KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Kesempatan Kedua

    Kesempatan Kedua

    BY 20 Jul 2024 Dilihat: 154 kali
    Kesempatan Kedua_alineaku

    Hari itu hari jumat, aku bersama  suami berencana membawa ketiga anakku ke Pantai Talise menyaksikan keramaian  event Palu Nomoni yang beberapa hari terakhir menjadi topik yang ramai dibicarakan oleh masyarakat kota palu. 

    Pro kontra terkait pelaksanaan event tersebut juga sampai ke pendengaran kami. Jujur aku jadi penasaran seperti apa sih acara itu? Kalau hanya perhelatan budaya, bagiku yang awam memahaminya pastilah  hanya sekedar tampilan seni tari, tampilan musik tradisional yang pasti asyik di tonton. Karena ada banyak sekali alat musik tradisional, seperti “Lalove” yang hanya bisa aku dengar namanya tapi tak pernah melihat seperti apa rupanya dan bagaimana cara memainkan, juga yang bikin penasaran seperti apa bunyinya yg menurut kisah sa ngat merdu. Konon even itu juga akan didatangi banyak artis-artis yang tentu saja bagi aku ibu rumah tangga yang berkutat dengan begitu banyak pekerjaan rumah, akan menjadi hiburan yang menyenangkan. Menyaksikan keramaian, menikmati tarian dengan musik-musik yang indah… ahhh aku sangat ingin kesana dan membawa serta anak-anakku. Jarang-jarang di Palu ada Festival yang masuk gratis dan tidak berbayar. Apalagi aku dengar di sekitar pantai telah dibangun Soki-soki.. rumah-rumah kecil sebagai stand kuliner yang menawarkan semua makanan tradisional. Aku dan anak-anak pasti bahagia bisa menikmati kudapan tradisional yang sudah lama tidak kami cicipi. Meskipun ada kudengar sebagian tokoh agama tidak terlalu setuju dengan pelaksanaan acara tersebut, tapi dari iklan dan spanduk-spanduk yang kubaca acara itu tetap digelar. 

    Ba’da dzuhur, aku sudah meminta anak-anak untuk mandi dan bersiap-siap. Suami ternyata mendapat tugas kantor mengantarkan bosnya, hingga aku diminta memboncengkan saja ketiga anakku ke pantai dan Restu suamiku akan menyusul kami setelah selesai urusan mengantarkan bosnya. 

    Setelah Sholat ashar, Akupun bersiap-siap, karena harus membonceng ketiga anakku, akupun menggunakan pakaian casual, celana jeans, blouse dan jilbab senada. Tiga orang anakku, Eza, Moza dan Jaelani juga tampak riang karena diajak jalan-jalan sore itu. 

    Di lokasi sudah begitu banyak orang, jalanan macet hingga berulang kali aku bilang ke anak-anak untuk memeluk erat pinggangku. Alhamdulillah akhirnya aku mendapat tempat parkir motor yang tidak terlalu jauh dari panggung kehormatan. Di halaman kantor TVRI Sulteng. 

    Aku mengajak anak-anak turun dan berjalan menikmati keramaian. Tampak wakil walikota Palu  yang juga artis Pasha Ungu di atas panggung, mengarahkan dan melayani masyarakat yang ingin foto bareng. Dibelakangnya, dipinggir pantai nampak ada beberapa penari yang tengah melakukan ritual upacara Balia. Aku tertarik menonton karena seumur hidup aku belum pernah menyaksikan seperti apa ritual Balia itu dilakukan. Aku mengajak anakku berjalan mendekat. Tapi anak perempuanku menarik tanganku minta dibelikan siomay. Aku menuruti kemauannya dan membelikan ketiganya Siomay. Sambil memegang siomai aku kembali menarik tangan mereka lebih dekat ke penari Balia. 

    Saat itu aku mendengar Tadulako (Pemimpin ritual)   berteriak dalam bahasa daerah Tara,  mengundang penguasa laut di empat penjuru mata angin untuk datang mengambil bagian dari sesajen yang diletakkan di hadapannya, dari ibu-ibu di sampingku aku tahu bahwa semua sesajen dan kerbau itu akan di ladung sebagai persembahan untuk penguasa laut. Astagfirullah…. aku bergidik. Teringat bahwa inilah kenapa sesepuh kami melarang kami hadir dan menyaksikan ritual seperti ini. Karena ini bukan sekedar seni tapi sudah mengarah ke sirik. Belum sempat aku menarik tangan anakku untuk meninggalkan tempat pelaksanaan ritual tersebut tiba-tiba terjadi gempa yang sangat kuat. Aku hanya sempat menarik lengan Eza anak keduaku yang berdiri paling dekat denganku dan membawanya berlari, dua anakku Mouza dan Jaelani si bungsu lepas dari pengawasanku. Aku terkejut ketika melihat tanah tiba-tiba merekah di hadapan kami. Aku menarik lagi lengan Eza untuk menjauh dan dari kejauhan kami menyaksikan pemandangan yang begitu mengerikan Dimana rekahan tanah tersebut menelan begitu banyak orang, termasuk penjual siomay dan gerobaknya yang tadi sempat kami beli dagangannya. Ya… Allah… ya allah aku demikian ketakutan dan terus mengepit tangan anakku berlari ke arah jembatan. 

    Dalam pikiranku saat itu bagaimana kami bisa lari sejauh-jauhnya agar tidak terperosok kedalam tanah yang merekah demikian lebar. Nahas bagiku dan anakku tiba-tiba kami dihantam gelombang air laut yang begitu kuat, menarik aku anakku ke tengah dan menghantam kami berdua ke dinding jembatan. Aku yang memang tidak bisa berenang, membiarkan diriku terbawa arus, dengan tangan Ezza yang ku kepit kuat di ketiakku. Seluruh tubuhku tenggelam terbawa air, aku tidak merasakan apapun karena terlalu banyak air yang kuminum, beberapa kali aku kehabisan nafas karena tenggelam namun karena air begitu deras aku dan anakku kembali terangkat ke permukaan dan bisa mengapung serta mengambil nafas. Gelungan rambutku terbuka, karena rambutku menutup sebagian wajahku,  aku terengah kehabisan nafas, berusaha untuk bicara tapi mulutku terasa penuh oleh sesuatu yg tidak aku mengerti. Tiba-tiba kami kembali dihantam gelombang besar, rasanya lebih besar dari gelombang yang menghantam pertama. Kami kembali dihempas ke dinding batu, yang kuperkirakan dinding jembatan kuning, kesadaranku serasa hilang karena merasakan pukulan yang terlalu kuat ke tubuhku, aku merasa sangat sesak hingga berusaha bernafas lewat mulut. ” Ma, kuat ma… ” aku mendengar suara Eza anakku. Berusaha untuk membuka mata namun yang kulihat hanya air… dimana-mana air. ” Ezza kita Mati nak?” Eza menggeleng-gelengkan kepalanya ” Tidak ma, kita masih hidup, kalau kita ingat mati, maka kita pasti akan tetap hidup, ayo Ma… kita harus kuat, kita masih hidup” kata -kata Eza membuat semangat hidupku seolah kembali.  Aku kembali gelagapan namun tangan Ezza tetap kujepit kuat. Sementara tangan sebelah berusaha menggapai apa saja yang kira-kira bisa menahan tubuhku. Aku terus berusaha menggerak-gerakkan kaki dan tanganku, tiba-tiba tanganku meraih sesuatu, alhamdulillah batang pohon. Aku berusaha kuat menggerakkan badan untuk menempel dibatang pohon sambil terus berusaha kuat menarik Eza agar dia juga bisa meraih batang pohon. Kuasa Allah kami akhirnya bisa memeluk batang pohon tersebut. 

    Sejenak mataku kubuka dan meneliti batang pohon yang kami peluk, tidak terlalu besar, tapi jika aku memaksakan diri bersama anakku naik ke cabangnya  ada kekhawatiran cabang pohon itu akan patah. Karena aku tak lagi mampu bicara, dengan gerak tubuh kuminta anakku untuk naik ke cabang atas, sambil berdoa semoga tak ada lagi gelombang laut yg menghantam kami. 

    Eza rupanya memahami isyaratku, pelan-pelan dia melepaskan tangannya yang ku kepit dan mulai memanjat cabang pohon. Karena tubuhnya kecil dan ringan anakku yang baru duduk di kelas 6 SD itu akhirnya duduk menjuntai kaki dicabang pohon bagian atas. ” Ayo mama naik juga, itu cabangnya agak besar” katanya. Aku masih ragu-ragu. Sebagian tubuhku masih berada didalam air. Pelan-pelan kuturunkan tubuhku kedalam air, berusaha menjejak dasar air. Tapi hingga kepalaku terbenam kakiku sama sekali tak bisa menjejak dasar tanah, aku seolah masuk dalam pusaran lumpur, kakiku menjejak sesuatu seperti buah kelapa, aku langsung mendorong tubuhku kembali naik. Karena terpikir olehku, mana mungkin ada buah kelapa? Sepanjang pantai ini tak ada lagi pohon kelapa, Itu pasti kepala orang yang tenggelam. Aku bergidik dan berupaya memanjat naik ke cabang pohon yang agak besar. 

     

    Sekeliling kami mulai gelap, hanya cahaya bulan yang memberi penerangan hingga aku bisa melihat anakku yang masih berpakaian lengkap, bahkan masih bersepatu. Sementara aku, sudah telanjang tanpa baju dan celana jeans yang kupakai dari rumah. Di tubuhku hanya menempel celana dalam. Seluruh tubuhku tertutup lumpur, bahkan rambutku yang panjang pun penuh lumpur. 

    Saat itu baru aku sadar kalau pantatku tertusuk bambu. Kuraba pantatku masih tertinggal bambu yang menancap, bambu itu menyebabkan aku kesulitan duduk di cabang pohon. Dalam keadaan normal fakta itu pasti membuatku panik, takut dan kesakitan. Namun entah lari kemana rasa takut dan kesakitan aku meluruskan badan lalu mencabut bambu yang menancap di pantatku… aku meraba bekas tancapan bambu, tiga jariku bisa masuk dalam lubangnya, duh  besar sekali lubangnya.  Tanganku hangat oleh darah yang merembes tapi aku lega karena aku bisa duduk di cabang pohon. 

    Aku duduk diam, karena merasa begitu lelah, aku juga sulit mengeluarkan suara karena mulutku terasa penuh. ” Mama… mama dengar Eza, tak usah mama bicara, mama mengangguk atau menggeleng saja” kata Eza anakku. Aku menganggukan kepala ke arahnya. 

    Dadaku terasa nyeri, ingatanku kepada dua anakku Moza dan Jaelani, aihh bagaimana kalian nak? Ya Allah selamatkan mereka. Aku menepis bayangan menyeramkan yang tiba-tiba melintas. 

    Aku menengadah menatap langit, rasanya sudah hampir dua jam kami berada di atas pohon, ketika tiba-tiba kudengar suara? ” ibu … ibu naik ke bambu di bawah ibu! Suara teriakan yang berasal dari atas tanjakan jembatan. 

    ” Tidak bisa, mamaku besar” teriak Eza membalas teriakan dari atas. 

    Aku menatap Bambu yang melintas dan tertahan di pohon persis di bawah kami. Mungkin itu bambu atap atau dinding soki-soki pondok para penjaja makanan. Nampak seperti rakit, aku berpikir bisakah menahan  bobot tubuhku? Apalagi aku juga harus menaikkan Eza. 

    Eza perlahan merosot turun dan naik ke bambu, ” ayo Ma, mama duduk disini” katanya menunjuk bambu sebesar paha orang dewasa. Aku turun pelan – pelan dan berusaha memposisikan diri untuk duduk di bambu besar yang ditunjuk Eza. Alhamdulillah ternyata bambu tersebut bisa menahan menahan bobot badanku. Pelan-pelan kami bergeser dipandu oleh orang yang tadi berteriak dari atas jembatan. Kadang kami diminta menunduk karena melewati kabel-kabel yang melintang, kadang kami diminta mengarahkan rakit bambu kekanan agar tidak menabrak batang pohon. Alhamdulillah …. akhirnya kami sampai juga di tepi jembatan yang menanjak. Pelan-pelan kami turun dari rakit, aku tidak lagi memperdulikan tubuhku yang telanjang karena seluruh tubuhku tertutup lumpur yang sudah mengering. Eza anakku membawakan aku sebotol air mineral, mungkin sisa bekas minum orang. Aku minum dan memuntahkan sebagian isi perutku yang ternyata lumpur. Banyak juga yang aku muntahkan, barulah terasa sedikit ringan dan suaraku bisa keluar. Aku terkejut ketika tiba-tiba dipeluk oleh Mouza anak perempuanku, ternyata ketika dia terlepas dariku dia berlari kencang ke tanjakan jembatan, Lumayan Tinggi untuk dicapai tsunami namun juga aman dari patahan jembatan. Masya allah….. terima kasih yah Allah kau telah menyelamatkan anakku. Rupanya dia melihat kami yang diselamatkan oleh orang-orang tadi, tapi dia tidak mengenaliku yang penuh lumpur dengan rambut riap-riapan. Nanti saat aku bersuara baru dia mengenalku dan Eza. Dan  lari memelukku senang. Mouza juga menanyakan Jaelani padaku, karena mereka terpisah dan dia terus menangis sendirian karena tidak tahu harus kemana mencari kami. Aihh kasian anakku, pasti sangat ketakutan. Aku mengamati Mouza, sedikitpun dia tidak basah, masih lengkap dengan baju dan sendal yang dipakai saat kami meninggalkan rumah. Alhamdulillah ya Allah, aku tidak berhenti mengucap syukur pada Tuhan. 

    Karena kondisiku yang hanya bercelana dalam namun tertutup lumpur kering, dan suasana diatas jembatan juga gelap gulita, kami benar-benar hanya diterangi cahaya bulan, aku baru sempat meneliti diriku dengan baik. Darah masih mengucur dari pantatku yang tertusuk bambu, aku juga mengeluarkan 5 paku payung  yang menempel di sekitar  celana dalamku, Allahu akbar, ternyata itu semua yang membuatku dudukku tak nyaman, namun subhanallah sejauh ini aku tidak merasakan apapun, kondisi selamat, bertemu dengan anakku, membuat semangatku tumbuh, kami pasti akan menemukan si bungsu. Dia pasti juga selamat dan tak kurang sesuatu apapun juga seperti mouza. Aku kembali duduk sambil memeluk mouza. Eza berjalan mencari kalau-kalau sisa air bersih yang bisa diminum. Tak lama kulihat eza datang dengan seorang polisi  yang langsung membuka seragamnya dan memberikannya padaku. “Pakai  saja baju saya ini bu… ibu pasti kedinginan karena lama di air” aku menerima baju yang disodorkannya untukku tanpa bisa mengatakan apapun, kecuali mengangguk sebagai ucapan terima kasih. Ternyata ukuran baju tidak pas dengan bobot tubuhku, jadilah baju itu kupakai terbalik dengan punggung yang tak dikancing. Aku mengajak kedua anakku meninggalkan tempat itu. Turun dari jembatan kami terpaksa harus berjalan zig zag karena banyaknya mayat bergelimpangan. Cahaya bulan menerangi perjalanan kami. Aku merasa seolah berada di tempat asing, ada beberapa mobil yang lampunya masih hidup itu juga membantu kami menghindari jenazah yang tergeletak yang nyaris memenuhi sepanjang jalan yang kami pilih. Eza menyarankan kami untuk mencari masjid melewati malam.  Kami melewati jalan Ki Maja menuju jalan mulawarman, seingatku disana ada masjid besar. Sepanjang jalan sunyi, motor, mobil yang ditinggalkan pemiliknya rebah di jalan. Karena berjalan tertatih, rasanya lama sekali kami akhirnya sampai di masjid. Disana Kami tidak sendiri, dengan bantuan cahaya bulan aku melihat ada banyak orang yang memilih tempat itu untuk melewati malam. Aku memilih tempat yang agak sepi dan longgar, sehingga anakku bisa berbaring menunggu pagi. 

     

    Waktu berjalan begitu lambat, aku sama sekali tidak bisa tertidur meskipun mataku memejam karena memang sangat berat buatku untuk membuka mata, kata orang-orang yang menolong kami di jembatan tadi aku banyak menelan lumpur yang bercampur belerang, mungkin juga benar, kalau melihat lumpur yang menempel di tubuhku hitam, keras dan lengket. Kalau hanya lumpur tanah pasyi tak sehitam dan lengket seperti ini. Aku bersyukur juga karena tubuhku ketutupan lumpur hitam maka tubuhku yang tidak tertutup selembar kainpun aman dari pandangan orang. 

    Aku menepuk-nepuk bahu mouza yang tertidur kelelahan, kegelisahannya pasti karena sudah melewati kejadian luar biasa sore hingga jelang malam tadi. Mungkin akan terpeta dalam ingatannya sampai kapanpun, seperti juga pengalamanku dan Eza. Ya Allah… kalau aku ada disini sekarang bersama dua orang anakku, ini adalah kesempatan hidup kedua yang kau anugerahkan. Karena jika aku merefleksi kembali kejadian yang kami lalui tadi, benar-benar hanya kuasaMu yang bisa menyelamatkan aku dan anakku. Jaelani bungsuku,  semoga kau juga selamat nak. Pasti kau juga merasakan ketakutan yang amat sangat, terlepas dari ibumu dan saudara-saudaramu yang lain. ” Mama itu suara papa” aku tersentak dari lamunanku mendengar kata-kata Eza. ” iya..  lamat-lamat aku mendengar suaramu memanggil namaku, ” Nitaaaaaa…  Eza… mouza… Jaelani” bukan mimpi, itu nyata. Suara Restu suamiku, ” papa, kami disini..” teriak Eza sambil berdiri. ” papa kami disini”  seketika kulihat bayangan suamiku berlari kearah kami, tangisnya pecah sambil terus mengucap syukur.

    Setelah tangisnya mereda, baru dia menyadari bahwa si bungsu tak ada, suamiku kembali shock…  Dia bercerita setelah mengantar bosnya kembali ke rumah, dia segera mencari taxi..  karena tidak menemukan taxi dia pun berlari dari jalan tanjung tada ke pantai talise dengan perasaan yang tidak karuan-karuan. Beberapa kali dia harus berhenti karena goyangan gempa, bertemu dengan begitu banyak orang yang mau mengungsi ke ketinggian, jalan yang macet karena semua kendaraan searah menjauhi pantai, Membuat perjalanan sedikit terhambat. Sepanjang jalan dia meneriakan nama kami bergantian, karena gelap mulai menyelimuti kota, Listrik padam, dan orang berduyung-duyung bergerak ke arah ketinggian, suaranya mulai serak namun masih tetap berharap dia akan menemukan kami diantara sekian banyak orang. 

    Beberapa kali sepanjang perjalanan dia mampir ke masjid, karena terdorong harapan kami memilih menghabiskan malam di Masjid. Namun dia tidak putus harapan. Hingga dia Kembali mampir di masjid Dimana kami berada dan bersyukur akhirnya menemukan kami diantara orang-orang yang ada disini.

    Ya Ilahi, terima kasih untuk semua nikmat yang kau berikan kepada kami malam ini, kau telah menyelamatkan kami dari Tsunami yang menelan ratusan orang mungkin juga ribuan, ingatanku melayang kepada mereka yang terjerumus kedalam rekahan tanah, tidak sedikit manusia, kendaraan roda dua, kendaraan roda empat bahkan tenda penyelenggara keramaian yang tertelan bumi. Aku memejamkan mata, berusaha membuang rasa nyeri yang menghinggapi pikiran, dan semakin yakin diriku bahwa masing-masing kita menjalani takdir sendiri-sendiri yang akan mendatangi kita sekalipun kita berusaha menghindar. Ya Allah…. Kusapu air mataku yang tiba-tiba mengaburkan pandangan, alhamdulillah seolah tak akan berhenti lidahku mengucap untuk semua yang telah ku lalui hari ini.

     

     

    Kreator : Anna Sovi Malaba

    Bagikan ke

    Comment Closed: Kesempatan Kedua

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021