KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Konsekuensi dan Penyesalan

    Konsekuensi dan Penyesalan

    BY 25 Des 2024 Dilihat: 114 kali
    Konsekuensi dan Penyesalan_alineaku

    Pagi itu terasa aneh—sepi yang begitu dalam, seolah langit cerah hanya menjadi tirai yang berusaha menutupi gelombang kekalutan dalam dadaku. Suara burung yang riang di luar terasa begitu jauh, hanya menjadi gema yang melintas tanpa menyentuh aku yang terperangkap di dalam rumah ini. Di luar, burung-burung bernyanyi riang, tapi itu hanya suara yang melintas, seolah jauh dari dunia yang kutinggali. Aku duduk di tepi tempat tidur, menatap keluar jendela. Pemandangan halaman yang tak terawat itu, dengan bunga liar yang tumbuh tak terkendali, membuatku merasa semakin terasing. Rumah ini, yang dulu terasa seperti tempat persembunyian, kini terasa seperti penjara tanpa jeruji. Meski sudah beberapa minggu, rumah ini tetap asing bagiku.

    Setelah keputusan besar yang kuterima beberapa hari lalu, segala sesuatunya tidak semudah yang aku bayangkan. Aku memilih untuk tinggal bersama keluarga baruku, tapi saat-saat seperti ini membuatku bertanya-tanya, apakah itu benar-benar keputusan yang tepat? Mereka terlihat sempurna di luar—penuh perhatian, penuh kasih sayang, seperti keluarga yang selalu aku impikan. Namun, meskipun semuanya tampak baik-baik saja, hatiku terus bertanya: apakah aku hanya berdiri di tengah antara dua dunia yang tidak pernah bisa kumiliki sepenuhnya? Dunia yang baru, yang penuh harapan, dan dunia lama yang terlalu dalam tertanam dalam diriku.

    Aku menghela napas panjang. Keputusan itu seharusnya membebaskan, bukan? Aku memilih untuk tetap tinggal di rumah ini, dengan Mama, Bang Jay, dan Willy. Tapi ada bagian dalam diriku yang merindukan rumah lama, merindukan tawa Bima, dan segala kesederhanaan yang dulu ada. Aku tahu aku tidak bisa kembali, tapi perasaan itu masih terperangkap dalam diriku. Dunia lama itu tidak bisa begitu saja pergi, dan kini, aku harus berhadapan dengan kenyataan itu.

    Pintu kamar terbuka perlahan, dan Mama masuk dengan secangkir teh di tangan. Senyumannya yang hangat membuat hatiku sedikit lebih tenang, tetapi tetap ada perasaan canggung yang menggelayuti kami berdua. Aku masih merasa seperti orang asing di rumah ini, meskipun mereka telah berusaha keras untuk membuatku merasa diterima.

    “Mau sarapan?” tanya Mama lembut, duduk di sampingku.

    Aku mengangguk, tetapi rasanya perutku terasa kosong. Makananku tidak pernah terasa enak belakangan ini, seolah-olah tidak ada yang bisa mengisi ruang kosong di dalam diriku

     “Iya, Ma. Terima kasih.”

    “Jay sudah pergi kerja, Willy baru bangun tidur. Mereka semua khawatir sama kamu, Nak,” kata Mama, menyentuh tanganku dengan lembut.

    “Kalau ada yang membuatmu merasa tidak nyaman, kamu harus bilang, ya? Kami di sini untuk kamu.”

    Aku memandangnya, matanya penuh perhatian, tetapi hatiku merasa semakin sesak. Mereka memang berusaha keras, tetapi aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan yang sedang kurasakan. Bagaimana bisa mereka memahami apa yang ada di dalam hatiku jika aku sendiri pun belum sepenuhnya memahaminya?

    “Kami semua di sini untuk kamu,” ulang Mama, seakan merasakan keraguanku.

     “Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini.”

    Keluarga. Kata itu masih terasa asing, seperti batu besar yang menghalangi jalan, meski aku tahu mereka berusaha membuatku merasa diterima. Aku mencoba tersenyum, tetapi senyuman itu terasa seperti topeng tipis yang tidak bisa menyembunyikan ketegangan di dalam diriku. Senyum itu rapuh, seperti dinding yang tak cukup kuat untuk menahan perasaan yang terus menggebu, seolah-olah aku sedang berperang dengan diriku sendiri. Tangan kananku tanpa sadar meremas ujung selimut, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa tidak nyaman yang merayapi tubuhku. Aku berusaha percaya pada kata-kata mereka, tetapi ada sesuatu dalam diriku yang tak mampu menerima kenyataan itu sepenuhnya.

    Setelah sarapan, aku pergi ke ruang tamu. Willy sudah duduk di sofa, memainkan ponselnya dengan santai. Tatapannya mengalihkan perhatian dari layar ponselnya begitu melihatku masuk.

    “Eh, Mayang! Pagi-pagi udah bengong aja?” katanya, sambil tersenyum lebar.

    Aku hanya tersenyum tipis.

    “Nggak, Wil. Cuma… lagi mikir.”

    Willy menyeringai, meskipun senyumnya tidak secerah biasanya.

    “Mikir apa sih? Kamu kelihatan berat banget hari ini. Kalau perlu teman ngobrol atau cuma ngelawak, bilang aja. Aku kan jagonya bikin orang ketawa.” Dia tertawa pelan, tetapi ada sedikit kekhawatiran di matanya yang tidak bisa disembunyikan.

    Aku mengangguk kecil, berterima kasih atas upayanya, meskipun aku tahu bahwa tidak ada hal yang bisa menghiburku saat ini. Aku hanya merasa terjebak dalam sebuah kebingungan yang sulit untuk dijelaskan.

    Jay masuk dari luar, mengenakan jaket kulit hitam yang sudah lama dia pakai. Senyumnya yang tenang menenangkan hatiku sedikit, meskipun perasaan canggung itu tetap ada. 

    “Selamat pagi, Mayang,” sapanya, melepas jaket dan duduk di kursi di dekatnya.

    “Pagi, Bang Jay,” jawabku pelan. 

    Aku merasa nyaman dengan kehadirannya, meskipun aku tidak tahu bagaimana cara untuk benar-benar terbuka.

    “Mama bilang kamu sedang banyak berpikir?” tanya Jay dengan nada yang penuh perhatian.

    Aku mengangguk perlahan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. 

    “Iya, Bang Jay. Aku cuma… merasa bingung. Aku tahu aku sudah memilih untuk tinggal di sini, tapi entah kenapa, aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang hilang. Aku nggak bisa sepenuhnya merasa di rumah.”

    Jay mendengarkan dengan seksama, tidak terburu-buru untuk memberikan jawaban. Hanya diam, memberikan ruang bagiku untuk mengungkapkan perasaanku.

    “Gini, May,” kata Jay akhirnya, suaranya masih lembut, tetapi ada ketegasan yang sedikit mengalir. 

    “Kamu nggak perlu merasa terburu-buru. Semua butuh waktu. Ini keputusan besar, dan itu pasti nggak mudah buat kamu. Tapi satu hal yang pasti—kamu nggak sendirian. Kita semua di sini buat kamu.” 

    Aku menatapnya, mencoba memahami tiap kata yang keluar dari mulutnya. Tapi perasaan kosong di dalam diriku masih lebih kuat daripada kata-kata yang dia ucapkan. Aku mengangguk perlahan, tapi mataku berkelana ke tempat lain, mencari jawaban dalam ruang kosong yang ada di sekelilingku.

    Aku menatapnya, sedikit terharu dengan perhatian yang dia tunjukkan. Namun, ada kekosongan yang jauh lebih besar—seperti ada lubang yang tak bisa diisi, meskipun kata-kata Bang Jay begitu penuh pengertian. Kekosongan itu menghimpit dadaku, membuatku merasa semakin terjepit di antara dua dunia yang tak bisa aku pilih. Kata-katanya mengalir begitu mudah. Namun aku merasa tidak ada yang bisa mengisi ruang kosong yang ada dalam diriku. Ada harapan dalam kata-katanya, tetapi hatiku masih terperangkap dalam kebingunganku. Seakan-akan aku sudah berada di tempat yang tepat, tetapi masih belum sepenuhnya bisa merasakannya.

    “Mungkin kamu hanya perlu memberi dirimu waktu, May. Tidak ada yang langsung sempurna. Keluarga itu bukan tentang tempat, bukan tentang rumah yang besar atau kecil. Tapi tentang siapa yang ada di sana, siapa yang peduli sama kamu.”

    Aku diam, mencoba mencerna kata-kata Jay yang sepertinya penuh harapan. Tapi dalam hati, ada suara yang terus bertanya, apakah aku benar-benar bisa merasa di rumah di sini? Apa perasaan itu akan datang seiring waktu? Atau akankah aku tetap terjebak, terombang-ambing antara dunia yang lama dan yang baru? Seharusnya aku merasa lega, kan? Tapi kenapa rasanya justru semakin berat?

    Kata-kata Bang Jay mengalir masuk ke dalam pikiranku, memberikan secercah harapan di tengah kebingunganku. Ya, keluarga ini mungkin tidak akan pernah menjadi seperti keluarga lamaku, tetapi mereka berusaha. Mereka peduli padaku.

    Hari itu berlalu dengan lebih tenang. Aku mencoba menerima kenyataan bahwa perubahan ini tidak akan mudah, tetapi aku juga tahu bahwa aku harus berusaha. Keluarga baruku bukanlah sesuatu yang bisa aku abaikan begitu saja. Mereka ada di sini, dan mereka peduli. Itu adalah sesuatu yang tidak pernah aku alami sebelumnya.

    Malam itu, setelah makan malam, aku duduk di beranda, menatap langit gelap yang terbentang tak berujung, hanya dihiasi bintang-bintang yang teramat jauh, seperti titik-titik kecil yang tak mampu menyinari kegelapan yang merayapi pikiranku. Setiap hembusan angin membawa harapan, tapi juga semakin mengingatkanku pada kenyataan yang sulit diterima—aku tidak tahu apakah aku akan menemukan tempatku di sini, atau jika aku akan terus terombang-ambing antara dua dunia yang berbeda.

    Langit malam terasa begitu luas dan asing, begitu mirip dengan perasaanku sendiri. Mungkin aku sedang mencari tempat untuk benar-benar merasa diterima, tapi malam ini, perasaan itu semakin jauh. Aku tak tahu apakah perjalanan ini benar-benar akan mengarah ke tempat yang kuinginkan. Namun, satu hal yang pasti—aku akan terus berjalan, meskipun langkah itu tak selalu pasti. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma melati yang manis namun menyesakkan dada. Setiap hembusan angin seakan mencoba menenangkan pikiranku, tetapi semakin aku berusaha merenung, semakin banyak bayangan yang muncul—bayangan Bima, bayangan keluarga lama, dan bayangan perasaan kosong yang masih mengendap dalam diri.

    Akhirnya, aku memutuskan untuk memberi diriku waktu. Waktu untuk mencari tahu tempatku di dunia ini, meskipun rasa kosong itu tidak kunjung pergi. Setiap hembusan angin yang datang dari taman terasa semakin menyesakkan, dan setiap langkah yang aku ambil seolah semakin jauh dari rumah yang kuinginkan. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa waktu akan menyembuhkan, bahwa pada akhirnya aku akan merasa diterima. Tapi entah mengapa, setiap malam aku terjaga, merasa terjebak antara dua dunia yang tidak pernah sepenuhnya bisa kurengkuh. Tapi untuk sekarang, aku tahu bahwa aku sedang berjalan di jalan yang benar. Jalan menuju penerimaan, jalan menuju keluarga yang baru, dan jalan menuju diriku yang lebih utuh.

    Namun, aku tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Masih banyak tantangan yang akan aku hadapi. Tetapi dengan keluarga baruku, dengan orang-orang yang peduli padaku, aku merasa sedikit lebih kuat. Langkah pertama sudah aku ambil, dan aku akan terus melangkah, meskipun langkah itu tidak selalu pasti.

     

     

    Kreator : Fati Nura

    Bagikan ke

    Comment Closed: Konsekuensi dan Penyesalan

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021