KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » KETELADAN GURU KUNCI SUKSES INTERNALISASI PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

    KETELADAN GURU KUNCI SUKSES INTERNALISASI PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

    BY 22 Des 2022 Dilihat: 126 kali

    Oleh Yosep Boli

    Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Undang-Undang Nomor  20   Tahun 2003). 

    Pendidikan sesungguhanya berakar pada budaya bangsa. Proses pendidikan adalah suatu proses pengembangan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik sehingga mereka mampu untuk mewariskan dan sekaligus sebagai pengembang budaya bangsa. Pendidikan juga dimaknai sebagai proses intenalisasi berbagai nilai dan keunggulan  budaya di masa lampau, dikaji, dan dikembangkan menjadi budaya baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain disekitarnya sampai pada kepentingan yang lebih luas yakni terhadap bangsa dan Negara.  Kemampuan untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi pewaris dan pengembang budaya tersebut akan dimiliki peserta didik apabila segala sesuatu yang ia peroleh dari hasil pendidikan berupa : pengetahuan, kemampuan intelektual, sikap dan kebiasaan, keterampilan sosial sudah menjadi dasar yang kuat  untuk secara aktif mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, warganegara, dan anggota umat manusia.     Pendidikan juga harus memberikan dasar bagi keberlanjutan kehidupan bangsa dengan segala aspek kehidupan bangsa yang mencerminkan karakter bangsa masa kini. 

    Pendidikan karakter menjadi sesuatu yang penting untuk membentuk generasi yang berkualitas. Pendidikan karakter merupakan salah satu alat untuk membimbing seseorang menjadi orang baik, sehingga mampu memfilter pengaruh yang tidak baik.         Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengenai pendidikan karakter dalam Kurikulum 2013 perlu disambut gembira dan didukung semua pihak. Pendidikan karakter bukan hanya penting, tetapi mutlak dilakukan oleh setiap bangsa jika ingin menjadi bangsa yang beradab. Banyak fakta membuktikan bahwa bangsa-bangsa yang maju bukan disebabkan bangsa tersebut memiliki sumber daya alam yang berlimpah, melainkan bangsa yang memiliki karakter unggul seperti kejujuran, kerja keras, tanggung jawab dan lainnya.

    Dalam refleksi pribadi semenjak menjalani kehidupan sebagai seorang yang dididik menjadi seorang terdidik sampai pada menjadi pendidik, terasa perjalanan panjang ini memberikan gambaran tentang begitu vitalnya peran pendidikan terhadap proses menjadi guru dan menjalani panggilan hidup sebagai seorang guru. Pendidikan yang merupakan internalisasi nilai pada proses perkembangan manusia memiliki implikasi pada pembentukan karakter yang mengarah pada perubahan tingkah laku manusia, mulai dari masa dalam kandungan, kanak-kanak, remaja hingga dewasa. 

    Sebagi seorang yang telah mengalami proses evolusi terhadap perubahan-perubahan kurikulum serta ikut merasakan dan turut menerapkan pendidikan karatkter dari perubahan kurikulum ke kurikulum, setidaknya ikut terlibat dan mengalami perubahan kurikulum di Indonesia sebanyak enam akali. 

    Menurut sejarah perubahan kurikulum seiringnya perjalanan waktu, bangsa ini telah banyak sekali mengalami perubahan serta perbaikan kurikulum. Sebut saja semenjak Indonesia merdeka, mulai tahun 1947 kurikulum sudah mulai diterapkan sebagai panduan arahnya pendidikian di Indonesia. Ada rentang waktu panjang ketika penulis mengenyam pendidikan dasar tahun 1975,sudah ada deretan perubahan kurikulum sebelumnya yakni kurikulum 1952,1964 dan 1968. Dan penulis sendiri mulai berada dalam rentang waktu kurikulum 1975 dan 1984 ketika masih di bangku pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Pertanyaan muncul disini ketika penerapan kurikulum di Indonesia memasuki usia 60 tahun, adakah pendidikan karakter sudah berjalan seiring dengan proses evolusi kurikulum semenjak berdirinya bangsa Indonesia? 

    Ketika penulis berada pada penerapan kurikulum 1975, penulis menyaksikan bagaimana guru-guruku dulu berusaha mentransferkan pengetahuan lewat pengalaman nyata, mereka asyik bercerita laksana pendongeng ulung, sementara peserta didik hanya tetap menjadi obyek pembelajaran. Keterlibatan peserta didik masih sebatas mengulang dan mengulang apa yang disebutkan atau dibacakan guru. Alhasilnya adalah peserta didik mendapatkan keunggulan dalam menghafal tanpa memahami apa yang telah dihafal. Demikian juga menulis dan menghitung tetap menjadi titik focus guruku ketika itu walaupun mereka hanya singgah sebentar karena tidak tercatat dengan rapi untuk di bawa ke tingkat berikutnya. Penulis pernah berada di masa batu tulis. Setiap hari hanya bergelut dengan selempeng batu bersama anaknya untuk menulis dan segumpal bunga karang dicelupkan dalam air sebagi pembersih hasil tulisan untuk menulis kata atau mengerjakan hitungan berikutnya. Buku –buku referensi apalagi. Laksana barang langka yang sulit ditemukan apalagi dimiliki. Tentu seiring dengan berjalannya waktu, tidak kita pungkiri kebutuhan akan pendidikan semakin mendapat perhatian dari pemerintah. Tetapi satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah dimana letak dan porsi akan pendidikan karakter diterapkan? Pendidikan dasar ternyata memerankan tugas vital untuk membetuk karakter peserta didik. Setidaknya masa-masa inilah yang dialami penulis sebagai pembelajar sejati yang baru sekarang  merefleksi kebermanfaatanya tentang apa yang diberikan guru-guru ketika itu.

    Sebagai peserta didik, terlambat tiba disekolah menjadi hal yang mustahil kami lakukan karena sekolah bagi guru dijadikan rumah kedua. Tugas yang diberikan guru menjadi hukum wajib yang  tak pantas untuk dilanggar. Memberi salam kepada guru merupakan bahasa Indonesia wajib sebagai bahasa pemula. Guru begitu menjadi panutan karena mereka betul-betul tampil sebagai orang yang digugu dan ditiru sekurang-kurangnya di lingkungan pendidikan maupun di tengah-tengah masyarakat. Tetap kami akui bahwa penerapan pendidikan dengan sistim yang lebih keras masih menjadi potret buram pendidikan ketika itu. Kami merasa terhibur dengan pepatah tua ini “ di ujung rotan ada emas” walaupun yang nampak hanya rotan saja sementara emas tidak pernah diketahui wujutnya. Setidaknya pemimpin-pemimpin besar dan orang cerdik padai termasuk guru-guru yang hebat di zaman ini adalah jebolan dari pepatah kuno ini dan itulah emas yang dijanjikan kala itu. Kalau kita bisa jujur, mereka adalah jebolan dari jasa kurikulum-kurikulum yang terus berevolusi sejak tahun 1952 dengan semakin memperkuat aspek pendidikan yang berbasis karakter.

    Kita boleh menoleh kebelakang, pada tahun 1964 kurikulum difokuskan pada pengembangan daya cipta,rasa,karsa,karya dan moral. Pada kurikulum tahun 1968, pendidikan karakter lahir dengan tujuan mempertinggi mental-moral budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat. Selanjutan sederetan perubahan kurikulum dari tahun 1975 sampai 2006, perubahan diarahkan pada managemen pendidikan. Sebagai implikasinya adalah pendidikan karakter tidak mendapat perhatian yang significant. Demikian penegasan tokoh pendidikan kita bapak Profesor Winarno Surakhman, M.Sc.,Ed. Menurut beliau dengan perubahan yang panjang dan mahal, kurikulum tidak terbukti dan tidak terasa mengubah apa-apa yang berarti dan berkelanjutan serta juga berdampak pada lemahnya perhatian pada pembentukan karakter anak bangsa.

    Sesungguhnya apa sebenarnya yang terjadi dengan penerapan pendidikan karakter di rentang waktu itu? Apa yang telah dirasakan oleh mereka-mereka yang ikut merasakan penerapan deretan kurikulum itu termasuk penulis? Semuanya tentu hanya bisa dirasakan manfaatnya setelah terjadi perubahan pada pribadi-pribadi yang memiliki kompetensi kepribadian yang baik tanpa harus kembali mencari tahu muatan kurikulum sesungguhnya yang telah dipelaJari. Kompetensi kepribadian dikemudian hari akan nampak dalam aktualisai kehidupan nyata sesuai dengan bidang hidup dan profesi yang ditekuni masing-masing.

    Pertanyaan mungkin baru muncul sekarang,”Kenapa pengetahuan dan keterampilan baca dan tulis bisa bertahan dan menghasilkan orang cerdik pandai yang berkarakter terpuji? Tentu jawabannya hanya bisa dijawab oleh mereka yang mengalami langsung perubahan itu sendiri. Guru begitu memiliki fungsi dan tugas sentral yang  mungkin taktergantikan walaupun untuk orang tuanya sendiri sekalipun. Sebahagian peserta didik lebih menaruh kepercayaan pada peran seorang guru di sekolah. Guru tetap menjadi penentu keberhasilah proses transformasi  pengetahuan dan aktualisasi kepribadian yang secara formal terakomodir dalam muatan kurikulum. Kalau secara formal pendidikan karakter tidak mendapat perhatian dalam kurikulum dalam kurun waktu 1975 sampai 2006, maka siapakah tokoh sentral dibalik keberhasilan tumbuhnya budi pekerti yang baik dikurun waktu itu yang hasilnya adalah mereka-mereka yang cerdik pandai, pemimping di masa ini yang bergelut di berbagai bidang kehidupan. Para  Politisi handal, Ekonom Unggul, Agamawan berteladan terpuji dan tentu guru-guru hebat. Jawaban adalah semuanya hanya boleh terjadi karena buah dari tangan-tangan dingin” Para Guru Hebat”. 

    Ketika seseorang telah memiliki panggilan sebagai seorang pendidik, sesunggunhnya sudah melekat pada dirinya keutamaan yang baik dan terpuji sebagai pembentuk karakter para peserta didik. Pendidik yang adalah Guru itu sendiri menurut hakekatnya adalah orang yang patut ditiru dan digugu. Peranan ini jelas tidak bisa diambil alih oleh siapapun karena guru hanya dimiliki oleh seorang guru. Yang saya tahu dan saya alami adalah bukan soal isi apa yang disampaikan oleh seorang guru kala itu tetapi yang saya rasakan adalah kehadirannya merubah semua apa yang ada pada diri saya, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak mengenal menjadi menjadi mengenal sesuatu yang baru, dari yang tidak bisa berbuat apa-apa menjadi memiliki keterampilan. Kepribadian seorang guru ketika itu yang boleh saya akui sekarang adalah bahwa mereka begitu sabar,kasih sayang, penuh perhatian serta memiliki dedikasi yang tinggi dalam keterbatasan daya dukung dalam upaya memajukan pendidikan ketika itu. Patut kita berikan apresiasi besar kepada guru-guru kita dahulu bahwa mereka pasti tidak mempersoalkan ada atau tidak adanya muatan pendidikan karakter dalam isi kurikulum, tetapi mereka telah menjadikan diri mereka sebagai isi dari pendiddikan karakter itu. 

    Komunikasi sebagai penghantar keberhasilan dalam proses transformasi pengetahuan, keterampilan dan kepribadian tentu menjadi sesuatu yang paling sulit buat mereka. Kalau di zaman ini seorang guru yang professional dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang ilmu komunikasi dengan peserta didik dan seorang guru akan dengan mudah untuk mengakses pengetahuan itu. Apa mungkin hal ini sudah dimiliki oleh guru-guru kita dulu? Saya hanya bisa merasakan kehebatan mereka tanpa harus mencari tahu kembali karena toh akhirnya saya juga telah mengalami metamorfosa seperti guruku dahulu.

    Pendidikan begitu merubah segalah sesuatu. Ilmu pengetahuan dan teknologi tumbuh tak terbendungkan. Segalah sesuatu bisa terakses dengan mudah, dunia menjadi sangat sempit, polalaku manusia menjadi serba instan. Bagi mereka-mereka yang berada di luar dunia pendidikan begitu sangat menikmati perubahan ini. Perubahan ini adalah keberuntungan, bukan ancaman. Tinggal bagaimana kemampuan mereka untuk mamanfaatkan perubahan ini untuk keuntungan kehidupan pribadinya tanpa harus berpikir tentang orang lain walaupun dengan kompetisi yang tidak sehat. Namun bagi dunia pendidikan, kecepatan perubahan ini menjadi ancaman. Para penganbil kebijakan harus mengambil langkah cepat namun bijak, karena berkaitan dengan keselamatan anak bangsa. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional sebagaimana termuat pada pasal 3, menjadi jawaban untuk menyelamatkan anak bangsa dari ancaman perubahan global yang tak terbendungkan. Pendidikan Nasional memiliki tugas maha besar untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta perababan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencapai tujuan mulia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, mngembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap,kreatif,mandiri dan menjadi warga Negara yang demokkratis serta bertanggungjawab. 

    Sebagai bangsa yang besar, kita harus bersyukur kepada para founding fathers kita karena mereka sudah jauh-jauh hari mempersiapkan bangsa ini khususnya dalam dunia pendidikan sebagai benteng sekaligus sebagai filter untuk menangkal segalah kemungkinan dari dampak perubahan itu sendiri. Perubahan tidak pernah kenal kompromi. Dampaknyapun tidak kenal usia dan tingkat pendidikan. 

    Muncul dua pertanyaan besar. Pertama, siapakah yang bertanggungjawab untuk menyelamatkan cita-cita besar bangsa kita ini untuk menjadikan manusia Indonesia yang sehat,berilmu,cakap,kreatif,mandiri tetapi harus memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berakhlak Mulia?  Kedua, bagaimana caranya usaha untuk mencapai cita-cita besar bangsa kita ini?

    Focus dan lokus kita adalah pada upaya untuk membentuk dan menyelamatkan anak bangsa dari ancaman pembunuhan karakter sebagai akibat dari tak terbendungnya arus kemajuan informasi dan globalisasi. Penguatan pendidikan menjadi alternative sekaligus sebagai jalan keluar untuk menjaga berdiri kokohnya nilai-nilai luhur yang dianut dan menjadi cita-cita luhur bangsa kita.

    Refleksi sederhana penulis untuk menjawab dua pertanyaan besar di atas tentu harus bermula dari lingkungan dimana penyelenggara pendidikan berbasis karakter diterapkan, baik itu melalui lembaga pendidikan formal sekolah, lembaga informal yang berlansung dalam kehidupan keluarga serta lembaga pendidikan nonformal yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat.  Sebagai seorang guru yang bergelut di lingkungan lembaga pedidikan formal (sekolah) tentu harus memahami betul apa sesungguhnya tangunggjawab sebagai seorang pendidik dalam menjalankan tugas keguruan untuk membetuk dan mendidik karakter peserta didik. Sebagi seorang guru dituntut untuk menguasai semua rambu-rambu yang telah digariskan dalam kurikulum yang diterapkan. 

    Sebuah benang merah bisa kita tarik dari persoalah pokok ada pada tanggungjawab dan instrument itu sendiri dalam rangka menjawab upaya untuk membentuk karakter anak bangsa. Guru di sekolah harus menjadi tokoh utama yang berperan untuk menggerakan dan sekaligus sebagai fasilitator dalam upaya untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa dalam pembelajaran di sekolah. Penanaman nilai dan karakter di sekolah tentu lebih berfokus pada pencapaian afektif dan psikomotorik peserta didik. Seorang guru dituntut untuk mengkomunikasikan nilai-nilai dan karakter secara benar dan objektif bersama peserta didik, baik komunikasi dalam memberikan penguatan secara verbal maupun non verbal. Komunikasi secara verbal berupa mengungkapkan kata-kata pujian dan motivasi serta penguatan secara nonverbal berupa senyuman, anggukan, pandangan yang ramah, atau gerakan badan, mendekati, memberikan sentuhan, kegiatan yang menyenangkan dan hadiah yang relevan.

    Dengan demikian maka jawaban atas kekhawatiran akan tanggung jawab dan cara dalam mengembangkan nilai-nilai pendidkan budaya dan karakter di sekolah adalah bagaimana seorang guru harus memiliki kompetensi komunikatif yang baik, benar dan objektif. Guru harus merupakan seorang model dalam karakter itu sendiri dari awal hingga akhir pembelajaran ataupun diluar jam pelajaran. Tutur kata, sikap dan perbuatan guru harus merupakan cerminan dari nilai-nilai karater yang hendak ditanamkannya.

    Kita perlu menyadari bahwa karakter seseorang tampak pada perilaku ekuivalen dengan pendidikan yang diterimanya. Agar pendidikan dapat diterima dengan sempurna, maka harus ada media yang tepat yang dapat menyampaikan semua pesan yang bermuatan nilai pendidikan. Media tersebut adalah komunikasi. Komunikasi menjadi bagian rutinitas manusia. Sebahagian besar aktivitas manusia adalah komunikasi. Logikanya bahwa apabila komunikasi tersebut sudah menyatu dalam rutinitas seseorang maka otomatis akan berimplikasi secara langsung terhadap karakter diri sendiri melalui pembiasaan sehingga menjadi kebiasaan dan juga berdampak secara tidak langsung terhadap orang lain, apakah dalam proses yang cepat ataupun lambat tergantung pada intensitas dan efektifitas komunikasi yang terjalin. Melihat signifikansinya, maka komunikasi pendidikan harus memiliki muatan nilai, mutu, terarah, tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, komunikasi dalam pendidikan karakter harus efektif sehingga terbentuk pribadi yang sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri, sebagaimana termaktub dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. 

    Berdasarkan Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 disebutkan seorang guru harus memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi professional, pedagogis, personal, dan social. Dari keempat kompetensi tersebut, aspek yang paling ,mendasar untuk  menjadi seorang guru sebagai ujung tombak pembentukan pendidikan karakter di sekolah yakni aspek kepribadian (personalitas), karena aspek pribadi inilahnyang menjadi ibu yang melahirkan komitmen diri, dedikasi, kepedulian, dan kemauan kuat untuk terus berbuat yang terbaik dalam kiprahnya di dunia pendidikan. 

    Dengan sendirinya menjadi guru sesungguhnya adalah panggilan bukan hanya sebuah pekerjaan. Guru memiliki tugas yang startegis dan mulia sebagai seorang pribadi yang tugasnya adalah mentranswer bukan saja pengetahuan dan keterampilan tetapi lebih dari itu, guru bertugas untuk mentrasfer kepribadian,akhlak dan spiritual. Dan ini hanya bisa dimiliki oleh seorang guru hebat yang adanya tidak sekedar ada tetapi harus memiliki nilai lebih yang daripadanya peserta didik bisa menimba pengetahuan dan keterampilan serta  kepribadian, akhlak dan spiritual. 

    Pendidikan karakter bukan sekedar membutuhkan sederetan teori yang dirumuskan oleh para ahli yang bisa kita temui dalam berbagai artikel, buku dan penelitian. Menjalani panggilan sebagai seorang guru yang sudah memasuki usia perak tentu harus berkaca dari pengalaman ketika ada bersama dan mengalami perubahan perilku peserta didik dari aspek kepribadian serta bagaimana berusaha untuk menjadi model dan teladan.

     Dalam satu kesempatan dihadapan sesama seprofesi saya pernah memberikan pernyataan berkaitan dengan perilaku peserta didik di zaman ini. “Siswa sekarang bukan hanya butuh perintah atau komando, tetapi mereka butuh sentuhan karena perintah cendrung menjadikan siswa sebagai objek untuk sebuah pekerjaan sementara sentuhan adalah bagaimana seorang guru turut mengalami pekerjaan yang diberikan karena disana ada interaksi perilaku baik verbal maupun nonverbal. Ada senyum, canda, dorongan, motivasi, memberi semangat dan ikut aktif, ada dan bersama-sama dengan mereka.  Pandangan ini didasari bahwa karakter merupakan perilaku (behavior) bukan pengetahuan, sehingga untuk menginternalisasi karakter kepada peserta didik bukan dengan cara diajarkan atau diperintahkan tetapi diteladankan melalui sentuhan-sentuhan personal”.

    Sebagai guru, mari kita berkaca lewat tulisan  : Imas Kuniasih S.Pd dan Berlin Sani, dalam buku Pendidikan Karakter. Ada tiga model guru berdasarkan kwalitasnya, yaitu guru okupasional, guru professional, dan guru vokasional. Guru okupasional adalah sosok guru yang menjalani profesi guru sekadarnya, tanpa kepedulian lebih memperhatikan anak didiknya. Guru professional yaitu guru yang memiliki tanggungjawab lebih memenuhi kualifikasi undang-undang dan syarat kompetensi guru sesuai regulasi yang berlaku. Sementara itu, guru vokasional adalah guru yang menjalani profesinya sebagai sebuah panggilan sehingga menjalani tugasnya dengan penuh antusias, komitmen, dan terus mengembangkan diri serta profesinya. Sebagai guru mari kita melihat kembali pada diri kita masing-masing sembari mengelompokan diri kita, di kelompok manakah kita berada. 

    Keefektifan guru sebagai model sudah teruji semenjak kita memahami arti pendidikan. Ketika sebagai peserta didik kita tentu lebih percaya terhadap omongan guru dari pada orang tua kita. Kita akan dengan senang hati mendengarkan dan mematuhi semua pesan dan nasihat yang diberikan oleh guru kita dulu. Anak yang cerdas akan membandingkan kebenaran yang disampaikan guru dengan yang disampaikan oleh orang tua walaupun keduanya benar. Guru lebih mengutamakan metode dan proses untuk menyalurkan pesan untuk mendapatkan hasil sementara orang tua lebih mengutamaka hasil ketimbang metode dan proses. Tingginya kepercayaan peserta didik terhadap peranan guru sebenarnya menjadi peluang bagi seorang guru untuk mebentuk karakter peserta didik asalkan ditunjang dengan sebuah keteladanan. Sebuah generasi akan kehilangan jati diri kalau seorang guru mengatakan kebenaran tanpa melaksanakan kebenaran, mengajarkan kebaikan tanpa berbuat baik, mengkampanyekan kedisiplinan sementara ia lalai, atau dengan kata lain perktaannya sungguh jauh dari apa yang dikerjakannya.

    Pendididikan karakter adalah pendidikan keteladanan. Dia ada dan dikemas dalam instrumen pendidikan berupa sederetan kurikulum, itu hal wajib karena intrumen itu menjadi payung yang memuat rencana, arah, metode, strategi,tujuan serta alat evaluasi untuk mengukur ketercapaian rencana itu sendiri. Hadirnya Kurikulum 2013 menjadi penyedia energi baru bagi anak bangsa ditengah-tengah merosotnnya nilai luhur karakter dan panggilan guru yang asal ada. Kurikulum 2013 hadir menjadi sentuhan untuk menemukan kembali jati diri bangsa sebagai bangsa yang berbudaya dan berkarakter unggul. Sementara keteladanan tidak bergantung pada instrumen yang disediakan tetapi bagaimana memberdayakan aspek personalitas seseorang untuk mencapai tingkat personal yang patut digugu dan ditiru. Semuanya tumbuh dari sebuah pribadi, pribadi yang menjadi ada bukan asal ada. Ada karena panggilan dan panggilan itu seharusnya mulai tumbuh semenjak adanya keinginan seseoarang untuk menjadi guru.

    Mari kita belajar dari sang motivator Pregi S, dalam sebuah inspirasi Guru kita dulu.” Anda ,saya dan anaknya bisa jadi adalah golongan manusia yang sama jika sudah menyangkut guru-guru kita.  Di setiap sekolah rasanya selalu ada guru yang mengesankan kita seperti kesan anaknya terhadap gurunya. Maka tidak heran ketika suatu kali anaknya yang masih kelas 2 SD itu suatu hari menyebut-nyebut nama gurunya. Ketika hendak berangkat sekolah dia mengaku tetap akan tidak enak pelajaran hari ini karena guru itu tidak ada.  Ketika ia hendak tidur bahkan ia mengaku kangen bertemu guru itu karena ia dan teman-teman sekelasnya telah lama tidak bertemu.  Anak ini telah kehilangan sebagian kegembiraan hidupnya akibat sang guru itu tidak ada dan ketika guru itu kembali pulang dari tugas belajarnya anaknya bercerita dengan gegap gempita bagaimana suasana ruang kelasnya saat itu. Bagaimana ia dan teman-temannya saling berebut merangkul guru mereka. Beberapa anak segera menyerbu dan merangkulnya. Beberapa yang lain merebut minta digendong dan beberapa yang lain malah cuma bisa menangis termasuk anaknya. Walau reaksi anak-anak itu terbilang keterlaluan untuk ukuran cuma rindu kepada seorang guru.  Selalu memang ada jenis guru yang kita kenang sedemikian rupa. Selalu kita rindui dan walau kita telah tumbuh dan berubah, perasaan kita kepadanya tetap terjaga. Yang perlu kita cari tahu adalah guru seperti apakah yang telah berhasil menghasut anaknya beserta teman-teman untuk memiliki rasa kangen yang luar biasa semacam itu . Kita tentu tidak tahu persis apa sebabnya, tetapi satu hal yang kemudian sang mentor ini  ketahui adalah bahwa guru ini amat gemar berdoa termasuk mendoakan murid-muridnya. Pastinya doa yang rutin yang selalu ia panjatkan sehabis ia rampung bersembahyang. Yang perlu kita pertanyakan adalah adakah kecintaan murid-murid kepadanya itu akibat doa-doanya ? Menyaksikan tipe guru seperti ini adalah dibutuhkan stamina yang luar biasa untuk memiliki ketahanan menjaga rutinitas dan menjaga kontinuitas. Bagi sang mentor ini yang sulit ia lupakan adalah gurunya di SMA dulu. Banyak hal dari sikapnya yang mengesankannya, yang paling dikenang adalah ketepatannya atas waktu. Jam 06.15 ia selalu sudah angker di mejanya. Ketika hari hujan dan semua orang boleh terlambat karena alasan kebanjiran ia tetap telah berada di mejanya pada jam yang sama. Ketika seluruh angkutan di kota  mogok karena sebuah persoalan, tetaplah ia berada di mejanya juga pada jam yang sama. Jika semua hambatan itu dijadikan alasan demi mengesahkan keterlambatan ia akan segera berdiri mengangkang di depan pintu gerbang dan melabrak siapa saja yang mengaku terlambat hanya karena sebuah hambatan. Katanya seperti ini, jika hari hujan kalian bisa bawa payung. Jika angkutan kota mogok, kalian bisa bangun lebih pagi dan jalan kaki. Begitu selalu pernyataannya. Sebuah pernyataan yang sangat terkenal di sekolahnya. Sebuah pernyataan yang meskipun tak selalu kami setujui tapi sulit untuk tidak kami hormati. Karena guru ini untuk bisa duduk di mejanya tepat waktu juga selalu memperhitungkan faktor hambatan dan waktu. Jika hujan ia berpayung ,jika banjir ia menenteng sepatu, jika angkutan mogok ia bangun lebih pagi dan benar-benar seperti apa yang dia katakan sendiri, jalan kaki”. Itulah guru kita dulu.

    Dari perjalanan panjang pemberlakuan kurikulum semenjak kemerdekaan Indonesia sampai pada pelaksanaan kurikulum 2013, pendididikan karakter menjadi perhatian yang sangat penting demi memlihara nilai-nilai luhur yang dianut dan menjadi cita-cita luhur bangsa kita agar tetap berdiri kokoh. Semua kajian yang telah dibuat oleh para ahli dan peneliti, tentunya bertujuan untuk menentukan formula, model dan metode penerapan pedikikan karakter terutama di lembaga pendidikan formal. Semua yang dikaji dan dirumuskan dalam bentuk intrumen pembelajaran menjadi tanggungjawab sepenuhnya kepada para guru dan selanjutnya harus dikomunikasikan bersama peserta didik. Di titik inilah seorang guru dituntut untuk menunjukan kapabilitas, integritas, dan kompetensi dalam mengkomunikasikan pendidikan karakter kepada peserta didik sebagai komunikator yang handal.

    Bagi penulis, sebagai seorang guru yang hebat tidak selamanya harus memiliki karya hebat dan spektakuler berupa temuan-temuan besar sebagai seorang penemu,pembuat teori tentang penerapan pendidikan karakter di lembaga pendidikan formal, nonformal atau informal sebagai pengakuan atas profesi demi meningkatkan kariernya. Tetapi sebagai guru yang hebat dituntut untuk memiliki referensi dan literasi yang cukup untuk memahami apa sesungguhnya hakekat pendidikan karakter itu sendiri demi meningkatkan kompetensi keguruanya. Itu semua masih pada unsur eksternal dari seorang guru yang bisa diperoleh dengan mudah. Pendidikan karakter adalah sesuatu yang bertalian dengan perilaku (behavior) bukan pengetahuan maka unsur internal dari seorang guru sesungguhnya menjadi penentu. Sebagai model, contoh, teladan, dan panutan adalah contoh unsur internal yang ada didalam diri seorang pendidik.

    Unsur internal yang harus dipunyai oleh seorang guru harus berawal dari sebuah niat yang tulus dan itikat yang baik. Hanya dan atas panggilan nurani sajalah para pendidik mulai bekerja untuk mewujutkan tujuan pendidikan nasional dalam rangka usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat. Untuk mencapain tujuan ini, sebagai seorang guru harus memulai dari hal-hal kecil dan sederhana. Inspirasi seorang Pregi S, tentang bagaimana seorang guru harus berjuang untuk menjadi guru yang tetap dirindukan oleh para peserta didik, seorang guru yang berusaha untuk mengalahkan setiap tantangan yang menghambat tugas seorang guru sampai pada mendoakan peserta didiknya tentu yang dibutuhkan seorang guru adalah memiliki stamina yang luar biasa untuk memiliki ketahanan menjaga rutinitas dan menjaga kontinuitas dan disiplin. 

    Bagi penulis sederetan refkesi panjang ini hanyalah sebagai pengetahuan dan pengalaman yang tentu bagi setiap insan guru dan pemerhati guru akan menjadi sangat bervariasi tentang apa yang diketahui dan dialami. Semua pasti punya kesimpulan dan harapan yang berbeda-beda, tergantung dari cara pandangnya masing-masing walaupun disana ada upaya pembelaan diri, ada ketakutan secara professional, takut dianggap tidak memiliki capability atau kompetensi sebagai seorang guru professional. 

    Sahabat guru yang hebat, perilaku serta tingkah laku anak didik adalah cerminan diri kita juga walaupun tidak seberapa besar. Kita masih punya alasan lain, masih ada peran orang tua di rumah, masih ada pengaruh lingkungan masyarakat ataupun media-media lain. Kita tentu tidak bisa berjalan sendiri dalam upaya pembentukan karakter peserta didik tanpa campur tangan dari lembaga-lembaga pendidikan di luar pendidikan formal. Tetapi apalah arti predikat yang disandang di bahu kita masing-masing. Sebagai guru bisa melakoni peran sebagai apa saja tetapi siapa saja tidak bisa mengambil alih peran guru. Hal inilah membuat guru memiliki nilai lebih. Untuk menjaga nilai ini, seoramg guru perlu memulai dari hal-hal yang sederhana dalam upaya membentuk karakter peserta didik. 

    Secara teoritis seorang guru harus memiliki kompetensi professional, pedagogis, personal, dan social. Namun secara pragmatis kompetensi personal dan social memiliki pengaruh lebih besar terhadap perubahan perilaku peserta didik. 

    Kompetensi personal berhubungan erat dengan bawaan dasar dari kepribadian seorang guru. Kondisi internal sangat mempengaruhi seorang guru untuk mengiternalisasikan karakter yang baik. Untuk mengiternalisasikan aspek spiritual kepada peserta didik maka seorang guru harus memulai dari dirinya, apakah ia rajin sembahyang atau berdoa. Adalah hal yang kontradiktif kalau seorang guru mengajak dan mengajarkan peserta didiknya untuk selalu berdoa sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran sementara guru sendiri mengabaikan doa sebagai penyedia energy rohani. Bagaimana seorang guru bisa memberikan energy positif kepada peserta didik sementara guru sendiri tidak memiliki energy positif itu. Guru bukanlah seperti gayung mandi, ia mampu sebagai penyalur kebersihan tetapi ia sendiri tidak mampu membersihkan dirinya. Guru sesungguhnya adalah pendoa yang sejati karena sebagai penyalur perubahan perilaku guru juga harus sebagai penyalur energy rohani supaya apa yang disalurkan kepada peserta didik memiliki daya tahan dan daya guna, termasuk mendoakan mereka.

    Ketika seorang guru mulai mengkampanyekan kedisiplinan kepada peserta didik perihal kehadiran maka seorang gurupun harus memulai dari hal yang sederhana. Guru harus lebih dahulu berada di sekolah sebelum peserta didik tiba. Siswa menyaksikan keterlambatan guru adalah cermin kegagalan guru secara kolektif dalam memberi teladan akan nilai kedisiplinan terhadap satu generasi karena mereka adalah saksi kebohongan kita. Ketika bel tanda mulai pelajaran atau pergantian pelajaran sampai ke telinga siswa maka yang ada pada pikiran siswa adalah sebentar lagi gurunya akan tiba. Bagi siswa tertundanya kehadiran guru di dalam kelas akan menumbuhkan ketidakpercayaan siswa terhadap guru. Bagaimana seorang guru menanamkan nilai percaya diri kepada siswa sementara seorang guru sendiri tidak percaya diri. Guru beigitu sangat percaya diri dengan retorika untuk menjaga wibawa dari seperangkat aturan sambil mengacungkan telunjuk tanpa melihat berapa jari tangan yang kembali menunjuk  dirinya. Keteladanan bukan seperangkat materi yang bisa diajarkan. Keteladanan sesungguahnya adalah bagaimana menjadi model dari nilai itu sendiri. Nilai itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu karena dari sanalah terbentuk karakter terpuji. Ini baru segelintir contoh sederhana.

    Kompetensi komunikasi berperan penting dalam upaya penanaman dan pembentukan karakter. Disinilah letak kemampuan guru dalam memainkan peran dalam menkomunikasikan tingkah laku positif dan terpuji lewat stimulus dan penguatan sehingga peserta didik memiliki kepercayaan diri. Rangsangan, dorongan, memberi semangat, memberi penguatan baik secara verbal maupun nonverbal. Guru harus menjaga penampilan, bahasa tubuh, menggunakan bahasa yang membesarkan jiwa anak dan selalu berusaha untuk menghidarkan menggunakan bahasa-bahasa kasar yang mengarah pada kekerasan verbal. Dititik inilah kesabaran seorang guru mulai diuji. Peranan sebagai orang tua kedua mulai dibuktikan. Seorang guru dituntut untuk terus mengasah kompetensi social dalam usaha untuk mengiternalisasikan pendidikan karakter lewat kemampuan dalam berkomunikasi. Guru butuh rencana dan persiapan. Kondisi psikologi guru harus mulai disiapkan dari rumah karena salah satu pemicu kegagalan guru dalam berkomunikasi adalah persoalan pribadi yang ada di rumah atau dilingkungan dimana tumbuhnya persoalan itu timbul terus dibawa sampai ke lingkunangan sekolah sampai pada ruang kelas. Siswa akan menjadi tempat pelampiasan emosi sebagai akibat dari kegagalan dalam memanage diri. 

    Guru kita dulu, guru kita sekarang dan kita adalah guru dan guru adalah aku sendiri. Dengan menyebut nama guru, siapapun akan mengenang kembali pribadi-pribadi unik dan berjasa besar. Anak-anak didik kita butuh sentuhan dengan hati karena dari sanalah terpancar keikhlasan kita beritikat baik menjadi teladan bagi peserta didik kita untuk membentuk karakter anak bangsa yang terpuji. Jadilah guru hebat.


    Bagikan ke

    Comment Closed: KETELADAN GURU KUNCI SUKSES INTERNALISASI PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021