Hembusan angin dengan aroma bunga sepe khas kota karang di bulan November. Keanggunan gadis berambut keriting dengan stylish USA namun, tetap bernuansa Timur menatap rumah yang berdiri teguh di depannya. Disana dua paruh baya berlari menyambut kedatangan gadis mereka. Buliran-buliran air mata membasahi pipi, sementara ungkapan rasa bangga dan selamat terucap dari bibir yang berkerut itu.
Dag….Dig….Dug….Dag….Dig…Dug.
Maria menghela napas dalam. Jantungnya berdetak kencang. 30 menit lagi pesawat akan landing, tak sabar untuk menginjak kota kelahirannya.
“Maria, kau terlihat bersemangat. Ada apa denganmu?” Terdengar suara seruan disampingnya.
“Kau tahu, aku ingin segera turun dari pesawat dan bergegas tiba di rumahku.” jawab Maria.
Dua tahun lebih Maria mengenyam pendidikan Master di negeri Paman Sam, USA. Kerinduan terhadap rumah merupakan keinginannya untuk pulang setelah berhasil mendapatkan gelar Master. Padahal dia telah ditawarkan bekerja disana. Namun, dengan pikiran matang dia memilih kembali ke kota Kupang. Kota yang memberikan kehidupan baginya dimana dia tumbuh menjadi seorang gadis yang berintelektual, kota yang disebut juga kota karang.
“Terima kasih sudah menjadi teman ngobrol selama di dalam pesawat dan ku harap kita bisa berjumpa di lain waktu.” kata Maria pada salah satu penumpang yang duduk di sebelahnya.
“Ahh.. aku senang berkenalan denganmu, Maria. Taksiku telah datang. Aku duluan ya!” Seru gadis itu.
Sesaat kepergian kenalannya itu, Maria dihampiri seorang driver. Selamat siang non, alamatnya sesuai titik ya? Tanya si driver mobil maxim. “Ya om.” Hembusan angin dengan aroma bunga sepe khas kota karang di bulan November. Maria menikmati perjalanan menuju rumah dengan mata berkaca-kaca, menengok keluar jendela mobil sambil melirik jajanan kaki lima yang sudah lama tak dicicipi.
Dring…dring…dring…
Telepon genggam berdering di balik tasnya, seketika senyuman lebar terpaut di wajah Maria.
“Halo, Ma..”
“Sudah dimana kamu, sayang?” tanya wanita yang sangat dicintai Maria di seberang telepon.
Suara lembut itu menggetarkan gendang telinga, rasanya ingin dipeluk dan dicium sesegera mungkin.
“Aku sudah di mobil, sedikit lagi tiba.” jawab Maria.
“Baik, hati-hati ya.. Kami sedang menantimu, sayang!”
“Iya, Ma.”
Jari jemari yang melengking, dia merogoh selembar daun merah untuk diberikan kepada driver maxim tersebut.
“Waduh, Non. Tak ada kembaliannya..”
“Ambil saja om kembaliannya!”
Kemudian wajah lelah pencari rupiah tampak bersemangat karena rejeki yang datang tak terduga.
Keanggunan gadis berambut keriting dengan stylish USA namun, tetap bernuansa Timur menatap rumah yang berdiri teguh di depannya. Disana dua paruh baya berlari menyambut kedatangan gadis mereka. Buliran-buliran air mata membasahi pipi, sementara ungkapan rasa bangga dan selamat terucap dari bibir yang berkerut itu.
Dengan langkah penuh kasih, mereka memasuki gubuk yang sudah ditempati lamanya tanpa merubah desain interior hanya goresan cat yang memperkaya keindahan warna tembok. Tatapan Maria beralih pada hidangan makanan lezat yang terletak rapi diatas meja makan. Wah….jagung bose, daun ubi dicampur bunga pepaya, sei babi, dan sambal matah, enak…enak…enak. Kecupan bahagia berlabuh pada Mama.
“Much appreciated, Mom. That is amazing.”
“Ria, sebaiknya kamu mandi dulu, sayang.” Ucap Mama.
“Setelah ku habiskan semua makanan ini, barulah ku mandi, Ma.”
“Hahahahaha….hahahaha….hahahahaha….” rumah itu tersentuh dengan gurauan lucu, tawa menemani mereka dalam menyantap makanan lokal masakan sang pemegang surga.
“Sungguh lidahku sangat merindukan makanan-makanan ini, dan telah terbalaskan. Aku berpikir bahwa menjalani kehidupan di Amerika tidak buruk, namun makanannya tidak sesuai dengan indera pengecapku. Aku makan untuk bertahan bukan untuk dinikmati.”
“Setidaknya, kau sudah mendapatkan banyak pengalaman disana, Ria.” Balas cinta pertama Maria, Bapaknya.
“Ceritakan momen terbaikmu selama di Amerika, sayang. kami ingin mendengar.”
Arah waktu semakin larut, dua paruh baya dengan setia mendengar kisah yang tersimpan rapi di memory anak gadis mereka. Kemudian, bisikan pagi membangunkan tubuh yang letih karena perjalanan panjang. Langkah kaki menuntunnya untuk melakukan aktivitas di pagi hari. Disudut ruangan, Maria terheran-heran dengan beberapa atribut yang masih terpajang manis di tembok. Gantungan mainan, pemberian teman SMA nya dan lukisan tangannya sendiri.
“Pagi, sayang.”
“Pagi, Ma.”
“Seharusnya kau melanjutkan tidurmu, tidak perlu bangun sepagi ini.”
“Tak apa, Ma. Aku juga mau menghirup udara pagi di halaman rumah.”
“Baiklah, Mama akan buatkan teh untuk kita.”
“Tidak ada yang berubah dari rumah ini, ayunan itu masih tergantung di halaman belakang, sumur yang terlihat tua, namun tetap terisi air jernih.” Kata Maria dalam hati sambil tertegun.
“Apakah kau masih ingat, ketika dulu kau masih kecil, Bapak memarahimu untuk tidak bermain di dekat sumur?” terdengar suara yang mengejutkan lamunan Maria.
“Tentu, Ma. Masa kecil yang bagai embun pagi, hilang sebelum sempat dinikmati sepenuhnya.”
Setelah itu, di sisi tempat berbeda hentakan kaki berjalan perlahan menghampiri istri dan anak gadisnya yang sedang meresapi udara sejuk kota karang yang menjadi pijakan rumah ini sembari menyuguhkan teh. “ternyata kalian disini, aku pikir kalian pergi ke pasar untuk berbelanja.” Maria dan mamanya hanya membalas dengan memancarkan senyuman tipis.
Kreator : Leny Fios
Comment Closed: Kota Karang Rumah Ku Berteduh
Sorry, comment are closed for this post.