Bel istirahat berdentang, nadanya yang khas memantul di sepanjang koridor. Pintu-pintu kelas terbuka hampir bersamaan. Sesaat kemudian, dari dalamnya mengalir arus siswa yang segera memenuhi halaman sekolah. Riuh tawa, langkah tergesa, dan panggilan teman sebaya saling bersahut, menggantikan kesunyian yang baru saja tercipta saat pelajaran berlangsung.
Aku duduk di bangku panjang sebelah lapangan futsal. Segelas es teh dari kantin masih berembun di genggaman, ditemani sebungkus gorengan hangat dan keripik pedas yang kutaruh di sampingku. Dari tempat ini, aku bisa menyaksikan sekolah berganti wajah dalam hitungan menit. Di kantin, antrean mengular, beberapa siswa mengobrol sambil berebut tempat duduk. Sementara di depan perpustakaan, tampak segelintir anak bersiap memilih buku bacaan. Sedangkan di taman kecil depan koridor, sekelompok siswa heboh membicarakan hasil Liga Champions tadi malam.
Dari lapangan futsal, sorak sorai terdengar paling nyaring. Bahkan lebih seru dari obrolan rekan mereka di depan koridor. Dua tim yang terbentuk secara spontan silih berganti menggiring bola dan menyerang. Bola futsal pun bergulir dengan cepat, hingga kemudian teriakan semangat meledak tiap kali gawang berhasil ditembus. Aku menyeruput teh dingin, membiarkan suara gaduh itu masuk ke telinga, seolah sedang menonton sebuah dunia kecil yang hidup dengan caranya sendiri.
Pemandangan ini seolah memperlihatkan bahwa jam istirahat bukan sekadar jeda, melainkan ruang di mana setiap anak menemukan caranya sendiri untuk bernapas. Permainan futsal yang kusaksikan pun terasa seperti cermin kecil tentang bagaimana sekolah ini berjalan, penuh energi, riuh tarik ulur, tapi seringkali ada hal-hal yang tak terlihat dari luar.
Bagiku, jauh lebih ringan mendengar teriakan siswa di lapangan ketimbang percakapan di balik pintu kantor. Di sana, hampir selalu ada bisik-bisik tentang “kelas buangan” atau “kelas susah diatur.” Entah mengapa, obrolan itu kerap mengarah ke kelas 9Z, kelas yang justru memberiku kesan pertama yang tak terlupakan ketika pertama kali datang ke sekolah ini.
“Kadang atmosfer yang dibangun oleh beberapa guru begitu berbeda daripada kelas lain. Padahal mereka juga punya potensi. Tinggal gimana kita aja mendekatinya. Buktinya kamu bisa, ya kan Fik?” ujar Pak Hendra sekali waktu. Guru yang selalu tenang itu pada akhirnya terpengaruh juga dengan bisik-bisik di sekitar kantor. Suaranya nyaris tenggelam di tengah gelombang komentar sinis.
Aku hanya tersenyum, berusaha menata wajah agar tetap netral, meski di dalam hati ada sesuatu yang mengganjal. Setiap kali telingaku menangkap percakapan itu, ada rasa tak nyaman yang sulit kuabaikan. Seakan-akan 9Z hanya dipandang sebagai beban, bukan kumpulan anak-anak yang sedang mencari jalannya. Mungkin karena itu aku lebih sering memilih bangku di tepi lapangan ini. Dari sini, aku bisa melihat mereka dengan cara yang lebih jujur, sebagai remaja dengan tawa, emosi, dan mimpi-mimpi yang kadang masih berantakan. Bukan sekadar label yang ditempelkan oleh orang dewasa.
…
Doa pembuka hati yang dirangkai dengan doa belajar baru saja dilantunkan. Meskipun belum sepenuhnya rapi, namun setidaknya kelas 9Z sudah mulai bisa membiasakan pengkondisian awal sebelum belajar. Memang, masih ada di antara mereka yang belum bisa berkonsentrasi ketika berdoa, tapi paling tidak kondisi ini sudah lebih baik dibanding ketika kali pertama aku masuk kelas ini sekitar dua bulan lalu.
Aku bangkit dari kursi guru, lembar kerja yang telah ku rancang sebelumnya bersiap untuk berpindah ke meja siswa ketika ku perhatikan beberapa sudah konsentrasi dengan bukunya. Namun, belum sempat aku menjelaskan prosedur kerja dalam pembelajaran ini, sebuah suara tiba-tiba terdengar dari pojok belakang.
“Pak, kata guru-guru, kelas kita tuh kelas buangan ya?”
Meski diucapkan dengan tawa, aku bisa merasakan ada sesuatu di balik pertanyaan itu. Semacam sebuah konfirmasi dari rasa minder yang terbungkus dalam guyonan. “Oh ya? Siapa yang bilang?” aku balik bertanya, mencoba menahan nada tetap tenang.
Ijul, siswa yang tadi bertanya melirik ke kiri dan kanannya, seperti meminta dukungan dari teman-temannya. Beberapa temannya terkikik, ada yang menambahkan, “Iya, Pak, kelas kita mah nggak ada harapan,” Gilang, sang ketua kelas ini pun bersuara. “Yang penting lulus.”
“Ah, masa sampai segitunya,” aku menimpali dengan nada santai, seolah menertawakan ucapan mereka. Tapi di dalam hati, aku tahu yang mereka katakan tidak sepenuhnya bercanda.
“Tapi emang begitu, Pak,” tukas Shifa. “Bu Lina malah punya julukan khas buat kelas kita, 9Z, alias Sembilan Zonk,” lanjut siswi yang paling menonjol prestasinya di kelas ini.
Aku berusaha menyembunyikan keterkejutanku. Gurauan itu terdengar ringan, tapi justru di situlah aku menangkap bayangan stigma yang ternyata sudah merembes sampai ke telinga mereka.
“Berarti kelas yang lain ada julukan juga dong?” tanyaku, mencoba menggali lebih jauh.
“9W itu Winner, soalnya para duta OSN, jago debat bahasa Inggris ngumpul di situ. 9X itu dipenuhi siswa yang berprestasi di bidang olahraga, makanya disebut kelas Xtra. Kalo 9Y, isinya mayoritas para mantan Gen-Cinta. Gak heran kalo guru-guru ngasih julukan kelas Youth,” jelas Shifa panjang lebar
“Gen-Cinta, apa itu?” aku semakin penasaran, rasanya informasi ini baru kudengar.
“Nama lain Pengurus OSIS kita, Pak. Mereka yang namain begitu. Generasi Cita Insan Utama, Gen-Cinta,” jawab Gilang sambil mengeja kalimat terakhir kata per kata.
Aku kembali ke kursi guru, kemudian duduk. “Sejak kapan, kalian dapat julukan-julukan seperti itu?”
“Udah lama, Pak. Dari awal kelas delapan,” Ijul tertawa kecil. “Awalnya kan waktu seleksi lomba-lomba buat OSN sama O2SN. Nah, kelas 8W sama 8X kan banyak yang terpilih tuh. Sedangkan 8Y banyak yang gak diikutkan seleksi, soalnya Ketua OSIS terpilih berasal dari 8Y, jadi otomatis deh pengurusnya banyak dari kelas itu,” timpal Shifa melanjutkan.
“Dari kelas kalian gak ada yang terpilih gitu, ikut OSN atau jadi pengurus OSIS?”
Gilang menghela nafas dan menghembuskannya perlahan, “Ada sih, Pak. Beberapa orang, tapi di bagian staf aja.”
“Yang di OSN?” kejarku.
“Shifa,” tukas Dina, siswi yang duduk persis di belakang Shifa seraya menunjuknya. “Tapi cuma jadi cadangan, Pak,” Shifa menunduk, ada getir kecewa yang berusaha ditahannya.
Aku berdiri lagi dari tempat dudukku, kuraih kembali lembar kerja yang sebelumnya hendak dibagikan. Entah dari mana aku harus memulai pelajaran, pikiranku menyangkut pada jawaban-jawaban mereka yang serasa menamparku. Aku yakin anak-anak 9Z tidak sepenuhnya seperti yang sebagian guru katakan. Namun, memulihkan cahaya kepercayaan diri mereka yang hampir padam tentu bukan hal mudah.
“Kalian jangan pernah percaya kalau kalian dianggap kelas buangan. Kalian itu kelas yang unik, yang sedang belajar menemukan dengan caranya sendiri,” aku berusaha menghibur mereka. “Juara kan bukan cuma soal piala, tapi soal bagaimana berani untuk maju. Dengan begitu, suatu saat boleh jadi nama kelas kalian menjadi 9 Zenius,” aku tersenyum lalu membagikan lembar kerja yang sempat tertunda.
Suasana mendadak hening. Beberapa pasang mata masih menatapku dengan serius. Ada secercah harapan meski tipis dan rapuh. Aku tahu, kata-kata itu mungkin belum cukup menghapus rasa minder yang terlanjur melekat, tapi setidaknya aku ingin mereka tahu ada seseorang yang percaya pada mereka.
…
Malam itu jalan desa tampak lengang, hanya diterangi beberapa lampu yang menggantung di tepi jalan, memantulkan cahaya pucat di atas aspal basah. Di salah satu sisi kirinya berdiri saung bambu dengan atap rumbia yang temaram, seolah menegaskan jalur sunyi yang dilalui setiap kendaraan. Pepohonan di kanan kiri jalan bergoyang pelan diterpa angin, bayangannya menari di bawah cahaya lampu, menghadirkan kesan sepi namun menenangkan. Udara malam membawa aroma tanah dan dedaunan, khas pedesaan yang jauh dari hiruk pikuk kota.
Aku duduk di belakang meja belajarku yang mulai kusam. Meja yang setia membersamai sejak berseragam putih abu-abu itu kini ditemani cahaya lampu meja yang jatuh ke atas tumpukan buku dan kertas rencana pelajaran. Dulu aku menuliskan rumus dan catatan kecil menjelang ujian di atasnya. Kini, meja yang sama menemaniku menyiapkan bahan ajar untuk murid-muridku. Sementara, di luar jendela suara jangkrik bersahut-sahutan, sesekali motor melintas di jalan desa yang semakin sepi. Aku menajamkan pensil, menarik garis-garis di lembar kerja, mencoba memastikan esok anak-anak punya kegiatan yang jelas.
Namun meski tanganku sibuk menulis, pikiranku melayang ke sekolah. Dua bulan lebih aku di sana, perlahan aku mulai membaca wajahnya. Dari luar, ia tampak sama seperti sekolah-sekolah lain dengan tembok putihnya, atau taman kecil di gerbang, dan deretan slogan motivasi di dinding. Foto-foto juara terpajang di mading, menegaskan citra sekolah berprestasi.
Tapi dari dalam, ada lapisan yang berbeda. Tidak semua murid mendapat ruang yang sama. Beberapa kelas selalu disebut dengan penuh kebanggaan, sementara yang lain sekadar jadi bahan obrolan ringan. Dadaku terasa sesak jika mengingat hal itu, ada kekhawatiran ruang-ruang yang berbeda juga diberlakukan untuk para guru.
“Kalau ada yang bilang kalian kelas buangan, apa wali kelas kalian nggak pernah menegaskan yang sebaliknya?” tanyaku sebelum menutup pelajaran di kelas 9Z tadi siang. Aku setengah berharap mereka akan menyebut sosok yang selalu berdiri membela.
Beberapa siswa saling pandang, lalu tertawa kecil. “Pak, Pak Hendra wali kelas kami juga sering dibecandain sama guru lain. Katanya, beliau guru buangan.” Shifa menjawab seraya mengangkat bahu.
Aku tertegun, tidak siap dengan jawaban itu. “Maksudnya?” suaraku nyaris berbisik.
“Iya,” timpal Gilang, “Karena nggak pernah pegang kelas unggulan, nggak pernah ngajar ekskul berprestasi. Jadi kayaknya dianggap biasa aja. Jadi ya.., mungkin itu sebabnya wali kelas juga jarang bisa ngelawan kalau kelas kita dikata-katain.”
Suasana kelas hening sesaat sebelum kemudian doa sesudah belajar dilantunkan. Aku menatap wajah-wajah mereka, menyadari betapa dalam luka yang terbentuk ketika bukan hanya murid, tapi juga guru mereka ditempatkan di sudut yang sama. Kelas ini paling riuh dibandingkan yang lain, namun ternyata isinya terasa sunyi. Label itu nyata, dan bukan hanya murid yang memikulnya. Guru pun bisa terpinggirkan dalam sistem yang lebih suka mengangkat mereka yang bisa menghasilkan piala atau membina kelas unggulan.
Aku menutup buku ajar di depanku dan menatap kosong pada bayangan lampu di meja belajar. Malam kian larut, namun aku merasa perjalanan ini baru saja dimulai, belajar memahami wajah sekolah dengan segala lapisan di dalamnya. Ada semangat yang ingin terus kujaga, meski ada rasa getir yang mengusik. Di antara hening malam dan suara jangkrik yang tak putus, aku merasakan satu hal, menjadi guru ternyata bukan hanya soal mengajar.
Kreator : Khairul Ismi (Roelis Ril)
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Ketika Guru Bersabar Chapter 4
Sorry, comment are closed for this post.