Pagi itu udara terasa segar, dan suara burung kenari berkicau menemani aktivitasku mengejar Prince, kucing kesayanganku yang berlari lincah menuju teras rumah karena rasa kuatir si kucing akan melesat keluar pagar.
Kucing kesayanganku itu namanya Prince masih berumur tiga bulan. Ia begitu menggemaskan dan sedang lincah-lincahnya berlari kesana kemari. Sudah kuduga pasti Prince sembunyi di balik pot tanaman yang daunnya paling rimbun, karena kelihatan ekor putihnya yang menjuntai.
Sambil kupanggil namanya, “Prince.. Prince.. pus, pus, kucing pintar, ayo sini…”.
Dengan hati-hati, aku memindahkan pot tempat dia bersembunyi. Tiba-tiba saja terdengar suara pelan seorang anak laki-laki menawarkan sesuatu di depan pagar.
“Ibu … Ibu… Apa mau beli sapu?” Suaranya pelan sekali dan terdengar sopan.
Dia seorang anak laki-laki berusia sekitar 16 tahun sedang menawarkan sapu lidi yang dia bawa di atas bahunya. Wajahnya terlihat lelah, namun senyum ramahnya tetap menghiasi setiap kata yang diucapkannya.
Spontan aku menjawab, “Maaf enggak dulu ya, Dek, Ibu masih punya sapu.”
Saat itu yang terbesit di kepalaku adalah aku belum butuh sapu, jadi untuk apa beli sapu lagi. Namun, sejenak aku tertegun dan timbul rasa iba melihat raut wajahnya yang selalu dihiasi senyum ramah dan ya Allah… ternyata dia bukan seperti anak normal untuk seusianya. Sangat kelihatan anak itu adalah anak penyandang disabilitas.
Anak itu hanya menjawab, “Ya Bu, terima kasih.”
Kemudian, ia berlalu di hadapanku tetap dengan senyum di wajahnya.
Wajah anak itu seketika mengingatkanku pada Ariq, anak keduaku yang juga seorang ABK dan sudah berumur 22 tahun. Aku membayangkan bagaimana jika Ariq ada di posisi anak itu—berusaha menjemput rezeki dengan segala keterbatasannya. Ariq tidak tinggal bersamaku disini, tapi sedang menjalani terapi untuk anak berkebutuhan khusus di Semarang.
Sebelum terlalu jauh Si Anak Penjual Sapu itu berlalu, tanpa berpikir panjang lagi aku panggil ia.
“Dek, Dek, sini, Ibu mau beli sapunya, harganya berapa?”
Terlihat wajahnya sumringah dan gembira sewaktu aku bilang mau beli sapu lidinya dan tidak butuh waktu lama untuk mengambil dompet yang kebetulan ada di meja ruang tamu. Aku ulurkan uang lima puluh ribu untuk beli dua sapu lidi.
“Dek ambil semua kembaliannya ya, buat kamu.”
Hampir saja aku tak kuasa menahan air mata melihat kegembiraan di wajahnya, karena akhirnya aku mau membeli sapu lidi yang dia tawarkan. Berkali-kali anak itu mengucapkan terima kasih seakan-akan aku pembeli pertamanya.
Kisah pagi itu mengingatkanku pada petikan sebuah ayat dalam kitab suci, yang menceritakan tentang burung yang berangkat di pagi hari dengan perut kosong kemudian kembali pulang perutnya kenyang. Hal lain yang membuatku semakin bersyukur karena Sang Pemberi Rizki telah membukakan jalan untuk beramal dan sekaligus membukakan jalan rezeki si anak penjual sapu lidi disabilitas itu, melalui jalan “kebandelan” Prince kucing kesayanganku.
Singkat cerita, kucingku tiba-tiba nyelonong berlari keluar yang memaksaku untuk mengejarnya, di saat yang tepat lewatlah penjual sapu lidi di depan rumah menawarkan sapu, dan hampir saja aku menolak membeli sapunya karena sedang tidak membutuhkan sapu. Aku kagum bagaimana tangan Sang Pemberi Rizki bekerja. Dialah yang menuntun si anak disabilitas lewat depan rumah, yang tadinya aku menolak membeli, namun akhirnya aku memutuskan untuk membeli sapu lidinya. Hari itu aku belajar bahwa rezeki bukan hanya soal menerima, tetapi juga soal memberi. Tuhan bekerja melalui hal-hal kecil, bahkan melalui seekor kucing kecil yang lincah bernama Prince.
Kreator : Indiana Syifa
Comment Closed: Kisah Penjual Sapu Lidi Menjemput Rizki
Sorry, comment are closed for this post.