Ini cerita saya tentang sebuah kendaraan legendaris di Indonesia, Toyota Kijang. Saya pernah punya mobil kijang yang diberikan oleh orang tua saya pada saat duduk di kelas 2 SMU, meskipun mobil bekas tapi dalam keadaan baik. Belum lahir waktu itu mobil-mobil jenis avanza, xenia seperti sekarang. Orang tua saya tidak bisa menyetir sehingga praktis mobil itu hanya saya yang menggunakan. Kadang saya juga mengantar Bapak ke kantor, mengantar Ibu ke pasar atau untuk keperluan keluarga.
Bagi sebagian orang mobil yang saya miliki mungkin hanya sekedar mobil tua biasa. Keropos, catnya tidak rata, stir keras, dan lain sebagaianya. Kadang orang menilai mobil yang saya dengan nada agak sedikit merendahkan, pernah ada yang bilang paling harganya cuma sekian atau sekian, begitu kata orang. Tapi ada juga yang mengapresiasi karena mungkin dia penggemar kendaraan jenis kijang.
Bukan tidak ingin memperbaiki atau merestorasi seperti orang lain yang mobil kijangnya istimewa, bergabung di klub dan lain sebagainya, tapi untuk itu semua anggaran yang dibutuhkan tidaklah sedikit dan itu sulit saya lakukan. Alhasil kijang itu hanya saya perbaiki ala kadarnya, ketika memang memerlukan perbaikan yang sifatnya wajib mau tidak mau harus masuk bengkel. Misalnya ganti oli, ganti ban, kerusakan AC, maupun kaki-kaki.
Memang benar apa yang pernah kita lihat dalam iklan, “Kijang memang tiada duanya”. Saya merasakannya sendiri selama 20 tahun pamakaian. Kijang ini kendaraan yang “bandel”, suku cadangnya mudah dan murah, juga tidak repot perbaikan karena hampir semua bengkel bisa mengerjakan, dan harga jual kembalinya juga masih bagus.
Makin lama ketika mobilitas semakin tinggi, ditambah kenaikan harga BBM, kemudian orang tua juga tinggal jauh, saya berpikir untuk membeli kendaraan yang lebih muda usia, dengan pertimbangan mesin yang lebih fit dan juga konsumsi BBM yang lebih hemat. Namun kadang harapan tidak sesuai dengan kenyataan, saya dihadapkan dengan dilema. Untuk membeli mobil lagi dananya tidak mencukupi, tapi jika harus menjual kijang rasanya sayang sekali. Kurang lebih 20 dia menemani saya dalam suka dan duka, dari mulai saya sekolah, kuliah, mencari kerja, bekerja, hingga berumah tangga dan memiliki 3 orang anak.
Tapi keputusan harus diambil. Pada suatu hari ada seorang tetangga yang datang ke rumah dengan niat meminang mobil saya, tawarannya begitu serius. Akhirnya setelah bermusyawarah dengan Ibu saya merelakan untuk menjualnya. Dengan hati yang berat dan sedih saya ikhlaskan kijang itu memiliki majikan baru. Seingat saya baru 3 kali dalam hidup mengalami kesedihan yang mendalam seperti itu, yang pertama ketika Bapak saya meninggal, yang kedua ketika Adik bungsu saya meninggal, dan yang ketiga saat menjual mobil kijang kesayangan itu.
Saat transaksi kepada pembeli, setelah menyerahkan kunci dan surat-menyurat saya berpesan kepadanya, jika suatu saat sudah bosan dan ingin menjual kembali, tawarkan dahulu kepada saya. Hidup harus terus berjalan, kesedihan tidak boleh larut, bahwa dalam hidup suka dan duka bagai putaran roda yang silih berganti. Kendaraan baru harus segera didapatkan mengingat kebutuhan yang semakin mendesak. Kini saya telah memiliki kendaraan pengganti yaang usianya lebih muda, tapi sayang kerena terburu-buru waktu itu sehingga dapat kendaraan yang kondisinya kurang baik. Mudah-mudahan kendaraan yang saya miliki sekarang segera laku sehingga dapat mengganti dengan yang lebih baik.
1 Komentar Pada Kijang Tua
Aku menikmati cerita mas Aan ini. Terasa betul betapa mobil kijang kesayangan begitu menyatu dalam kehidupannya. Sayang ulasannya sangat ringkas. Ada baiknya diceritakan kesan-kesan istimewa lainnya bersama kijang kesayangan tersebut.