Sinar matahari menyusup lembut melalui celah pepohonan, membangunkan perbatasan desa dan kota itu dengan cahaya keemasannya yang hangat. Udara segar membawa aroma bunga liar dari tepi jalan, bercampur tipis dengan bau sisa bahan bakar dari kendaraan bermotor yang lalu lalang. Langit bergradasi oranye keemasan dengan semburat merah muda, seolah menandai hari baru yang penuh kemungkinan.
Di sepanjang jalan, kehidupan bergerak dengan ritme masing-masing. Petani yang membawa hasil panennya ke kota, sementara pedagang sayur menata lapaknya di sisi jalan. Siap menyambut ibu-ibu rumah tangga yang akan menyiapkan hidangan untuk keluarga. Suara transaksi di antara mereka seolah bersaing dengan riuh lalu lintas pegawai yang terburu-buru masuk kerja. Di sisi lain deretan motor pribadi, mobil keluarga, hingga bus jemputan karyawan melaju cepat menuju kawasan industri. Tampak wajah-wajah lelah tapi bersiap pada diri mereka yang sebagiannya mengenakan seragam khas buruh pabrik. Ada pula yang sudah menenteng helm proyek kuning atau putih di pangkuannya. Barisan kendaraan itu nyaris tak putus, meninggalkan deru mesin dan kepulan asap yang bercampur dengan udara pagi. Kontras itu begitu nyata, sederhana dan modern, desa dan kota, saling berdampingan tanpa benar-benar menyatu.
Aku melangkah mantap menuju sekolah baruku, SMP Cita Insan Utama. Belakangan aku tahu, orang-orang lebih akrab menyebutnya SMP Cinta. Entah siapa yang pertama kali menyingkatnya, tapi jujur saja nama itu terdengar lebih manis di telinga. Nama yang sederhana itu justru membuatku sedikit tenang, seolah aku disambut hangat bahkan sebelum benar-benar masuk. Tas ransel berisi buku pegangan dan rencana pelajaran pun terasa lebih ringan di bahu, meski debar di dada tetap bergemuruh. Hari pertama selalu penuh tanda tanya, apalagi di sekolah swasta yang katanya punya siswa dengan latar belakang beragam. Dalam hati aku berdoa, semoga langkah kecilku di ruang kelas nanti benar-benar berarti.
Tak lama kemudian, gerbang sekolah yang cukup megah tampak jelas di depan mata, berdiri kokoh dengan cat putih bersih dan papan nama besar bertuliskan huruf biru tegas, SMP CITA INSAN UTAMA. Sebuah pos satpam berdiri di sampingnya, dengan petugas berseragam biru muda yang ramah menyapa setiap kendaraan yang masuk. Bendera merah putih tergantung tenang di tiang tinggi di halaman, ujungnya sesekali bergoyang pelan tertiup angin pagi, diapit taman kecil dengan bunga kertas merah muda dan oranye. Beberapa mobil pribadi berhenti di depan, menurunkan anak-anak berseragam rapi, sementara di sudut lain ada juga yang datang berboncengan motor bersama orang tuanya. Mayoritas mereka berasal dari keluarga pegawai pabrik, pedagang, atau pekerja kantoran yang ekonominya relatif mapan. Aku memperhatikan sesaat, ada rasa asing yang menyelusup, karena di desaku dulu, anak SMP lebih sering datang dengan bersepeda atau bahkan berjalan kaki.
Gerbang sekolah kutinggalkan di belakang, langkahku kini menapak ke arah bangunan utama. Udara pagi bercampur riuh suara siswa yang mulai berdatangan, membuat jantungku berdetak lebih cepat. Seorang satpam menundukkan kepala sopan, sementara beberapa guru yang lebih dulu datang tampak bertegur sapa di koridor.
Oleh satpam aku diarahkan menuju ruang guru, sebuah ruangan cukup luas dengan jendela lebar yang menghadap ke halaman sekolah. Cat dindingnya putih gading, agak kusam di beberapa bagian, tapi tetap memberi kesan bersih. Meja-meja kayu berjajar rapi, di atasnya bertumpuk buku dan map. Di sudut ruangan tampak sebuah dispenser, berdampingan dengan meja kecil yang tersaji beberapa cangkir kaca dan kopi instan. Sudut sederhana itu seperti menjadi saksi obrolan ringan para guru setiap pagi
Beberapa guru sudah duduk di kursinya masing-masing. Ada yang sibuk mengoreksi berkas, ada yang asyik mengobrol sambil menyeruput kopi. Mereka sempat melirik ke arahku, sebagian tersenyum, sebagian hanya mengangguk singkat. Aku membalas dengan senyum kikuk, mencoba menutupi rasa canggung yang mendadak menyeruak. Rasanya seperti murid baru yang hendak beradaptasi, padahal kali ini aku datang sebagai seorang guru.
“Baru ya, Mas?” suara seorang pria paruh baya memecah keheningan. Ia mengenakan batik sederhana dengan lengan digulung sampai siku. Senyumnya lebar, matanya ramah. “Saya Pak Hendra, mengajar Matematika.”
Aku buru-buru menjabat tangannya. “Iya, saya Fikrul, mengajar IPA.”
Pak Hendra mengangguk sambil menatapku dari ujung kepala hingga kaki, seolah menakar. “Pantas, kelihatan masih segar,” senyumnya makin melebar. “Anak-anak sini pasti senang sama guru muda yang semangat,” katanya sambil tertawa kecil. “Santai aja, nanti juga terbiasa.”
Sapaan singkat itu membuatku sedikit lega. Kehangatan sederhana seperti itu, justru membuat ruang guru yang awalnya asing perlahan terasa lebih bersahabat.
…
Bel berdentang nyaring tanda jam istirahat usai. Aku berdiri, merapikan kemeja, lalu bersiap menuju ruang kelas berikutnya. Baru kali ini aku sadar, ada yang unik dari sekolah ini dalam memberi nama kelas. Alih-alih dimulai dari huruf A, kelas justru disusun dari huruf latin paling belakang, Z, Y, X, W, dan seterusnya. Maka, dengan total dua belas rombongan belajar, tak akan ditemukan kelas A, B, atau C di sini.
Aku sempat mengernyit kecil, antara heran dan geli. Entah apa alasannya, tapi jelas, pembagian itu membuat kelas yang sebentar lagi kuhadapi terdengar lain dari biasanya. Kelas 9Z. Nama yang sekilas saja sudah menimbulkan rasa penasaran, seolah ada cerita yang bersembunyi di balik huruf terakhir alfabet itu.
Koridor sekolah yang kutapaki berakhir di depan sebuah pintu dengan papan nama “9Z” yang cat birunya sudah sedikit mengelupas. Dari balik kaca jendela, samar-samar terlihat bayangan siswa yang belum juga kembali duduk meski bel tanda masuk sudah lama berbunyi. Suara riuh rendah tawa dan obrolan terdengar keluar, kontras sekali dengan kelas-kelas lain di sekitarnya yang sudah lebih tenang. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menata debar di dada.
Begitu pintu kelas kubuka, rasa penasaran itu langsung berganti menjadi terkejut. Ruangan ini bukan sedang menunggu guru baru dengan tenang, melainkan penuh hiruk-pikuk. Beberapa siswa masih berdiri di dekat jendela, tertawa keras sambil menirukan gaya iklan televisi. Dua anak berlari kecil di antara bangku, seolah ruang kelas adalah lapangan bermain. Di pojok belakang, seorang murid duduk selonjoran dengan earphone masih terpasang, sementara yang lain pura-pura sibuk dengan gawai di bawah meja.
Aku terhenti sejenak di ambang pintu, merasa langkahku mendadak kaku. Pengalaman sebagai asisten dosen dulu sama sekali tak menyiapkan diri menghadapi pemandangan semacam ini. Mahasiswa biasanya akan langsung diam begitu dosen masuk, tapi di sini senyum ramahku seperti tak ada harganya, tak satupun merasa perlu menoleh.
“Assalamu’alaikum!” ucapku akhirnya, mencoba terdengar mantap.
Beberapa menjawab sekenanya, sebagian besar tetap sibuk dengan urusannya. Ada rasa getir yang perlahan merayap: ternyata, mengajar di kelas bukan sekadar soal menyampaikan materi. Tantangannya justru dimulai dari sini, bagaimana membuat mereka mau mendengar, mau menoleh, mau percaya bahwa aku pantas berdiri di depan mereka.
Aku melangkah masuk, menutup pintu perlahan agar suara berderitnya terdengar. Sedikit berhasil, beberapa kepala mulai menoleh. Saat itu, tanpa pikir panjang, aku mengambil spidol dari meja guru dan menulis besar-besar di papan tulis:
“SIAPA KAMU?”
Tulisan itu membuat suara gaduh mereda. Seorang anak yang tadinya tertawa paling keras kini berhenti, menatap tulisan itu dengan dahi berkerut. “Apa maksudnya, Pak?” serunya dari bangku tengah.
Aku berbalik, menatap mereka satu per satu. “Saya guru baru kalian. Tapi sebelum saya bercerita tentang siapa saya, saya mau tahu dulu siapa kalian. Satu per satu, tuliskan nama dan cita-cita di selembar kertas. Tak perlu panjang, cukup satu kalimat.”
Beberapa mendengus malas, ada yang tertawa kecil, tapi perlahan mereka mulai mencari-cari kertas. Aku menunggu sambil berjalan berkeliling, memperhatikan mereka menulis.
Sepuluh menit kemudian, kertas-kertas itu terkumpul di mejaku. Dengan lantang aku membacanya di hadapan mereka, lengkap dengan nama dan cita-citanya. Ada yang bercita-cita jadi dokter, ada yang ingin jadi pengusaha. Hingga kemudian sampai pada sebuah kertas yang membuatku berhenti sejenak. Di atasnya tertulis huruf besar-besar, TIDAK TAHU, tanpa nama, tanpa hiasan. Praktis, hampir semua menyambut serempak dengan tertawa kecil, bahkan sebagian bersiul mengejek.
Aku tersenyum tipis, mencoba menenangkan suasana dengan isyarat tangan. “Hei, gak perlu ditertawakan! Justru, ini salah satu jawaban paling jujur.” Suasana mendadak lebih hening, beberapa masih menahan tawa di sudut bibir. Kusapu pandangan ke seluruh bagian kelas lalu melanjutkan, “Gak masalah kalau kamu belum tahu. Bahkan saya pun dulu gak tahu mau jadi apa. Menjadi guru bukan cita-cita saya sejak kecil. Tapi gak tau gimana, langkah kaki saya membawa ke sini. Dan sekarang, saya berdiri di depan kalian. Saya justru merasa..,” sengaja ku gantung kalimatku untuk berpura-pura berpikir. ”Mungkin.., ini jalan yang harus saya tempuh.”
Kelas terdiam. Bukan hening sempurna, tapi cukup untuk membuat kata-kataku terdengar jelas. Beberapa siswa yang tadinya ribut kini menunduk, entah berpikir, entah hanya pura-pura. Aku lanjutkan dengan nada lebih ringan, “Tapi tenang, hari ini kita gak akan langsung belajar dengan berbagai rumus atau catatan panjang. Kita mulai dengan perkenalan aja dulu. Ceritakan satu hal paling kalian sukai di sekolah ini, dan satu hal yang paling kalian benci.”
Tangan-tangan mulai terangkat. Ada yang nyeletuk lucu, “Saya suka kantinnya, Pak, tapi benci sama matematika.” Sontak kelas tertawa. “Saya suka jam olahraga, tapi benci sama bangun pagi,” sebuah celetukan lagi dari deretan bangku di belakang. Tawa kembali pecah. Kelas mulai mencair. “Kayaknya saya suka sama Bapak, tapi gak suka pelajarannya,” ada yang makin berani untuk akrab sehingga suasana mendadak lebih rileks. Obrolan pun berlanjut, mengalir ke banyak hal, tentang pelajaran, kebiasaan di sekolah, sampai cerita-cerita kecil tentang guru lain. Dari sana aku mulai menangkap warna kelas ini, sekaligus merasakan ada ruang yang pelan-pelan memberiku tempat.
Tidak terasa, jam pelajaran pun usai seolah lebih cepat dari yang kusadari. Kelas mulai lengang beriringan dengan suara riuh langkah kaki para siswa menuju ke masjid. Aku masih berdiri di depan papan tulis, menatap kata-kata besar yang tadi kutulis, “SIAPA KAMU?” Tulisan sederhana, tapi justru meninggalkan gema di kepalaku. Pertanyaan yang tadi kutujukan pada para siswa, kini seolah berbalik menanyai diriku sendiri.
Tak lama, suara azan menggema lewat pengeras suara. Suasana sekolah yang riuh seketika berubah khidmat. Aku menghela napas, melangkah keluar mengikuti arus siswa menuju masjid. Air wudhu yang dingin membasuh wajahku, menenangkan debar di dada. Tatkala sejuk itu meresap, pikiranku kembali pada tulisan besar di papan tulis: Siapa kamu? Pertanyaan itu kini berbalik kepadaku. Siapa aku, yang semula mengira mengajar hanya persinggahan, tapi kini justru menemukan diriku di tengah kerumunan siswa yang sedang mencari arah. Mungkin benar, menjadi guru bukanlah cita-cita yang pernah kususun, tetapi barangkali di sinilah passion itu bersemayam, di antara riuh, tawa, dan tatapan murid-murid yang perlahan belajar percaya.
Kreator : Khairul Ismi (Roelis Ril)
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Ketika Guru Bersabar Chapter 2
Sorry, comment are closed for this post.