
Satu hingga dua pekan menjelang asesmen akhir tahun, suasana belajar terasa melambat. Hampir semua materi sudah disampaikan para guru, yang tersisa hanya hari-hari pengulangan. Di beberapa kelas, waktu diisi dengan bimbingan tambahan bagi mereka yang masih tersandung pada pelajaran, sementara di sudut lain anak-anak sibuk mengerjakan latihan soal. Kegiatan belajar seakan berjalan di antara dua dunia, menuntaskan kewajiban dan menunggu akhir. Anak-anak tampak lebih santai, meski sesekali ada wajah yang diam-diam gelisah, mungkin karena bayangan ulangan akhir yang kian mendekat, atau sekadar letih menunggu libur panjang yang belum juga tiba.
Siang itu anak-anak 8Y duduk agak malas, beberapa menunduk di atas meja, sebagian lain sibuk menggambar di buku catatan. Hanya sedikit yang benar-benar memperhatikan papan tulis. Aku sudah berusaha mencoba menjaga ritme, tapi suasana kelas memang sudah kehilangan atmosfir yang biasa menyertai proses belajar.
Pandanganku menyapu barisan wajah-wajah mereka yang tampak lesu. Sesekali, angin sore menembus jendela, membawa suara langkah kaki dari lapangan. Beberapa anak menoleh, berharap bel pulang segera berbunyi. Aku tersenyum kecil, lalu menutup buku latihan di tanganku.
“Baik, untuk hari ini, cukup sampai di sini. Kita lanjutkan latihan berikutnya di pertemuan selanjutnya,” ujarku.
Anak-anak serempak mengangguk lega. Namun sebelum benar-benar menutup kelas, aku melontarkan satu pertanyaan ringan, sekadar menjaga percakapan tetap hidup. “Ngomong-ngomong, ada yang tahu kenapa Raka jarang sekali masuk kelas?” tanyaku, berusaha terdengar santai.
Kelas mendadak hening sesaat. Lalu suara kecil dari barisan tengah terdengar pelan. “Katanya sih, Raka lagi sibuk, Pak.”
Aku mengernyit. “Sibuk apa?”
Siswa lain menjawab dengan nada setengah bercanda. “Gak tau, Pak. Katanya ikut bantu usaha ayahnya.”
“Katanya lagi ikut proyek ayahnya, Pak,” siswa di sebelahnya menimpali yang disambut tawa kecil teman-temannya.
“Lah, bukannya katanya lagi sakit?” siswa lain menanggapi.
“Halah! Kemarin dia main futsal di lapangan komplek!” tukas siswa di belakangnya.
“Tapi orang tuanya suka bilang izin ke sekolah, kok!” balasnya tak mau kalah.
Suasana kelas pun menjadi semakin riuh. Tawa dan komentar bersahut-sahutan, seakan menemukan bahan baru untuk dibicarakan. Aku memberi isyarat agar mereka diam.
“Gess..! Kita tidak sedang membicarakan keburukan teman ya! Bapak cuma ingin tahu kebenarannya, supaya kita bisa membantu kalau memang ada masalah. Oke?” Ucapku pelan tapi cukup jelas terdengar oleh seisi kelas.
“Pak!” tiba-tiba satu siswi di barisan depan angkat bicara. “Kalau Raka jarang masuk gini, nanti naik kelas nggak, ya?”
Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi justru menusuk di tempat yang paling sunyi. Ada kepolosan dalam nada suaranya, namun di baliknya tersembunyi persoalan yang tak sesederhana jawaban “ya” atau “tidak.” Aku menatap mereka satu per satu, mata yang masih jernih, belum mengenal rumitnya dunia orang dewasa yang gemar menimbang angka dan kebijakan. Mereka mungkin tak tahu, bahwa di ruang guru nanti, satu pertanyaan polos itu bisa menjelma jadi perdebatan panjang tentang nilai, keadilan, dan arti sesungguhnya dari belajar.
…
Siang jelang sore ruang guru terasa semakin sibuk. Asesmen akhir tahun tinggal menghitung hari. Para guru pun disibukkan dengan kisi-kisi, rekap nilai, serta laporan hasil belajar. Kertas, laptop, dan gelas kopi memenuhi meja-meja. Suara printer dan tuts keyboard saling bersahutan seperti musik latar yang tak pernah selesai.
Di sela kesibukan, obrolan kecil kerap muncul di sudut-sudut ruangan. Beberapa guru saling berbagi keluhan tentang orang tua siswa yang kini jauh lebih aktif memantau nilai anaknya. “Zaman sekarang, orang tua kayaknya udah lebih update dari guru,” celetuk Pak Darto sambil tertawa getir. “Baru kemarin saya ditegur, katanya metode latihan soal saya terlalu konvensional. Katanya, itu berdasarkan pemikiran psikolog pendidikan.”
Tawa hambar terdengar dari beberapa meja. Kami semua sepakat, ini memang bukan lagi masanya ketika orang tua tidak tahu dunia pendidikan. Sekarang, justru mereka yang paling rajin memantau, namun kadang kebablasan sehingga memelintir istilah-istilah dalam kurikulum dengan bebas.
Sementara itu, di meja dekat jendela, Bu Rani menatap layar laptopnya yang mulai redup. Lembar nilai terbuka, angka-angka berbaris rapi kecuali satu baris yang masih kosong. Baris itu memiliki nama Raka Setya Nugraha. Jari wali kelas 8Y itu berulang kali menekan tombol yang sama, tapi tak satupun angka terasa pantas untuk ditulis. Bayangan tabel nilai itu memantul di kacamatanya yang lelah.
Bu Rani berdiri, mencari tempat yang bisa menampung keresahannya. “Bagaimana saya bisa mengisi nilai hasil belajarnya kalau anaknya jarang masuk?” keluhnya. “Absen banyak, tugas nyaris tidak pernah, ulangan pun bolong-bolong.” Tak ayal, beberapa guru mendekat, ingin tahu. Aku pun ikut berdiri di belakang mereka.
“Makin ke sini, Raka makin sering absen. Alasannya macam-macam, dari sakit, kegiatan keluarga, sampai katanya ada proyek mandiri. Tapi proyeknya apa, saya nggak pernah lihat,” lanjut Bu Rani, frustrasi. Ia menatap layar laptop, menimbang-nimbang setiap kolom penilaian. “Saya paham semangat diferensiasi dan segala macamnya, tapi tetap saja.., kehadiran itu penting, kan?”
Tidak ada yang berusaha menjawab, semua guru tahu bagaimana telatennya Bu Rani menangani siswa. Pastinya semua sudah dilakukannya untuk Raka. Menghubungi orang tuanya, mengajak Raka bicara, atau bahkan mendatangi rumahnya. Rasanya wajar jika kemudian ia frustasi. Bu Resti yang kebetulan sedang berada di ruangan itu menghentikan perhatiannya dari berkas proposal kegiatan asesmen yang sedang dikerjakannya bersama Bu Fitri. Dengan mantap, ia mengalihkan pandangannya ke Bu Rani. “Ya, memang begitu kan, Bu? Kita gak usah terlalu kaku. Lagian Raka itu kan anaknya Pak Anton.”
Ucapan Bu Resti membuat ruangan sejenak terdiam, nama itu seperti punya bobot tersendiri. Bagi sebagian guru, Pak Anton identik dengan wajah yang kerap muncul di acara sekolah dan yayasan. Dengan segala kesibukannya, Pak Anton tidak pernah absen menopang berbagai kegiatan yang diusung sekolah atau yayasan.
“Justru karena Raka anaknya Pak Anton, kita harus adil, kan Bu?” sahut Bu Rani mencoba menegaskan. “Kalau saya beri nilai penuh padahal dia jarang masuk, bagaimana dengan anak-anak lain yang setiap hari berusaha hadir, mengumpulkan tugas, belajar sungguh-sungguh?”
“Adil itu juga melihat situasi, Bu Rani. Sekolah ini bisa berjalan karena ada orang-orang seperti Pak Anton,” Bu Resti tersenyum tipis. “Lagipula, orang tuanya juga cukup paham soal kurikulum. Masa depan anak juga tidak hanya ditentukan oleh rapor. Kalau rapornya jelek, siapa yang disalahkan? Guru juga, kan?” lanjut Bu Resti. Nada suaranya tenang tapi menusuk.
Sejumlah guru yang mendengar percakapan itu hanya saling pandang. Ada yang mengangguk samar, ada pula yang menghela napas panjang, entah setuju entah pasrah. Aku duduk kembali ke tempatku seraya merasakan dada berdesir. Inilah jurang yang kadang selalu menganga di sekolah, antara idealisme guru yang ingin jujur menilai sesuai usaha anak, dan realitas kuasa orang tua yang bisa mengintervensi.
“Saya gak tega pada murid lain, Bu. Mereka belajar keras. Kalau Raka dapat kemudahan, bagaimana perasaan mereka?” Bu Rani menatap layar laptopnya, kursor yang berkedip di kolom kosong seakan mengejek. Napasnya tertahan sebentar sebelum keluar dalam desah panjang.“Dengan apa saya bisa memberi hasil kalau prosesnya saja tidak pernah terlihat?” katanya lirih.
“Buat saja portofolio sederhana. Yang penting semua anak rapornya aman. Lagian kita kan bukan lembaga sertifikasi,” sahut Bu Resti dengan nada setengah bercanda. Sesaat kemudian wakakur itu berdiri, menyerahkan berkas asesmen kepada Bu Fitri, dan berlalu meninggalkan ruang guru.
Aku mengangguk saat Bu Resti melewatiku, kemudian beralih pada Bu Rani yang sedang memperjuangkan nilai keadilan dan tanggung jawab. Meski di sisi lain, aku tahu betul apa yang dimaksud Bu Resti. Dunia pendidikan sedang berubah, banyak orang tua merasa berhak menafsirkan arah pendidikan sesuai versinya sendiri. Apalagi, bila mereka punya kuasa finansial atau reputasi di baliknya.
“Mmm, Bu Rani!” panggilku pelan, “Kalau memang ragu, sebaiknya dikomunikasikan langsung ke orang tuanya. Mungkin ada alasan yang belum kita dengar.”
Bu Rani menatapku. “Sudah, Pak. Tapi tanggapannya malah bikin bingung. Mereka bilang anaknya sedang belajar mandiri di rumah, dengan metode self-paced learning.”
Aku tersenyum kecut, konsep yang disebut Bu Rani sebenarnya indah, tapi istilah itu disalahgunakan untuk alasan absen dan melepaskan tanggung jawab. Padahal, belajar bukan hanya soal kecepatan memahami, tapi juga tentang kebersamaan, disiplin, dan proses yang membentuk diri perlahan-lahan. Tanpa itu semua, yang disebut kebebasan belajar hanya akan jadi topeng bagi kemalasan yang dibungkus rapi dengan istilah modern.
“Kadang,” kataku hati-hati, “Yang sulit itu bukan menjelaskan konsepnya, tapi menghadapi tafsir bebas dari orang-orang yang merasa paham.”
Bu Rani mengangguk lemah. “Betul. Dulu orang tua menuntut nilai tinggi, sekarang menuntut definisi belajar yang sesuai dengan versinya. Bedanya tipis, tapi tekanannya sama.”
Aku terdiam. Kalimat itu terasa tepat, namun getir. Sejenak kemudian ruangan seolah sunyi, menyisakan denting jam dinding yang berjalan lambat. Waktu pun ikut mengendap bersama perasaan yang menggantung di udara. Hari semakin menua. Sebagian guru sudah pulang, hanya beberapa yang masih berkutat dengan rekap nilai. Aku memandang cahaya sore yang merayap di balik jendela. Sementara, Bu Rani yang masih termenung di depan laptopnya.
…
Hembusan AC terdengar seperti bisikan halus dari pojok ruangan. Angin dinginnya tak mampu menyejukkan udara yang penuh ketegangan. Di belakang meja pimpinan rapat, Pak Ali dan Bu Resti tampak serius berdiskusi. Tumpukan daftar nilai berserakan di depan mereka. Sebagian bertanda garis merah dan catatan tangan yang tergesa. Namun, semua pandangan fokus tertuju pada satu nama di daftar itu, Raka.
Tak lama berselang, Pak Galih memberi isyarat kepada Pak Ali. Wakasek Bidang Kesiswaan itu tampaknya ingin segera menuntaskan rapat, waktu break yang diberikan sepertinya sudah lebih dari cukup. “Bapak Ibu, mohon kembali ke tempat masing-masing,” ujarnya. Suaranya cukup tegas untuk mengatasi riuh percakapan. “Mari kita lanjutkan rapat kita dengan basmalah.” Beberapa guru serempak mengikuti, “Kepada Pak Ali, saya persilakan untuk memimpin,” lanjutnya.
“Terima kasih, Pak Galih,” Pak Ali mengambil alih. “Baik, Bapak Ibu. Setelah mempertimbangkan berbagai masukan, manajemen memutuskan bahwa Raka, tetap naik kelas.” Singkat, padat, dan jelas Pak Ali memberi pengumuman. Beberapa kepala langsung saling menoleh. Suara gumaman halus terdengar.
“Mohon izin, Pak Ali,” Bu Rani, yang sejak tadi menahan diri, akhirnya angkat bicara. Suaranya tegas namun getar kecewa tak bisa disembunyikan. “Dengan hormat, saya tidak setuju. Raka hampir tidak pernah hadir. Nilainya kosong. Bahkan remedial pun tidak pernah dijalani. Bagaimana kita bisa menaikkan siswa yang tidak menjalani proses?”
Sebagian guru mengangguk setuju, sedangkan yang lain menimbang konsekuensi untuk bersuara. Di depan, Bu Resti menyandarkan kedua telapak tangannya ke meja. “Bu Rani, mohon dipahami,” ujarnya memulai bicara. “Ini bukan sekadar soal nilai. Ada hal lain yang perlu dipertimbangkan. Yayasan juga berharap kita memberi ruang.”
“Ruang?” Bu Rani mengangkat alis. “Kalau ruang itu berarti memotong prinsip belajar, apa itu masih pendidikan?”
Bu Resti terdiam sejenak, “Saya paham, Bu. Tapi realitas di lapangan nggak selalu seideal itu.”
“Mohon izin, saya menyampaikan alternatif,” suara Pak Hendra memecah ketegangan. “Bagaimana kalau Raka tetap naik kelas,” ucapnya tenang, “Dengan syarat ia menyelesaikan seluruh tugas dan ketertinggalannya selama libur panjang. Kita buat daftar pekerjaannya. Deadline jelas. Dan di bulan pertama tahun ajaran baru, semua guru terkait bisa memverifikasi hasilnya.”
Pak Hendra melanjutkan, “Tentu saja, proses ini membutuhkan waktu dan tenaga guru. Karena itu, saya usul Pak Ali berkomunikasi dengan orang tua Raka, agar ada kompensasi yang layak untuk guru-guru yang membantu selama liburan.”
Ruangan mendadak sunyi. Beberapa guru langsung mendukung, sebagian lainnya, terutama yang mengajar di kelas 8Y tampak ragu. Usulan itu terasa menyejukkan, tapi juga menohok realitas. Pak Ali pun hanya bisa mengangguk perlahan. “Baik. Saya akan konfirmasi ke pihak orang tua.”
Aku menghela napas. Jalan tengah memang terdengar bijak, tetapi setiap solusi selalu membawa buntut yang tak pernah bisa dihitung sejak awal. Raka mungkin terbantu, guru-guru mungkin terakomodasi, dan orang tua mungkin akhirnya tersentuh untuk bertanggung jawab. Namun di balik itu semua, ada sesuatu yang tetap mengganjal. Kompromi ini bukan penutup dari masalah, melainkan pintu kecil menuju sesuatu yang bentuknya bahkan belum bisa kubayangkan.
Kreator : Khairul Ismi (Roelis Ril)
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Ketika Guru Bersabar Chapter 7
Sorry, comment are closed for this post.