Dia menghela napas dan menghempaskannya di ruang rindu yang sunyi. Pancaran mata tajam terlihat lesu dengan keinginan untuk merangkul dan bersandar teduh di bahu kekar itu. Rasanya sesak dada ini ketika mengingat belaian manis dari tangan pencari nafkah. Dia dengan sifat manja mengadukan segala kesedihan ataupun kegembiraan pada wajah berwibawa yang terpajang elegan di ruang tamu. Hanya potret yang bisa dipandang, raganya telah melebur menjadi desiran debu. Haruskah aku hidup dalam tangisan? Sedangkan gumpalan awan gelap tak kunjung terbendung di kedua mata ini. Lantas, bagaimana aku membungkam rintihan keluhan yang terus menggema?
“Febi… Febi… Tolong mau WC!” Panggilan suara berat dengan kalimat terbata-bata.
“Di sini saja, nanti akan ku bersihkan setelah bapak selesai BAB.” jawabku.
Beralaskan koran dan handuk kecil bergelantungan di pinggir ember. Ku sediakan untuknya yang tak berdaya melangkah akibat sakit yang diderita. Polesan sabun membantu mengurangi aroma tak sedap dan membersihkan area bokongnya. Rasa jijik?? tidak sama sekali. Aku hanya ingin dia kembali pulih.
“Pelan-pelan ya, Bap. Berbaringlah. Aku buang kotorannya dulu di WC.”
Tok..tok..tok.. Terdengar ketukan suara pintu.
“Siapa? Sebentar!”
Namun, Pintu itu terus digedor.
“Iya .. Iya .. Eh, Tanta.”
“Bapakmu mana?” Wanita setengah paruh baya, berkulit sawo matang, melontarkan pertanyaan padaku.
“Lagi berbaring di kamar.”
Dia dengan sigap membalikkan badan, dan pandangannya mengayunkan langkah kaki menuju tempat pembaringan Bapak. Percakapan singkat antara kakak dan adik namun hanya terdengar satu suara, sedangkan yang lainnya seperti bergemuruh. Kemudian, hentakan sepatu pantofel menyapa kami.
“Sudah pulang, Ma?”
“Iya, sayang.”
Raut wajahnya tak bersemangat karena kelelahan. Walaupun begitu, dia wanita karier yang hebat, mampu menjalankan peran serta tanggung jawabnya sebagai staf, istri dan ibu.
Lima tahun lamanya penyakit itu merenggut keceriaan keluarga kecil mereka. Beban yang dipikul terasa berat, namun apa daya semua dijalankan dengan tabah dan mencoba kuat. Segala upaya sudah dilakukan, mulai dari pengobatan medis, obat herbal, obat tradisional, hingga terapi mingguan. Akan tetapi, hanya ada perubahan kecil yang terlihat.
“Ahh.. Setidaknya, Bapak sudah melangkah sedikit demi sedikit dan pengucapannya lumayan jelas, walau tangan kirinya masih belum ada kemajuan. Tak bergerak sama sekali.”
“Iya, Feb. Intinya ada perubahan dan harus disyukuri itu. Tuhan juga tahu bagaimana pengorbanan kita. Panjatkan doa selalu dan percaya pada-Nya.”
Dia menunda rencana studinya demi merawat bapaknya. Memberikan perhatian khusus dengan keyakinan bahwa bapaknya akan sembuh.
“Makanan apa ini?? Buang. itu seperti makanan hewan!” amarah itu jelas sekali dari ruangan makan.
Bapak sudah tak mau menyantap makanan berkuah yang disediakan untuknya. Pantang bagi Bapak untuk mengkonsumsi daging, dan tumisan sayur yang berminyak.
“Makanan ini baik untukmu, Pa. Saya tahu mungkin tidak sesuai selera, tapi ini yang terbaik untuk kesehatanmu.” sahut Mama menenangkan.
Aku dengan secepat kilat membasuh tubuh yang masih dilumuri busa sabun lalu handuk dililitkan pada tubuhku. Suasana perlahan mereda walaupun terlihat Bapak mengunyah makanan dengan keterpaksaan. Mama mengangkat alisnya, matanya menatapku sejenak sebelum menghela nafas pelan. Mulutnya sedikit bengkok seperti ingin berkata sesuatu, tetapi dibiarkan begitu saja. Sesaat bahunya terangkat ringan, memberi isyarat pasrah atas apa yang baru saja terjadi.
Suara sirine ambulans mengantar kepergian jiwa yang terbaring kaku. Febi terpaku seakan tak percaya bahwa sosok yang terbujur itu adalah bapaknya. Duka merayap, menyelimuti setiap sudut rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan. Dia ingin berkata, tapi lidahnya kelu.
“Segalanya terasa begitu cepat, Ma. Bapak sudah pergi.”
“Bangun, Pa! Bangun!!”
Peristiwa beberapa jam yang lalu masih terpatri jelas di benaknya. Seakan ada penyesalan yang mengendap di dada, menusuk hingga ke relung terdalam. Dia tak mampu menyelamatkan cinta pertamanya. Terluka, sangat terluka! Ratapan dua wanita dengan mata sayu dan lembab, duduk layu di pinggir peti.
“Bapak, sudah pagi! Ayo mandi, sarapan juga sudah siap… Ayo, Pa.. Bangun.” bisikan terakhir tanpa pernah mendapat balasan.
“Bapak tidak meminta sakit. Stroke sudah menjadi garis hidupnya. Dia telah membawa deritanya pergi, dia tak sakit lagi.”
“Iya, Ma.”
Dia melayangkan kepalanya di bahu wanita yang telah memperkenalkan dunia untuk bersandar. Kemudian, gapaian tangan pun memeluk erat anak gadisnya.
“Tak ada yang menginginkan perpisahan namun kita tidak akan berlarut juga dalam kebersamaan. Kita hanya sedang di uji oleh Sang Kuasa untuk berlapang dada menerima kenyataan yang telah pergi…sebab hidup tidak berhenti disini. Merelakan dia atau mereka adalah kekuatan untuk jiwa abadi”.
Kreator : Leny Fios
Comment Closed: Kesunyian Yang Membekas
Sorry, comment are closed for this post.