Apa yang kita temui saat terima rapor anak-anak di sekolah? Pastinya kita akan selalu menemui obrolan-obrolan, misal seperti ini: “Bu anaknya dapat rangking berapa?. Pak si adik si kakak dapet rangking berapa?, Nilainya berapa?.
Begitulah kira-kira obrolan-obrolan yang muncul saat usai terima raport.
Drama itu belum selesai, begitu sampai rumah, langsung para orang tua pada marah-marah, karena nilai rapor anaknya jelek.
Orang tua mengeluarkan segala jurus, “ kamu harus les ini dan les itu!”.
Sungguh kasihan anak-anak, padahal setiap anak membawa keunikan dalam kecerdasannya.
Sekelumit obrolan tersebut bisa dimaklumi, kalau hal itu terjadi di jaman-jaman dahulu kala. Kalau sekarang, mindset orang tua harusnya sudah berubah.
Sekarang jaman global, jaman internet dan jaman high compettition pastinya didikan ke anak sudah harus berbeda. Penekanannya harus mengarah pada pengembangan life skill atau karakter.
Coba tengok dilevel pimpinan atau pejabat-pejabat publik, mereka-mereka itu pasti sekolahnya pinter-pinter bahkan sekolahnya sampai keluar negri.
Pertanyaannya, mengapa para pejabat masih melakukan korupsi?. Ada yang salahkah dalam pendidikan di negeri ini?.
Dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, ditegaskan bahwa perlu adanya perubahan dari pendidikan yang berbasis mata pelajaran, menjadi pendidikan berbasis kompetensi yang berdimensi karakter.
Lebih khusus lagi dalam pasal 3 dinyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri.
Berpijak dari pasal 3 UU No 20 Tahun 2003, bahwa tujuan akhir dari Pendidikan Nasional adalah menjadikan manusia yang bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, bukan sekedar pintar, punya nilai bagus, rangking bagus dan bekerja di tempat yang bagus/favorit.
Dan suatu waktu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Nadiem Anwar Makarim bicara blak-blakan soal sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. Beliau memaparkan “Skor PISA (Program for International Student Assessment) atau Program Penilaian Pelajar Internasional di Indonesia membuktikan, kurang memadainya hasil belajar pendidikan dasar dan menengah”.
Dari uraian Menteri Pendidikan Nasional serta apa yang termaktub dalam UU No 20 tahun 2003, bahwa ada banyak PR(pe-er) yang perlu dibenahi dalam dunia pendidikan.
Pendidikan Nasional bertujuan menciptakan manusia yang berkarakter. Hal ini bukan hanya tangung jawab pemerintah saja, melainkan juga merupakan tanggung jawab dari guru dan masyarakat pada umumnya.
Pemerintah sudah menyediakan rambu-rambu serta tempat secara formal, yang semuanya itu diatur dalam sebuah regulasi. Tinggal bagaimana guru dan masyarakat selektif, berkreasi dalam memilih, media pendidikan apa yang cocok dengan potensi/kompetensi anak didiknya.
Keluarga sebagai bagian dari masyarakat harus mengambil peran dalam pengembangan pendidikan, khususnya pendidikan karakter.
Keluarga mempunyai peran yang sangat besar dalam membentuk dan membangun manusia yang berkualitas dalam sebuah negara.
Andaikan negara di ibaratkan sebuah bangunan, maka keluarga merupakan pondasinya dan andaikan negara di ibaratkan sebagai kesatuan tubuh, maka keluarga adalah jantungnya.
Begitu pentingnya posisi keluarga dalam membangun kualitas manusia, yang berbangsa dan bernegara. Maka seyogyanya pemerintah sedari awal mensosialisasi sekaligus mengedukasi masyarakat, terutama dalam membentuk/ membangun sebuah keluarga.
Edukasi-edukasi ini dimulai dari sebuah siklus, yang antara lain: fase pra nikah (memilih pasangan), pra kelahiran (mengandung) dan pasca kelahiran sampai kemudian masa tumbuh kembang si anak, menjadi remaja, dewasa dan balik lagi ke fase pra nikah.
Begitulah siklus lingkungan keluarga, sehingga keluarga menjadi sebuah “institusi” pendidikan.
Keluarga sebagai pendidikan pertama dan utama, bahkan sepanjang hayat dalam memberikan pola asuh dan teladan dari orang tua kepada anaknya.
Keluarga sebagai miniatur bagi pembentukan pribadi dan perkembangan anak. Maka sangat perlu sekali penguatan nilai-nilai kebajikan/religi, sebagai dasar dalam menghadapi nilai-nilai baru di luar kebiasaannya.
Keluarga harus terus mengambil peran dalam kemajuan pertumbuhan dan pengembangan sumber daya manusia.
Sehingga tak bisa dipungkiri bahwa proses pendidikan yang terjadi dalam keluarga itu merupakan proses pendidikan sepanjang hidup (long life educatioan).
Selama anggota keluarga masih melakukan interaksi dan komunikasi sosial, maka pendidikan dalam keluarga akan terus bergulir sepanjang hidup.
Pola hubungan antar anggota keluarga, pola asuh orang tua kepada anak, perilaku dan keteladanan orang tua dan sebagainya menjadi aktivitas yang membentuk jati diri anggota keluarga.
Jati diri inilah yang akan menjadi “alat” menuju/meraih kesuksesan dan kebahagiaan. Pola-pola hubungan tersebut dibangun dengan rasa asah, asih dan asuh.
Keluarga dianggap sebagai pendidikan informal. Walaupun dianggap informal, proses pendidikannya tidak akan mengurangi makna pendidikan yang berkualitas.
Guna menjagai kualitas pendidikan karakter/akhlak dalam keluarga, perlu ada pola yang sistematis, misalkan:
Pola Keteladanan, yaitu: pendidikan dengan memberi contoh: tingkah laku, sifat, cara berfikir. Anak akan meniru gaya berpikir dan perilaku orang tuanya dalam menghadapi masalah sekaligus menyelesaikannya .
Pembiasaan, yaitu : mengajak sekaligus membiasakan anak untuk melakukan perbuatan kebaikan, seperti yang diajarkan dalam norma dan agama. Contohnya: sering membantu/berbagi pada semua mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Hukuman, bahwa setiap proses internalisasi sebuah nilai pada diri seseorang, selamanya tidak akan mampu berjalan mulus, adakalanya terjadi sebuah penyimpangan, dan hal ini akan berdampak pada sebuah kegagalan.
Setiap penyimpangan yang berdampak pada sebuah kegagalan, perlu dipertangungjawabkan dalam bentuk sebuah hukuman.
Hukuman apa yang akan diberikan?. Itu menjadi sebuah kebijakan serta kebajikan orang tua.
Dalam pemberian hukuman ini harus hati-hati, apabila serampangan dalam pengambilannya, maka tindakan serampangan ini akan ikut pula diwariskan ke anak cucu nanti.
Hukuman merupakan metode terakhir, tetapi dalam kondisi tertentu harus digunakan.
Demikian pentingnya pendidikan dalam keluarga, maka keluarga harus mengambil peran yang lebih besar dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sehingga apa yang di cita-citakan dalam UU nomor 30 tahun 2003 segera tercapai.
Comment Closed: KELUARGA SEBAGAI PONDASI PENDIDIKAN
Sorry, comment are closed for this post.