Di sebuah kampung yang kini ramai oleh hiruk pikuk kota, tersembunyi kenangan masa kecilku yang syahdu saat Ramadhan. Kala itu, tahun-tahun awal puasa terasa seperti sebuah perayaan besar yang hening, jauh dari kilau gawai atau layar berwarna. Kampung kami masih sepi, diselimuti kegelapan yang sesekali dipecah oleh cahaya lampu pijar dari beberapa rumah yang beruntung sudah dialiri listrik. Salah satunya adalah rumah kami.
Aku, anak keempat dari enam bersaudara, tumbuh dalam suasana yang hangat sekaligus penuh tuntunan. Rumah kami bukan hanya tempat tinggal, tapi juga semacam mercusuar bagi warga. Ayah dan Ibu, sebagai tokoh agama dan masyarakat, membuat setiap Ramadhan terasa sakral.
Malam-malam menjelang sahur adalah waktu yang paling riuh. Jauh sebelum jam dinding kayu di ruang tengah berdetak ke waktu sahur, suasana kampung yang sunyi akan dipecah oleh suara-suara berirama. Kami menyebutnya ‘patroli sahur’.
Banyak anak-anak dan remaja kampung berkumpul, membawa alat-alat musik seadanya. Entah itu kentongan bambu, kaleng bekas yang dipukul, atau alat apa pun yang bisa menghasilkan suara keras. Mereka berjalan berkeliling, menabuh alat-alat itu dengan semangat diiringi teriakan riang, “Sahuuuuuur Sahur!, sahuuuuuuur Sahur!”
Tujuan mereka tidak lain hanya satu, yaitu membangunkan setiap penghuni rumah agar tidak terlambat menikmati santap sahur. Suara dentuman dan teriakan ini adalah alarm alami di kampung kami, alarm yang selalu dinantikan. Alarm yang tidak ditemukan pada malam-malam bulan lainnya, kecuali di malam bulan Ramadhan.
Setelah suara patroli berlalu, barulah Ayah, yang jarang tidur nyenyak, menjadi orang pertama yang bersiap membangunkan seisi rumah. Adalah Ibu, yang selalu siap menyajikan menu-menu favorit penggugah selera kami anak-anaknya. Suasana sahur kami selalu meriah namun teratur. Sebagai keluarga besar, meja makan kami dipenuhi oleh enam kepala yang masih setengah terjaga, tapi selalu bersemangat menyantap sajian yang Ibu hidangkan.
Menu sahur mungkin sederhana, tapi masakan Ibu selalu terasa Istimewa. Harum aroma nasi yang baru matang, sayur lodeh dan opor ayam atau sekedar dadar telur ayam adalah menu wajib yang dimasak dalam panci besar. Sambil makan, biasanya ayah akan memberikan nasihat singkat tentang makna puasa, yang kami dengarkan dengan mata setengah terpejam. Bagi kami, sahur bukan hanya makan, tapi juga ritual kebersamaan.
Setelah memasuki waktu imsak, ditandai dengan adanya suara sirine Kereta Api, kami diingatkan untuk bersama-sama ke Mushola depan rumah untuk melaksanakan sholat Subuh berjama’ah.
Siang hari selama puasa, suasana kampung sangat tenang. Jauh dari hiruk pikuk motor, hanya sesekali terdengar siulan angin. Hiburan kami hanyalah televisi hitam-putih di rumah. Meskipun hanya beberapa saluran dan gambarnya sering bersemut, TV itu menjadi pusat perhatian. Kami berenam duduk berhimpitan di lantai, menahan haus sambil menunggu waktu beranjak mendekati sore hari.
Menjelang sore, semangat kami kembali bersemi. Kami berkumpul bersama teman-teman sebaya, bermain petak umpet atau kelereng, atau bermain tali karet di halaman berdebu. Ngabuburit kami adalah membantu Ibu menyiapkan takjil sederhana, kolak pisang atau es sirup orange ABC dan mendengarkan lantunan ayat suci Alqur’an yang jelas terdengar dari Mushola.
Duk-duk-duk-duk-duk Suara bedug seakan menggetarkan alam dan disusul Adzan Magrib berkumandang. Suara berat dari pengeras suara mushola terasa menenangkan. Semua aktivitas seketika terhenti. Saat yang dinanti-nanti pun tiba. Kami berkumpul di meja makan bersama membatalkan puasa dengan buah kurma, atau takjil lainnya. Ayah dan Ibu mengajak kami, anak-anaknya, agar bergegas ke Musholla untuk melaksanakan salat Magrib berjemaah. Namun, momen yang paling ditunggu anak-anak kampung setiap kali hadirnya bulan Ramadhan adalah shalat Tarawih.
Rasanya bahagia sekali. Kegelapan malam diterangi cahaya rembulan dan lampu-lampu pijar yang minim di jalanan setapak. Kami berjalan bersama-sama menuju Mushola. Di sana, kami bertemu dengan kawan-kawan sebaya, saling menyapa dan berbagi cerita puasa hari itu. Tarawih bukan sekadar ibadah sholat saja tapi ia adalah ajang pertemuan sosial yang paling hangat. Yang biasanya jarang bertemu di siang hari akan bertemu di malam hari saat sholat Tarawih Bersama.
Yang menjadi kebiasaan wajib sehabis Tarawih, sebelum pulang kami anak-anak dikampung dibiasakan ikut Tadarus Al-Qur’an dulu. Kami duduk melingkar, dengan penerangan seadanya, bergantian membaca ayat demi ayat. Tradisi ini menanamkan cinta pada Al-Qur’an dan menjadi penanda bahwa malam Ramadhan adalah malam yang Istimewa, “malam yang lebih baik dari seribu bulan”. Demikian kata ayahku.
Setelah Tadarus selesai, kami berjalan pulang dengan hati gembira. Inilah saatnya ritual hadiah harian datang. Setiap malam, setelah berhasil menuntaskan satu hari puasa dengan baik tanpa gagal, Ayah atau Ibu baru memberikan kami hadiah kecil berupa uang receh Rp 100. Seratus rupiah kedengaran sangat kecil sekali di saat sekarang, tetapi sangat tinggi nilainya pada masa itu. Nilainya mungkin kecil, tapi bagi kami, itu adalah hadiah atau bisa dibilang sebagai piala atas sebuah kemenangan spiritual. Uang receh itu akan dimasukkan dalam celengan yang sudah disiapkan ayah untuk kami anak-anaknya ketika akan memasuki bulan Ramadhan. Aku menyebutnya “Celengan Bambu”.
Sesuai Namanya, Celengan bambu terbuat dari satu ruas bambu utuh yang bagian atasnya dilubangi kecil, cukup untuk memasukkan koin seratus rupiah. Tentu saja dipilih bambu yang sudah tua, karena akan awet dan tahan lama. Ayah kami menyebutnya “Tabungan Kebaikan.” Setiap bunyi “klinting!” saat koin jatuh ke dasar bambu adalah suara harapan kebaikan yang setiap hari akan selalu bertambah. Dan yang paling mengharukan, setiap akan tidur, aku sering memeluk celengan bambu itu erat-erat, seakan pengantar sebelum aku tidur. Celengan itu bukan sekadar tempat menabung, ia adalah jurnal fisik kami, mencatat setiap hari penuh berkah yang telah kami jalani selama bulan Ramadhan dan harapan kegembiraan dan kebahagiaan kami di Hari Raya atau Lebaran nanti.
Mendekati hari Lebaran, biasanya di sepuluh malam terakhir, momen yang mendebarkan tiba. Celengan bambu yang berat dan berisi diserahkan untuk dibuka. Kami menonton dengan napas tertahan saat Ayah atau Ibu membongkar dan mengeluarkan tumpukan koin seratusan yang jumlahnya sudah mencapai puluhan ribu.
Semua uang recehan hasil tabungan tersebut diserahkan kembali kepada Ibu. Uang itu sepenuhnya digunakan sebagai modal untuk dibelikan baju, dan Sepatu atau sandal baru untuk kami pakai di hari Lebaran.
Pergi ke pasar bersama Ibu untuk memilih baju adalah puncak dari seluruh perjuangan berpuasa. Kami tahu, setiap lipatan baju baru, setiap tali sandal adalah buah dari koin Rp 100 yang dikumpulkan dengan kesabaran selama bulan Ramadhan.
Di rumah kami, Ramadhan adalah sekolah kesabaran, keikhlasan, dan kehangatan sejati. Puasa di kampung yang sepi mengajarkan kami bahwa kebahagiaan terbesar terletak pada suara dentuman patroli sahur, tarawih keluarga, bunyi recehan celengan bambu, dan janji akan baju baru yang kami peroleh dengan ‘membeli’ dari hasil jerih payah kami sendiri. Sebuah kenangan sederhana tanpa Gawai yang kini terasa jauh lebih berharga dibandingkan dengan apa pun.
Kreator : Aliyah Manaf
Comment Closed: Kenangan Ramadhan Tanpa Gawai
Sorry, comment are closed for this post.