KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Aksi » Kemampuan Indigo

    Kemampuan Indigo

    BY 19 Jun 2024 Dilihat: 69 kali
    Permulaan Takdir Salju_alineaku

    Pada sore cerah di kerajaan Zima, Ilta yang kini berusia tiga tahun berlari dengan riang di samping ayahnya, Alexei. Festival tahunan di alun-alun kerajaan menarik perhatian Ilta dengan lentera warna-warni dan deretan kios-kios permainan. Senyum Alexei terlihat begitu hangat melihat kegembiraan putranya. Alexei, dengan rambut hitam legam dan mata putih bersinar, mengenakan mantel tebal berwarna biru tua yang dihiasi dengan pola salju perak, memberi kesan anggun dan berwibawa.

     

    “Ayah, lihat!” seru Ilta dengan mata penuh antusiasme. Dia menunjuk ke arah permainan melempar bola menggunakan energi angin.

     

    Alexei menunduk, mendekatkan wajahnya yang penuh kelembutan pada Ilta. “Apakah kamu ingin mencoba, Ilta?” tanyanya sambil tersenyum.

     

    Ilta, mengenakan mantel bulu putih kecil dengan hiasan biru yang serasi dengan milik ayahnya, mengangguk semangat. “Ajari aku, Ayah!” pintanya dengan mata bercahaya.

     

    Alexei merasa ragu sejenak, mengingat usia Ilta yang masih sangat muda, tetapi tidak ingin meredam semangat putranya. “Baiklah, Ilta. Tapi jangan kecewa jika tidak berhasil, ya,” kata Alexei lembut. Meskipun sulit menjelaskan penguasaan energi angin kepada anak tiga tahun, Alexei mencoba menyederhanakan penjelasannya.

     

    “Pertama-tama, rasakan udara di sekelilingmu,” ucap Alexei, suaranya lembut menenangkan. “Ingat saat kita berlarian dan udara mengalir di sekitar tubuh kita? Sekarang, coba rasakan seperti itu.”

     

    Ilta, dengan polosnya, mencoba merasakan udara sekitarnya. Tangan kecilnya bergerak seolah-olah meraba aliran angin yang tak terlihat. Alexei memandang putranya dengan penuh kasih, lalu melanjutkan penjelasannya.

     

    “Setelah merasakan udara, bayangkan apa yang ingin kamu lakukan dengannya. Misalnya, jika kamu ingin terlindungi, mintalah angin untuk membuat pelindung atau pakaian di sekitarmu,” jelas Alexei dengan sabar.

     

    Ilta mengikuti instruksi ayahnya dengan penuh semangat. Mereka duduk di tengah keramaian festival, dan Alexei memandu Ilta untuk menarik napas dalam-dalam. Dia mengajarkan cara menghembuskan napas perlahan sambil membayangkan perlindungan dari angin.

     

    Alexei menunjukkan contoh, menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. “Wahai angin, buatlah perlindungan pada tubuhku,” ucapnya penuh keyakinan. Seketika itu, angin berkumpul membentuk lapisan tak kasat mata di sekelilingnya. Ilta bertepuk tangan, kagum melihat hal tersebut.

     

    Tiba giliran Ilta. Dengan penuh ketelitian, dia meniru gerakan ayahnya. “W-wahai angin, buatlah perlindungan, padaku.” Tak disangka, dengan energi kecilnya, Ilta berhasil membuat perlindungan dari angin. Alexei terkejut dan bangga melihat kemampuan anaknya.

     

    “Ayah, aku berhasil melakukannya!” seru Ilta dengan gembira, wajahnya berseri-seri. Alexei tersenyum lebar. “Wah, Ilta. Kau hebat, nak!”

     

    Ilta mencoba menerapkan energi angin pada bola permainan. Pada percobaan pertama, bola dengan sempurna masuk ke dalam wadah, dan Ilta memenangkan hadiah. Kemenangan itu dirayakan dengan pelukan hangat pada sang ayah.

     

    “Ayah! aku berhasil memasukkan bolanya!” teriak Ilta penuh kegirangan. Penjaga kios memberikan hadiah berupa boneka Sovu sebagai penghargaan atas keberhasilan Ilta. “Selamat untukmu nak, ini hadiah atas keberhasilanmu.” Alexei tersenyum, bangga melihat keberhasilan putranya.

     

    Mereka melanjutkan petualangan di festival. Tak lama kemudian, Aria, sang bunda, bergabung dengan mereka. Aria, dengan rambut putih panjang yang terurai dan mata hitam yang indah, mengenakan gaun hangat berwarna perak yang mengkilap di bawah cahaya lentera, tersenyum hangat melihat Ilta yang memeluk boneka Sovu.

     

    “Hai, sayang! Apa yang sedang kalian lakukan?” tanya Aria lembut, matanya penuh kehangatan.

     

    Ilta menjelaskan dengan riang apa yang dilakukannya bersama sang ayah. Aria mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu mencium kening Ilta. “Ilta, kamu hebat sayang. Mari kita menjelajahi festival lebih lama.”

     

    Sambil menikmati makanan mereka, Ilta menceritakan bagaimana ia ingin mencoba belajar tentang energi lainnya. “Ayah, bisakah aku mempelajari teknik energi alam lainnya?” Alexei mengelus kepala Ilta dengan lembut.

     

    “Tentu saja Ilta, besok setelah ayah selesai melakukan tugas dan pulang, kita akan belajar tentang teknik energi alam,” ucap Alexei dengan senyuman yang membuat Ilta tidak sabar menanti hari esok.

     

    Setelah kenyang dan puas menjelajahi berbagai kios, mereka bergerak ke area hiburan. Ada atraksi roda putar, permainan menembak sasaran, dan wahana lainnya yang menarik perhatian Ilta. Mereka memutuskan untuk mencoba beberapa permainan seru tersebut.

     

    Ilta, dengan penuh semangat, ikut serta dalam permainan melempar bola salju pada target yang bergerak. Meskipun tidak selalu mencapai sasaran, Ilta menunjukkan ketekunan dan kegigihan yang menggembirakan orangtuanya. Alexei dan Aria memberikan tepuk tangan dan senyuman penuh dukungan setiap kali Ilta mencoba.

     

    Festival berlanjut hingga malam hari, dan lentera malam mulai menyala. Suasana keramaian dan tawa riang mengisi udara, menciptakan kenangan yang tak terlupakan bagi keluarga Jedlicka.

     

    Pada akhirnya, setelah sehari yang penuh petualangan dan kegembiraan, mereka memutuskan untuk pulang kembali ke kediaman Jedlicka. Ilta tertidur dalam pelukan Alexei saat perjalanan pulang, membawa impian dan kegembiraan dari festival ke dalam dunianya yang penuh khayalan.

     

    Di tengah malam yang tenang, Alexei dan Aria duduk di tepi tempat tidur Ilta, memandangi wajah keajaiban kecil mereka yang sedang tertidur. Mereka merenung tentang seberapa cepat waktu berlalu dan bagaimana setiap momen bersama Ilta adalah berkah yang tak ternilai.

     

    “Kamu benar-benar membawa kebahagiaan dalam hidup kita, Ilta” ucap Alexei dengan lembut sambil memegangi tangan Aria.

     

    “Ayahmu benar, Ilta sayang. Kami bersyukur memilikimu,” tambah Aria sambil mencium kening Ilta yang tertidur lelap.

     

    Dengan rasa syukur dan cinta yang memenuhi hati, keluarga Jedlicka membiarkan diri mereka tenggelam dalam kebahagiaan, mengakhiri hari mereka dengan penuh cinta dan kenangan indah dari festival yang menjadi bagian dari petualangan si kecil Ilta yang tak terlupakan.

     

    Belajar Teknik Energi Alam

    Besok harinya, cahaya matahari pagi menyelimuti kerajaan Zima dengan hangat, membawa semangat baru ke keluarga Jedlicka. Ilta, dengan semangat anak kecil yang tak terbatas, menunggu di ruang tamu bersama Aria. Aria, dengan rambut putih panjang yang berkilau seperti salju di bawah sinar matahari, menyanyikan lagu-lagu indah, suaranya merdu mengisi ruangan. Ilta mengikuti dengan riang, suaranya yang ceria melengkapi harmoni ibunya.

     

    Saat mereka tengah menikmati kebersamaan, pintu depan terbuka, dan Alexei masuk dengan senyum lebar di wajahnya. “Halo, Ilta. Bagaimana harimu? Apakah kamu siap belajar teknik energi alam?” tanyanya dengan nada penuh antusiasme.

     

    Ilta segera melompat dari tempat duduknya dan berlari menghampiri sang ayah. “Ayah! Saya siap! Kapan kita mulai?” jawab Ilta dengan mata bersinar-sinar penuh semangat.

     

    Alexei, yang mengenakan mantel tebal berwarna biru tua dengan hiasan pola salju perak, tertawa lembut. “Senang melihatmu bersemangat, Ilta. Mari kita pergi ke ruang pelatihan. Di sini, kita bisa membuat ruangan jadi berantakan dan mungkin dimarahi bunda! Ayo, lari Ilta!” katanya sambil mengedipkan mata. Aria tertawa pelan melihat kegembiraan keduanya dan pergi ke dapur untuk menyiapkan camilan.

     

    Di ruang pelatihan, Alexei mengingatkan Ilta tentang penggunaan energi angin yang mereka pelajari sebelumnya. “Energi angin, sudah kita pelajari semalam. Apakah Ilta masih ingat caranya?” tanya Alexei.

     

    Ilta mengangguk penuh semangat, lalu dengan tenang menutup matanya dan mengulurkan tangannya. Dengan konsentrasi, ia membentuk pelindung angin tanpa mengucapkan kata-kata atau mantra, hanya dengan kekuatan pikirannya.

     

    Alexei mengamati dengan kagum. “Bagaimana kamu melakukannya, Ilta? Bisa jelaskan kepada ayah?” tanyanya lembut.

     

    Ilta membuka matanya dan tersenyum. “Saat saya ingin menggunakan energi angin, saya membayangkan apa yang harus dilakukan oleh angin. Setelah selesai membayangkannya, ada tulisan aneh yang muncul di depan saya,” jelasnya polos.

     

    Alexei terdiam sejenak, merenung. “Tulisan yang dimaksud Ilta kemungkinan besar adalah aksara energi. Itu menjadi alasan mengapa ia bisa menggunakan energi alam tanpa mengucapkan mantra dan belajar dengan cepat. Kemampuan Indigo! Benar, kemungkinan Ilta terlahir Indigo seperti kakeknya,” pikir Alexei, teringat pada almarhum ayahnya, Vadim, sang Vladyka ke-10.

     

    Alexei mendekati Ilta, menatap mata anaknya dengan lembut. “Ilta, apakah kamu merasakan hal aneh saat melihat tulisan itu?”

     

    Ilta menggeleng. “Tidak, ayah. Aku tidak merasakan apa-apa,” jawabnya, membuat Alexei merasa lega.

     

    “Baiklah, mari kita lanjutkan pelajaran tentang energi lainnya,” ucap Alexei sambil mengambil sebuah wadah berisi air. Dia meletakkan tangannya di atas wadah tersebut dan berkata, “Wahai air, membekulah menjadi es.” Seketika, air dalam wadah berubah menjadi es.

     

    Ilta memandang dengan takjub. “Ayah, kenapa airnya berubah?” tanyanya sambil menyentuh permukaan es.

     

    Alexei tersenyum dan mulai menjelaskan. “Jadi, Ilta, energi alam tidak hanya terbagi menjadi empat atau lima elemen seperti dalam buku cerita. Hampir semua elemen dasar dari alam bisa digunakan dengan teknik energi alam. Misalnya, air bisa berubah menjadi es karena iklim kerajaan kita yang dingin. Tapi jika kita berada di tempat yang panas, hal ini mungkin tidak bisa dilakukan.”

     

    Ilta tampak bingung. “Ayah, itu sulit dipahami. Apa itu iklim? Apa itu elemen?” tanyanya dengan nada kesal.

     

    Alexei tersenyum lembut. “Maafkan ayah, Ilta. Ayah jadi teringat bagaimana kakekmu, Vadim, mengajari ayah dulu,” katanya sambil mengelus kepala Ilta.

     

    “Vadim dari buku ‘Sang Pahlawan Cahaya dan Kegelapan’?” tanya Ilta dengan mata berbinar.

     

    “Ya, sayang. Dia adalah kakekmu yang kini telah wafat,” jawab Alexei, mulai menceritakan sedikit tentang almarhum Vadim.

     

    “Waktu ayah masih kecil, sedikit lebih besar dari Ilta, kakek Vadim mengajari ayah cara menggunakan energi alam. Energi pertama yang ayah pelajari adalah energi air. Ayah perlu waktu lama untuk mengerti dan melafalkan mantranya.”

     

    Mendengar kisah itu, Ilta menjadi bersemangat. Ia mencoba mempraktekkan cara membuat air menjadi es sesuai dengan apa yang diperlihatkan oleh ayahnya. Beberapa kali percobaan gagal, tapi Alexei terus menyemangatinya.

     

    “Ingat, Ilta. Gagal bukan berarti kita berhenti. Kegagalan selalu punya alasan. Belajarlah dari kegagalanmu,” kata Alexei sambil mengelus kepala Ilta.

     

    Ilta mendengarkan dengan seksama. Ia kemudian mulai berkonsentrasi, mengambil napas dalam-dalam dan mengucapkan mantranya, “Wahai air yang tenang, aku meminta padamu, berubah menjadi es.”

     

    Perlahan, air di wadah mulai membeku, dan bahkan wadahnya ikut menjadi kristal es. Ilta melompat gembira dan memeluk ayahnya. “Ayah! Saya berhasil!”

     

    Alexei tersenyum bangga. “Hebat, Ilta. Ayah bangga padamu. Mau mencoba sesuatu yang lebih keren?”

     

    Alexei kemudian membaca mantra angin, “Wahai angin, buatlah perlindungan pada tubuh kami, atas nama angin yang berhembus kencang.” Seketika, Alexei dan Ilta melayang menggunakan energi angin. Ilta tertawa senang. “Wah, saya terbang seperti makhluk Sovu!”

     

    Alexei membawa Ilta terbang di lapangan pelatihan, keduanya bersenang-senang dengan rasa bahagia. “Menyenangkan, bukan?” tanya Alexei, yang dijawab oleh Ilta dengan senyuman manis di wajahnya.

     

    Setelah beberapa saat, Aria datang membawa camilan. “Mari beristirahat sejenak,” panggil Aria.

     

    Alexei dan Ilta turun perlahan mendekati Aria. Mereka berkumpul dan mulai menikmati cemilan yang dibawa oleh Aria. Ilta dengan semangat menceritakan seluruh kejadian yang dialaminya kepada bundanya.

     

    Aria mengelus kepala Ilta dengan lembut dan tersenyum hangat. “Hebat, sayang. Bunda percaya bahwa Ilta pasti bisa menjadi seperti kakek Vadim suatu saat nanti.”

     

    Setelah mereka beristirahat, Alexei memandang Ilta dengan penuh perhatian. “Sekarang, kita akan mencoba sesuatu yang berbeda,” katanya. “Ayah ingin kamu membayangkan es di dalam wadah ini mencair kembali menjadi air. Gunakan pikiranmu dan fokus.”

     

    Ilta menatap es di dalam wadah dengan tekad. Dia mengerutkan kening, berusaha keras memusatkan pikirannya. Namun, es itu tetap tidak bergerak. Ilta menghela napas, “Tidak bisa ayah, itu sepertinya suku,” katanya merasa sedikit kecewa.

     

    Alexei tersenyum lembut sambil mengelus kepalanya. “Jangan khawatir, Ilta. Ini hanya latihan. Sekarang, mari kita coba sesuatu yang lain.” Dia mengambil wadah berisi air dan meletakkannya di depan Ilta. “Kali ini, coba ubah air ini menjadi es lagi. Tapi kali ini, gunakan pikiranmu saja.”

     

    Ilta mengangguk dan menatap air itu dengan intens. Dia membayangkan air tersebut berubah menjadi es, merasakan dinginnya dalam pikirannya. Perlahan, air dalam wadah itu mulai membeku, hingga akhirnya menjadi es.

     

    “Luar biasa, Ilta!” seru Alexei dengan bangga. “Kamu berhasil melakukannya hanya dengan pikiranmu. Ini menunjukkan bahwa kemampuan Indigo-mu sangat kuat. Kamu hanya perlu memahami mantra dari setiap teknik energi alam untuk bisa mengaktifkannya tanpa membaca mantra.”

     

    Ilta senang tapi merasa bingung, “Kemampuan Indigo? Apa itu ayah?” tanyanya pada sang ayah.

     

    Alexei kemudian mulai menjelaskan, “Itu adalah kemampuan dimana Ilta bisa belajar dengan cepat, dan menggunakan teknik energi alam dengan mudah.” Menyederhanakannya kembali, “Intinya, Ilta bisa seperti sang pahlawan cahaya dan kegelapan.”

     

    “Benarkah! Kalau begitu, Ilta ingin mempelajari teknik energi yang lainnya juga,” ucap Ilta dengan semangat.

     

    Aria yang menyaksikan dari dekat, ikut tersenyum bangga. “Sekarang, mari kita lanjutkan dengan teknik energi yang lain,” kata Alexei.

     

    Alexei memandang Aria, yang kemudian mengambil alih. “Ilta, mari kita bicara tentang energi tanah,” kata Aria dengan suara lembut namun tegas. Dia mengambil segenggam tanah dan meletakkannya di depan Ilta. “Energi tanah membutuhkan koneksi langsung dengan bumi. Sentuh tanah ini, dan rasakan kekuatannya.”

     

    Ilta menyentuh tanah itu dengan hati-hati, merasakan kekasaran dan kekuatannya. “Sekarang, coba bayangkan tanah ini membentuk sebuah penghalang di sekitarmu. Lalu ucapkan, ‘Wahai tanah, buatlah penghalang yang mengelilingiku’”

     

    Ilta memejamkan mata dan memusatkan pikirannya. Dia mulai mengucapkan mantra tanah dengan pelan, “Wahai tanah, buatlah penghalang yang mengelilingiku.” Tanah di sekitarnya mulai bergerak, membentuk dinding kecil di sekelilingnya. “Ilta, itu luar biasa,” kata Aria. “Kamu bisa menggunakan energi tanah untuk perlindungan dan membangun struktur. Ingat, kuncinya adalah koneksi dengan elemen bumi.”

     

    Alexei kembali mengambil alih. Dia menunjukkan sebuah pemantik api kecil. “Energi api, adalah elemen sangat kuat dan berbahaya jika tidak digunakan dengan hati-hati. Biasanya, teknik energi ini digunakan oleh para pandai besi,” jelasnya.

     

    “Coba nyalakan api kecil ini,” katanya, sambil menyalakan pemantik. “Sekarang, bayangkan api ini membesar dan panasnya meningkat. Ucapkan dalam pikiranmu, ‘Wahai api, panaskan dirimu.’”

     

    Ilta menatap api itu dengan fokus, membayangkan nyalanya membesar lalu membaca mantra energi api, “Wahai api, panaskan dirimu” Api kecil itu mulai berkobar lebih besar dan lebih panas. Alexei dengan cepat memadamkannya dengan sedikit luka bakar. “Luar biasa, Ilta. Tapi ingat, energi api harus digunakan dengan sangat hati-hati. Biasanya, ini digunakan dalam situasi darurat atau oleh mereka yang terlatih serta memiliki ketahanan pada suhu tinggi.”

     

    “Sekarang, energi yang paling kompleks dan kuat,” kata Alexei dengan nada serius. “Energi cahaya dan kegelapan berasal dari inti jiwa seseorang dan membutuhkan keseimbangan yang hati-hati.”

     

    Dia mengajak Ilta untuk duduk dan berdoa bersama. “Untuk menggunakan teknik energi ini, kita harus berdoa kepada Sang Ilahi dan menjaga keseimbangan antara cahaya dan kegelapan dalam diri kita. Mari kita coba menyembuhkan luka kecil ini di tangan ayah,” katanya, menunjukkan luka bakar di tangannya.

     

    Mereka mulai berdoa bersama, “Kami memohon pada Sang Ilahi yang menciptakan cahaya suci dan kegelapan, berilah kesembuhan bagi kami yang meminta padamu.” Perlahan, luka bakar di tangan Alexei mulai sembuh, kulitnya kembali pulih.

     

    “Energi cahaya dan kegelapan sangat kuat, dan kamu harus sangat berhati-hati dalam menggunakannya,” kata Alexei. “Keseimbangan adalah kunci dari teknik ini. Jika salah satu energi menguasai yang lain, itu bisa berbahaya bagi jiwa kita.”

     

    Ilta mendengarkan dengan seksama, lalu bertanya, “Ayah, kenapa selain energi cahaya dan gelap memiliki mantra yang pendek? Berbeda dengan energi cahaya dan gelap yang rumit dan harus melakukan doa.”

     

    Alexei tersenyum. “Kalimat mantra yang pendek biasanya digunakan untuk kemampuan dasar pada setiap energi alam. Tapi jika menginginkan hal yang lebih rumit, kamu bisa memperpanjang kalimatnya.” Jelasnya perlahan, “Misalnya, pada energi tanah, Ilta harus menyebutkan secara lengkap tentang bangunan apa yang harus dibangun oleh elemen bumi.” 

     

    Alexei menunjukkan contoh rumit matra energi tanah, “Sang Bumi, yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri atas iklimnya. Aku memerintahkanmu, buatlah sebuah tembok, gerbang, pertahanan.” Sebuah benteng kecil muncul di hadapannya, membuat Ilta takjub.

     

    Setelahnya, sesi pelatihan yang panjang akhirnya selesai. Ilta kini merasa lelah setelah belajar dan menggunakan energi alam, tapi dia begitu puas. Alexei dan Aria duduk di sampingnya, memandangnya dengan bangga.

     

    “Kamu melakukan pekerjaan yang luar biasa hari ini, Ilta,” kata Alexei. “Kami bangga padamu. Dengan latihan dan ketekunan, kamu akan menguasai semua teknik energi alam ini.”

     

    Ilta tersenyum lelah, merasa bahagia dengan dukungan orang tuanya. “Terima kasih, Ayah, Bunda. Ilta akan terus berlatih dan belajar.”

     

    Mereka bertiga duduk bersama, menikmati momen kebersamaan mereka. Dengan cinta dan dukungan dari orang tuanya, Ilta tahu bahwa dia bisa mencapai apapun yang dia impikan.

     

    “Ayah, bisakah kita melanjutkan besok? Saat ini saya mengantuk,” kata Ilta dengan mata mulai terpejam.

     

    Alexei mengangkat Ilta ke dalam pelukannya dan membawanya ke kamar. Aria menyusul, mendengarkan penjelasan Alexei tentang kemampuan khusus Ilta. “Sayang, aku baru saja menemukan bahwa Ilta memiliki kemampuan khusus pada dirinya. Tapi aku tidak ingin terlalu keras padanya,” ucap Alexei sambil menjelaskan bahwa Ilta terlahir sebagai anak Indigo.

     

    “Ilta adalah cahaya kita yang selalu bersinar di setiap momen kita bersama, tidak peduli dia terlahir sebagai anak Indigo atau bukan. Ilta tetaplah putra kesayangan kita,” jawab Aria sambil memandangi Ilta yang tertidur di ranjangnya.

     

    Mereka memandangi wajah Ilta yang tertidur pulas, terlelap setelah pelatihan dan pelajaran panjang dari sang Ayah dan Bunda. Hari itu membawa Ilta ke dalam mimpi indah, penuh petualangan dan kegembiraan bersama keluarga tercintanya.

     

    Kreator : Ry Intco

    Bagikan ke

    Comment Closed: Kemampuan Indigo

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021