KATEGORI
  • ! Без рубрики
  • 1betcasino.de
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • basedonmyrealitylife
  • Berita Alineaku
  • betonredofficial.com
  • billybets.ch
  • Bisnis
  • boomerangcasino.ch
  • Branding
  • Caspero Ελλάδα
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • ggbetofficial.de
  • gullybetofficial.com
  • Hiburan
  • hitnspinofficial.ch
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • montecryptoscasinos.com
  • Moralitas
  • Motivasi
  • mrpachocasino.ch
  • Novel
  • novos-casinos
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • okrogslovenije
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Pablic
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Pin-Up oyunu
  • Pin-UP VCH
  • Pin-Up yukle
  • Politik
  • Post
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Public
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • zotabetcasino.ch
  • Beranda » Artikel » Ketika Guru Bersabar Chapter 5

    Ketika Guru Bersabar Chapter 5

    BY 05 Nov 2025 Dilihat: 36 kali
    Ketika Guru Bersabar_alineaku

    Chapter 5: Di Pinggir Lingkaran

    Ketika Guru Bersabar1_alineaku

    Hujan yang sejak siang mengguyur akhirnya reda, meninggalkan jejak basah di setiap sudut sekolah. Genangan air di halaman memantulkan langit sore yang mulai merona jingga, seolah memberi tanda bahwa hari ini perlahan menutup dirinya. Sebagian besar siswa sudah pulang, setelah sempat tertahan menunggu hujan berhenti. Koridor yang biasanya riuh kini hanya menyisakan jejak langkah yang cepat menghilang di balik gerbang.

    Dari ruang kantor terdengar suara kursi digeser, lalu hening. Satu demi satu guru beranjak pulang, hingga tersisa hanya lembar-lembar kertas di meja yang diam, saksi bisu dari kesibukan yang tadi memenuhi ruangan. Jarum jam mendekati pukul empat sore, menandai bahwa hari ini benar-benar berakhir, meninggalkan jejak hujan dan kesunyian yang menyelimuti sekolah.

    Di antara udara yang masih membawa aroma tanah basah, Pak Hendra duduk di kursi tamu ruang kepala sekolah, menunggu Pak Ali. Dari tempatnya, ia menatap halaman sekolah yang lengang seakan ikut menarik napas panjang setelah seharian penuh hiruk-pikuk. Kesunyian itu menuntunnya pada ingatan akan rapat yayasan kemarin, saat ia diminta mewakili Pak Ali yang harus berangkat ke Dinas Pendidikan. Ia bisa merasakan, kehadirannya sore ini pasti ada hubungannya dengan riuh yang masih menyisakan gema di kepalanya.

    “Sudah lama menunggu, Pak Hen?” suara Pak Ali memecah lamunannya. Ia masuk dengan langkah tenang, jas hujan tipis sudah terlipat rapi di tangan. Setelah meletakkan map biru di atas meja, ia pun segera duduk.

    “Tidak, Pak. Baru sebentar saja,” jawab Pak Hendra sambil sedikit tersenyum.

    Pak Ali menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya. Tatapannya sempat jatuh ke meja, seakan sedang menimbang kata. “Saya dapat kabar dari pengurus yayasan.., tentang rapat kemarin.”

    Pak Hendra menegakkan duduknya. “Ya, Pak. Saya hanya menyampaikan apa yang menurut saya perlu didengar. Rasanya wajar kalau kita memberi masukan.”

    Pak Ali mengangguk perlahan, senyumnya meredup. “Saya mengerti. Hanya saja, beberapa pengurus merasa.., keberatan Pak Hendra terdengar terlalu keras. Mereka menilai, sebaiknya kita tidak terlalu banyak mengkritik di forum seperti itu.”

    “Mohon maaf, Pak. Di bagian mana yang dianggap terlalu keras?” sahut Pak Hendra, nadanya tenang meski lebih menyerupai pertanyaan retoris. “Seingat saya, yang saya lakukan lebih tepat disebut bertanya. Bahkan mungkin hanya menyampaikan harapan agar kebijakan yang digulirkan tidak tergesa-gesa.”

    Ruangan seketika hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar jelas. Pak Ali bergeser di kursinya, memberi ruang agar wakil kepala sekolah bidang kurikulum itu melanjutkan penjelasannya.

    “Saya khawatir kalau bilingual school langsung diterapkan tahun ini, tanpa kajian matang, justru membebani guru,” ujar Pak Hendra dengan nada lebih hati-hati. “Guru harus membagi waktu untuk meningkatkan kemampuan bahasa, sementara di sisi lain kualitas mengajar bisa menurun. Itu belum lagi karena yayasan sendiri belum menyiapkan sistem pendukung. Alih-alih membangun perangkat yang mendukung program itu, malah sibuk dengan pembangunan sarana yang lain.”

    Pak Ali mendengarkan sambil mengetuk-ngetuk ujung map dengan jarinya. Sesekali ia mengangguk, meski wajahnya tetap datar, seakan hanya ingin memberi tanda bahwa kata-kata Pak Hendra masuk ke telinganya. Ketika Pak Hendra selesai berbicara, ia menarik napas dalam, lalu mengatupkan jemarinya di pangkuan. Pandangannya jatuh ke meja rendah di depannya, kosong dan berat, seolah di antara hening itu ia sedang menimbang sesuatu yang sulit untuk diucapkan.

    “Saya bisa memahami maksud Pak Hendra. Saya juga berpikir, akan banyak guru merasa berat dengan kebijakan itu. Apa yang Pak Hendra sampaikan saat rapat sebenarnya tidak salah.” Ia berhenti sebentar, bibirnya mengulas senyum tipis yang sulit dibaca. “Tapi, posisi kita tidak selalu memungkinkan untuk terus menyampaikan keberatan.”

    Pak Hendra menatapnya tanpa berkata-kata, menunggu lanjutan kalimat itu.

    “Pak Hen tahu sendiri,” lanjut Pak Ali, kali ini nadanya lebih datar, “Yayasan sudah menetapkan target. Mereka ingin sekolah ini terlihat lebih unggul, lebih modern. Dan bilingual school itu salah satu caranya. Kalau kita terlalu keras menolak, mereka menganggap kita tidak mendukung arah kebijakan. Kalau itu terjadi.., yang tersudut bukan hanya Pak Hendra, tapi juga saya sebagai kepala sekolah.” 

    Pak Ali menundukkan kepala sebentar, jarinya kembali mengetuk-ngetuk map di meja, seolah mencari tempo. “Itulah kenapa saya sering memilih untuk.., menyeimbangkan saja. Tidak melawan, tapi juga tidak sepenuhnya mengiyakan. Kalau tidak begitu, hubungan dengan yayasan bisa makin sulit,” ucapnya dengan nada menurun, seolah menimbang beban yang ia pikul.

    Pak Hendra terdiam. Kata-kata itu terdengar wajar, tapi sekaligus getir. Ia tahu Pak Ali tidak bermaksud menyalahkan, hanya sedang menegaskan batas yang harus dijaga seorang kepala sekolah di hadapan yayasan. Namun, justru dari situ ia semakin menyadari, idealisme seorang guru seringkali terhenti bukan di ruang kelas, melainkan di meja rapat yang dipenuhi pertimbangan citra dan angka.

     

    “Begitulah..,” Pak Hendra mengakhiri sebagian kisahnya di SMP Cinta. Tatapannya menerawang menembus kaca jendela, menyapu tiap sudut jalan di luar kafe. Kendaraan yang lalu lalang tidak seberapa banyak di malam itu seperti memoles kembali memori lama di hati dan kepalanya.

    Aku bisa membayangkan kondisi Pak Hendra sekitar empat tahun lalu itu. Duduk di kursi Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum, sebuah posisi yang strategis, tetapi juga rawan gesekan dengan kebijakan yayasan. Dari ceritanya, aku merasa banyak guru yang sebenarnya menaruh harapan padanya, sebab keberaniannya menyampaikan apa yang dirasa perlu disampaikan.

    “Mohon maaf, emang gak ada yang ngebantu Pak Hendra waktu itu?” tanyaku memastikan apa yang ada di pikiranku.

    “Beberapa guru dan pegawai tendik sebetulnya sering berdiskusi setelah jam sekolah. Kami berupaya mencari cara agar bisa matching dengan keinginan pengurus yayasan. Gak jarang saya menjembatani dialog antara guru-guru dengan pengurus yayasan.” Pak Hendra menghela napas, “Namun, terkadang apa disampaikan ditanggapi lain. Beberapa guru kemudian dipindah ke unit lain, bahkan ada yang dipaksa mengurus hal di luar kompetensinya. Akibatnya, mereka merasa mendapat posisi yang tidak nyaman, satu demi satu dari mereka mulai mundur.”

    “Termasuk dengan Bapak juga yang kemudian diturunkan?” tanyaku hati-hati seraya mencomot pisang goreng yang masih tersisa. Agenda buka puasa bersama di sekolah tadi belum memuaskan lambungku yang kosong membersamai puasa sunah para siswa.

    “Saya hanya berusaha memahami bagaimana pola pikir pengurus yayasan. Seperti halnya saya mencoba memahami bagaimana jalan pikiran sebagian guru dan tendik,” jawab Pak Hendra diplomatis. 

    Aku menatapnya, ragu apakah sebaiknya ku teruskan pertanyaan itu atau berhenti sampai di situ. Namun, sorot matanya yang teduh justru seakan memberi ruang.
    “Kalau boleh tahu, Pak, apa sebenarnya yang membuat yayasan sampai menurunkan Bapak dari jabatan itu?” tanyaku perlahan.

    Pak Hendra tersenyum tipis, lalu menyesap teh hangat yang mulai dingin di hadapannya. “Sederhana saja, sebenarnya. Karena mungkin saya terlalu sering berbeda pendapat.”

    “Berbeda pendapat?” ulangku memastikan.

    “Iya,” jawabnya tenang. “Menurut saya beberapa kebijakan kadang tidak realistis. Misalnya, kewajiban laporan digital sementara perangkat sekolah masih ketinggalan. Atau program bilingual yang dipaksakan tanpa guru yang cukup, dan banyak lagi. Saya sampaikan keberatan itu dengan cara sehalus mungkin, tapi tetap dianggap menentang.”

    Kata-kata Pak Hendra seperti menyingkap sesuatu yang selama ini hanya berupa bisik-bisik di ruang guru yang aku dengar. Tiba-tiba, aku teringat pada percakapan dengan para siswa 9Z beberapa hari lalu, tentang bagaimana guru lain kerap menyebut Pak Hendra sebagai “guru buangan.” Saat itu aku hanya menanggapinya dengan senyum kaku, namun kini, aku menyadari jika sebutan itu terasa punya akar.

    “Jadi, pencopotan itu lebih karena Bapak kritis?” tanyaku, sambil mencoba menepis bayangan kata-kata Shifa yang kembali mengiang.

    “Seperti yang saya bilang tadi, saya hanya berusaha memahami bagaimana pola pikir pengurus yayasan,” Pak Hendra menarik napas. 

    “Lalu, bagaimana perasaan Bapak waktu itu?” tanyaku lagi.

    “Itu pertanyaan retorik, Fik,” Pak Hendra tertawa “Kamu tentu sudah tahu jawabannya,” lanjutnya dengan lirih. “Tapi saya belajar menerima. Jabatan itu titipan. Kalau dicabut, ya berarti saya harus kembali pada peran yang lebih sederhana, menjadi guru di kelas. Justru di kelas saya merasa lebih murni sebagai pendidik. Pencopotan saya dari jabatan wakakur saya anggap sebagai dinamika dalam dunia pendidikan.”

    Percakapan itu pun mengendur, seperti kehilangan kata-kata untuk dilanjutkan. Aku melirik jam di dinding kafe, sudah hampir pukul sembilan malam. Kami akhirnya berdiri, merapikan kursi, lalu berjalan menuju pintu keluar. Udara terasa lebih dingin, meski langit tampak cerah. Mungkin proses kondensasi sedang berlangsung sehingga embun terbentuk mengakibatkan suhu menjadi turun.

    Aku dan Pak Hendra beriringan di trotoar, beliau melangkah tenang menghampiri sepeda motornya di ujung parkiran. Sementara aku sudah berada di atas tungganganku yang memang diparkir tidak jauh dari pintu masuk kafe. Tidak lama kemudian kami berpisah, saling menyusuri jalur dengan arah berbeda, meninggalkan ekor cahaya lampu yang cepat menghilang.

    Kelamnya malam tampak indah dari tempat duduk di beranda. Berselonjor santai sambil menyaksikan bulan sabit yang menggantung di atas sana. Di teras rumah yang biasa kami gunakan bercengkrama. Aku, Amah dan Apah, serta ketiga kakak perempuanku. Bintang-bintang yang berkelip pun seakan memijat badanku yang pegal-pegal setelah seharian di sekolah.

    Obrolan di kafe tadi membuatku semakin paham bahwa dunia pendidikan bukan hanya perkara mengajar dan belajar. Di balik pintu kelas yang tampak sederhana, ada dinamika yang rumit, tentang kebijakan, kepentingan, dan perbedaan cara pandang. Pak Hendra adalah salah satu contoh nyata bagaimana suara kritis kerap berbenturan dengan tembok kebijakan. Padahal, niatnya mungkin sederhana, menjaga agar proses pendidikan tetap berpijak pada kenyataan dan normatif, bukan sekadar idealisme di atas kertas.

    Kini, membayangkan wajah Pak Hendra setiap kali ia masuk ke ruang guru, aku merasa ada beban yang dipanggilnya. Tidak lagi memegang jabatan, tapi tetap setia mengajar. Mungkin karena itulah ia begitu dekat dengan murid-murid yang dianggap kelas buangan. Sebab ia sendiri tahu rasanya berada di pinggir lingkaran.

    “Kita harus mampu mewujudkan mimpi kita sendiri, Fik!” ujar Pak Hendra sebelum berpisah tadi. “Jika tidak, maka harus rela mewujudkan mimpi orang lain,” lanjutnya seraya memasukkan kunci kontak ke sepeda motornya. “Dan mimpi saya sederhana saja. Suatu saat para siswa yang saya ajar, datang kembali ke sekolah. Menjabat tangan saya dengan sopan lalu berterimakasih karena dengan wasilah ilmu yang dia dapat dari saya, ia menjadi seperti yang dicita-citakannya.”

    Kata-kata Pak Hendra jelang berpisah tadi membuatku mengingat kembali wajah-wajah murid yang ada di kelas. Bagi mereka, guru adalah figur yang tak tergantikan. Murid tidak peduli siapa yang jadi waka atau siapa yang dekat dengan pemegang kebijakan. Mereka hanya tahu, ada seseorang di depan kelas yang setia mendengarkan ocehan mereka, membimbing, dan menegur dengan sabar. Mungkin itulah mengapa Pak Hendra memilih bertahan. Ia tahu, sekalipun jabatan bisa dicopot, namun kenikmatan bisa dekat dengan murid tak bisa digantikan dengan apapun.

     

     

    Kreator : Khairul Ismi (Roelis Ril)

    Bagikan ke

    Comment Closed: Ketika Guru Bersabar Chapter 5

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]

      Des 02, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]

      Okt 21, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021