KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • basedonmyrealitylife
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Ketika Guru Bersabar Chapter 3

    Ketika Guru Bersabar Chapter 3

    BY 03 Okt 2025 Dilihat: 50 kali
    Ketika Guru Bersabar_alineaku

    Chapter 3: Di Balik Papan Tulis

    “Pak Fikrul,” sebuah suara memanggil ketika aku baru saja menutup buku absen di meja guru.

    Aku menoleh. Di ambang pintu, berdiri Bu Resti dengan wajah tenangnya yang khas. Tubuhnya tegap, meski usianya sudah memasuki paruh baya. Kerudung segi empat berwarna pastel menutup rapi rambutnya, dipadukan dengan blazer sederhana berwarna gelap. Penampilannya terjaga, mencerminkan sosok yang disiplin sekaligus berwibawa. Tatapannya tajam, tapi suaranya selalu terukur, ciri khas yang membuat para guru segan sekaligus berhati-hati ketika berhadapan dengannya. Di kalangan guru, Bu Resti dikenal disiplin, kadang terkesan dingin, meski tak pernah kehilangan senyum tipisnya.

    “Sebentar, bisa ke ruangan saya?” tanyanya. Suaranya datar, sulit ditebak apakah itu ajakan santai atau sebuah perintah.

    Aku mengangguk, membereskan buku, lalu mengikutinya melewati lorong sekolah. Langkahnya mantap, tidak tergesa, tapi cukup membuatku harus menyesuaikan irama jalan. Sesampai di ruangannya, ia mempersilahkanku duduk. Ruangan itu tampak rapi dengan lemari berisi map warna-warni yang tersusun rapat, seperti mencerminkan karakternya sendiri.

    “Saya dengar, kemarin di 9Z anak-anak lumayan tertib ya?” dengan nada tenang Bu Resti membuka percakapan. “Padahal kelas itu kelas yang paling… ‘hidup’ di sekolah ini,” Bu Resti memberi isyarat tanda petik dua dengan sepasang jarinya. “Kelas yang agak sulit diatur.” 

    Aku tersenyum kecil, “Alhamdulillah, Bu. Mereka memang ramai, tapi sebenarnya antusias.”


    “Luar biasa ya..” lanjutnya, suaranya masih tenang. “Nggak banyak loh, guru baru yang bisa membuat kelas itu diam dan mendengarkan. Biasanya malah mereka yang kewalahan.” Nada suaranya terdengar kagum.

    “Tapi, saya agak heran, gimana ya anak-anak itu bisa diam dan mau mendengarkan?” Ia menyilangkan tangan, lalu mencondongkan badan sedikit ke depan. 

    “Jarang sekali terjadi.”

     

    “Saya hanya ngajak mereka ngobrol, Bu,” jawabku.

     

    “Oh, ngobrol ya…” Bu Resti tersenyum tipis, tangannya merapikan kerudung. 

    “Anak-anak memang cepat luluh kalau diajak bicara dengan sabar.” Ia berhenti sejenak, lalu menatapku dengan sorot mata penuh selidik namun tetap ramah. Dari caranya membuka percakapan, aku bisa menduga kalau sebenarnya ia sudah cukup tahu siapa aku, mungkin dari cerita Pak Ali, atau dari berkas yang pernah singgah di Divisi SDM yayasan. Kali ini, sepertinya ia ingin mendengarnya langsung dariku.

     

    “Tapi, untuk ukuran guru baru, bisa langsung akrab sama anak-anak itu jarang sekali loh,” lanjutnya sambil tersenyum kecil, namun matanya tetap menatap tajam seolah menakar. “Biasanya butuh waktu relatif lama bisa sampai cair begitu. Kalo tebakan saya, Pak Fikrul pernah punya pengalaman mengajar sebelumnya. Soalnya, Pak Fikrul terlihat cukup tenang. Beda sama kebanyakan guru baru yang biasanya agak grogi pas pertama ngajar.”

     

    Aku menarik napas pelan, berusaha menjaga sikap. Rasanya seperti sedang diuji, tapi aku memilih untuk tidak terburu-buru menjawab. Senyum sopan kutahan di wajah, sambil menata kata-kata agar tetap terdengar rendah hati. 

     

    “Kebetulan saya sempat membantu mengajar di kampus, Bu. Jadi mungkin sudah agak terbiasa bicara di depan kelas. Tapi tetap saja, rasanya beda sekali ketika berhadapan dengan siswa SMP.”

     

    Bu Resti mengangguk perlahan, sorot matanya tetap tajam namun tak kehilangan kelembutan. 

    “Itu bagus,” ujarnya tenang. “Hanya saja, saya menyarankan agar jangan terlalu dekat dengan mereka. Anak-anak cepat sekali merasa akrab. Kalau sudah begitu, kita yang justru kesulitan menjaga jarak.”

    Aku hanya mengangguk, mencoba menelan kata-katanya dengan tenang. Namun dalam hati, ada sesuatu yang terasa janggal. Peringatan itu terdengar lebih seperti instruksi resmi daripada nasihat seorang pendidik senior.

    Saat melangkah keluar dari ruangannya, pikiranku berputar. Cara bicara Bu Resti seperti suara lain yang lebih peduli pada aturan dan jarak, ketimbang pada proses belajar itu sendiri. Seolah-olah kedekatan dengan murid adalah hal berbahaya, padahal justru di situlah letak kehangatan yang semestinya ada dalam pendidikan. Aku merasa ada yang tidak sinkron antara semangat mengajar yang kutemukan di kelas, dengan batas-batas kaku yang coba ditegakkan di luar kelas.

    Sepekan sudah aku menjalani rutinitas di sekolah ini. Perlahan, suasana yang awalnya terasa asing mulai bisa kuikuti. Seperti di sini, di ruang guru. Tiap hari hampir selalu sama, beberapa guru sibuk mengoreksi buku, ada yang menyiapkan materi belajar di laptopnya, atau sebagian lagi berbincang santai sambil menyeruput kopi. Beriringan dengan suara kertas yang ditarik printer, sementara di sudut ruangan terdengar denting sendok di gelas yang sesekali beradu dengan tawa ringan di tengah diskusi antar guru. 

    Aku duduk di kursi tak jauh dari pintu masuk, tempat yang kupilih sebagai meja kerja agar bisa melihat keluar lewat jendela di sampingnya. Jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh, masih ada waktu setengah jam lagi sebelum masuk ke kelas. Tas ransel yang tadi di pundak kini tergeletak di pangkuan, siap kukeluarkan isinya sambil mencoba menyatu dengan ritme di kantor ini.

    “Selamat ya, Fik,” sebuah suara menyapaku ramah. “Sukses di hari pertama di kelas 9Z itu capaian yang gak main-main.”

    Aku menoleh. Pak Hendra berdiri di sampingku, membawa perlengkapan mengajarnya.
    “Ah, mungkin kebetulan, Pak,” jawabku, mencoba merendah.

    “Gak semua bisa kebetulan,” sahutnya ringan, senyumnya tetap hangat. “Kalau anak-anak bisa diam dan mendengarkan, pasti ada sesuatu yang mereka tangkap dari cara kamu masuk ke kelas. Itu bukan hal yang mudah, Fik. Gak semua guru baru bisa begitu.” Ia menaruh map di meja persis di sampingku, lalu duduk. 

    “Saya masih ingat pas pertama kali masuk kelas mereka,” lanjutnya sambil merapikan map. “Suasananya gak tahu udah kayak apa. Udahlah mereka gak suka matematika, jam pelajaran siang pula. Bahkan saya seolah gak dianggap, padahal saya wali kelas mereka. Suara saya tenggelam begitu saja. Sampai pulang, rasanya frustrasi. Butuh waktu sebulan untuk saya bisa paham mereka.” Mata Pak Hendra tampak menerawang, seolah kembali ke masa itu.

    “Jadi, kalau kamu bisa bikin anak-anak 9Z diam, itu bukan kebetulan. Itu tanda ada sesuatu yang bisa mereka hargai.” Pak Hendra bangkit, sesaat kemudian ia melangkah ke kelas.

    Aku melanjutkan aktivitasku mengeluarkan isi tas, lalu menata buku di meja. Ucapan Pak Hendra membuatku sedikit lebih tenang. Kehangatan sederhana seperti itu terasa penting bagi seorang guru baru sepertiku. Mungkin beginilah cara bertahan, menemukan orang-orang yang mampu memberi semangat di sela rasa ragu yang masih sering datang.

    “Masuk ke kelas 9Z lagi, Pak Fik?” Pak Darto, guru PJOK yang tempat duduknya tak jauh dariku menyapa. Tangannya sibuk menata perlengkapan olahraga di lemari.

    “Bukan Pak, saya jadwal di kelas 8X,” sahutku dengan sopan.

    “Tetap semangat ya! Guru baru biasanya awal-awal aja semangatnya. Giliran udah lama, baru banyak ngeluhnya.” Suaranya terdengar seolah antusias, tapi cukup membuatku menyadari, gurauan itu membawa nada lain yang tak sulit kutangkap.

    Aku tersenyum tipis, alih-alih menanggapi berlebihan aku lebih fokus menyiapkan diri masuk ke kelas. Sejenak ruangan terasa berbeda, hangatnya dukungan Pak Hendra masih membekas, tapi kini bercampur dengan komentar ringan yang menyisakan tanda tanya. Barangkali inilah wajah ruang guru, tempat di mana sambutan hangat dan komentar bernada ringan saling berseliweran, membuatku belajar menerima bahwa tidak semua orang menyambut dengan cara yang sama.

    “Baik, Pak. Saya permisi, mau masuk dulu,” aku berdiri, mengangguk sebentar lalu menghilang di balik pintu.

    Memasuki pekan keempat aku berada di sekolah ini, ritme mengajar mulai bisa kuikuti. Interaksi dengan para siswa pun berjalan tanpa hambatan berarti. Namun, entah mengapa ada perasaan yang terus mengendap, semacam isyarat bahwa ada hal lain yang menunggu untuk kuhadapi. Sebagai mantan asisten dosen, aku tahu diriku cukup siap dengan persoalan kelas, tapi dunia sekolah menengah punya lapisan lain yang perlahan mulai terlihat.

    Beberapa kali aku menangkap percakapan singkat di ruang guru, ketika beberapa guru berkeluh kesah tentang laporan yang menumpuk. Ada yang menggerutu soal rekap nilai harian yang harus segera dikirim ke bagian administrasi, padahal ulangan saja belum selesai diperiksa. Ada pula yang sibuk dengan laporan kegiatan ekstrakurikuler, sambil menghela napas panjang karena diminta menyesuaikan format baru dari yayasan. Dari luar, mungkin terlihat sepele, tapi di wajah mereka jelas tergambar lelah yang berbeda, lelah yang bukan hanya fisik, tapi juga pikiran.

    Di satu sisi, aku melihat Pak Hendra sering menjadi tempat curhat banyak guru. Dengan sabar ia menanggapi keluhan rekan-rekan, memberi saran praktis agar pekerjaan administrasi cepat selesai tanpa mengorbankan jam mengajar. Ia seperti menenangkan badai kecil yang tak pernah benar-benar reda. Di sisi lain, ada juga guru yang tampak sinis setiap kali ada aturan baru turun dari yayasan. “Kita ini guru atau pegawai administrasi?” bisiknya suatu siang, sambil menandatangani setumpuk berkas. Kalimat itu sempat membuatku terdiam.

    Aku mulai merasakan sendiri desakan itu ketika suatu pagi Bu Resti memintaku menyerahkan laporan hasil pembelajaran dua pekan pertama. “Lengkap ya, Pak Fik!” katanya singkat. “Harus ada catatan perkembangan tiap anak, plus evaluasi metode mengajar. Biar nanti mudah dilaporkan ke yayasan.” Nada bicaranya biasa saja, tapi aku merasakan ada tekanan tersembunyi. Belum lagi, beberapa jam kemudian aku kembali diingatkan lewat pesan singkat agar mengirim format yang sudah ditentukan, bukan versi ringkas yang sempat kupersiapkan.

    Malamnya, aku membuka laptop dan mencoba menulis laporan itu. Layar monitor penuh dengan tabel kosong, kolom catatan yang harus diisi detail satu per satu, seolah setiap interaksi di kelas mesti diterjemahkan dalam angka atau kalimat formal. Aku menatap lama form tersebut, lalu mengingat kembali wajah-wajah para siswa di tiap kelas. Senyum mereka, tawa mereka, bahkan pertanyaan-pertanyaan polos yang kadang membuat kelas riuh. Bagaimana caranya menuangkan semua itu hanya dalam baris-baris kaku di atas kertas?

    Aku sadar, sekolah ini punya tuntutan yang berbeda. Ada yayasan yang menunggu laporan sebagai bentuk pertanggungjawaban, ada orang tua murid yang menginginkan transparansi. Namun di balik itu, aku juga merasakan ada jarak yang makin lebar antara pekerjaan mengajar yang sebenarnya. Aktifitas seperti mendengar cerita mereka atau memberi semangat seolah kontradiktif dengan pekerjaan administratif yang mengikatku berjam-jam di depan layar.

    Barangkali inilah wajah lain dari profesi guru yang jarang terlihat dari luar. Guru sejatinya bukan hanya mengajar. Kami juga dituntut menjadi pekerja administrasi, mencatat, melaporkan, merinci. Kadang aku bertanya dalam hati, apakah semua ini benar-benar mencerminkan kebutuhan murid, atau sekadar memenuhi angka dan laporan di meja kerja? Pertanyaan itu belum terjawab. Tapi aku tahu, cepat atau lambat, aku harus belajar menyeimbangkan keduanya.

    Dan malam ini, ketika jari-jariku kembali menari di atas keyboard, aku menuliskan sebuah catatan kecil untuk diriku sendiri, jangan sampai tenggelam dalam laporan, hingga lupa alasan pertama aku masuk ke ruang kelas. Ya, mendengar, menemani, dan mendidik mereka yang sedang mencari arah.

     

     

    Kreator : Khairul Ismi (Roelis Ril)

    Bagikan ke

    Comment Closed: Ketika Guru Bersabar Chapter 3

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]

      Des 02, 2024
    • Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]

      Okt 21, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021