Sabtu pagi, Teka bangun seperti biasa membantu Ibu di dapur sebelum dipanggil dua kali ia sudah pergi ke belakang mengambil air wudhu dan shalat subuh. Merapikan tempat tidur sekenanya, lalu membantu Ibu menyiapkan sarapan pagi.
Sempat melongokkan kepala ke arah kamar Ibu, Hana masih tidur pulas.
“Nduk, hari ini ada yang pesan kue untuk acara syukuran. Bantu Ibu jaga Hana lepas pulang sekolah ya?” pinta Ibu sembari memindahkan dandang nasi dari kompor minyak tanah.
“Tapi nanti Teka mau kerja kelompok, Bu.” jawab Teka cemas.
“Kerja kelompok di mana?” tanya Ibu seraya menoleh.
“Di rumah Zul anak baru itu” lanjut Teka.
“Di mana rumah Zul?” tanya Ibu penuh selidik.
“Di kampung sebelah, Bu. Gimana kalau nanti siang Hana ikut Teka kerja kelompok?” pinta Teka.
“Adikmu nanti ganggu kamu belajar, Teka.” ujar Ibu.
“Gak kok, Bu. Teka bisa jaga Hana. Nanti dIbuatkan mainan untuk Hana biar ga ganggu.” lanjut Teka meyakinkan.
“Baiklah. Kalau ganggu, kamu bawa pulang saja, ya.” kata Ibu akhirnya.
Ibu agak berat hati mengizinkan Teka mengajak Hana, namun karena pesanan kue yang lumayan banyak dan mendadak akhirnya Ibu mengangguk.
Teka sarapan dengan Bapak dan Ibu, lalu berangkat sekolah. Saat Bapak mengeluarkan sepeda balapnya, Teka berpapasan dengan Ismail. Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, lukanya sudah mulai mengering. Ismail diantar Bapak ke sekolah dengan sepeda ontel.
“Bagaimana Ismail, Bang? Sudah sembuh lukanya?” tanya Bapak pada Bapak Ismail.
“Tinggal sikit lagi sembuh lukanya.” jawab Bapak Ismail seraya menghentikan sepeda tua.
“Syukur kau datang cepat, Guh. Kalau tidak, sudah kena gigitlah Ismail sama anjing gila”, ucap Bapak Ismail mengenang kejadian kemarin.
“Kebetulan aku lewat, Bang. Kalau ada orang lain juga pasti melakukan hal yang sama.” jawab Bapak santai.
“Belum tentu, Guh. bisa jadi malah lari pergi bukan menolong, anjing itu kalau sedang datang penyakit gilanya bisa mengejar siapa saja” ujar Bapak Ismail.
Bapak hanya mengedikkan bahu. Teka dan Ismail diam mendengar percakapan orang tua.
“Ayo lah, aku duluan. Sekali lagi, makasih banyak untuk bantuanmu, Guh.” pamit Bapak Ismail.
Nama Bapak adalah Teguh, tetangga biasa memanggil ujung dari nama Bapak.
“Sama – sama, Bang. Hati – hati di jalan.” balas Bapak.
“Aku pergi dulu, Bu.” pamit Bapak pada Ibu yang berdiri di ambang pintu.
“Hati – hati di jalan, Pak”, balas Ibu.
Teka menyalami Ibu, berpamitan.
“Nanti pulang kalau jalan sedang sepi. Tunggu orang dewasa lewat. Jangan jalan sendiri, Nak.” pesan Ibu masih ada nada khawatir dalam suaranya.
“Iya, Bu. Nanti Teka pulang ramai – ramai dengan teman.” jawab Teka.
Ibu masih di teras hingga Teka dan Bapak hilang dari pandangannya.
Teka dan Bapak berangkat. Bapak mengayuh sepedanya menuju sekolah, menurunkan Teka kemudian berangkat ke kantor.
Jarak kantor Bapak dengan sekolah memakan waktu sekitar 10 menit dengan kecepatan Bapak berkendara sebagai pembalap sepeda, kantor Bapak merupakan sebuah bangunan besar berlantai dua yaitu bandar udara atau airport, merupakan satu – satunya bandara di kabupaten dan kota yang menghubungkan antar pulau dan provinsi dari kota kami. Bapak bertugas sebagai penjaga keamanan dan ketertiban penerbangan di lingkungan bandara.
Sebelum bekerja sebagai keamanan bandara Bapak bekerja sebagai porter selama beberapa bulan, Bapak juga dulu sempat bekerja di pabrik kayu. Kesempatan datang saat seorang staf bandara, kenalan Bapak memberitahu ada lowongan pekerjaan sebagai security bandara.
Setelah melewati berbagai proses seleksi, pemberkasan dan wawancara akhirnya Bapak diikutsertakan dalam tes keterampilan khusus untuk menjadi keamanan bandara. Bapak juga berhasil memiliki lisensi atau surat tanda kecakapan personil.
***
Sepulang sekolah Teka segera makan, shalat dan berangkat bersama Hana ke rumah Zul. Ibu sedang sIbuk sedari pagi membuat adonan kue – kue, harum sekali bau kue yang tengah dipanggang Ibu.
Ibu sempat kewalahan dengan Hana yang tiba – tiba rewel dan minta digendong terus. Alhasil, sembari menggendong Ibu mengocok kue dengan kocokkan kayu. Untuk urusan belajar Ibu tidak pernah memberatkan Teka dengan tugas – tugas di rumah, seperti kali ini walau sedang repot Teka tetap diizinkan pergi kerja kelompok ke rumah Zul.
Teka menggendong adiknya dengan selembar kain panjang batik. Menyilangkan kain di antara pundak kanan dan pinggang kiri meletakkan adiknya dengan nyaman dan mengikat erat sisa kain di dadanya. Cara menggendong ini sudah diajarkan Ibu sejak Hana kecil. Teka telah terbiasa melakukannya. Kebiasaan ini pun lumrah dilakukan oleh penduduk desa saat akan berangkat bekerja ke sawah, pergi berdagang ke pasar atau ke hutan. Pada zaman itu kami tidak mengenal pembantu rumah tangga atau baby sister. Anak – anak dididik langsung oleh orang tua dan alam.
Setelah mencium tangan Ibu untuk berpamitan, Teka dan Hana berangkat. Matahari sudah tinggi, udara siang ini terasa panas. Teka mengendarai sepedanya pelan – pelan hingga sampai ke rumah Zul. Teka memarkirkan sepedanya di bawah pohon jambu.
“Aaah …ini teman Zul ya?” sapa seorang Ibu ramah dari samping rumah.
“Iya bu saya Teka, teman sekelas Zul. Kami mau mengerjakan tugas kelompok.” balas Teka agak kikuk.
“Ayo masuk … baru kali ini Zul kedatangan teman. Dia jarang bermain, sehari – hari membantu Ibu menjaga toko. Apa ini adikmu?” kata Ibu Zul sambil tersenyum.
“Iya, Bu. Ehm, Hana namanya.” kata Teka lagi.
“Ibu punya kue untuknya, sebentar ya. Aduh mana ini.”
“Zul….Zullll temanmu sudah datang.” Ibu Zul bergegas ke dalam rumah.
Teka geli bercampur lega Ibu Zul tidak seperti anaknya yang menyebalkan, Ibu Zul ramah dan baik hati.
“Aku baru tahu kalau kau jarang bermain.” ujar Teka memecah sunyi. Teka sedang menempelkan ranting kecil sebagai tulang untuk simbol padi dan kapas pada lambang garuda.
“Kami baru pindah ke desa ini jadi harus bekerja keras.” jawab Zul acuh. “Aku bukan anak manja.”
“Siapa yang kau maksud anak manja hah?!” seru Teka mulai naik pitam.
“He…he…he…” cengir jahat Zul.
Hampir saja Teka melempar pensil ke kepala Zul jika dia tidak ingat sedang dimana sekarang.
Selain menyebalkan, Zul ternyata memiliki kelebihan lain, mahir menggambar sketsa. Sebelum menempel bahan – bahan alam yang dimiliki, Zul menggambar sketsa dasarnya terlebih dahulu menggunakan pensil baru. Setelah itu, Teka yang menempelkan daun kering, ranting, kapas, bunga kering pada lambang garuda. Bersama – sama menempel gabah padi sebagai bahan utama untuk warna kuning keemasannya.
Teka menegakkan punggungnya, meregangkan tulang punggung dan pinggang yang sedari tadi membungkuk sambil meluruskan kedua kaki.
“Adik kau senang di sini.” kata Zul.
“Iya, aku pikir tugas kita tidak selesai hari ini.” balas Teka.
“Adikmu mana?”
“Sari dan Sri ikut Bapak ke toko. Hari ini Bapak tidak mencari ikan di sungai.”
“Kau pandai menangkap ikan, Zul?”
“Aku sering ikut Bapak menangkap ikan di laut, kami berangkat menjelang malam dan pulang menjelang pagi. Orang pesisir jago berenang dan menangkap ikan.”
“Kenapa kau pindah?” tanya Teka lagi ingin tahu.
“Hasil tangkapan ikan tidak menentu. Kadang banyak kadang pula sedikit. Kami tidak memiliki peralatan yang memadai untuk menangkap dan menyimpan ikan hasil tangkapan sehingga penghasilan menjadi nelayan tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup. Bapak memutuskan untuk pindah ke sini atas saran dari keluarga.” jelas Zul.
Teka hanya manggut – manggut mendengarkan cerita Zul.
Setelah mengemas peralatan dan sisa bahan tugas, Teka pamit dan mengucapkan terima kasih pada Ibu Zul. Menggendong kembali Hana yang malah merengek tidak mau pulang, Hana tertidur di atas kasur. Ibu Zul yang menimangnya tadi sebentar sebelum meletakkannya di tengah ruang tamu. Matahari sudah condong ke barat dan udara tidak sepanas tadi. Teka mengayuh sepedanya perlahan pulang ke rumah.
Kreator : Lemone tea
Comment Closed: Kerja Kelompok
Sorry, comment are closed for this post.