Bermula dari obrolan ringan di hari ulang tahun Nina. Rencananya topik yang diperbincangkan adalah kisah hidup masa kecil tapi justru agak serius endingnya. Dewi dan teman-teman lainnya mendapatkan nomor undian masing-masing, untuk mengisahkan masa kecil mereka yang membahagiakan, ideal sekali. Semua berjalan normal, tak ada hal menonjol yang perlu dijadikan perhatian hingga di tengah-tengah suasana hangat pertemanan tersebut, Dita alias Adit, sahabat Nina, mendapatkan undian nomor enam, giliran terakhir. Dita didaulat mengisahkan masa kecilnya dan ketika tiba gilirannya, Adit berkata,”Aduh, parah nih.”
“Ayo Dit, giliranmu. Maju atau batal?”tantangan mengarah kepadanya. Tatapan jahil teman-temannya mencoba menggodanya. Akhirnya,”Ya sudah lah, daripada harus menghabiskan segelas air jeruk tanpa gula itu,”ujarnya seraya mengambil pandangan sekilas ke atas meja, tempat gelas itu ditempatkan di tengah.
Dita mengawali kisahnya,“Berbeda jauh dari cerita teman-teman semua, kalau aku,”Dita menghela nafas lalu lanjutnya,”Hancur sekali. Aku dicekoki ajaran kebencian oleh ibu kandung sampai aku berhasil membenci ayahku sendiri. Bayangkan! Ibuku membenci diriku terlahir sebagai perempuan bahkan nama panggilanku dibuat agar tidak terdengar seperti anak perempuan. Dahulu, kasus KDRT belum viral seperti sekarang. Seandainya waktu itu KPAI sudah ada, pasti dia sudah dipenjara sekarang!”Adit berkata geram lalu lanjut berkata,”Ibuku sakit jiwa, ia sangat puas setiap kali berhasil melampiaskan kemarahannya kepadaku. Menurutnya, dengan menyiksa aku, dia berhasil membuat mantan khayalannya itu menderita juga.”
“Mantan khayalan?”tanya Angga yang sejak tadi menyimak penuh perhatian,”Ayahmu maksudnya? Bubaran di tengah jalan? Sudah meninggal atau bagaimana?”
“Ya. Edan ya? Dia pikir dengan menyiksa kamu, mantannya itu akan sengsara juga, begitu? Itu sih balas dendam namanya,”Elsa memberi respon sambil menunjukkan ekspresi geram,”Kamu kok kuat sih?”Elsa bertanya lebih lanjut.
“Siapa bilang? Aku sampai dua kali mau bunuh diri waktu SMA. Rencananya di kamar mau sayat nadi tapi batal karena takut melihat darah, lalu ganti rencana, bawa tali ke sekolah besoknya untuk gantung diri di WC tapi batal juga. Waktu itu, aku permisi ke guru mau ke toilet, bawa tali, eh pas mau gantung tali, konyolnya aku kebingungan cara tali-temalinya. Aku pertimbangkan lagi, kalau sampai tidak langsung mati, apa yang akan terjadi? Dan kalau benar berhasil mati, apa mungkin aku bisa malu ketahuan konyol?”
“Padahal walaupun jadi matikan sudah tidak bisa merasakan apapun termasuk tidak akan malu,”Yena menyela sambil terkekeh,”Lalu?”
Adit melanjutkan,“Nah, itu dia. Rupanya ada anak perempuan masuk ke WC. Tepat di tengah-tengah kekalutan, terdengar pintu utama toilet terbuka. Aku panik takut ketahuan, jadi aku segera menggulung lagi talinya dan keluar cepat-cepat sambil pura-pura bersikap tenang.”
“Selamat dong, kamu gak jadi mati,”Rani menyela.
“Iya badannya, tapi jeroan ku hancur lebur. Sepulang sekolah waktu itu, aku bingung lagi menghadapi Nenek Belanda edan itu!”kilah Adit.
“Nenek? Ibumu? Kok nenek Belanda sih?”
“Itu julukannya dari anakku. Anakku sekarang usianya dua belas tahun. Dia beri julukan itu setelah ketemu neneknya yang perawakannya seperti orang Belanda, rambutnya putih dan tinggi besar.”
“Anakmu kenal ibumu?”
“Sudah, bahkan sampai trauma. Kapok ketemu lagi katanya.”
“Kamu pernah tanya dia kenapa dia sampai trauma begitu?”
“Ya, dia bilang, nenek Belanda itu suka menekan, memaksa dan menyindir. Ucapannya selalu membuat sakit hati, katanya.”
“Dan sejak itu kamu tidak pernah ketemu ibumu lagi?”
“Jangan pernah lagi. Aku tidak yakin si Nenek itu bakal berubah. Aku was-was dia akan melakukan hal serupa lagi terhadap anakku. Semua sudah membaik lho setelah jauh dari pengaruh makhluk mengerikan itu. Keluarga aku tidak pernah sial lagi, sebaliknya jadi banyak rejeki, sehat, tenang, damai, bahagia, urusan apapun lancar, punya banyak teman yang baik dan cerdas. Pokoknya semuanya lurus-lurus saja, tidak pernah ada benturan hidup. Jauh berbeda dengan kehidupan yang aku jalani waktu masih berada di bawah payung bolongnya itu. Yah, mungkin di mata si Nenek bangka itu, keluarga suamiku dianggap keluarga kampungan, dari desa, status aku sekedar ibu rumah tangga, pemilik yayasan fiktif dan pengangguran, tidak seperti keponakan-keponakan kebanggaannya yang pejabat koruptor itu. Ibuku pernah beri aku tiga ratus ribu sambil berbisik untuk jangan sampai Mas, suamiku, tahu soal uang ini.”
“Terus kamu terima uangnya?”
“Dia memaki aku sombong kalau aku menolaknya, tapi aku tidak kehilangan akal. Aku beri tahu Mas soal itu, tentang diminta berbohong, padahal ibuku itu sangat religius. Dia sering menceramahi aku untuk jangan berbohong, jangan mengambil barang yang tidak diberikan, jangan melakukan pembunuhan, jangan berzinah dan jangan bermabuk-mabukkan seumur hidup. Buktinya dirinya sendiri justru memerintahkan aku untuk berbohong. Dasar munafik!”
“Dan ibumu itu?”
“Kurasa dia mengira aku akan patuh padahal kebobrokkannya itu sudah terbongkar hingga diketahui seluruh keluarga besar Mas, suamiku. Aku sengaja membuat laporan terbuka di momen arisan keluarga. Jangan salah paham. Aku tidak bermaksud berghibah atau menebar aib, tapi sebaliknya aku justru butuh dukungan mental dari mereka. Mereka membuatku merasa berharga. Mereka sangat suportif, tidak seperti ibuku yang suka menghina lewat cibiran ucapannya yang tajam. Aku merasa tertekan dan takut sekali akan keberadaan sosok setan Belanda itu.”
“Ibumu tidak pernah minta maaf?”
“Pernah, berkali-kali malah, tepatnya setiap bulan, setiap kali selesai menampar, menjambak dan membanting kepalaku ke tembok, minimal sebulan sekali. Dia sangat terampil membuat aku mimisan oleh tamparannya. Tak hanya itu, dia juga selalu memanjakan aku selama tiga hari berturut-turut setiap kali dia selesai beraksi.”
“Mengerikan ya?”Yena berkomentar.
“Bosan. Sudah gak percaya lagi aku sama dia. Minta maaf berkali-kali, berkali-kali juga dia melakukan kesalahan yang sama dengan pola serupa seperti orang ketagihan.”
“Sakit jiwa itu sih.”
“Memang tapi dia justru bangga lho bisa bolak-balik rumah sakit layaknya orang sibuk.”
“Jadi wanita karir maksudnya? Mondar-mandir ke rumah sakit sebagai pasien kok malah bangga. Benar-benar sakit itu sih!”ketus Angga.
“Seperti itulah gambaran hidupku. Kisah brengsek. Lho kok jadi pada mellow begini? Sudah cukup ceritanya? Sudah selesai bagianku? Ganti acaranya dong. Potong kue lagi atau buka kado atau apalah gitu?”Dita mencoba mengalihkan perhatian untuk mencairkan suasana.
“Hidup akan jadi indah kalau kita bisa menjaga emosi dan perasaan orang lain. Ibumu kualat, Dit! Dia tidak bisa jaga emosi. Dia meledak dan kamu jadi target paling mudah untuk jadi korban,”Elsa menyela.
“Sinetron banget. Klise,”timpal Angga ketus. Kemudian terdengar …
”Gubrak,” Adit terkejut ketika salah satu buku di atas meja kerjanya itu tergeser dan jatuh.
Adit terbangun,“Oh, ternyata aku tadi bermimpi toh?”dia bergumam. Rupanya tadi Dita alias Adit tengah tertidur dengan posisi kepala di atas meja akibat kelelahan bekerja dengan laptopnya, mengerjakan sebuah tugas karya tulis ilmiah bertopik KDRT.
Pesan Moral:
Jangan berperilaku kasar terhadap anak sebab anak akan merekam momen-momen buruk tersebut dengan baik dan menyimpannya seumur hidup hingga menjadi trauma atau bahkan dendam yang menghantui kehidupannya sampai mati maka jadilah orang tua yang waras, sehat, cerdas dan bijaksana agar bisa berkontribusi untuk banyak orang, bukan hanya sibuk memuaskan diri sendiri.
Kreator : Adwanthi
Comment Closed: KEPALA DI ATAS MEJA
Sorry, comment are closed for this post.