KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Kembali Menyatu

    Kembali Menyatu

    BY 25 Des 2024 Dilihat: 127 kali
    Kembali Menyatu_alineaku

    Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Langit biru cerah tampak seperti sebuah kontras yang mencolok dengan gejolak yang ada dalam dadaku. Sinar matahari masuk melalui celah-celah jendela, namun aku tidak merasa nyaman. Rasanya, sinar itu lebih seperti sebuah pengingat—sebuah pengingat bahwa dunia terus bergerak, sementara aku masih terperangkap dalam kebingunganku sendiri.

    Beberapa hari yang lalu, dunia kami terguncang. Kecelakaan yang terjadi pada Bima membuat semua hal yang tampaknya sudah teratur menjadi terbalik. Aku merasa hidupku terombang-ambing, seperti kapal yang kehilangan arah di tengah badai. Seakan semua yang sudah aku pilih, keputusan untuk tetap tinggal dengan keluarga baruku, tidak lagi terasa begitu pasti.

    Aku duduk di tepi tempat tidur, menatap pemandangan yang tidak pernah bisa aku sebut sebagai rumah. Halaman depan yang penuh bunga liar itu masih terlihat indah, meski aku merasa tidak ada yang indah di dalam diriku. Ada kekosongan yang mengisi setiap ruang dalam pikiranku—keputusan yang kuambil, dan perasaan yang masih terombang-ambing antara dua dunia yang berbeda.

    Bima, adikku yang dulu selalu menjadi sosok yang mengisi hari-hariku dengan tawa, kini terbaring di rumah sakit, berjuang untuk hidup. Aku merasa tercekik oleh perasaan bersalah, terjebak antara rasa takut kehilangan dan keraguan atas semua keputusan yang pernah aku buat. Apakah benar aku memilih dengan tepat? Apakah tinggal di sini, dengan Mama, Willy, dan Jay, adalah keputusan yang benar?

    Pintu kamar terbuka perlahan, dan Mama masuk, membawa secangkir teh hangat. Aku menatapnya, mencoba merasakan ketenangan yang seharusnya datang, namun masih ada perasaan canggung yang menggelayuti. Senyum Mama yang hangat terasa seperti sebuah dinding yang tidak bisa ditembus. Aku tahu dia peduli padaku, tetapi ada ruang kosong di antara kami yang tak bisa diisi dengan kata-kata.

    “Mau sarapan?” tanya Mama lembut, duduk di sampingku. 

    Suaranya yang tenang hampir berhasil menenangkan pikiranku, tetapi aku tahu ada sesuatu yang hilang dalam percakapan kami, sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

    Setiap suapan terasa seperti beban, dan perutku terasa kosong meski aku memaksakan diri untuk makan. Rasanya, tubuhku menolak semuanya—semuanya terlalu berat untuk kuterima. Jantungku berdebar lebih cepat, seakan setiap denyutnya membawa beban yang tak bisa kuhentikan. Makananku terasa hambar, seperti tidak ada yang bisa mengisi kekosongan yang ada di dalam diri ini. Tangan kananku tanpa sadar meremas ujung selimut, menahan rasa mual yang terus mengganjal di tenggorokan. Ada bagian dari diriku yang merasa tidak pantas menerima kebaikan ini, seolah aku telah memilih jalan yang salah. Aku sudah memutuskan untuk memilih mereka, keluarga baruku, tetapi perasaan tidak di rumah ini terus mengganggu.

    “Iya, Ma. Terima kasih.” Suaraku terdengar lebih pelan dari yang aku inginkan.

    “Jay sudah pergi kerja, Willy baru bangun tidur. Mereka semua khawatir sama kamu, Nak,” kata Mama, menyentuh tanganku dengan lembut, seperti mencoba memberikan penguatan yang tak bisa aku terima sepenuhnya. 

    “Kalau ada yang membuatmu merasa tidak nyaman, kamu harus bilang, ya? Kami di sini untuk kamu.”

    Aku menatap matanya, merasakan kehangatannya, tetapi kata-kata itu terasa jauh dari hatiku. Bagaimana aku bisa memberi tahu mereka apa yang sebenarnya kurasakan jika aku sendiri pun belum tahu jawabannya? Aku tidak bisa mengungkapkan semua yang terpendam dalam diriku. Tidak bisa menjelaskan tentang keluarga lamaku yang terasa semakin jauh, dan keluarga baru yang meski penuh perhatian, tetap terasa asing.

    Mama terus mengamatiku, seolah-olah dia bisa merasakan kebimbangan yang ada di dalam hatiku. 

    “Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini,” katanya, berusaha memberikan pengertian yang lebih dalam.

    Keluarga. Kata itu terasa seperti beban yang harus kuangkat seorang diri, seolah ada batu besar yang menghalangi jalan masukku. Aku tahu mereka berusaha keras membuatku merasa diterima, tetapi seberapa banyak aku bisa menghadapinya jika hatiku masih terkunci dalam kenangan yang tak bisa kuhapus? 

    Setiap kali aku mencoba membuka hatiku untuk mereka, kenangan tentang Bapak dan Bima kembali datang. Seperti bayangan yang tak bisa ku tepis, mereka terus mengisi ruang kosong ini, seolah-olah aku tidak pernah bisa benar-benar melepaskan mereka. Tidak bisa sepenuhnya melupakan rumah lama yang kini semakin memudar, yang semakin terasa seperti masa lalu yang harus aku tinggalkan.

    Aku tersenyum, tetapi senyum itu terasa rapuh, seperti topeng yang aku coba pasang untuk menutupi perasaan yang lebih dalam. Rasanya senyum itu hanya menambah rasa canggung yang menggelayuti, seolah-olah ada sesuatu yang tak bisa diungkapkan, namun begitu nyata. Tangan kananku tanpa sadar meremas ujung selimut, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa tidak nyaman yang merayapi tubuhku. Aku berusaha untuk tetap ada di sini, tetapi hatiku masih terperangkap di tempat yang lain.

    Setelah sarapan, aku pergi ke ruang tamu. Willy sudah duduk di sofa, memainkan ponselnya dengan santai. Tatapannya mengalihkan perhatian dari layar ponselnya begitu melihatku masuk. 

    “Eh, Mayang! Pagi-pagi udah bengong aja?” katanya, sambil tersenyum lebar.

    Aku hanya tersenyum tipis, berterima kasih atas upayanya. Willy memang selalu mencoba menghibur, tetapi kali ini aku merasa ada jarak yang sulit dijembatani. Dia mungkin tidak mengerti betapa kosongnya perasaanku. 

    “Kamu oke, kan, May?”tanyanya dengan cemas, melihatku yang terdiam lama. Aku tahu dia berusaha, tapi bagaimana bisa aku memberitahunya bahwa tidak ada yang bisa mengisi kekosongan ini?

    Aku mengangguk kecil, mencoba tersenyum, tapi rasa kosong di dalam diriku lebih kuat daripada kata-kata Willy. 

    “Aku baik-baik saja,” kataku, meskipun aku tahu itu hanyalah kebohongan. 

    Tidak ada yang bisa menghiburku. Rasanya, semua ucapan ini hanya bergema di ruang kosong, seperti tidak ada yang cukup untuk menyentuh bagian terdalam dari diriku yang terjebak dalam kebingungan.

    Jay masuk dari luar, mengenakan jaket kulit hitam yang sudah lama dia pakai. Senyumnya yang tenang menenangkan hatiku sedikit, meskipun perasaan canggung itu tetap ada.

    “Selamat pagi, Mayang,” sapanya, melepas jaket dan duduk di kursi di dekatnya.

    “Pagi, Jay,” jawabku pelan. Aku merasa nyaman dengan kehadirannya, meskipun aku tidak tahu bagaimana cara untuk benar-benar terbuka.

    “Mama bilang kamu sedang banyak berpikir?” tanya Jay dengan nada yang penuh perhatian.

    Aku mengangguk perlahan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Iya, Jay. Aku cuma… merasa bingung. Aku tahu aku sudah memilih untuk tinggal di sini, tapi entah kenapa, aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang hilang. Aku nggak bisa sepenuhnya merasa di rumah.”

    Jay mendengarkan dengan seksama, tidak terburu-buru untuk memberikan jawaban. Hanya diam, memberikan ruang bagiku untuk mengungkapkan perasaanku.

    “Gini, May…” kata Jay akhirnya, suaranya lembut namun dengan ketegasan yang mengalir.

    “Kamu nggak perlu merasa terburu-buru. Semua butuh waktu. Ini keputusan besar, dan itu pasti nggak mudah buat kamu. Aku bisa lihat kamu nggak merasa di rumah, tapi kamu nggak sendirian. Kita semua ada di sini buat kamu, meskipun kadang kita nggak ngerti semuanya. Kita punya jalan yang harus ditempuh bareng-bareng.”

    Aku menatapnya, mencoba memahami setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tapi perasaan kosong di dalam diriku masih lebih kuat daripada kata-kata yang dia ucapkan. Aku mengangguk perlahan, tetapi mataku berkelana ke tempat lain, mencari jawaban dalam ruang kosong yang ada di sekelilingku.

    “Mungkin kamu hanya perlu memberi dirimu waktu, May. Tidak ada yang langsung sempurna. Keluarga itu bukan tentang tempat, bukan tentang rumah yang besar atau kecil. Tapi tentang siapa yang ada di sana, siapa yang peduli sama kamu.”

    Aku diam, mencoba mencerna kata-kata Jay yang sepertinya penuh harapan. Tapi dalam hati, ada suara yang terus bertanya, apakah aku benar-benar bisa merasa di rumah di sini? Apa perasaan itu akan datang seiring waktu? Atau akankah aku tetap terjebak, terombang-ambing antara dunia yang lama dan yang baru? Seharusnya aku merasa lega, kan? Tapi kenapa rasanya justru semakin berat?

    Kata-kata Jay mengalir masuk ke dalam pikiranku, memberikan secercah harapan di tengah kebingunganku. Ya, keluarga ini mungkin tidak akan pernah menjadi seperti keluarga lamaku, tetapi mereka berusaha. Mereka peduli padaku.

    Hari itu berjalan perlahan, dan aku hanya berusaha untuk mengikuti alurnya. Sementara Willy tertawa dengan cerita-cerita konyolnya, dan Jay yang tampak tenang di sekitarku, aku merasa seperti sebuah benda yang mengambang. Semua orang tampak berjalan dengan ritme mereka sendiri, sementara aku tertinggal dalam kebingunganku yang tidak bisa aku jelaskan.

    Sore itu, setelah makan siang, aku memutuskan untuk berjalan di sekitar rumah. Mungkin udara segar bisa membantu menenangkan pikiranku. Aku menyusuri jalan setapak di belakang rumah, melewati taman yang sedikit terlantar. Angin bertiup pelan, dan daun-daun kering berterbangan, seolah mengingatkanku pada perasaan kosong yang tak kunjung hilang.

    Aku berhenti di dekat pagar belakang, menatap langit yang berubah menjadi oranye keemasan. Sesekali, suara burung terdengar dari kejauhan, tapi semuanya terasa begitu jauh—seperti aku mendengarnya dari dunia yang berbeda. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk mengisi ruang kosong dalam diriku. Tapi semakin aku berusaha, semakin kuat perasaan itu menggerogoti hatiku.

    Sepertinya setiap kali aku mencoba mencari tempatku di dunia ini, bayangan Bima selalu muncul. Wajah cerianya, senyum khasnya yang membuatku merasa aman di rumah lama. Tapi sekarang, semuanya berbeda. Aku tak bisa hanya berpaling dari keluarga baruku, meski ada bagian dari diriku yang ingin kembali ke rumah lama itu.

    Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki. Aku menoleh dan melihat Willy berjalan mendekat, wajahnya cerah, meskipun ada sedikit kerisauan di matanya.

    “Mayang, kamu kenapa?” tanya Willy, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Kamu kok kelihatan jauh banget.”

    Aku menggeleng pelan, berusaha menahan air mata yang hampir menetes. 

    “Aku cuma… merasa bingung, Wil.”

    Willy berhenti di sampingku, memandang langit yang sama. 

    “Tentang apa?”

    Aku menghela napas. 

    “Aku nggak tahu, Wil. Aku tahu aku udah membuat pilihan, tapi kenapa rasanya hati ini nggak bisa menerima semuanya? Aku cuma merasa… kehilangan.”

    Willy tidak menjawab langsung. Dia hanya berdiri di sampingku, memberi ruang tanpa merasa perlu berkata banyak. Kemudian, dia mengangguk perlahan. 

    “Itu wajar, May. Perasaan kehilangan itu, perasaan terjebak… semua orang pasti merasakannya saat memilih jalan hidup mereka.”

    Aku menatapnya, mencoba mencari kejelasan di matanya. 

    “Tapi bagaimana kalau aku salah? Kalau aku memilih sesuatu yang ternyata nggak sesuai dengan yang aku inginkan?”

    Willy tersenyum kecil, senyum yang penuh pengertian. “Kadang kita harus buat keputusan, May, meski kita nggak tahu apa yang bakal terjadi. Tapi satu hal yang pasti—kamu nggak akan tahu kalau nggak mencoba.”

    Kami terdiam sejenak, membiarkan angin membawa sepi yang ada di antara kami. Aku merasakan kenyamanan dalam kehadirannya, tetapi perasaan kosong di dalam hatiku tetap ada. Tidak ada kata-kata yang bisa mengisi ruang itu.

    Malam harinya, setelah makan malam bersama keluarga, aku kembali merasa berat. Semua terlihat baik-baik saja—Mama yang selalu perhatian, Willy yang penuh semangat, dan Jay yang selalu tenang dan mengerti. Namun, aku merasa terasing dari semuanya, sampai aku memutuskan untuk bangkit dari kursi dan berjalan ke ruang tamu. Tanpa berkata apapun, aku duduk di dekat Mama, meraih tangannya, dan menatapnya dengan mata yang penuh keraguan. 

    “Mama,” kataku, “aku masih butuh waktu. Tapi aku ingin mencoba.” 

    Senyum Mama yang lembut itu seolah memberi sedikit ketenangan, meski aku tahu perjalanan ini masih panjang.

    Aku berjalan ke teras belakang, duduk di kursi kayu yang telah lama ada di sana. Langit malam tampak begitu luas, dengan bintang-bintang yang berkelip redup. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma melati dari taman. Tapi, meskipun udara malam terasa sejuk, hatiku tetap terasa sesak.

    Aku mulai merenung, mencoba untuk menerima kenyataan bahwa ini adalah jalan yang kuambil. Aku telah memilih untuk tinggal bersama mereka, memilih untuk menerima keluarga baruku. Namun, dalam hati, aku masih merasa tidak utuh.

    Perasaan kehilangan rumah lama, kehilangan Bima, dan segala kenangan yang pernah ada—semua itu bercampur dengan rasa tanggung jawab terhadap keluarga baru ini. Aku ingin menjadi bagian dari mereka, ingin merasa diterima sepenuhnya. Tetapi kenapa rasanya selalu ada ruang kosong di dalam diriku? Apakah aku bisa benar-benar menemukan tempatku di sini?

    Sambil merenung, aku merasakan sebuah langkah pelan mendekat. Aku menoleh dan melihat Jay duduk di sebelahku tanpa berkata apa-apa. Dia hanya duduk diam, memandang langit yang sama, memberi ruang untuk aku berbicara, jika aku siap.

    “Jay,” aku akhirnya berkata, suara aku terdengar lebih lemah dari yang kubayangkan. 

    “Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Semua yang aku pilih terasa berat. Apa ini yang benar? Apa aku sudah memilih jalan yang tepat?”

    Jay tidak terburu-buru untuk menjawab. Dia hanya mengangguk pelan, menatapku dengan mata yang penuh pengertian. 

    “Mayang, kamu nggak perlu tahu semua jawabannya sekarang. Kamu nggak harus merasa semuanya sudah sempurna. Ini bukan tentang memilih jalan yang tepat atau salah, ini tentang memberi diri kamu waktu untuk menerima apa yang ada di depanmu.”

    Aku menatapnya, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya. 

    “Tapi, Jay, rasanya nggak mudah. Setiap hari, aku merasa seperti terjebak antara dua dunia. Aku ingin melupakan masa lalu, tapi aku juga nggak bisa begitu saja meninggalkan semuanya.”

    Bang Jay menatapku lama, seperti dia benar-benar melihatku. 

    “Aku tahu ini nggak mudah, May. Tapi kamu harus tahu, kamu nggak sendirian. Kami semua ada di sini. Mungkin nggak bisa langsung selesai, tapi kita bisa coba bersama. Tidak ada jalan yang harus kamu tempuh sendirian.”

    Aku merasakan kehangatan dari kata-katanya, meskipun hatiku masih merasa kosong. Tapi kata-kata itu memberi aku sedikit harapan. Mungkin memang tidak ada jawaban yang pasti sekarang. Mungkin perjalanan ini memang panjang dan penuh dengan keraguan. Tetapi dengan mereka, keluarga baruku, aku tahu aku tidak sendirian.

    Keesokan harinya, setelah perasaan itu mengendap dalam hatiku semalam, aku memutuskan untuk membuat langkah kecil. Aku memutuskan untuk mencoba lebih terbuka dengan keluarga ini, meski aku tahu perasaan ini akan terus menghantui. Ini adalah langkah kecil, bagian dari proses yang tak mudah. Aku harus memberi waktu untuk diriku sendiri, meskipun hati ini masih menolak kenyataan. Perubahan, seperti yang telah mereka katakan, membutuhkan waktu. Dan aku siap untuk menunggu, meskipun jalan itu tak pernah terasa secerah yang kuharapkan.

    Aku melangkah keluar rumah, merasakan udara pagi yang menyegarkan. Setiap langkah terasa seperti melangkah lebih dekat ke sebuah keputusan, meski aku tahu ini bukanlah akhir dari perjalanan. Sinar matahari yang menerpa wajahku seperti sebuah sinyal—mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Aku hanya berharap bisa menemukan tempatku di sini, bersama mereka. Mungkin, langkah-langkah kecil yang aku ambil hari ini akan membawa aku lebih dekat pada pemahaman yang lebih besar tentang siapa aku, siapa mereka, dan bagaimana kita bisa bersama-sama.

     

     

    Kreator : Fati Nura

    Bagikan ke

    Comment Closed: Kembali Menyatu

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021