
Hutan ini tak bernama. Atau mungkin, memiliki terlalu banyak nama. Pohon-pohon tumbuh ke bawah, akar-akarnya menggapai langit yang tak ada. Daun-daunnya terbuat dari kaca. Saat angin bertiup, mereka bernyanyi. Atau menjerit. Suaranya sama saja.
Kau berdiri di tepian. Kecil. Terlalu kecil. Gaunmu putih namun kelimnya hitam oleh tanah yang bukan tanah. Kau menatapku dengan mata yang belum belajar berdusta. Kau berbau susu dan keluguan serta dunia di luar tempat ini—dunia yang nyaris tak bisa kuingat. Kau tujuh tahun. Atau tujuh ratus tahun. Atau kau tak pernah dilahirkan sama sekali.
“Mengapa kita ada di sini?” tanyamu.
Aku tak menjawab. Tak pernah. Jawaban hanya untuk orang-orang yang percaya pada akhir cerita.
Sebuah rumah berdiri lebih jauh di dalam. Dibangun dari tulang-belulang yang masih ingat rasanya hidup. Pintunya selalu terbuka. Pintunya selalu terkunci. Aku sudah tinggal di sana seribu tahun. Atau sehari. Waktu tak berjalan semestinya di tempat di mana orang mati melebihi jumlah orang hidup.
Di dalam, foto-foto berderet di dinding. Wajah-wajah yang tak kukenali. Wajah-wajah yang kulihat di cermin. Seorang wanita dengan mulutku. Seorang anak dengan tanganku. Seorang pria dengan mataku yang dijahit rapat. Mereka mengawasiku bahkan saat aku membuang muka.
“Apakah itu keluargamu?” bisikmu.
“Bukan,” kataku. “Mereka keluargamu.”
Kau tak mengerti. Belum. Tapi kau akan mengerti. Semua orang akhirnya mengerti. Itulah kutukan mengenalku.
Serigala-serigala datang saat senja. Atau fajar. Tak ada bedanya di sini. Mereka berjalan dengan dua kaki dan bicara dengan suara yang terdengar seperti suaraku sendiri. Mereka berkumpul mengelilingimu, memutar, tersenyum dengan gigi yang terlalu banyak. Ini serigala-serigalaku. Anak-anakku. Kegagalanku yang diberi wujud. Aku mengajari mereka rasa lapar saat aku masih mampu mengajar. Sekarang, mereka mengajar diri mereka sendiri.
“Dia cantik,” gumam salah satu.
“Dia baru,” kata yang lain.
“Dia takkan bertahan lama,” kata yang ketiga, dan mereka semua tertawa.
Kau tak bergerak. Kau seharusnya lari. Anak-anak selalu lari. Tapi kau hanya berdiri disana, menatap mereka seolah merekalah yang seharusnya takut.
“Apa mereka akan menyakitiku?”
“Ya,” kataku.
“Apa kau akan menghentikan mereka?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
Karena akulah yang memanggil mereka. Karena akulah yang mengajari mereka rasa lapar. Karena setiap monster yang akan kau temui belajar kekejaman dari seseorang, dan akulah seseorang tempat mereka belajar.
Tapi aku tak memberitahumu ini. Kau terlalu muda. Atau terlalu tua. Usia tak ada artinya saat kau sudah mati.
Dan kau melakukannya. Kau mengangkat tangan kecilmu dan melambai. Lembut. Seperti menyapa kawan lama. Para serigala berhenti tertawa. Mereka menatapku. Aku membuang muka.
“Dia tak tahu,” bisik salah satu.
“Dia akan tahu,” jawabku.
Kau berjalan ke arah mereka. Aku ingin menghentikanmu. Aku ingin meraih lenganmu dan menarikmu kembali. Tapi tanganku penuh darah yang tak bisa dicuci. Tanganku sudah penuh begitu lama hingga aku lupa rasanya memegang sesuatu yang bersih.
Serigala terbesar membungkuk. Mengendus rambutmu. Kau menyentuh wajahnya. Bulunya kasar. Nyata. Hangat dengan cara yang tak dimiliki apa pun di sini.
“Kau sedih,” katamu padanya.
Ia tersentak. Mereka semua tersentak.
“Dia tak seharusnya di sini,” kata serigala itu padaku. “Bukan dia. Bukan yang ini.”
“Aku tahu.”
“Lalu kenapa—”
“Karena,” kataku, “dia memintaku membawanya.”
Ini benar. Dan juga bohong. Kau muncul suatu hari di tepi hutan. Atau aku menyeretmu ke sana. Ingatan itu licin di tempat seperti ini. Ia berubah bentuk tergantung siapa yang mengingatnya.
Kau menanyakan namaku. Kubilang aku lupa. Kau menanyakan namamu. Kubilang aku tak pernah punya. Kita berjalan bersama ke dalam pepohonan dan tak satupun dari kita menoleh ke belakang.
Para serigala membelah diri. Memberi jalan. Kau berjalan melewati mereka seolah mereka bukan apa-apa. Seolah mereka bukan makhluk yang terbuat dari rasa lapar dan janji yang diingkari. Seolah kau bukan anak kecil di tempat di mana anak-anak takkan selamat.
“Ke mana kita pergi?”
“Lebih dalam.”
“Lalu kemudian?”
“Lalu kemudian, tidak ada apa-apa.”
Tapi kau tak pergi. Kau tak pernah pergi. Itulah masalahnya dengan gadis-gadis kecil yang berkeliaran ke hutan gelap. Mereka pikir mereka berani. Mereka pikir mereka istimewa. Mereka pikir mereka bisa menyelamatkan monster yang mereka temukan di sana.
Kau tak bisa.
Kita mencapai tanah lapang. Di tengahnya, sebuah sumur. Terbuat dari batu yang bernapas. Yang berdenyut. Aku bisa mendengar detak jantung dari dalamnya. Bukan milikku. Bukan milikmu. Sesuatu yang lebih tua. Sumur itu penuh dengan segala yang telah kubunuh—wajah-wajah dan nama-nama dan bagian-bagian diriku yang tak bisa kusimpan. Baunya seperti besi dan penyesalan.
“Apa yang ada di bawah sana?”
“Segala yang telah kubunuh.”
“Bolehkah aku melihat?”
Aku mengangkatmu. Kau ringan. Terlalu ringan. Seolah kau terbuat dari kertas dan harapan. Kau mengintip ke tepian, ke dalam kegelapan di bawah. Wajah-wajah di bawah sana bergeser. Mengenalimu. Menggapai dengan tangan-tangan tembus pandang. Aku bisa melepaskanmu. Aku bisa menjatuhkanmu. Aku bisa mengakhiri ini sebelum dimulai.
Tapi tidak kulakukan.
“Aku melihat wajah-wajah,” bisikmu.
“Ya.”
“Aku melihatmu.”
“Ya.”
“Kau menangis di bawah sana.”
Aku menurunkanmu. Kau menatapku dengan mata yang tahu terlalu banyak namun tak tahu apa-apa sama sekali. Kau menjangkau dan menyentuh wajahku. Jari-jarimu kembali dengan noda merah.
“Kau menangis di atas sini juga.”
Benar. Aku tak sadar. Aku sudah begitu lama tak menangis hingga lupa rasanya. Garam dan rasa malu. Duka dan lega. Cara tubuh mengucapkan maaf saat mulut tak mampu.
“Kenapa kau sedih?”
“Karena kau ada disini.”
“Kau ingin aku pergi?”
“Ya.”
“Akankah kau membiarkanku?”
“Tidak.”
Kau mengangguk. Seolah ini masuk akal. Seolah semua ini masuk akal. Kau meraih tanganku. Tanganmu hangat. Bagaimana bisa tanganmu hangat? Segala sesuatu di sini dingin. Segala sesuatu di sini sedang sekarat atau mati.
Kita berjalan ke rumah tulang. Di dalam, ada sebuah meja. Dua kursi. Sebuah pisau di tengahnya. Ia berkilau. Terlalu terang. Seolah terbuat dari cahaya bintang yang dipadatkan. Atau dosa yang dikonsentrasikan.
“Duduk,” kataku.
Kau duduk.
Aku duduk di seberangmu. Pisau itu di antara kita. Sebuah perbatasan. Sebuah janji. Sebuah pilihan yang sudah dijatuhkan.
“Ceritakan aku sebuah kisah.”
Maka kulakukan.
Pada suatu masa, ada seorang wanita yang mencintai terlalu dalam. Dia memberikan hatinya pada siapa pun yang meminta. Dan siapa pun yang tidak. Dia memberi makan yang lapar. Memberi pakaian yang telanjang. Menyelamatkan yang tenggelam. Hingga suatu hari dia menunduk dan sadar dia tak punya apa-apa lagi yang tersisa.
Tak ada hati. Tak ada kulit. Tak ada napas.
Hanya kehampaan di tempat di mana seseorang dulu berada.
Maka dia pergi ke hutan. Dan dia menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak bisa mencintai. Sesuatu yang tak bisa terluka. Sesuatu yang tak bisa mati karena ia tak pernah benar-benar hidup.
“Itu kau?”
“Ya.”
“Itu aku?”
“Ya.”
“Apa kita orang yang sama?”
“Dulu kita sama. Nanti kita sama. Kita adalah sama.”
Kau meraih pisau itu. Aku tak menghentikanmu. Jari-jari kecilmu menggenggam gagangnya. Terlalu besar untuk tanganmu. Tapi kau memegangnya dengan mantap.
“Apa yang harus kulakukan dengan ini?”
“Apa yang jadi tujuanmu datang kemari.”
“Aku tak ingat.”
“Ya, kau ingat.”
Kau berdiri. Berjalan memutari meja. Pisau teracung di depanmu seperti persembahan. Seperti doa. Kau berhenti di depanku. Mendongak. Ada air mata di wajahmu sekarang.
“Apa ini akan sakit?”
“Ya.”
“Apa ini akan membantu?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa?”
“Karena,” kataku, “aku sudah menunggumu membunuhku sejak sebelum kau dilahirkan.”
Ini tak masuk akal. Aku tahu ini tak masuk akal. Tapi kau tetap mengangguk. Seolah kau mengerti. Seolah jauh di dalam apa pun yang menjadikanmu dirimu, kau mengingat ini. Siklusnya. Kutukannya. Lingkaran tanpa akhir dari menjadi dan tak menjadi.
Kau mengangkat pisau itu.
Aku memejamkan mata.
“Aku mencintaimu,” bisikmu.
“Aku tahu,” bisikku balik.
Bilahnya masuk. Dingin. Lalu hangat. Lalu hampa. Aku merasakan dadaku terbuka. Merasakanmu merogoh ke dalam. Merasakan tangan kecilmu membungkus jantungku. Ia masih berdetak. Entah bagaimana. Melawan segala logika. Melawan segala belas kasih.
Kau menariknya.
Ia keluar. Masih berdenyut. Masih melawan. Masih berharap pada sesuatu yang takkan pernah dimilikinya.
Kau mengangkatnya ke cahaya yang masuk lewat jendela tanpa kaca. Jantung itu hitam. Tertutup duri. Tertutup kebusukan. Tertutup segala cinta yang berubah jadi racun.
“Indah sekali.”
Dan kau membawanya ke mulutmu.
Dan kau menggigit.
Rasanya pasti mengerikan. Pahit. Salah. Tapi kau tak berhenti. Kau makan dan makan hingga tak ada yang tersisa selain bibirmu yang berlumur darah dan dadaku yang kosong.
“Sekarang apa?”
“Sekarang,” kataku, “kau menjadi aku.”
Aku melihatmu berubah. Tumbuh. Gaun putihmu berubah hitam. Matamu belajar berdusta. Tanganmu belajar menyakiti. Kau menjadi monster yang dulu adalah aku. Yang adalah aku sekarang. Yang akan selalu menjadi aku.
“Dan kau?”
“Aku menjadi si anak. Dan aku menunggu. Di hutan. Agar kau menemukanku. Supaya kita bisa melakukan ini lagi.”
Kau mengangguk. Mengerti. Menerima. Inilah harga mencintai monster. Kau lari atau kau menjadi mereka. Tak ada pilihan ketiga.
Kau berjalan ke pintu. Menoleh kembali.
“Akankah aku mengingat ini?”
“Tidak.”
“Akankah kau?”
“Ya.”
“Itu tak adil.”
“Tidak. Memang tidak.”
Kau pergi.
Pintu tertutup.
Rumah tulang itu menghela napas.
Dan aku duduk di meja. Kecil lagi. Muda lagi. Menunggu serigala-serigala datang. Menunggu aku yang berikutnya menemukanku. Menunggu untuk menanyakan pertanyaan yang sama. Mendengar jawaban yang sama. Menancapkan pisau yang sama ke jantung yang sama.
Daun-daun kaca di pepohonan mulai bernyanyi lagi. Akar-akar membelit lebih dalam menuju langit mustahil mereka. Sumur terisi satu wajah lagi. Satu versi diriku lagi yang tak bisa lolos. Serigala-serigala mengelilingi rumah, sabar, tahu pencipta mereka akan memanggil saat anak berikutnya tiba.
Dan dia akan tiba. Dia selalu tiba. Gadis kecil lain dengan gaun putih. Aku yang lain yang belum tahu ke mana dia melangkah. Malaikat lain yang berpikir dia bisa menyelamatkan sang monster.
Aku akan menunggunya di tepi hutan. Aku akan meraih tangannya. Aku akan menuntunnya ke para serigala dan sumur dan rumah tulang. Aku akan duduk di seberangnya di meja. Aku akan membiarkannya menancapkan pisau ke dadaku. Aku akan menjadi dia dan dia akan menjadi aku dan siklus ini akan berlanjut karena itulah yang dilakukan siklus. Mereka berlanjut. Mereka memangsa. Mereka tak menciptakan apa pun selain pengulangan mereka sendiri.
Di hutan tempat pohon tumbuh ke bawah dan waktu bergerak dalam lingkaran, aku menunggu.
Aku lelah.
Tapi aku tak bilang siapa-siapa.
Tak ada siapa-siapa lagi untuk diberitahu.
Kreator : Fata Adzaky Muhammad (Clown Face)
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Kitab Kebusukan dan Serigala
Sorry, comment are closed for this post.