Jalanan ini bukan suatu tempat yang asing untuk aku lalui. Di setiap jejaknya, aku masih bisa merasakan getirnya perjuangan sekaligus ada rasa bangga, karena jalan inilah yang menempaku hingga berani bermimpi lebih jauh. Kalau jalan ini bisa bicara, mungkin ia akan menertawakan caraku dulu berlari terburu-buru agar tak terlambat sekolah, atau wajahku yang kusut karena sepatu belepotan lumpur. Namun, di saat bersamaan ia juga tersenyum melihatku tak pernah berhenti melangkah.
Semasa berseragam putih abu-abu, jalanan tanah lempung ini selalu begitu akrab menyambut pagiku. Saat melangkahkan kaki setapak demi setapak hingga perhentian angkutan kota di depan kantor balai desa untuk melanjutkan perjalananku ke sekolah. Sebuah SMA negeri yang berjarak sekitar 10 km dari tempat aku tinggal, yang aku klaim sebagai satu-satunya SMA terbaik di kabupaten.
Begitu tiba di perhentian angkot, lelah di kaki sering berubah jadi rasa syukur. Menapaki jalan itu memang tak pernah mudah, tapi setiap langkahnya membuatku merasa ditempa. Kadang, saat melihat teman-teman melintas dengan motor, ada iri kecil yang datang, tapi segera kutukar dengan keyakinan, bahwa jalan ini sedang mengajarkanku arti perjuangan
Di musim penghujan, langkahku harus ekstra hati-hati dengan kondisinya yang lengket namun keras karena basah. Sesekali langkahku harus lebih lebar untuk menghindari genangan air sisa hujan semalam. Tidak sampai di situ, saat di perhentian angkutan kota, aku harus bekerja keras melepaskan tanah yang menempel di sepatuku, kalau tidak ia akan menjadi oleh-oleh yang terbawa ke dalam kelasku.
Sedangkan di musim kemarau, tidak jarang aku harus menutup hidung dengan kedua tanganku untuk menahan debu agar tidak masuk ke dalam paru-paru. Kondisi tanah yang kering dan retak-retak begitu mudah beterbangan usai tertiup angin karena kendaraan yang lewat. Sementara rerumputan yang menutupi saluran air di sisi-sisinya tampak mengering meskipun basah oleh embun. Debu dan retakan tanah itu juga melebar hingga ke sawah-sawah yang jadi tumpuan hidup warga desa.
Desaku seperti berhenti di satu titik waktu, sawah luas membentang, tapi hasilnya tak pernah lebih dari cukup. Di kampungku ini, bertani adalah jalan hidup yang ditempuh hampir setiap keluarga. Tetangga-tetangga masih setia menggenggam cangkul, bukan mesin. Suara besi yang membentur tanah basah sudah seperti irama harian, terdengar sejak pagi buta hingga matahari condong ke barat. Bagiku, pemandangan itu bukan sekadar rutinitas, melainkan potret keteguhan orang-orang desa yang percaya bahwa tanah adalah sumber penghidupan paling jujur.
Namun ketekunan itu belum cukup membuat desa bergerak maju. Kadang aku bertanya, kenapa desa yang hanya berjarak setengah jam dari kota kabupaten ini tampak begitu jauh dari kata “maju”? Dari situlah tumbuh keyakinanku, desa ini bisa bangkit kalau ada yang mau menggerakkannya.
Masih terngiang permintaan Amah agar aku melanjutkan studiku ke kedokteran. Sementara Apah lebih suka jika aku menjadi seorang tentara. Namun aku bersikukuh dengan pendirianku untuk masuk ke fakultas pertanian. Berharap dari ilmu yang kudapat nantinya bermanfaat untuk memajukan dunia pertanian di desaku.
Malam itu, di ruang tamu sederhana kami, cahaya lampu yang temaram membuat bayangan wajah Amah dan Apah semakin tegas saat perdebatan kecil terjadi. Amah menatapku lama, kedua alisnya bertaut, seolah mencari alasan di balik keputusanku. Aku bisa merasakan jantungku berdetak lebih cepat, menunggu kata pertama yang keluar dari mulutnya..
“Jadi kamu serius mau sekolah pertanian?” Amah bertanya seraya mendelik, tampak tidak habis pikir dengan keinginanku.
“Iya, Mah. Semoga dengan ilmu yang Pit dapat, bisa Pit amalkan di desa ini,” jawabku dengan optimis.
“Memangnya kalo kalau kamu jadi dokter, kamu gak bisa bikin desa ini maju?” Amah menatapku dalam dengan pertanyaan retoriknya, seakan ingin menembus dinding hatiku. Aku tahu, di balik kata-katanya, tersimpan harapan agar anaknya punya kehidupan lebih terjamin, bahkan lebih bergengsi.
Aku menarik napas panjang. “Belum tentu, Mah. Selesai kuliah aja belum tentu bisa langsung praktek. Ikut program profesi dulu, magang dulu. Malah magangnya belum tentu di sini. Bisa aja di luar Banten, bahkan mungkin di luar Jawa.” Aku berusaha menjelaskan dengan tenang, meski dalam hati takut dianggap keras kepala, sambil teringat cerita Rahmat tentang kakaknya yang harus bertugas ke Papua sebelum akhirnya mendapat izin praktik dokter.
“Kamu itu anak laki-laki satu-satunya, Pit,” akhirnya Apah buka suara setelah lama diam. Nada suaranya berat tapi lembut. “Kakak-kakakmu kan udah pada nikah, punya keluarga sendiri. Harapan Amah sama Apah ya ada di kamu. Apah cuma ingin kamu memilih jalan yang tidak menyulitkanmu nanti.”
Aku menghela napas, menunduk sebentar. “Pit sudah yakin sama pilihan ini, Pah.” Perutku rasanya melilit. Aku benci mengecewakan mereka, tapi aku juga tidak mau mengkhianati suara hatiku sendiri.
“Terus… kamu mau kuliah di mana?” tanya Apah lagi, kali ini lebih pelan.
“Pengennya sih di Bogor, Pah. Di sana jurusannya banyak. Rencananya, Pit mau ambil agroteknologi,” jawabku hati-hati. Lalu cepat-cepat kutambahkan, “Tapi, kalau Apah sama Amah punya saran lain, ya nggak apa-apa, yang penting masih di bidang pertanian.”
Amah menghela napas panjang, menoleh pada Apah sejenak, lalu kembali menatapku dengan mata yang letih. “Ya sudahlah, Nak. Kalau itu jalan yang kamu pilih.” Ia berdiri perlahan, merapikan gelas di atas meja, lalu menyatukannya dengan piring kotor di sudut meja makan. Gerakannya sederhana, tapi aku tahu ada banyak rasa yang ditahannya. “Semoga Allah mudahkan dan berkahi langkahmu,” ucapnya lirih sebelum melangkah ke kamar.
Aku kembali ke kamar dengan hati campur aduk. Ada rasa bersalah karena membuat Amah dan Apah cemas, namun juga sedikit lega karena akhirnya aku jujur pada mereka. Di atas pembaringan, mataku kosong menatap langit-langit. Malam itu aku tahu, aku telah menorehkan luka kecil di hati mereka, luka yang lahir dari kasih sayang.
…
Pagi ini, di jalanan ini setelah sepuluh tahun dari percakapan di malam itu, aku melangkah menapakinya lagi. Bau tanah basah di jalan ini selalu mampu membawaku kembali ke masa putih abu-abu. Bedanya, jika dulu langkahku penuh mimpi, kini langkahku dipenuhi tanya, masihkah mimpi itu berarti? Idealisme yang dulu mendekam di hati dan pikiranku saat ini hilang berganti dengan realitas.
Memasuki tahun ketiga kuliahku di Bogor, aku mulai sadar, yang kukejar bukan lagi ilmu dan teknologi pertanian untuk mewujudkan majunya agribisnis di desaku. Aku menemukan dunia yang lain, kelas pembelajaran. Berawal dari ketidaksengajaan menjadi asisten dosen, aku kemudian menyadari bahwa duniaku berada di sana, di depan papan tulis. Menjelaskan, mendengarkan pertanyaan, dan melihat wajah berbinar ketika orang lain mengerti atau menemukan sesuatu dengan pemaparanku. Ada kebahagiaan di sana yang tak bisa ditukar dengan apa pun.
Aku bahkan memberanikan diri untuk melamar menjadi dosen di perguruan tinggi tempatku kuliah. Tidak ada lagi gambaran kondisi pertanian di desaku dengan tanah lempungnya. Atau dunia pertaniannya yang hanya menjadi rutinitas sesaat di musim tertentu. Yang tersisa hanya ambisiku untuk menjadi dosen. Hingga akhirnya aku dihentikan oleh dosen pembimbing skripsiku yang menyarankan agar mencari peluang di tempat lain.
“Pit,” katanya pelan, namun tak ayal tetap menghentikan pekerjaanku menyusun bahan kuliah dosen Pemuliaan Tanaman itu. “Bapak ngerti banget kamu suka dunia ngajar. Tapi untuk jadi dosen di sini, syaratnya berat. Minimal S2, kalau bisa S3. Itu pun belum tentu langsung ada peluang” lanjutnya sambil menumpuk beberapa berkas di mejanya
Aku tercekat. “Apakah peluang saya di sini tertutup, Pak?” tanyaku penuh harap, meskipun aku tahu jawabannya.
Pak Syarif menatapku lama, seolah ingin memastikan aku siap mendengar kenyataan. “Bukan tertutup, Pit. Tapi, berat…”
Kata-kata Pak Syarif benar. Bagaimana mungkin melanjutkan S2, sementara selama kuliah S1 saja Apah dan Amah sudah kesulitan membiayaiku. Hasil pertanian di ladang yang luasnya tidak seberapa itu dan dengan pengolahan seadanya, yang semula menjadi alasanku untuk kuliah di pertanian, hanya cukup untuk menopang kehidupan keseharian kami.
“Tapi jika kamu bersikeras untuk terus di dunia pembelajaran, Bapak sarankan kamu menjadi guru,” tawar Pak Syarif. “Di sana kamu masih bisa mengembangkan potensimu, baik pengajaran maupun praktisi dalam dunia pertanian,” lanjutnya memberi solusi. “Dan mungkin, menjadi guru membuat kamu lebih dekat dengan masyarakat,” Pak Syarif menepuk pundakku.
Aku terdiam. Guru? Tak pernah sekalipun aku membayangkan jalan itu sebelumnya. Tapi ucapannya terasa menempel di hati, sederhana namun kuat. Untuk pertama kalinya, aku merasa Pak Syarif tidak sekadar memberi wejangan biasa, melainkan benar-benar menitipkan bekal untuk perjalanan yang akan kutempuh selanjutnya.
…
Langkah kakiku semakin dekat dengan perhentian angkutan kota. Langkah yang seharusnya mantap aku gerakkan. Seperti juga sambutan hangat Pak Ali, kepala SMP Cita Insan Utama saat menerima lamaran kerja untuk menjadi guru.
“Pak Fikrul Fitri?” tegurnya saat itu, seraya menjabat tanganku di ruang kepala sekolah yang sederhana, jauh dari kesan megah. Namun, jabat tangannya hangat disertai tatapannya yang teduh.
Kami kemudian duduk berhadapan, Sebuah meja kayu dengan tumpukan berkas yang belum sempat dirapikan memisahkan kami, seolah menunjukkan betapa banyak urusan yang ia tangani sehari-hari. Sementara, di dinding ruangan terpampang foto-foto kegiatan siswa. ada yang serius saat lomba pramuka, ada pula yang tertawa lepas di pentas seni. Di bawahnya kursi tamu dari rotan terasa hangat karena di atasnya ada alas kain bermotif batik. Semua itu membuatku merasa sedang diterima bukan hanya oleh seorang kepala sekolah, melainkan oleh sebuah keluarga kecil yang bernama sekolah.
“In syaa Allah Senin depan sudah bisa mengajar ya. Untuk segala sesuatunya nanti dibantu Bu Resti, wakakur kami.”
Aku mengangguk, menelan ludah. “Baik, Pak. Mohon bantuannya, karena saya tidak linear, Pak. Apalagi saya masuk di tengah-tengah tahun pelajaran. Ibaratnya, saya orang yang nyasar, Pak.” Ucapan itu keluar begitu saja, setengah seloroh, setengah kegelisahan.
Pak Ali tersenyum. “Tidak mengapa. In syaa Allah Bapak nyasar di tempat yang benar.”
Aku tersenyum getir. Kata-kata itu bergaung di dalam pikiranku. Nyasar di tempat yang benar. Entah kenapa, dada ini terasa penuh dengan gemuruh, antara takut, ragu, sekaligus lega. Mungkin benar, jalan yang kuanggap kebetulan ini justru adalah jalan yang sesungguhnya. Dan di jalan inilah, aku akan banyak belajar, terutama bersabar.
Kreator : Khairul Ismi (Roelis Ril)
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Ketika Guru Bersabar Chapter 1
Sorry, comment are closed for this post.