KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Kesunyian Yang Membekas

    Kesunyian Yang Membekas

    BY 29 Mar 2025 Dilihat: 54 kali
    Kesunyian Yang Membekas_alineaku

    Dia menghela napas dan menghempaskannya di ruang rindu yang sunyi. Pancaran mata tajam terlihat lesu dengan keinginan untuk merangkul dan bersandar teduh di bahu kekar itu. Rasanya sesak dada ini ketika mengingat belaian manis dari tangan pencari nafkah. Dia dengan sifat manja mengadukan segala kesedihan ataupun kegembiraan pada wajah berwibawa yang terpajang elegan di ruang tamu. Hanya potret yang bisa dipandang, raganya telah melebur menjadi desiran debu. Haruskah aku hidup dalam tangisan? Sedangkan gumpalan awan gelap tak kunjung terbendung di kedua mata ini. Lantas, bagaimana aku membungkam rintihan keluhan yang terus menggema?

     

    “Febi… Febi… Tolong mau WC!” Panggilan suara berat dengan kalimat terbata-bata. 

    “Di sini saja, nanti akan ku bersihkan setelah bapak selesai BAB.” jawabku. 

    Beralaskan koran dan handuk kecil bergelantungan di pinggir ember. Ku sediakan untuknya yang tak berdaya melangkah akibat sakit yang diderita. Polesan sabun membantu mengurangi aroma tak sedap dan membersihkan area bokongnya. Rasa jijik?? tidak sama sekali. Aku hanya ingin dia kembali pulih. 

    “Pelan-pelan ya, Bap. Berbaringlah. Aku buang kotorannya dulu di WC.”

     

    Tok..tok..tok.. Terdengar ketukan suara pintu. 

     

    “Siapa? Sebentar!”

     

    Namun, Pintu itu terus digedor. 

     

    “Iya .. Iya .. Eh, Tanta.”

    “Bapakmu mana?” Wanita setengah paruh baya, berkulit sawo matang, melontarkan pertanyaan padaku. 

    “Lagi berbaring di kamar.”

     

    Dia dengan sigap membalikkan badan, dan pandangannya mengayunkan langkah kaki menuju tempat pembaringan Bapak. Percakapan singkat antara kakak dan adik namun hanya terdengar satu suara, sedangkan yang lainnya seperti bergemuruh. Kemudian, hentakan sepatu pantofel menyapa kami.

     

    “Sudah pulang, Ma?”

    “Iya, sayang.” 

    Raut wajahnya tak bersemangat karena kelelahan. Walaupun begitu, dia wanita karier yang hebat, mampu menjalankan peran serta tanggung jawabnya sebagai staf, istri dan ibu. 

     

    Lima tahun lamanya penyakit itu merenggut keceriaan keluarga kecil mereka. Beban yang dipikul terasa berat, namun apa daya semua dijalankan dengan tabah dan mencoba kuat. Segala upaya sudah dilakukan, mulai dari pengobatan medis, obat herbal, obat tradisional, hingga terapi mingguan. Akan tetapi, hanya ada perubahan kecil yang terlihat.

     

    “Ahh.. Setidaknya, Bapak sudah melangkah sedikit demi sedikit dan pengucapannya lumayan jelas, walau tangan kirinya masih belum ada kemajuan. Tak bergerak sama sekali.” 

    “Iya, Feb. Intinya ada perubahan dan harus disyukuri itu. Tuhan juga tahu bagaimana pengorbanan kita. Panjatkan doa selalu dan percaya pada-Nya.”

    Dia menunda rencana studinya demi merawat bapaknya. Memberikan perhatian khusus dengan keyakinan bahwa bapaknya akan sembuh. 

     

    “Makanan apa ini?? Buang. itu seperti makanan hewan!” amarah itu jelas sekali dari ruangan makan.

     

    Bapak sudah tak mau menyantap makanan berkuah yang disediakan untuknya. Pantang bagi Bapak untuk mengkonsumsi daging, dan tumisan sayur yang berminyak. 

    “Makanan ini baik untukmu, Pa. Saya tahu mungkin tidak sesuai selera, tapi ini yang terbaik untuk kesehatanmu.” sahut Mama menenangkan. 

    Aku dengan secepat kilat membasuh tubuh yang masih dilumuri busa sabun lalu handuk dililitkan pada tubuhku. Suasana perlahan mereda walaupun terlihat Bapak mengunyah makanan dengan keterpaksaan. Mama mengangkat alisnya, matanya menatapku sejenak sebelum menghela nafas pelan. Mulutnya sedikit bengkok seperti ingin berkata sesuatu, tetapi dibiarkan begitu saja. Sesaat bahunya terangkat ringan, memberi isyarat pasrah atas apa yang baru saja terjadi.

     

    Suara sirine ambulans mengantar kepergian jiwa yang terbaring kaku. Febi terpaku seakan tak percaya bahwa sosok yang terbujur itu adalah bapaknya. Duka merayap, menyelimuti setiap sudut rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan. Dia ingin berkata, tapi lidahnya kelu. 

    “Segalanya terasa begitu cepat, Ma. Bapak sudah pergi.” 

    “Bangun, Pa! Bangun!!”

     

    Peristiwa beberapa jam yang lalu masih terpatri jelas di benaknya. Seakan ada penyesalan yang mengendap di dada, menusuk hingga ke relung terdalam. Dia tak mampu menyelamatkan cinta pertamanya. Terluka, sangat terluka! Ratapan dua wanita dengan mata sayu dan lembab, duduk layu di pinggir peti. 

    “Bapak, sudah pagi! Ayo mandi, sarapan juga sudah siap… Ayo, Pa.. Bangun.” bisikan terakhir tanpa pernah mendapat balasan. 

    “Bapak tidak meminta sakit. Stroke sudah menjadi garis hidupnya. Dia telah membawa deritanya pergi, dia tak sakit lagi.” 

    “Iya, Ma.” 

     

    Dia melayangkan kepalanya di bahu wanita yang telah memperkenalkan dunia untuk bersandar. Kemudian, gapaian tangan pun memeluk erat anak gadisnya. 

     

    “Tak ada yang menginginkan perpisahan namun kita tidak akan berlarut juga dalam kebersamaan. Kita hanya sedang di uji oleh Sang Kuasa untuk berlapang dada menerima kenyataan yang telah pergi…sebab hidup tidak berhenti disini. Merelakan dia atau mereka adalah kekuatan untuk jiwa abadi”.

     

     

    Kreator : Leny Fios

    Bagikan ke

    Comment Closed: Kesunyian Yang Membekas

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021