Dunia ini hanya bisa dihuni dengan aman jika manusia menjaga batas hak masing-masing. Namun, ketika keimanan runtuh dan hukum tidak lagi ditegakkan dengan adil, tak ada lagi yang menahan tangan manusia dari merampas hak sesamanya. Lalu siapa yang bisa melindungi kita, ketika iman telah rapuh dan hukum ikut dijual?
Sebagaimana semakin sering kita saksikan akhir-akhir ini berita viral kejahatan-kejahatan luar biasa dan tak terduga. Pembunuhan, rudapaksa terhadap anak-anak hingga balita, penipuan, perdagangan manusia, perundungan, korupsi, pemalsuan uang—semuanya menjadi cerita harian yang menyesakkan dada. Setiap kejahatan itu tentu saja merugikan banyak pihak dan mencederai rasa aman masyarakat.
Pendidikan semestinya menjadi penerang jalan kehidupan, namun tanpa fondasi keimanan dan moralitas, pendidikan justru melahirkan keahlian dalam mengakali, bukan mengabdi. Ironisnya, banyak pelaku kejahatan itu justru berasal dari kalangan berpendidikan. Mahasiswa yang membunuh dan membakar pacarnya, dokter anestesi yang melakukan rudapaksa keluarga pasien, tentara yang menembak istrinya, polisi yang menembak ajudannya, guru dan pemuka agama yang merudapaksa murid atau santri mereka. Sementara di sisi lain, kasus korupsi yang dilakukan pejabat terdidik terus menghiasi daftar panjang kejahatan besar negeri ini.
Walaupun selalu ada upaya hukum untuk setiap kasus yang terjadi, tetapi faktanya sampai saat ini belum terbukti ada efek yang membuat orang untuk berpikir sebelum melakukan tindakan kejahatan. Nampaknya orang memiliki peluang yang mudah untuk melakukan kejahatan di mana saja, kapan saja. Hal itu terbukti dari meningkatnya tindak kejahatan dari tahun ke tahun, bahkan semakin sering kita dengar pelaku hukum juga tidak memiliki tameng yang kuat untuk membentengi dirinya dari perilaku melawan hukum.
Hukum yang seharusnya menjadi palu keadilan kini hanya bergema di ruang-ruang yang mampu membayarnya. Rakyat kecil tercekik, sementara pemilik kuasa melenggang bebas. Walaupun upaya hukum dilakukan terhadap setiap kasus, faktanya hingga kini efek jera masih jauh dari harapan. Kejahatan terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan para aparat penegak hukum, yang seharusnya menjadi benteng perlindungan masyarakat, kadang justru terjerat dalam kejahatan itu sendiri.
Institusi hukum tak menunjukkan keseriusan penuh dalam penanganan kasus. Keadilan pun menjadi barang mahal: dapat dibeli, dipermainkan, atau bahkan diabaikan. Hukuman bagi koruptor, berdasarkan data ICW, rata-rata hanya 2–4 tahun penjara, bahkan seringkali diikuti dengan remisi dan fasilitas mewah di dalam penjara. Sementara itu, rakyat kecil yang terpaksa mencuri sandal, ayam, atau mie instan, bisa dijatuhi hukuman lebih berat hingga lima tahun. Akses terhadap keadilan menjadi hak eksklusif mereka yang memiliki uang untuk menyewa pengacara handal, sementara rakyat biasa hanya bergantung pada keberuntungan. Data tambahan ICW dan LPSK bahwa rata-rata vonis kasus korupsi di Indonesia sejak 2010 sampai 2023 hanya sekitar 2 tahun 6 bulan sedangkan korban ketidak adilan hukum dari rakyat biasa, menurut LPSK jauh lebih sulit mendapat perlindungan dan keadilan.
Penegakan hukum yang tidak menentu, perlindungan terhadap hak hidup masyarakat yang tidak pasti yang terbukti dari mudahnya orang mengintimidasi, mengancam dan mencelakakan orang lain, hal ini tentu berpengaruh terhadap ketidak pastian dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masyarakat dihantui teror yang tidak terduga, kehidupan menjadi tidak menentu, dan secara senyap hukum rimba dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai orang awam yang tidak banyak pengetahuan terkait hukum, tidak hafal pasal-pasal terkait hukum, adalah wajar jika hukum ditafsirkan secara logika bahwa ada konsekuensi untuk setiap pelanggaran terhadap hukum nsesuai dengan tingkata kejahatannya tanpa pandang bulu. Sebagai contoh seseorang yang mencuri sepasang sandal dan mendapat hukuman 5 tahun penjara, maka mereka yang korupsi trilyunan yang jika dibelikan sandal akan setara dengan 1.000.000 sandal, maka logikanya hukumannya adalah 1.000.000 dikali 5 tahun penjara. Jika membunuh itu merugikan orang lain dan tidak ada harga yang cukup untuk membeli nyawa, maka hukumannya adalah setara yaitu dibayar nyawa alias hukuman mati, tetapi faktanya bisa hanya dibayar dengan hukuman 20 tahun penjara, yang jika pembunuhnya dari kalangan orang berduit maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang hukuman karena dapat ditukar dengan uang. Dan lucunya, seringkali mata pisau hukum akan mengarah kepada orang-orang berduit apabila telah viral.
Tujuan utama dari dibuatnya aturan atau hukum tentu saja untuk memberikan perlindungan kepada sesama manusia, memberikan rasa adil kepada semua pihak, dan menjaga kemerdekaan setiap orang sebagai suatu hak, karena kemerdekaan setiap orang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Namun demikian pada pelaksanaanya tidaklah demikian. Kita lebih sering melihat bahwa hukum tidak berjalan sesuai logika. Tidak adanya aturan hukum yang jelas dan tidak ada penerapan hukum yang pasti, seringkali hukuman tidak sepadan dengan perbuatan atau akibat dari perbuatan tersebut, konsekuensi terlalu ringan sehingga tidak menyebabkan orang berpikir sebelum berbuat.
Ketika kejahatan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, maka rasa aman bukan lagi hak yang bisa dinikmati semua orang, melainkan kemewahan yang hanya bisa dirasakan oleh segelintir orang. Penegakan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah menumbuhkan ketidakpastian hidup dalam masyarakat. Teror, intimidasi, dan kekerasan dapat terjadi tanpa peringatan, mengubah kehidupan sehari-hari menjadi arena hukum rimba. Sebagai orang awam, kita berharap bahwa setiap pelanggaran hukum mendapatkan konsekuensi logis yang sepadan. Bahwa keadilan berlaku tanpa pandang bulu. Namun, kenyataannya, nyawa manusia bisa diabaikan, dan kejahatan luar biasa seringkali hanya dihargai dengan hukuman ringan.
Sayang sekali, tameng pelindung yaitu keimanan kepada Yang Maha Adil, Yang Maha Mengawasi dan tameng berupa penegakan hukum negara hampir tidak ada, sehingga setiap warga negara tidak dapat menjamin bahwa dirinya dan keluarganya akan aman, akan baik-baik saja. Bukankah sebagai makhluk lemah, kita lebih banyak mengandalkan kepercayaan kepada orang lain? Kita tidak mungkin harus selalu mendampingi anak dan keluarga kemanapun. Mengingat umumnya kejahatan dilakukan di tempat yang tersembunyi, padahal lebih banyak tempat yang tersembunyi dibandingkan tempat terbuka, maka jika tidak ada keimanan, akan lebih banyak kesempatan orang untuk melakukan kejahatan, dan tidak bertanggungjawab mengambil hak orang lain. Ketika iman memudar dan hukum dapat dibeli, maka hak hidup manusia pun menjadi barang lelang yang diperebutkan nafsu.
Saat semua tameng buatan manusia runtuh, kita hanya memiliki satu perlindungan yang tidak bisa dibeli atau dirusak: rasa takut kepada Tuhan Yang Maha Melihat. Keimanan kepada Allah sebagai Zat Yang Maha Adil, Yang Maha Mengawasi, seharusnya menjadi benteng utama. Ketika keimanan itu pudar dan hukum negara tidak lagi ditegakkan dengan adil, maka setiap orang akan berjuang sendirian: yang berbuat jahat berusaha menghindar dari hukuman, yang menjadi korban berjuang sendiri mencari keadilan yang tak kunjung berpihak.
Saat kejahatan semakin brutal dan hukum semakin abu-abu, kepada siapa lagi kita bisa berharap? Dalam dunia yang tamengnya telah rapuh, kita hanya bisa berharap kepada Yang Maha Adil. Hanya kepada Allah kita berlindung, di tengah manusia yang telah kehilangan rasa takut akan hukum dan Tuhan. Semoga Allah menjaga kita, keluarga kita, dan masyarakat kita dari keburukan manusia dan dari keruntuhan hukum yang menyelimuti dunia.
Kreator : Iis Rodiah
Comment Closed: KETIKA TAMENG KEIMANAN DAN HUKUM ROBOH
Sorry, comment are closed for this post.