti mama saja yang siapkan ‘saya yang suapi adik., kata Karing..
“Mamakmu kan belum sehat, belajarlah mengurus adikmu yang dua itu, biar Bapak yang menyuap Mina”.
“Baiklah kalau begitu Pak” kata Karin sambil meraih tangan adiknya yang berumur empat dan enam tahun itu. Digiringnya adiknya bermain di luar rumah. Melihat adiknya asyik bermain sambil berlarian, kesempatan Karing masuk mengambil sarapan nasi dan kerupuk untuk kedua adiknya. Setelah keluar tidak dilihat adiknya di tempat tadi.
“ Salma,…..Ammang, ! di mana kalian ?”
Karing berlari ke rumah tetangga yang berjarak lima puluh meter dari rumahnya. Ternyata Salma dan Ammang sedang berada di sana berbicara dengan Tante Mama Aci.Karing pun mendekati kedua adiknya.
“Karing , kata Salma. adik kecilmu sudah lahir ya, tanya Tante Mama Aci.
“Iye Tanta” jawab Karing.
“Perempuan atau laki-laki adikmu?”
“Ndak tahu Tanta, tadi belum sempat kami lihat Bapak menyuruh kami bermain di luar, lebih baik Tanta saja yang tanya Bapak di rumah”. Kata Karing lagi sambil menarik tangan adiknya pulang.
.Mama Aci bergegas menemui Mama Karing di rumahnya.
“Daeng,…Daeng,… sudah lahir kah si kecil?”
“Iye Ndi” jawab Mama Karing dengan senyum dipaksa.
“Perempuan atau laki-laki?”
“Laki-laki” jawab Pak Madong.
“Oh, bagus itu, kata orang tua dahulu kalau anak lahir berselang-seling laki-laki perempuan bakal banyak rezekinya. Apalagi kalau sampai ganjil tujuh atau sembilan.”
” Alhamdulillah kalau begitu, mudah-mudahan anak-anakku semua dapat mengubah kehidupan keluarga kami yang papa ini” kata Mama Karing.
Tiba-tiba Pak Madong menyela dari dapur yang dari tadi diam saja mendengar obrolan tamu dan istrinya.”bagus kalau sampai tujuh atau sembilan, ha …ha… ha…. Semua tertawa, kecuali Mama Karing sambil meringis menahan sakit bekas tempat lahir anaknya.
Mama Karin menyambung dengan pelan, “ya boleh, supaya kita bisa jadi keluarga kecil yang besar”
“Apa maksudnya Daeng?” Kata Mama Aci tidak mengerti.
“Kecil pendapatan, besar pengeluaran”
“Kenapa bisa daeng berkata begitu?” Kata Mama Aci.
” Lihatlah pendapatan keluarga kami, hanya bisa hidup dari menggarap sawah orang lain yang tidak seberapa, tenaga belum banyak sebab anak-anak masih kecil belum bisa membantu orang tuanya. Lalu pengeluaran cukup besar untuk memberi makan kelima anak-anak kami, meskipun dengan makan yang sangat sederhana. Untuk di sekolahkan saja, kami belum sanggup,””
” untunglah masih ada sagu bisa dimakan pengganti beras yang mahal” tambah Pak Madong.
“Bukankah kalian tak perlu membeli beras sebab kalian menggarap sawah?”
” Iya, seharusnya sih begitu tapi tidak begitu yang terjadi. Hasil garapan yang kami peroleh hanya cukup untuk membeli lauk dan bumbu dapur seperti minyak dan garam. Makanya saya mencoba menanam sayur dan lombok serta tomat di samping rumah agar biaya rumah tangga untuk sayur dan lombok untuk menambah biaya hidup karena tidak perlu dibeli.
“kalau rezekinya si jading, eh maksudku si kecil, menanam sayur dan Lombok bisa subur, hasilnya bisa dijual di pasar”.
“eh, eh, apa kamu bilang tadi? JADDING ? Tanya Mama Aci.
“Iya maksudku si kecil yang baru lahir ini”
“Bagus nama itu, JADDING. , biarlah melekat nama itu hingga dia besar,” kata Mama Aci.
“Baiklah kalau begitu, anak ini kami beri nama JADDING, semoga kelak dia bisa membuka dan mengubah kehidupan kami yang sangat minim ini”
Amiiiin…. Semuanya serempak mengaminkan.
Kreator : Dra. Heriyana
Comment Closed: Keluarga Kecil yang Besar
Sorry, comment are closed for this post.