Lelaki itu duduk disampingku, perawakannya sedang, tidak terlalu tinggi dengan wajah yang selalu menunduk. Wajahnya ramah dengan senyum tipis selalu terlihat. Beliau juniorku di Organisasi ketika masih sekolah. Nasib membawa kami, sama-sama sibuk setelah tua. Sesekali masih berjumpa di acara pernikahan, melayat kawan yang meninggal atau berjumpa tak sengaja seperti saat ini dalam penerbangan yang sama. Kami duduk bersisian di ruang tunggu bandara dengan flight yang sama. ” Waktu gempa ada dimana?” Tanyaku memulai percakapan dengannya. Kenapa itu aku tanyakan, karena orang sesibuk beliau pastilah sering keluar kota melakukan Perjalanan Dinas, seingatku dia dulu kabag humas di pemprov. Lalu kemudian menjadi Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran di Kabupaten. Dan saat ini menjabat Kepala Badan Perencanaan Pengembangan Daerah (Bappeda). Dan saat tulisan ini di publish beliau menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Donggala. Allah menganugerahi beliau karir yang bagus dan sekaligus amanah yang berat. Dengan jabatan seperti itu tentu saja jadwalnya padat. “Waktu kejadian itu saya dirumah bersama istri dan anak lelaki saya yang berusia 13 tahun” katanya memulai kisah ” Sebenarnya oleh Bupati saya diminta untuk berangkat mendampingi beliau ke Jakarta menerima penghargaan dari Kemendiknas. Kadis yang menggantikan saya tidak bersedia berangkat karena penghargaan tersebut memang masih hasil pekerjaan saya, sewaktu masih menjabat Kadis Pendidikan, tapi karena padatnya pekerjaan saya minta ke Bupati untuk tidak hadir dan beliau memahami karena tugas yang akan saya lakukan juga adalah tugas mewakili beliau. Bersamaan dengan itu putri saya yang kuliah di Malang juga ingin saya mengunjungi dia ke Malang, karena katanya dia sudah menyiapkan sesuatu bahkan sudah membookingkan saya kamar hotel di tanggal 29 september tersebut. Saya menelpon putri saya untuk menjelaskan bahwa saya tidak bisa memenuhi permintaannya karena bahkan permintaan bupatipun juga saya tolak karena pentingnya pekerjaan yang harus saya lakukan, saya tau dia kecewa dengan penolakan saya, saya tandai dari suaranya yang parau dan itu hanya berarti dia menangis. Lama aku berpikir kenapa anakku sebegitu inginnya aku ke Malang, ternyata tanggal 29 September itu adalah hari ulang tahunku dan dia ingin memberiku kejutan di tanggal tersebut. Sepatutnya dia kecewa berat, tidak banyak waktu yang bisa kami habiskan bersama, dengan kesibukanku sebagai abdi negara apalagi dia juga tinggal diluar kota karena alasan pendidikan. Meski kecewa akhirnya dia tidak lagi memaksaku untuk berangkat” katanya menghentikkan kisahnya sejenak.
” Dan tanggal 28 September, saat kejadian dahsyat menimpa kota Palu, yang semestinya menjadi hari istimewa karena sehari setelahnya bertepatan dengan hari ulang tahun saya justru menjadi hari yang istimewa yang justeru tidak bisa saya lupakan seumur hidup saya, karena saya mendapat pelajaran dan hikma hidup yang luar biasa, sore itu saya baru selesai membersihkan tanamas Nenas di belakang kolam yang rumputnya sudah tinggi, kebiasaan merawat tanaman menjadi pengisi waktu luang saat tidak sibuk, saat sore maupun mengawali aktivitas pagi setelah berolahraga.
Karena rumput sudah selesai saya pangkas, ikan juga sudah saya beri makan, saya pun beranjak untuk mencuci tangan dan bersiap untuk melaksanakan sholat magrib. Tak ada firasat sedikitpun jika sore itu sesuatu yang dahsyat akan terjadi. Langit cerah bersih tanpa sedikitpun awan, seperti biasanya cuaca Palu disiang hari sangatlah panas karena matahari yang bersinar garang.Bahkan sore ini masih tersisa panasnya udara. Saat itulah ketika saya selesai mencuci tangan dan istri saya yang juga baru selesai merapikan cucian di area belakang rumah dikejutkan dengan guncangan gempa yang sangat keras. Spontan istri saya berlari saya berlari ke arah saya dan memeluk saya kuat agar tidak jatuh terpelanting. Namun guncangan yang demikian keras membuat saya juga tidak bisa menahan tubuh kami berdua untuk tetap tegak berdiri, kami berdua jatuh dengan lebih dulu membentur kran air tempatku mencuci tangan. Syukur kepada allah pagar tidak rubuh.
Astagfirullah, La ilaha illaulah,ucap kami berulang-ulang hampir bersamaan. Sambil berusaha bangkit berdiri, spontan saya menarik tangan istri saya untuk keluar ke halaman, namun sayangnya putra saya masih berada di dalam rumah, bahkan terkunci di kamar. Dengan tergesa sambil terus beristighfar saya berteriak dan menggendor pintu kamarnya, beruntung kamar tersebut masih bisa dibuka dari dalam, dan lemari yang rubuh tidak menghalangi jalan keluar putra saya di pintu. Geseran tanah yang keras membuat kami harus ekstra hati-hati keluar dari rumah sampai ke halaman dimana istri saya berdiri.
Sempat mata saya menangkap beberapa ekor ikan koi peliharaan saya yang sebesar lengan orang dewasa menggelepar di atas pavin Block terlempar keluar kolam karena kerasnya guncangan gempa. Ingin benar saya mengumpulkan ikan tersebut dalam ember dan mengisi air penuh-penuh agar mereka tetap hidup, namun niat tersebut urung karena kembali goyangan gempa mengguncang. Saya segera menyambar tangan istri saya, mengajak dia keluar untuk mencari tempat yang aman. Kami bergeser ke halam tetangga yang lebih lapang dengan sedikit pepohonan. Dari pagar rumah mereka yang roboh saya melihat begitu banyak orang yang berlari di sepanjang jalan poros HM Soeharto jalan paling besar di kompleks perumahan Petobo yang dihuni ribuan kepala keluarga, jalan yang jaraknya kurang lebih 100 meter dari arah rumah kami. Yang pertama kali terpikir oleh saya adalah lari ke halaman masjid dekat rumah saya, masjid dimana biasanya saya sholat berjamaah dengan warga yang lain. Sempat istri saya menyarankan agar kami balik kerumah dan mengambil mobil, saya menggeleng kuat, “Jangan pikirkan mobil saat ini, coba lihat betapa banyaknya orang di jalanan, mobil justru akan menghambat perjalanan kita”
Tiba-tiba saya mendengar suara gemuruh yang sangat keras, dan hiruk pikuk suara orang berteriak air…air…. Air…., dalam pikiran saya saat itu terlintas bahwa air tersebut berasal dari danau lindu yang jebol karena guncangan gempa yang dahsyat, karena seingat saya di perumahan kami tak ada sungai, taka da danau apapun yang bisa mengalir sederas suara gemuruh yang saya dengar saat ini. Namun betapa terkejutnya saya ketika mengetahui bahwa suara gemuruh itu bukan suara air, melainkan berasal dari bangunan yang saling bergesekan yang diakibatkan oleh pergeseran tanah. Akibat pergeseran tanah itu juga jalanan terlipat dan bergelombang setinggi tubuh orang dewasa. Aspal bertumbukkan sehingga pecah-pecah dan yang paling dahsyat dan menyeramkan rumah-rumah diseret kemudian digulung dan kemudian rumah yang terjeblos masuk ke dalam tanah. Pemandangan itu membuat saya bergidik ketakutan, ya Allah….. apakah sebenarnya yang terjadi? Saya terus mengajak istri saya berlari sesekali menengok ke belakang dan menyaksikan pemandangan yang begitu menyeramkan. Sambil berlari saya terus memandu istri dan putra saya untuk menyebut nama Allah. Saya melihat di kanan kiri kami rumah , pepohonan bergeser. Ada yang saling berbenturan dan menimbulkan suara berdebam keras, masya allah di benak saya dunia sudah kiamat. Istri saya menahan tangan saya dan bilang bahwa dia tidak kuat lagi berlari, tapi saya bilang tidak, kita harus terus berlari, kondisinya yang sudah sangat Lelah dan payah membuatnya oleng dan nyaris jatuh, tapi mustahil saya meninggalkannya, diapun akhirnya saya seret agar bisa terus berlari sambil menghindari tanah yang merekah dan bangunan-bangunan yang saling bertabrakan, Dengan wajah pucat pasi dia berucap “Pa saya tidak mampu lagi berlari, tinggalkan saja saya disini” “Tidak… kita harus kuat ayo kita harus sampai di masjid.” Kataku sambal terus menarik tangannya. Mengherankan masjid yang hanya 15 menit jaraknya dari rumah, malam ini terasa begitu jauh. Itupun sudah sambal berlari. Suara bangunan yang saling bertubrukan masih terus terdengar, suara-suara orang yang meminta tolong masih ramai terdengar. Subhanalah jalur yang kami lewati tidak seperti tanah di kanan dan kiri kami. Tidak terpikir oleh saya bagaimana hal itu terjadi. Sungguh kuasa Allah.
Saat tiba di masjid ternyata masjid sudah roboh, ketika kami menengok ke belakang sudah senyap, tak ada lagi suara hiruk pikuk manusia yang begitu banyak berlari, ternyata semuanya sudah tergulung oleh gelombang tanah yang bergerak, hanya hitungan detik ratusan aihhh mungkin ribuan orang akhirnya lenyap terkubur dalam tanah. Kami yang tersisa dan sampai di masjid mungkin tersisa 10 orang, terdiri dari beberapa orang dewasa dan remaja dan anak-anak. Saya mengingatkan istri saya untuk berdiri di bahu jalan jangan di badan jalan. Namun hanya berselang beberapa menit kembali terjadi pergeseran tanah. Krek…krek….krek… suara tanah terbelah dengan gerakan berlawanan arah. Hal itu membuat kami semua ketakutan. Tiba-tiba istri saya terpelanting dan rebah diatas aspal yang bergeser terbawa agak jauh dari tempat saya berdiri,Disaat yang sama motor0motor yang di parkir juga jatuh dan menimpa istri saya. Saya berbalik memanggil putra saya yang langsung menghentikkan langkahnya yang tengah berlari. Naas tanah dibawah saya bergerak dan menjepit kuat kaki saya hingga semata kaki. Perlahan saya coba gerakkan untuk menarik sama sekali tidak bergerak, tanah mengunci rapat sebelah kaki saya dengan kuat, La illaha illaullah, muhamadarasulullah… saya begitu panik karena tidak bisa menarik kaki saya yang terjepit tanah aspal, sementara saya juga tidak bisa membantu istri saya yang rebah diatas aspal dan tertimpa motor-motor yang parkir dengan posisi stang kaki menusuk perutnya. Sementara tanah terus bergeser membawa istri saya menjauh dari tempat saya berada. Anak saya juga terbawa tanah naik meninggi dan hanya bisa saya teriaki untuk tidak bergerak, dikejauhan dia seolah terpaku melihat kondisi saya dan ibunya. Namun posisi diam menguntungkan dia, karena jika di melngkah sedikit saja maka tanah itu pasti akan menggulung dan menenggelamkan dia.
Saya kembali berusaha menarik kaki saya sekali lagi, Maha suci Allah sama sekali dia tidak bergerak. Saya menghentikkan usaha saya dan diam terpekur, Saat itu saya teringat pelajaran pasrah dan tawaqal dari almarhum pak Sikiman” katanya menyebut Almarhum Papa saya. Saya diam dan mendengarkan kisahnya dengan khikmat “Waktu itu pelajaran tentang pasrah dan tawaqal yang saya dengar dari orang tua itu hanya bisa saya khayalkan dan menduga-duga. Karena belum merasakan kondisi seperti apa itu yang namanya Tawaqal. Saat itu, ketika saya melihat kenyataan bahwa saya tidak mampu menolong istri dan anak saya, bahkan tidak mampu mengeluarkan kaki saya yang terjepit saya menerima kenyataan bahwa tidak ada seorangpun yang mampu menolong kami selain Allah swt. Menyadari itu saya langsung menyerahkan diri saya, istri dan anak saya kepada Sang Pemilik Hidup. Lahaulawala quata illah billah, gumam saya saat sambil berdoa, ya Allah jika sekiranya saat ini Takdir kematian kami tiba, tolong matikan kami dalam husnul khatimah, jangan pisahkan saya dengan istri dan anakku agar sekiranya keluarga mencari jasad kami, mereka dimudahkan karena kami tidak terpencar. Saya terus melafaskan zikir sambil berpasrah kepada Allah. Qadarullah tiba-tiba saja kaki saya bisa saya keluarkan dari dalam tanah. Saya berteriak penuh syukur dan langsung bangkit berdiri, setengah berlari kearah istri saya membantunya berdiri dan mengajaknya berjalan ketempat anak kami. Saya kembali mengajak istri saya berlari kehalaman masjid, disana saya menemukan beberapa jamaah yang juga memilih untuk berlindung dihalaman masjid, karena masjidnya sendiri sudah rubuh. kecuali desah nafas yang diiringi suara lirih zikir dari kami yang terkumpul beberapa orang. Saya teringat bahwa saya belum sempat melaksanakan sholat magrib sebelum gempa, sayapun mengajak istri dan anak saya untuk sholat. Tapi baru saya sadari bahwa pakaian yang saya pakai sangat tidak pantas dipake sholat karena saya menggunakan baju kaos dan celana pendek, sementara istri saya juga menggunakan baju rumah. Tapi saya tetap mengajak istri saya melaksanakan sholat karena yakin Allah pasti memaklumi kondisi kami. ” ayo mah, duduk dekat sini” kataku mengajak istri dan anakku mendekat. ” saat ini kita putuskan semua hubungan dan ingatan kita dengan makhluk. Kita fokus semata-mata kepada Allah. Kita sholat walaupun dengan pakaian yang tak pantas, mungkin tanah inipun tak pantas kita gunakan untuk tayamum tapi harus kita lakukan. Kamipun tayamun dan melaksanakan sholat, Saat sholat itulah saya merasakan sungguh-sungguh kedekatan dengan Allah, dekatnya mati pada makhluk, sehingga tak terasa air mata saya membanjir seolah tak mau berhenti, ya Rabby…. sekiranya malam ini ditakdirkan sebagai malam terakhir kami, tolong matikan saya, istri anakku dalam keadaan husnul khatima, jangan pisahkan kami ya rabby…. doaku berulang-ulang, istri dan anakku juga sholat, meski dengan pakaian dan kondisi yang sangat jauh dari yang sepantasnya. Demikian pula orang-orang yang berkumpul bersama kami kurang lebih sembilan orang. Gempa masih terus berlangsung, tanah disekitar kamipun terus bergerak. Setelah selesai sholat kami duduk saling memandang dan saya memecah keheningan ” pak Imam, dalam islam diajarkan kita tidak boleh mati konyol menunggu ajal, kita harus keluar dari tempat ini. Sekiranya kemudian nanti ajal menjemput setidaknya kita sudah berusaha menyelematkan diri” pak Imam kebetulan ada dalam rombongan kami menyatakan setuju dengan pendapatku lalu kamipun berdiri dan beranjak mencari jalan keluar. Karena akhirnya kami menemukan fakta bahwa kami terkurung didalam lingkaran tanah yang membukit, tadinya saya dan teman-teman menyangka tanah yang mengurung kami hanya setinggi laki-laki dewasa. Ternyata tanah menggulung dikiri kanan dan muka belakang kami berhenti tepat beberapa centi disamping kanan, kiri, muka serta belakang kami yang tengah sholat bukan hanya setinggi laki-laki dewasa tapi kami menemukan fakta bahwa kami dikurung oleh tanah yang membukit kurang lebih setinggi enam meter. Subhanallah. Menggunakan senter tablet putra saya yang sempat dia bawa ketika meninggalkan rumah kami akhirnya mencoba mendaki gundukan tanah tersebut dan menyaksikan sejauh mata memandang tanah rata menenggelamkan sebagian rumah dan memporak porandakan segalanya. Aspal jalan yang menggunung setinggi kepala orang dewasa, ratusan rumah yang luluh lantak. Manusia yang terkubur separuh tubuhnya kedalam tanah, saya bergidik membayangkan bagaimana rasanya dijepit kuat oleh tanah, karena saya sudah merasakan bagaimana kaki saya terjepit dan sama sekali tidak mampu saya goyang apalagi membebaskannya dari jepitan tanah sekiranya Allah swt tidak menolong. Serasa kami baru saja dibangkitkan dari kubur menyaksikan pemandangan disekitar kami. Berulang-ulang kami harus mengusap air mata haru, air mata syukur karena telah diselamatkan dari bencana yang mustahil bisa kami lewati tanpa pertolongan Allah.
Yah kami masih hidup, kami selamat dan diberi kesempatan kedua untuk melanjutkan hidup. Kami adalah sisa-sisa manusia yang malam itu berlarian tanpa arah, berusaha menyelamatkan diri. Dari sekian ratus mungkin juga ribuan yang berlari kami yang tersisa. Allah memberi kami kesempatan kedua. Semoga kami bisa mengisi hidup kami dengan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Terima kasih ya Allah…..
Kreator : Anna Sovi Malaba
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Kesempatan Kedua (Part 2)
Sorry, comment are closed for this post.