
“Baiklah Bapak Ibu sekalian, sepertinya terkait ujian sekolah ini, semua sudah kita sepakati. Mulai besok, masing-masing silahkan bekerja sesuai dengan tupoksinya. Sebelum rapat saya tutup, ada lagi yang ingin disampaikan?”
Pak Ali menyapu pandangan ke seluruh area ruangan. Sementara tangannya merapikan berkas-berkas materi rapat yang ada di hadapannya.
Hening.
Aku menoleh ke kiri, lalu ke kanan, mencari isyarat dari wajah-wajah di sekitarku. Tak ada tangan terangkat, tak ada suara yang mencoba memecah diam. Sebagian guru malah tampak tak sabar untuk segera keluar dari ruangan.
Aku menarik napas, merasakan jantungku berdetak lebih cepat. Ragu apakah suaraku nanti akan terdengar sebagai keberanian, atau justru dianggap mengganggu rapat yang akan segera berakhir. Namun, diam yang menekan ini justru membuatku semakin yakin, ada yang perlu aku katakan.
“Pak..!”
Suaraku akhirnya terdengar seraya mengacungkan tangan. Meski agak lirih namun tak ayal beberapa pasang mata menoleh ke arahku. Aku menelan ludah, mencoba mengusir rasa berat di kerongkongan. Tangan kiriku sudah mengepal di bawah meja, sementara tangan kanan masih sibuk merapikan kertas catatan yang sebenarnya tak lagi kubaca.
“Mohon izin, ada hal yang mungkin perlu saya sampaikan.” Aku bisa merasakan denyut di pelipis, tapi kupaksakan untuk melanjutkan.
Pak Ali menegakkan duduknya, menatapku sesaat dengan tenang. “Silahkan, Pak Fikrul!” ucapnya singkat.
“Ini bukan soal ujian, Pak. Tapi mungkin ada kaitannya,” aku mulai menata kata. “tentang siswa kelas 9, khususnya 9Z. Beberapa waktu lalu mereka bilang merasa dikucilkan karena julukan yang disematkan pada mereka. Saya khawatir, label itu merusak semangat mereka. Apalagi, jika dibandingkan dengan kelas lainnya.”
Suasana ruangan mendadak berubah. Beberapa guru saling pandang, ada yang tersenyum kecut, ada yang berpura-pura sibuk dengan berkas di depannya. Aku bisa menangkap kilatan terkejut sekaligus canggung di mata mereka. Julukan itu memang sudah lama beredar, tapi tak seorang pun pernah berani menyebutkannya dalam forum resmi.
“Menurut saya, anak-anak 9Z terlalu lebay. Masa yang seperti itu aja dianggap serius.” Bu Lina menanggapi dengan santai.
“Maaf Bu, mungkin bagi kita terdengar sepele, sekadar guyonan. Tapi bagi anak-anak, itu menancap. Mereka merasa diperlakukan berbeda, bahkan minder dibanding kelas lain yang diberi julukan penuh kebanggaan,” jawabku dengan suara yang lebih mantap, meski telapak tangan masih terasa dingin.
“Tapi, kelas 9Z memang tidak seperti kelas 9 yang lain, yang punya sesuatu untuk dibanggakan,” ujar Pak Darto.
“Pak Fikrul kan baru mengenal mereka saat ini, jadi tidak tahu sejarahnya,” lanjutnya seolah mengingatkan betapa riuh kelas mereka, namun bagaikan buih di lautan bagi para guru.
“Pak Darto benar, mereka belum punya sesuatu untuk dibanggakan. Tapi maaf, bukankah itu tugas kita, para guru, untuk memoles potensi yang mereka punya?” suaraku lirih, tapi cukup untuk membuat beberapa kepala terangkat.
“Kalau murid-murid sudah merasa terbuang, bagaimana mereka bisa menunjukkan potensi terbaik mereka? Bagaimana juga dengan guru mereka yang ikut menanggung stigma itu?”
Sudut mataku menangkap bayangan Pak Hendra yang mengangguk padaku di pojok depan. Aku teringat percakapanku dengannya lewat aplikasi WhatsApp bahwa aku bersikeras mengangkat hal ini jika ada kesempatan resmi seperti rapat.
“Mohon maaf Bapak Ibu sekalian, kalau ini terus dibiarkan, kita sendiri yang menumbuhkan tembok antara mereka dengan sekolah,” lanjutku dengan nada reflektif.
Pak Ali merapatkan kedua tangannya di atas meja. Tatapannya berkeliling, sebelum akhirnya berhenti padaku dengan senyum tipisnya. Namun, belum sempat Pak Ali membuka suara, Bu Resti yang ada di sebelahnya menyela dengan suaranya yang datar tapi tegas seperti biasa.
“Terima kasih, Pak Fikrul. Apa yang Pak Fikrul sampaikan akan jadi catatan kita bersama. Memang, kita harus lebih berhati-hati dalam menyebut atau memberi label.”
Ia berhenti sebentar, lalu menambahkan, “Namun, soal perasaan siswa, tentu banyak faktor yang mempengaruhinya. Tidak sepenuhnya datang dari guru.”
Aku terdiam, menimbang kalimat itu. Diplomatis, tapi juga terasa seperti pagar yang membatasi. Ruang rapat kemudian hening, seolah menegaskan ketidaknyamanan itu.
“Wah, udah hampir jam empat sore nih!” Setengah berteriak, seorang guru melirik jam dinding. Dari sudut bibirnya kulihat ia tersenyum samar, seperti memberi satu kode.
“Baik, kalau tidak ada tambahan lain, rapat saya tutup. Mari sama-sama kita ucapkan hamdalah,” ucap Pak Ali akhirnya. Beberapa guru langsung merapikan berkas, kursi bergeser, suara langkah keluar ruangan pun saling bersahut.
Aku merapikan buku catatan, menyelipkannya ke dalam tas ransel, lalu melangkah keluar dengan gontai. Dalam hati aku sadar, kata-kataku tadi mungkin tidak akan langsung mengubah apa pun. Bahkan, bisa jadi justru melahirkan sebuah julukan baru untukku, seorang guru yang bahkan belum genap satu semester di sekolah ini. Namun setidaknya, untuk pertama kalinya stigma itu telah diucapkan dengan jujur di forum guru. Bukan lagi sekadar bisik-bisik di balik pintu kantor, atau gema getir di telinga murid-murid yang terluka.
…
“Fik! Tunggu!” suara Pak Hendra menghentikan langkahku.
“Terima kasih sudah menyampaikan hal itu,” ucapnya sambil menepuk pelan bahuku. Suaranya datar, tapi aku bisa merasakan ketulusan yang menetes di balik kata-katanya.
Aku menarik napas. “Sebenarnya saya agak ragu, Pak. Takut dianggap mengganggu rapat. Tapi kalau diam saja, stigma itu akan terus menempel. Anak-anak sudah terlalu sering mendengarnya.”
Pak Hendra mengangguk pelan. “Saya tahu. Saya juga sering dengar bisik-bisik itu. Kadang saya ingin bicara, tapi suara saya jarang dianggap penting.” Ia menatapku lebih dalam. “Makanya saya bersyukur ada guru baru yang berani menyuarakan.”
Kami berjalan berdampingan menyusuri koridor yang mulai lengang. Senja menorehkan cahaya jingga di kaca jendela, memantulkan bayangan kami yang terpotong-potong.
“Tapi, Pak,” langkah kami terhenti, “saya merasa kalau rapat tadi mungkin tidak banyak mengubah apa-apa. Julukan itu bisa hilang hanya kalau anak-anak sendiri yang menunjukkan sesuatu.”
“Menurutmu, apa yang bisa mereka tunjukkan?” tanya Pak Hendra.
Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Mereka mungkin tak punya banyak prestasi, tapi mereka bisa belajar menunjukkan sikap yang membuat guru-guru lain tertegun. Saya kepikiran untuk … memprovokasi mereka, Pak.”
“Memprovokasi untuk apa?” Pak Hendra menaikkan alisnya, penasaran.
“Untuk mengucapkan terima kasih. Bukan yang biasa, tapi dengan cara mereka sendiri. Saya yakin, kalau mereka bisa melakukannya dengan tulus, itu akan menjadi tamparan balik bagi kita semua.”
Pak Hendra tersenyum, matanya menyipit. “Ide yang bagus. Anak-anak 9Z memang tak bisa ditekan dengan angka. Tapi, kalau hatinya disentuh, mereka bisa mengejutkan siapa pun.”
Kami pun berpisah di ujung koridor. Sejak saat itu, benih ide itu terus tumbuh di kepalaku.
…
Siang itu suasana SMP Cinta seolah meledak usai bel tanda selesai waktu mengerjakan soal untuk jadwal terakhir ujian sekolah. Anak-anak dari berbagai ruang ujian berhamburan keluar gerbang, sebagian tertawa lega, sebagian merencanakan hangout sore nanti. Suara tawa dan panggilan nama memenuhi koridor. Satu per satu ruang ujian kosong, kursi-meja dibiarkan berantakan, meninggalkan papan tulis yang penuh coretan Selamat Tinggal Masa SMP, SMA aku datang, aku alumni SMP Cinta, dan coretan ungkapan kelulusan lainnya.
Berbeda dengan siswa lain, anak-anak 9Z justru belum juga beranjak pulang. Di sebuah ruang kelas sebelah kantor guru, mereka berkumpul. Duduk dengan kursi disusun melingkar seadanya. Beberapa guru yang melintas sempat melirik, bertanya-tanya mengapa mereka masih bertahan.
Gilang, ketua kelas, berdiri dengan wajah serius di depan. “Kita rapat dulu sebentar. Ada yang perlu kita bicarakan,” katanya dengan nada kencang seolah ingin terdengar dari ruang sebelah.
Ijul, dengan nada suara yang sama bertanya, “Apaan sih, Gil? Ujian sudah selesai juga, masih aja rapat.” Ia duduk cuek, menyandarkan tubuh di kursi belakang bersama geng kecilnya.
“Tuh kan, gara-gara kalian kelas kita selalu dibilang paling ribut!” suara Gilang makin meninggi, sengaja dibuat penuh drama. “Aku capek, Jul. Nama kelas kita jelek karena ulah kalian!”
Anak-anak lain langsung bereaksi, ada yang sok ikut membela meski dengan sekuat tenaga menahan tawa. “Iya, Jul! Kalian biang keroknya!” teriak Dina.
Ijul bangkit dari kursinya, menggebrak dinding kelas yang berbatasan dengan kantor. “Emangnya kalian sendiri pada pinter ngatur? Gilang juga gak becus jadi ketua kelas!” Tak ayal, para guru pun saling pandang di ruang sebelah mendengar perdebatan itu.
Suasana dibuat semakin panas. Shifa lari keluar kelas, dari depan pintu ia teriak. “Udah, udah, jangan ribut! Atau kalian aku laporkan!” ancamnya.
Gilang acungkan jempol ke Shifa, “Dasar tukang ngadu, sana lapor!”
Dengan langkah terburu-buru, Shifa berlari ke ruang guru. Kantor mendadak sunyi ketika Shifa persis di depan pintu. Para guru yang sudah terpancing seperti memang menunggu ada yang mengadu. “Pak, Bu! Tolong! Anak-anak 9Z lagi ribut! Gilang sama Ijul gak bisa dipisahin!” suara Shifa dengan gugup.
Pak Ali menghentikan pekerjaannya membereskan berkas laporan pelaksanaan ujian sekolah. “Astaghfirullah, ujian baru selesai kok malah tawuran sendiri,” gumamnya sambil bergegas keluar ruangan dan diikuti guru-guru yang panik. Sementara suara gaduh terdengar makin intens, perdebatan Gilang dengan Ijul, bantingan kursi kecil, atau teriakan yang disamarkan jadi suara keributan.
Pak Ali dan para guru semakin mempercepat langkah. Begitu pintu kelas didorong terbuka, pemandangan yang mereka lihat membuat mereka tertegun. Gilang dan Ijul berdiri berhadapan dengan wajah tegang, seperti siap saling menerkam. Semua murid lain berdiri di sekeliling, seolah tak mampu melerai.
Namun, tepat ketika Pak Ali melangkah masuk dan bersiap menegur, Gilang dan Ijul justru saling pandang dan berteriak bersamaan, “Surprise!”
Sekejap kemudian, Dina mengangkat karton besar bertuliskan: TERIMA KASIH GURU-GURU KAMI. Balon-balon yang sejak tadi disembunyikan di bawah meja dilepaskan, kertas warna-warni beterbangan, dan seluruh anak 9Z bertepuk tangan riuh.
Para guru yang berdiri di depan pintu sempat terdiam, antara lega dan terkejut. Pak Ali hanya bisa menghela napas panjang, lalu tersenyum. “Ya Allah… kalian ini, bikin deg-degan saja,” katanya sambil menggeleng.
Namun kejutan tak berhenti di situ. Shifa kemudian maju dan berdiri di tengah, antara kerumunan siswa dengan guru. Siswi itu menghela napas perlahan, kemudian membaca teks yang sudah disiapkan.
“Bapak Kepala Sekolah yang terhormat, juga Bapak dan Ibu guru yang kami hormati. Saya mewakili kelas 9Z ingin menyampaikan permohonan maaf. Selama ini kami sering merepotkan dan membuat Bapak Ibu marah. Kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua bimbingan selama tiga tahun ini.” Shifa berhenti sejenak, suaranya bergetar. “Kami tidak akan melupakan Bapak Ibu. Doakan kami supaya bisa jadi lebih baik di SMA nanti.”
Ruangan hening. Beberapa guru menunduk, mata mereka berkaca-kaca. Bu Lina menghampiri Shifa, merangkul siswi itu dan memeluknya hingga tangis mereka pecah. Sementara Gilang maju ke hadapan Pak Ali, menyerahkan sebuah piagam bertuliskan Kami mungkin bukan juara, tapi Bapak Ibu guru adalah hadiah terbaik buat kami. Tertanda 9Z
Aku berdiri di belakang, menyaksikan semuanya dengan mata berkabut dan dada bergetar. Apa yang mereka lakukan, melebihi ekspektasiku sejak memprovokasi mereka untuk menunjukkan potensi yang tak bisa diukur angka atau piala.
Pak Hendra melangkah ke depan, pipinya basah dengan air mata. Ia menatap murid-muridnya satu per satu, lalu berbalik ke arah kami, para guru. “Mungkin inilah bukti yang kita butuhkan,” ucapnya lirih. “Meski disebut kelas buangan, tapi mereka tetap bisa jadi yang terdepan, dalam menghargai gurunya.”
Tepuk tangan pun pecah. Bukan karena dipaksa, tapi lahir dari hati yang tergetar.
…
Matahari condong di balik gedung sekolah, aku duduk sendiri di bangku dekat lapangan. Bayangan anak-anak 9Z masih menari di kepalaku, bersama ucapan terima kasih mereka yang sederhana tapi jujur.
Aku tersenyum sendiri. Mungkin benar, rapat tak selalu bisa mengubah pandangan. Tapi satu tindakan tulus dari murid mampu membuat hati yang keras jadi lembut. Stigma memang bisa melekat lama, namun bukan berarti tak bisa dipatahkan. Hari ini aku melihat sendiri bagaimana sebuah sikap sederhana mampu membalik stigma menjadi cahaya. Cahaya yang menuntun kami melihat 9Z dengan cara yang berbeda.
Kreator : Khairul Ismi (Roelis Ril)
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Ketika Guru Bersabar Chapter 6
Sorry, comment are closed for this post.