Apa yang kita pikirkan ketika ngomongin hal ini? Pastinya banyak. Ada jejak-jejak yang tentunya berseliweran ketika fenomena kekompakan bersama rekan mengawang dalam ingatan. Ada guratan senyum di sana, tapi gak jarang juga berlilit cemberut dibalut masamnya muka.
Bertahun-tahun silam, tepatnya sekitar tahun 1990. Di sebuah kelas, para siswa kelas 2 SMP itu tertunduk lesu. Jarum jam sudah lewat lima belas menit dari pukul 17.00, tapi mereka masih tertahan di kelas. Sulitnya mendapatkan angkutan umum pada jam-jam tersebut, ditambah dengan sejuta jawaban yang harus disiapkan ketika bertemu orang tua di rumah nanti saat ditanya kenapa pulang terlambat menggelayuti pikiran mereka. Sementara, sang Wali Kelas dengan wajah memerah menahan geram dan marah menatap satu per satu penghuni kelas itu. Lalu, diawali dengan sebuah bentakan, mulailah ia menceramahi seisi kelas, dan kelas pun hening. Tak satupun dari para siswa yang berani untuk berkomentar bahkan mengangkat wajah sekalipun. Konon, cicak yang menempel di dinding pun tidak berani bersuara saat sang Wali Kelas itu bicara.
Apa sih yang menjadi penyebab, “keramaian” di sore itu? Tidak lain karena kekompakan para penghuni kelas itu. Namun sayang, kekompakan yang mereka lakukan bukanlah sesuatu yang menyenangkan sang Wali Kelas. Sebaliknya, Sang Wali Kelas merasa, kekompakan siswa kelas 2C sebuah SMP di Jl. Kalitimbang, Cilegon itu justru seperti menyiramkan cairan kotoran yang sangat pekat ke wajahnya di hadapan para guru dan kepala sekolah.
Padahal, kekompakan yang dilakukan itu mungkin terkesan sepele. Setidaknya menurut saya saat itu. Namun bagi sang Wali Kelas dan setelah saya analisa lebih dalam di usia yang sekarang, barulah disadari, ternyata kekompakan yang dilakukan itu bukanlah termasuk sebuah kekompakan yang baik, kekompakan yang menuju fastabiqul khairot.
Bagaimana mungkin dikatakan sebuah kebaikan, jika kemudian mereka kompak tidak becus menjadi petugas upacara penurunan bendera sore itu. Mulai dari pengatur upacara, pemimpin upacara, bahkan hanya sekedar sebagai anggota paduan suara, mereka kompak tidak serius. Hanya sang Wali Kelas yang bertindak sebagai Pembina upacara berusaha seserius dan se-khidmat mungkin selama upacara berlangsung.
Jika teringat kembali peristiwa itu, betapa malunya. Tidaklah mengherankan, usai diceramahi panjang kali lebar, setiap penghuni kelas itu kemudian mendapat hadiah tendangan sabit dari sang Wali Kelas. Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) itu hendak mengajarkan kepada para siswanya, betapa kekompakan yang negatif dapat berakibat fatal.
Kekompakan yang bernuansa negatif, seperti saling mendukung atau berkolaborasi untuk hal-hal yang tidak etis atau merugikan, akan melahirkan akibat buruk lainnya. Maka, dari hukuman yang diberikan akibat kekompakan yang negatif itu, sang Wali Kelas berharap para siswanya terhindar dari perilaku atau tindakan tidak terpuji, rusaknya lingkungan sosial, terciptanya budaya yang negatif, terhambatnya perkembangan diri dan kreatifitas, bahkan dapat menimbulkan konflik internal atau eksternal yang dapat meruntuhkan reputasi nama baik seseorang serta komunitasnya.
Sang Ketua Kelas pun menyadari kesalahannya dalam memimpin teman-temannya. Begitu pula seisi kelas lainnya. Tidak ada kata dendam terhadap sang Wali Kelas yang telah memberikan hukuman fisik kepada mereka. Mereka bahkan telah mendapatkan suatu pengajaran berharga tentang arti sebuah kekompakan. Kekompakan yang seharusnya berujung kepada kebanggaan akan berbuat baik dan benar. Kekompakan yang berfokus pada nilai positif konstruktif bagi individu, kelompok, maupun lingkungan sekitar.
Seperti halnya kekompakan yang bernuansa negatif, kekompakan yang bernuansa positif juga sudah barang tentu akan membawa akibat yang positif terhadap individu atau suatu komunitas. Di sini sang Wali Kelas berharap bahwa para siswanya yang dihukum tendangan sabit tanpa kecuali itu kelak menjadi pribadi-pribadi yang selalu meningkat efektivitasnya dalam bekerjasama, termotivasi untuk selalu mengurangi konflik, selalu mempererat ukhuwah dan solidaritas, meningkatkan citra dan reputasi yang baik di hadapan orang lain, bahkan mampu untuk mencapai tujuan yang lebih efektif.
So, kompak memang perlu tetapi harus terarah menuju perbaikan dan kebaikan. Lebih jauh lagi, kekompakan harusnya membawa kepada ridho Allah. Jika kekompakan kemudian mengarah kepada keburukan seperti kompak membuat kemurkaan guru, padahal kedudukan guru setara dengan orang tua di rumah, sementara ridho Allah tergantung pada ridha orang tua, lalu apa gunanya kompak?!
“…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (QS. Al Maidah: 2)
Wallahu a’lam…
Kreator : Khairul Ismi
Comment Closed: Kompak
Sorry, comment are closed for this post.