KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • basedonmyrealitylife
  • Berita Alineaku
  • betonredofficial.com
  • billybets.ch
  • Bisnis
  • Branding
  • Buku
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • ggbetofficial.de
  • gullybetofficial.com
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Metafisika
  • montecryptoscasinos.com
  • Moralitas
  • Motivasi
  • mrpachocasino.ch
  • Nonfiksi Dokumenter
  • Novel
  • novos-casinos
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • okrogslovenije
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Pablic
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Pin-Up oyunu
  • Pin-UP VCH
  • Pin-Up yukle
  • Politik
  • Post
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Public
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Ketika Guru Bersabar Chapter 8

    Ketika Guru Bersabar Chapter 8

    BY 14 Des 2025 Dilihat: 65 kali
    Ketika Guru Bersabar_alineaku

    Chapter 8: Yang Tak Tercatat di Rapor

     

    Sisa-sisa keramaian pembagian rapor masih mengiang meski matahari telah tergelincir dari puncaknya sejam yang lalu. Usai makan siang beberapa guru berbincang santai di ruang kantor. Bersama mereka hadir pula Pak Ali mendengarkan cerita keseruan para wali kelas yang memadukan lega, lelah, dan rasa puas usai menghadapi para orang tua siswa.

    “Alhamdulillah, orang tua Rehan sampai nangis bahagia, Pak Ali,” cerita Bu Mira sambil melepaskan pin name tag yang sejak pagi menempel di jilbabnya. “Katanya anaknya berubah banyak sejak kelas delapan. Saya jadi ikut terharu,” wali kelas 8Z itu tersenyum kecil. 

    “Sama Bu,” tukas Bu Wahyu sambil menyeduh kopi dari dispenser. “Mamanya Fania merasa anaknya sudah lebih dewasa dibanding saat masih SD dulu,” ujar wali kelas 7X itu sambil berjalan ke tempat duduknya. “Saking berterima kasih, Mama Fania membawakan lima bungkus gegetas,” lanjutnya malu-malu. “Buat guru-guru katanya,” senyumnya memperlihatkan rasa dihargai.

    Di sudut lain, Bu Santi bertutur, “Bunda Alvino tadi curhat panjang banget,” keluhnya. “Katanya di rumah susaaaah sekali disuruh belajar. Minta tolong saya buat menasehatinya lebih sering.” Kami tertawa, karena tahu betapa seringnya guru diminta menyelesaikan hal-hal yang semestinya dikelola bersama.

    Aku hanya tersenyum mendengar cerita-cerita para wali kelas. Satu semester lebih aku berada di SMP Cinta, sepertinya baru sekarang merasakan atmosfer yang berbeda di ruang guru. Ada nuansa yang khas. Entah haru, sedikit getir seperti yang dialami Bu Rani, atau menggemaskan seperti yang terjadi di kelas Pak Irfan. Wali kelas 7Y itu tertawa kecil sambil menceritakan ulang percakapan lucu dengan seorang ayah yang baru tahu anaknya diam-diam rajin les tanpa bilang siapa pun. 

    Obrolan pun berputar ke sana ke mari hingga kemudian matahari semakin condong ke barat. Perlahan keramaian memudar hingga benar-benar reda. Beberapa guru yang bertahan masih menulis narasi laporan atau memperbaiki kalimat penutup pada jurnal mereka. Selanjutnya sekolah menyiapkan napas panjang menatap tahun ajaran di depan.

    Demikian pula dengan yang aku lakukan. Merapikan kembali lembar perjalanan yang semula kuanggap kebetulan. Seraya mengingat kembali jejak awal ketika menapaki sekolah ini sebagai tempat pelarian. Di saat itulah kudengar telepon genggam Pak Ali berdering pelan, namun seisi ruangan seperti merasakan ada getaran.

    Pak Ali mengangkatnya dengan hati-hati. “Assalamu’alaikum, Pak Anton,” salamnya seraya berjalan ke ujung ruangan.

    Kami tidak bermaksud mendengar, apalagi berniat menguping. Tapi suara Pak Ali yang menyebut nama itu membuat kami saling pandang. Di tempat duduknya, wajah Bu Rani tampak tegang menunggu akhir pembicaraan Pak Ali dengan lawan bicaranya di telepon. Sesekali Kepsek itu mengangguk-angguk kecil meski hanya mendengar suara dari ujung sana. 

    “Begini, Pak. Kami hanya ingin Raka mendapatkan pembelajaran yang semestinya. Tidak ada maksud mempersulit,” kesekian kali Pak Ali mengulangi kalimatnya menjawab suara dari ujung telepon. Nadanya cukup tenang bahkan lebih mendekati lembut, seperti seseorang yang berjalan di atas lantai kaca.

    Seketika, ruang guru yang tadi hangat oleh cerita-cerita kecil, mulai terasa dingin. Bayangan Bu Rani menceritakan sedikit ketegangan saat Mama Raka mengambil rapor beberapa jam tadi kembali hadir. Meski semua yang masih ada di kantor berusaha tetap bekerja, namun kalimat Pak Ali yang lolos itu seperti benang-benang halus yang menjalin cemas di udara.

    Pak Ali terus berbicara dengan tutur yang sopan, meski perlahan bahunya terlihat menurun. Dan saat telepon ditutup, ia berdiri sejenak, menatap jendela yang kini hanya memperlihatkan lapangan sepi dan daun karet merah yang digoyang angin. Tak ada yang berani bertanya. Kami tahu, apa pun yang tadi dibicarakan, sudah tergambar dari bagaimana Pak Ali menutup telepon. 

    Di balik semua itu, aku merasa ada seorang anak bernama Raka, yang rapornya akan terisi angka, namun hidupnya sedang berisi sesuatu yang jauh lebih rumit dari nilai apa pun. Aku bertanya-tanya, bagaimana anak itu menerima semua ini. Liburan yang tiba-tiba berubah menjadi daftar tanggung jawab baru. Aku hanya bisa berharap, ia tidak melihat semua ini sebagai hukuman.

    Tidak ada yang lebih sunyi daripada sekolah di hari libur. Ruang guru pun terasa terlalu luas untuk jumlah orang yang ada di dalamnya. Kosongnya lorong bukan hanya karena siswa tidak hadir, tetapi karena sekolah memang sedang menarik napas panjang, mengumpulkan sisa tahun ajaran, menyimpan cerita yang tak tertulis, dan mempersiapkan diri untuk cerita baru yang sebentar lagi datang.

    Namun di ruang guru, kesunyian itu tidak pernah sepenuhnya utuh. Libur memang sudah datang, tetapi kehidupan sekolah tetap berdenyut tenang di ruang-ruang kerjanya. Para guru duduk dengan ritme yang lambat, mencoba menyelesaikan pekerjaan yang tertunda sambil tetap menyimpan asa dan lelah dari rapat kerja yang panjang setelahnya.

    Di antara meja-meja yang penuh map, percakapan kecil muncul lalu padam, seperti bara yang tidak ingin berubah menjadi api. Ada banyak hal yang ingin dikatakan, tetapi lebih banyak lagi yang hanya berputar di kepala masing-masing. Semuanya mengarah pada percakapan Pak Ali dengan orang tua Raka yang masih menggantung. Tak tampak, namun terasa jelas seperti bau hujan sebelum turun.

    “Berarti, saya tetap harus melengkapi catatan deskripsinya,” Bu Rani bergumam, entah pada diri sendiri atau pada siapa pun yang kebetulan mendengar. Layar laptop yang ditatapnya masih menyisakan kolom kosong milik Raka. Tempat yang mestinya terisi angka itu justru terlihat seperti lubang kecil yang menyedot keheningan.

    “Kita ini sebenarnya sedang mengalah atau sedang menyerah sih?” Bu Wahyu memasukkan flashdisk ke laptop. Namun tak ada yang menjawab. Kami tahu, Bu Wahyu tidak membutuhkan jawaban untuk diperdebatkan, pertanyaannya lahir dari rasa letih dan gamang.

    Sebagai guru, kami terbiasa menghadapi murid yang malas, bandel, atau yang sulit diatur. Namun menghadapi murid yang ditarik keluar dari ritme sekolah oleh orang tuanya sendiri, itu letihnya lain. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaan Bu Rani menerima berita dari Pak Ali tentang jawaban Pak Anton.

    Surat resmi itu akhirnya dikirimkan ke sekolah, ditujukan ke Pak Ali selaku Kepsek dengan tidak lupa membubuhkan tembusan ke pengurus yayasan. Bahasanya baik dan tertata rapi, namun berlapis-lapis.

    Kami menghaturkan terima kasih atas bimbingan para guru kepada Raka. Kami juga menghargai keputusan sekolah dan mengerti maksud baik para guru…

    Hingga kemudian di paragraf berikutnya…

    Kami berharap syarat ini tidak memberatkan, mengingat kondisi Raka yang membutuhkan pendekatan berbeda. Kami yakin sekolah dapat lebih fleksibel dan menyesuaikan metode pembelajaran dengan kebutuhan anak. Untuk itu dimohon agar guru-guru tidak memberikan tuntutan yang terlalu akademik. 

    Sopan, namun menegasikan. Halus, meski berisi penolakan. Kata-kata “penerimaan” hanyalah bungkus dari makna sesungguhnya, “Saya izinkan, tapi saya tidak setuju.” Dan itu, jauh lebih melelahkan bagi para guru. Guru-guru yang terbebani dengan masalah Raka harus mencari formula bagaimana solusi menanganinya.

    “Ya, mungkin ini kesempatan untuk benar-benar mendampingi Raka,” ujar Pak Irfan lirih, mencoba melihat sisi positifnya. “Siapa tahu, justru ini titik baliknya.”

    Bu Rani menghela napas, “Tapi saya gak habis pikir, syarat yang diberikan sekolah seperti yang diusulkan Pak Hendra dianggap memberatkan. Lalu syarat seperti apa yang dianggap tidak mempersulit?”

    Hening. Bahkan keheningan itu menyelip di antara tumpukan berkas dan laptop yang dipenuhi kolom-kolom kosong. Ingin rasanya aku menenangkan, tetapi tidak ada kalimat yang cukup. Semua yang ada di ruangan memahami, rasa marah dan kecewa ini tidak lebih dari ketidakberdayaan yang memang harus disimpan baik-baik.

    Pagi yang cerah, sinar matahari menyelinap di antara celah pepohonan dan jatuh ke ruang guru yang masih hening. Setiap suara kecil yang memantul di dalamnya terasa lebih lama dari biasanya. Beberapa orang mulai datang, ada yang menyelesaikan administrasi, ada pula yang sekadar menjaga ritme kerja agar tidak terputus oleh liburan panjang. Sekolah tampak hidup sekadarnya, sementara panitia PPDB di sudut ruangan memilah-milah berkas calon siswa. Menjadi satu-satunya tanda bahwa tahun ajaran berikutnya mulai mendekat.

    “Assalamu’alaikum,” tiba-tiba sebuah suara muncul di balik pintu ruang guru

    “Wa’alaikumussalam,” aku yang sedang merapikan tumpukan berkas di mejaku menjawab singkat tanpa menoleh, menyangka itu hanyalah guru lain baru datang. Sementara yang lain lebih memilih fokus dengan pekerjaannya.

    Beberapa saat pintu ruang guru terbuka perlahan, seperti ada yang ragu memasukinya. Ia berdiri di ambang pintu, tubuhnya kaku, dan seragamnya tampak agak kusut. Wajahnya tampak sungkan, ada garis tipis kelelahan yang bukan semata kurang tidur. Lebih seperti seseorang yang sudah terbiasa menunggu perintah daripada memilih langkah sendiri.

    “Raka?” Bu Rani yang tersadar siapa yang datang buru-buru menyapa. “Kirain siapa,” lanjutnya basa basi. “Sini masuk!”

    “Bu, papa nyuruh saya ke sini,” katanya pelan.

    “Masuk Raka, duduk dulu sini!” Bu Rani tersenyum, mengajaknya duduk di sofa tamu.

    Raka duduk dengan kaku. Tangannya berkali-kali menarik ujung seragamnya, lalu berhenti, lalu menarik lagi. Dari tempat dudukku, aku bisa melihat jelas, Raka bukan anak malas. Ia hanya kehilangan ritme, kehilangan arah, kehilangan pegangan, dan itu bukan salahnya.

    “Raka tahu keputusan sekolah?” tanya Bu Rani hati-hati setelah basa basi menanyakan kabarnya.

    Raka tidak langsung menjawab. Pandangannya berkeliling ruangan, berharap menemukan kekuatan dari wajah-wajah guru yang juga menatapnya. 

    Aku segera bangkit, menggeser kursi dengan pelan mendekati sofa, lalu menyodorkan segelas air mineral di meja samping. “Minum dulu, Raka,” aku mengulurkan gelas itu. “Biar tenggorokannya nggak kering,” lanjutku dengan tersenyum

    Raka sempat ragu, tapi akhirnya menerima gelas itu. Tangannya berhenti menarik-narik ujung seragamnya. Bahunya sedikit turun, seolah sentuhan kecil itu cukup untuk membuatnya merasa tidak sendirian.

    “Papa bilang, saya naik kelas,” akhirnya Raka buka suara. “Tapi katanya tugas-tugas itu, harus selesai sebelum masuk.”

    “Terus gimana, kamu siap?” tanya Bu Rani.

    “Saya mau ngerjainnya, Bu,” jawab Raka lirih setelah beberapa saat terdiam. “Tapi, papa bilang nggak usah terlalu dipikirin. Saya jadi bingung.”

    Aku rasa, aku paham dengan makna diamnya Raka dengan pertanyaan Bu Rani tadi. Untuk pertama kalinya aku melihat ada kejujuran yang polos, bukan pembelaan atau alasan. Meski aku tidak ingin menggurui anak seusianya, tetapi aku juga tidak ingin membuatnya merasa bersalah atas hal yang tidak ia pilih.

    “Di sekolah ini,” Bu Rani berbicara lebih pelan, “Yang dilihat bukan cuma angka di rapor, Raka. Tapi juga usaha. Kehadiran. Perubahan sikap. Dan itu semua, cuma Raka yang bisa lakukan. Bukan papa. bukan guru,”

    Raka mengangguk, meski aku tidak yakin ia benar-benar memahami beban kalimat itu. Namun di balik keraguan wajahnya, aku melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh orang tuanya, keinginan kecil untuk diperhitungkan. Perlahan ia membuka tas, mengeluarkan perlengkapan yang dibutuhkan untuk mencicil tugas-tugas yang harus diselesaikannya.

    Aku beranjak, kembali ke meja kerjaku. Rasanya tidak perlu lagi membicarakan sikap Pak Anton secara terbuka, apalagi di depan Raka. Guru-guru SMP Cinta memang bukan tipe pencari konflik. Meski dari cara mereka menarik napas, aku tahu, empati yang mereka berikan sering kali dibalas dengan penghakiman. Padahal sederhana, Raka mengerjakan tugas lalu selesai dan ia bisa kembali masuk ke sekolah di kelas yang baru.

    “Capeknya itu, bukan karena Raka,” ujar Bu Rani pelan sembari menutup laptopnya. Ia menatap bangku yang tadi diduduki anak itu, seolah sisa kehadirannya masih ada di sana. “Saya capek karena harus terus memahami orang yang tidak mau memahami kita.”

    Pak Irfan menimpali pelan, “Ya sudahlah, kita jalani saja. Yang penting anaknya juga mau.”

    Tidak ada yang menanggapi, entah itu tepuk tangan atau sekedar senyum kemenangan. Hanya kesepakatan diam dari guru-guru yang sudah terlalu sering mengambil langkah yang tidak dianggap. Ruang guru kembali menyisakan keheningan yang dipenuhi suara lembut dari hembusan AC yang menyala setengah dingin.

    Aku kembali menatap layar laptop. Ada deretan angka, persentase, dan kategori. Tapi yang paling mencolok justru yang tak pernah tercatat. Tak ada rapor yang bisa menulis siapa yang ingin berubah, siapa yang terjebak pola rumahnya, siapa yang diam karena tak punya pilihan, atau siapa yang terus berusaha meski tak ada yang melihat. Rapor hanya memuat angka. Sementara hidup anak-anak ditulis oleh hal-hal yang tak pernah tercetak, dan sering kali, justru itulah yang paling menentukan.

     

     

    Kreator : Khairul Ismi (Roelis Ril)

    Bagikan ke

    Comment Closed: Ketika Guru Bersabar Chapter 8

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]

      Des 02, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]

      Okt 21, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021