KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Kisah tak berakhir

    Kisah tak berakhir

    BY 26 Jan 2025 Dilihat: 109 kali
    Kisah tak berakhir_alineaku

    BAB 18 Halaman Terakhir, Kisah Tak Berakhir

     

    Aku duduk di sudut kamar yang agak redup, hanya diterangi oleh lampu meja yang temaram. Di hadapanku, sebuah jurnal terbuka, halaman-halaman yang hampir kosong menunggu untuk diisi. Tangan kananku memegang pena dengan hati-hati, seperti sedang berusaha menyusun kata-kata yang tepat. Aku menulis satu kalimat, lalu berhenti, menatap tulisan itu sejenak. Pikiranku berlarian, seolah kata-kata yang ada di benakku terlalu berat untuk dituangkan ke dalam bentuk tulisan.

    Aku menghela napas panjang, meletakkan pena sebentar, dan memandang ke luar jendela. Malam itu, udara terasa sejuk meskipun di luar hujan ringan turun dengan tenang. Hujan selalu mengingatkanku pada saat-saat kesendirian yang dulu sering ia rasakan—saat-saat ketika aku merasa terjebak antara dua dunia yang tidak pernah bisa sepenuhnya ia miliki. Dunia yang kubangun bersama keluarga angkat dan dunia yang kucoba untuk jalin kembali bersama keluarga kandungku.

    Aku memutar pena di tanganku, merasakannya seperti benda asing yang tidak lagi familiar. Dulu, menulis di jurnal adalah beban bagiku. Setiap kata yang tertulis terasa seperti sebuah kewajiban yang harus dipenuhi, sebuah cara untuk menutupi kekosongan dalam diriku. Tetapi malam ini, menulis terasa berbeda. Aku merasa seolah pena dan kertas itu adalah satu-satunya cara untuk menenangkan pikiranku, untuk meredakan kecemasan yang masih menggantung di benakku. Seperti sebuah pelarian yang diam-diam kubutuhkan.

    “Kadang aku merasa seperti berjalan di dua jalan yang berbeda,” tulisku perlahan. 

    “Kedua jalan ini telah membawa aku ke tempat yang berbeda, dengan orang yang berbeda, dan cerita yang berbeda.” 

    Setiap kata yang kutulis seperti membuka kembali celah-celah kenangan yang belum sepenuhnya kupahami. Suara hatiku bergema di dalam, bertanya-tanya apakah aku akan pernah benar-benar bisa menggabungkan kedua dunia itu menjadi satu.

    Aku berhenti menulis sejenak dan menatap kalimat itu. Apakah ini benar-benar perasaan yang ingin kuungkapkan? Apakah ini yang kurasakan? Perasaan terpecah—terperangkap di antara dua dunia yang begitu berbeda, yang seolah tak pernah bisa ku satukan. Dunia keluargaku yang penuh dengan kenyamanan, namun juga perasaan asing dan ketidakpastian. Dan dunia yang baru saja kutemui, yang mengajariku arti tentang ikatan darah, tentang warisan yang bahkan tak pernah ia ketahui ada.

    Tanganku gemetar sedikit saat aku kembali menulis, mencoba merangkai kata-kata berikutnya. Ada rasa takut yang masih terpendam di dalam diriku—takut bahwa aku akan kehilangan keduanya. Aku takut bahwa dengan mencoba menemukan tempat di dunia keluarga kandungku, akan kehilangan tempat yang sudah kubangun bersama keluarga angkatku. Dengan satu tarikan nafas, aku melanjutkan menulis: “Aku tidak pernah tahu jalan mana yang lebih tepat untuk ku pilih. Atau apakah ada alternatif lainnya.”

    Suasana kamar semakin sunyi. Hanya suara hujan yang terdengar, gemericik kecil di luar jendela. Aku merasa kesepian, meskipun aku tahu bahwa aku tidak benar-benar sendirian. Cleo, dan tentu saja, kedua keluarga yang telah memberiku banyak cinta—mereka ada di sekitarku, mendukungku dalam setiap langkah. Tetapi ada sesuatu dalam diriku yang masih merasa tidak lengkap. Ada bagian dari diriku yang masih mencari sesuatu—sesuatu yang belum ia temukan meskipun sudah berusaha untuk mencapainya selama bertahun-tahun.

    Aku kembali menulis. Kata-kata mengalir lebih cepat sekarang, seolah aku tidak bisa menahannya lagi. 

    “Tapi aku juga tahu,” tulisku. 

    “Bahwa, meskipun aku tidak pernah memilih, aku masih bisa berjalan di kedua jalan ini. Dengan cara yang berbeda, mungkin. Tapi aku bisa merasakannya, aku bisa mengerti bahwa keduanya adalah bagian dari aku.”

    Aku berhenti sejenak, merenung. Kalimat terakhir itu tiba-tiba memberikan ketenangan yang aneh. Mungkin, ini adalah jawaban yang selama ini kucari. Mungkin aku tidak harus memilih satu dunia saja. Mungkin, dengan cara yang tak terduga, aku bisa menjalani kedua dunia itu—dengan penuh pemahaman, dengan menerima dan mencintai setiap bagian dari perjalanan hidupku.

    Dengan pena yang masih di tangan, aku menatap kalimat terakhir yang telah kutulis, dan kali ini, sebuah senyuman muncul di wajahku. Mungkin tidak ada jawaban pasti untuk semua pertanyaan dalam hidupku, tetapi saat ini, aku merasa lebih dekat dengan diriku sendiri. Lebih menerima diriku sebagai seorang yang utuh—terbentuk oleh kedua dunia itu, dengan segala keunikan dan tantangannya.

    Aku menutup jurnal dengan perlahan, menempatkannya di samping tempat tidurku. Aku berdiri dan mendekati jendela, merasakan hembusan angin yang membawa aroma hujan. Mataku tertutup sejenak, meresapi ketenangan yang baru kutemukan. Mungkin masih ada banyak hal yang belum aku pahami, tetapi satu hal yang pasti—aku telah melangkah maju. Dengan hati yang lebih ringan, dan jiwa yang lebih damai.

    Meski kehidupanku semakin baik, ada bagian dalam diriku yang masih merasa hampa. Aku merasa seolah ada sebuah celah kosong yang sulit diisi. Kenangan tentang Bapak, ayah angkat yang begitu aku cintai, selalu muncul dalam ingatanku dengan cara yang tidak bisa kuhindari. Suara hangatnya yang selalu memberikan nasihat, tangan yang selalu menuntunku saat aku merasa ragu, dan perhatian tulus yang selalu kurasakan, kini hanya bisa kusimpan dalam kenangan. Aku merasa seolah waktu yang kuhabiskan bersama Bapak terlalu singkat, terlalu banyak hal yang belum sempat kulakukan bersama pria yang telah menjadi ayah baginya.

    Terkadang, di tengah kesibukan hidupku yang semakin penuh dengan kegiatan dan pencapaian, Aku merasa jantungku tersentak. Aku teringat akan percakapan-percakapan kecil yang mereka lakukan saat aku tinggal bersama Bapak. Ada saat-saat ketika Bapak akan duduk di sampingku, berbicara dengan tenang tentang hidup, tentang mimpi, tentang hal-hal sederhana yang ternyata sangat berharga. Aku merindukan momen-momen itu—momen ketika aku bisa duduk bersama Bapak, tanpa merasa terburu-buru oleh waktu.

    “Kenapa aku tidak sempat mendengarkan lebih banyak cerita darinya?” gumamku, dengan suara yang hampir seperti bisikan. 

    Mataku terfokus pada buku-buku yang tergeletak di meja, tetapi pandangannya kosong, seolah tidak bisa benar-benar melihat apa yang ada di hadapannya. Hatiku terasa berat, seakan ada banyak kata yang belum Papa ucapkan. Kata-kata yang seharusnya diucapkan saat Papa masih ada—perasaan yang belum sempat beliau sampaikan.

    Aku menarik napas dalam-dalam dan meletakkan tanganku di dada, seolah berusaha menenangkan kegelisahan yang datang begitu saja. Aku tahu bahwa perasaan bersalah ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus kuhadapi. Namun, terkadang, meskipun segalanya tampak berjalan dengan baik, perasaan itu datang tanpa bisa kubendung, menghampiri di saat yang paling tidak kuduga.

    Di antara tumpukan buku-buku tua yang tersimpan di rak Papa, sebuah kotak kayu kecil menarik perhatianku. Entah kenapa, kali ini ada dorongan kuat untuk membuka kotak itu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku meletakkan buku yang sedang ia baca dan membuka tutup kotak itu perlahan.

    Di dalamnya, tersimpan sebuah surat yang terlihat sudah tua. Kertasnya agak menguning, dan tulisan di atasnya sedikit pudar. Aku menarik napas dalam-dalam, seolah merasakan ketegangan yang mengalir di sekelilingku. Aku merasa seperti menemukan sebuah petunjuk dari masa lalu yang tersembunyi rapat, sesuatu yang selama ini tidak pernah kuketahui.

    Dengan hati yang berdegup lebih cepat, aku mulai membaca surat itu. Tulisan di surat tersebut menyebutkan nama Bapak—ayah angkatku. Ternyata, Bapak mengenal Papa. Mereka memiliki hubungan yang lebih dalam, sebuah hubungan yang lebih kompleks dan penuh makna daripada yang kubayangkan. 

    “Bagaimana mungkin?” pikirku, dengan mulut yang terasa kering. 

    Aku membaca kalimat demi kalimat, mencoba memahami apa yang baru saja ia temukan. Surat itu menyebutkan bahwa Bapak dan Papa memiliki hubungan yang cukup dekat. Mereka berbagi kenangan dan pengalaman yang tidak pernah kudengar sebelumnya. 

    Aku terdiam. Surat itu masih di tanganku. Perasaan bingung dan tidak percaya menyelimuti diriku. Mengapa selama ini Bapak tidak pernah bercerita tentang hubungan ini? Pikiranku berputar-putar, seolah semua yang aku ketahui tentang diriku dan keluarga tiba-tiba berubah dalam sekejap. Ada bagian dari masa lalu yang selama ini terlewatkan begitu saja, tersembunyi dalam surat yang baru saja kutemukan.

    Aku menatap surat itu dalam diam, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau. Setiap kata dalam surat itu seperti memecah kenyataan yang kukenal, membuka lapisan-lapisan baru dari kehidupan keluarga yang tersembunyi. Semua yang selama ini kupercaya—semua hubungan yang kupikir sudah jelas—sekarang terasa seperti teka-teki yang belum terpecahkan. 

    “Apakah selama ini aku benar-benar tahu segalanya?” tanyaku pada diriku sendiri.

    Namun, semakin aku merenungkan surat itu, semakin banyak pertanyaan yang muncul. Apakah ada hal-hal lain yang belum diketahui tentang hidup Bapak dan Papa? Mengapa mereka tidak pernah membicarakan ini? Mengapa Bapak memilih untuk tidak memberitahuku, bahkan setelah aku kehilangan Papa?

    Namun, aku tahu satu hal dengan pasti—perjalanan ini belum berakhir. Di tengah segala kebingunganku, ada secercah keyakinan yang menguatkan diriku. Seperti yang pernah kurasakan dulu, hidup ini penuh dengan kejutan yang tak selalu bisa dijelaskan dengan mudah. Ada kalanya jawaban yang kita cari tersembunyi begitu dalam, atau mungkin kita harus melalui lebih banyak liku untuk menemukannya. Sebagaimana dirinya yang kini telah melalui beragam cobaan, menemukan jati diri, dan akhirnya bisa berbaur dengan kedua dunia yang sebelumnya terpisah, ia menyadari bahwa setiap langkahnya adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar—sebuah kisah yang penuh dengan perubahan dan kemungkinan yang tak terbatas.

    Perasaan bingung itu semakin dalam, seperti ada sesuatu yang hilang dalam gambaran besar kehidupannya. Aku menutup surat itu perlahan, mataku tetap terfokus pada tulisan yang belum bisa kulepaskan dari pikiranku. Aku merasakan ada beban yang sedikit berkurang, meskipun kebingungan itu tetap ada, tapi kali ini ia bisa merasakannya dengan lebih baik—seperti beban yang sudah biasa, yang bisa ia bawa tanpa merasa terlalu berat. 

    Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku menyimpan kembali surat itu ke dalam kotak kayu, tetapi perasaan yang membebaniku tidak mudah untuk hilang begitu saja. Apa yang akan kulakukan dengan pengetahuan baru ini? Apa yang akan berubah dalam diriku setelah mengetahui ini semua?

     

     

    Kreator : Fati Nura

    Bagikan ke

    Comment Closed: Kisah tak berakhir

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021