Tokyo, 10 Juli 2005
Siang ini adalah pengalaman pertamaku presentasi di luar negeri mewakili perusahaan tempatku bekerja. Ada perasaan cemas, gugup, tegang dan takut salah sebelum presentasi dimulai. Semua itu sirna ketika seluruh peserta meeting memberikan standing applause kepadaku. Pak Irwan, direktur utama tempatku bekerja, merasa senang dengan presentasiku. Bahkan, calon klien kami tanpa ragu-ragu memesan produk yang aku presentasikan tadi.
“Selamat ya, Win. Presentasimu luar biasa!” ucap Pak Irwan.
Seraya menepuk-nepuk pundakku, Pak Irwan membisikkan sesuatu.
“Win, nanti malam ada kejutan buatmu. Habiskan malam ini untuk bersenang-senang karena besok kita harus pulang ke Indonesia.”
“Eeehh… Iya, Pak. Terima kasih banyak.” kataku sambil berpikir kejutan apa yang akan aku terima nanti malam.
Tepat pukul sembilan malam, bel kamar hotel tempatku menginap berbunyi. Dari lubang kecil di pintu aku melihat ada seorang perempuan cantik berambut panjang, berkulit putih dan bermata sipit. Aku bergegas membuka pintu dan mempersilahkan wanita itu masuk ke kamarku. Dengan bahasa inggris yang kurang fasih, dia menjelaskan maksud kedatangannya. Ternyata, perempuan itu mendapatkan tugas dari Pak Irwan untuk menemaniku malam ini.
“Oh, ternyata ini kejutan yang dimaksud Pak Irwan tadi siang.” kataku dalam hati.
Tak terasa kami berbincang sampai larut malam. Sampai akhirnya aku melewati malam itu dengannya. Aku tak kuasa menahan hasrat sebagai seorang laki-laki dewasa. Kami berdua larut dalam sebuah hubungan yang seharusnya dilakukan pasangan suami istri.
Keesokan harinya, aku bertemu dengan Pak Irwan di bandara. Dia menanyakan kejadian semalam kepadaku.
“Kejutannya luar biasa kan, Win?”
Aku hanya tersenyum kecut dan tidak ingin menjawab pertanyaan Pak Irwan.
***
Setahun berselang, aku mendapatkan promosi menjadi Manajer Pemasaran. Sesuatu yang sangat membanggakan untuk kerja keras dan dedikasi yang sudah aku lakukan. Dengan karir yang bagus, fasilitas dari perusahaan yang terbilang cukup, tak lengkap rasanya kalau belum menemukan pendamping hidup.
Pada tahun yang sama, aku menikahi seorang perempuan bernama Davina yang selama ini menjadi rekan kerjaku. Dia sosok perempuan yang cantik, baik dan mandiri. Setelah menikah denganku, aku memintanya untuk tidak bekerja lagi agar fokus mengurus rumah tangga kami.
Kehidupan keluargaku begitu bahagia. Nyaris tidak pernah terjadi pertengkaran antara aku dengan Davina. Aku sangat mencintai Davina, begitu juga perasaannya kepadaku. Meskipun belum dikaruniai momongan, tapi kami berdua saling melengkapi dan menguatkan.
Sampai dengan tahun ketiga pernikahan kami, semua tampak baik-baik saja. Tepat awal tahun 2008, aku merasakan perubahan yang tidak biasa. Belakangan, aku merasa cepat lelah, sering pusing, mual disertai demam hingga beberapa kali jatuh pingsan di kantor. Wajahku terlihat pucat dengan bibir mengering. Beberapa teman mengatakan semakin hari tubuhku semakin kurus. Aku memang merasakan hal itu, tetapi tidak mempedulikannya.
Atas desakan Davina, akhirnya aku mengalah dan bersedia memeriksakan diri ke dokter. Dokter memberi saran kepadaku untuk melakukan medical check up dan kami kembali keesokan harinya untuk mengetahui laporan kesehatanku.
Bagai petir di siang bolong, aku sangat terkejut mendengar penjelasan dokter setelah membaca medical record. Dokter mengatakan bahwa aku telah positif mengidap virus HIV. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku hanya tertunduk lesu dan tidak berbicara sepatah katapun. Kemudian, dokter bertanya kepadaku tentang peristiwa yang terjadi selama tiga tahun terakhir. Aku menjelaskan kejadian suatu malam bersama seorang perempuan yang tidak pernah ku kenal saat bertugas di Jepang. Davina yang duduk di sampingku begitu terkejut dan tak kuasa menahan air matanya.
Hari demi hari aku lalui dengan kesedihan. Aku merasa tidak ada gunanya lagi hidup ini. Bayang-bayang kematian tidak pernah lepas dari benakku. Tekanan hidupku semakin berat karena setiap hari teman-teman di kantor sibuk membicarakan penyakitku. Lambat laun mereka menjauh karena takut tertular penyakit sial ini. Dengan berat hati, aku memutuskan untuk mengajukan resign dari kantor. Inilah hukuman yang pantas aku terima. Seandainya Tuhan memberikan kesempatan kedua kepadaku, ingin rasanya aku memperbaiki diri. Tetapi, apa yang bisa aku lakukan sekarang? Tidak ada! Aku hanya menyesal dan terus menyesal meratapi nasib.
***
Beruntung sekali aku memiliki istri seperti Davina. Dengan kondisi seperti ini, dia menerimaku apa adanya. Bahkan, dia tak pernah berhenti menyemangatiku. Davina bisa saja meninggalkanku mengingat hasil laboratorium menyatakan bahwa kondisinya sehat. Namun, hal itu tidak dilakukannya. Sikap Davina ini menambah rasa bersalahku kepadanya.
“Mas, besok aku antar kamu ke Yayasan Harapan Bangsa, ya.” ujar Davina.
“Untuk apa, Vin?”
Sejenak aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.
“Aku nggak mau, Vin! Aku tahu yayasan itu adalah yayasan untuk orang-orang yang menderita HIV. Benar begitu kan, Vin?” kataku dengan nada bicara keras.
“Aku tahu hidupku tidak berguna lagi. Tetapi, dengan membawaku ke sana, itu sama halnya dengan mempermalukanku.”
Air mataku mengalir deras. Davina mencoba menguatkan hatiku dengan menggenggam erat kedua tanganku.
“Mas Edwin, percayalah kepadaku. Ini saatnya untuk membenahi diri, Mas.”
“Kamu tidak boleh menyerah pada keadaan. Aku akan selalu mendampingimu, Mas.” ucap Davina meyakinkanku.
Keesokan harinya, Davina seharian menemaniku di Yayasan Harapan Bangsa. Dia mengenalkanku pada seseorang aktivis Yayasan bernama Andre. Mendengar pengalaman hidup Andre, aku menjadi terharu dan merasa malu pada Davina.
“Mas Edwin beruntung sekali mempunyai istri yang baik dan setia seperti Davina. Saya mengenal Davina sudah lama, Mas.”
“Mungkin penderitaan Mas Edwin tidak seberat saya. Saya sudah lama dibuang keluarga karena penyakit ini.”
“Istri saya pergi setelah tahu saya menderita HIV, Mas. Begitu juga dengan keluarga saya yang lain. Mereka semua menjauhi bahkan mengusir saya dari rumah.”
Andre menatap jauh ke depan seakan-akan memorinya kembali pada masa lalu.
“Mas Edwin ingin memperbaiki diri, kan? Inilah saatnya memberikan sisa hidup kita agar bermanfaat bagi orang lain, Mas.”
“Saya dengar dari Davina bahwa Mas Edwin punya hobi menulis. Lakukan hobimu itu dengan baik, Mas!”
“Mas Edwin bisa menceritakan pengalaman positif untuk dibagikan kepada teman-teman sesama penderita HIV. Dengan begitu kita bisa saling menguatkan, Mas” ujar Andre bersemangat.
Sedikit demi sedikit aku sudah mulai melupakan kesedihanku. Aku menulis semua pengalamanku hingga menghasilkan sebuah buku. Di luar dugaan, buku yang aku tulis itu mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat.
Aku tidak tahu kapan Tuhan akan memanggil, tetapi aku ingin sisa hidup ini bermanfaat bagi orang lain.
Kreator : Rudy Tri Hermawan
Comment Closed: KESEMPATAN KEDUA
Sorry, comment are closed for this post.