Ketika istirahat di kantin bersama Cleo, sahabat karibku, aku mendengar pembicaraan yang membuatku terkejut. Orang-orang kepercayaan Jay, seorang teman lama yang kini menjadi sosok misterius di kantin kami, sedang berbicara tentang anggota keluarganya yang hilang dua puluh tahun lalu. Mereka baru saja menemukan titik terang dan bersiap memberitahukan keluarga Jay.
Kabar itu membuatku penasaran. Tidak lama kemudian, Jay datang ke kantin dan bergabung dengan mereka. Suasana terasa tegang.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Jay.
“Semuanya sudah ada perkembangan, Bos. Kami membawa beberapa bukti penting,” jawab salah satu dari mereka.
“Di antaranya, akta lahir adik Bos dan dokumen lainnya sudah kami kumpulkan,” tambah yang lain.
“Bagus. Tapi kerja kalian belum selesai! Kalian harus membawa adik gue kesini secepat nya,” perintah Jay.
“Siap, Bos,” jawab mereka serentak.
Setelah mereka pergi, aku dan Cleo bertukar pandang. Siapa sebenarnya adik Jay yang dimaksud? Karena waktu makan sudah selesai, kami pun memutuskan pulang.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku kacau. Aku tak sadar kalau kami sudah sampai di rumahku. Gagang pintu terasa dingin saat aku menyentuhnya. Di dalam, udara terasa hampa, seolah kehilangan kehangatan yang biasa hadir. Bapak masih bekerja, sedangkan adikku, yang seharusnya sudah pulang, tidak ada di rumah. Jemariku menyentuh dinding yang terasa begitu datar dan dingin. Aroma debu samar tercium di udara. Sepasang sandal jepit tergeletak miring di tengah ruang tamu, seolah baru saja dilepas dengan tergesa-gesa. Tumpukan piring kotor menggunung di wastafel, sisa makanan mengering di pinggirannya. Tanpa banyak berpikir, aku langsung mengambil spons, sabun dan mulai membersihkan. Saat menyapu bawah laci meja ruang tamu, ada secarik foto lama yang tidak kukenali. Seorang bayi digendong seorang pria berpakaian formal, dengan tulisan di baliknya: Untuk Ayu kecil, sayangnya Papa.
Aku baru saja mendapat kabar kalau Jay akan mengadakan pesta syukuran rumah baru sekaligus merayakan ulang tahun adiknya, Willy. Undangannya sudah sampai di mejaku. Sebetulnya aku ragu untuk pergi. Aku tidak terlalu dekat dengan Willy, dan suasana pesta besar seperti itu biasanya membuatku tidak nyaman. Jam menunjukkan pukul 6 petang, dan acara akan dimulai dua jam lagi.
Gue nggak akan datang, pesan singkatku terkirim ke Cleo.
Aku paling nggak suka keramaian. Apalagi kalau harus berbaur dengan orang-orang yang nggak aku kenal. Tapi, Cleo nggak mau ngalah. Dia udah di depan pintu rumahku sekarang, bareng Utha. Rasanya kayak lagi diajak terjun payung, deg-degan banget.
“Lo harus datang, Mo! Gimana sih?” ujar Cleo dengan nada kesal. Penampilannya sudah rapi, siap untuk pesta. Sementara aku, masih berbaring di tempat tidur dengan penampilan berantakan.
“Ah, males banget!” Aku mendengus kesal, lalu berjalan gontai ke kamar. Aku nyemplung ke kasur dan langsung menarik selimut sampai ke dagu.
“Biarin deh, tidur aja yang enak.”
Notifikasi WhatsApp memenuhi layar ponselku. Ternyata dari tiga cowok yang cukup sering ngajak ngumpul. Mereka pada ngajak ke pesta Willy. Aku bingung harus gimana. Di satu sisi, aku nggak mau mengecewakan mereka. Tapi di sisi lain, aku nggak yakin mau pergi. Cleo langsung menyikut aku.
“Lo mau mikir sampe kapan sih?”
Perjalanan ke rumah Jay terasa panjang, tapi suasana berubah ketika kami sampai. Pesta itu jauh lebih mewah dari yang kubayangkan. Mini hall di samping rumahnya dihias dengan lampu gantung dan dekorasi bunga segar. Willy, adik Jay, terlihat sibuk menyambut tamu di depan panggung kecil.
“Mo, santai aja. Gue tahu lo nggak suka rame, tapi coba nikmati acaranya, ya?” Cleo mencoba menenangkanku.
Jay naik ke atas panggung.
“Selamat malam. Terima kasih atas kehadiran semuanya di syukuran rumah baru kami sekaligus ulang tahun adik saya, Willy, yang ke-20. Malam ini juga, saya ingin berbagi kabar istimewa.”
Aku meneguk napas panjang. Kata-katanya membuat suasana pesta mendadak tegang.
“Dua puluh tahun lalu, keluarga kami kehilangan anggota yang sangat berarti. Kami terus mencari, berharap suatu hari Tuhan mempertemukan kami kembali.”
Jantungku berdegup kencang. Semua orang diam, menunggu dengan antisipasi.
“Dan malam ini,” Jay melanjutkan, “kami akhirnya menemukan Ayu Mayang Febriandira.”
Aku terpaku.
Nama itu menggema di pikiranku. Semua mata beralih kepadaku.
“Cimo, itu lo!” Cleo mengguncang lenganku.
Tubuhku gemetar. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Aku tak percaya apa yang kudengar.
Dengan langkah berat, aku naik ke panggung. Willy membantuku, senyumnya hangat. Ketika aku tiba, Jay dan seorang wanita paruh baya menghampiriku.
“Kamu anak saya,” ucap wanita itu, suaranya bergetar.
“Dua puluh tahun yang lalu, kecelakaan merenggut segalanya dari kami. Kami kehilangan kamu, tapi saya tidak pernah berhenti berharap.”
Aku menangis, pelukannya menghangatkan hatiku. Semua rasa sakit, bingung, dan ketidakpastian perlahan memudar.
“Selamat datang kembali, Sayang,” bisiknya.
Aku menoleh ke arah Jay, Willy, dan wanita itu. Mereka adalah keluargaku—keluarga yang selama ini tak pernah kuketahui.
Kreator : Fati Nura
Comment Closed: Kembali ke Pelukan Keluarga
Sorry, comment are closed for this post.