KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Ku Terima Luka Itu

    Ku Terima Luka Itu

    BY 25 Agu 2024 Dilihat: 185 kali
    Ku Terima Luka Itu_alineaku

    Ini adalah kali pertama aku keluar rumah setelah berpuluh purnama berada di rantauan. Skuterku melaju menerobos jalanan ramai yang dipenuhi pengendara motor. Kuresapi udara malam dan kunikmati keramaian Jalan Sumur Watu, Kecamatan Terisi. Waktu berlalu begitu cepat; dulu, saat aku masih remaja, jalan ini begitu sepi, apalagi ba’da Isya seperti ini. Hanya ada rumah-rumah warga dan beberapa warung di pertigaan atau perempatan jalan yang sengaja buka sampai pagi. Biasanya, para bapak-bapak nongkrong di sana untuk bermain gaple, menonton bola, atau sekadar pijat setelah seharian.

    Pada waktu itu, saat jam-jam seperti ini, aku yang masih remaja pasti sedang berada di langgar, melantunkan nadzom atau lalaran dari kitab-kitab klasik karya ulama terdahulu, seperti Abda Ubis, Alala, Tasrifan, atau bahkan Kitab Safinah yang belum sempat aku khatamkan. Seringkali aku merasa terkungkung, ingin seperti remaja lain yang bebas bermain, menonton TV, atau duduk di teras rumah menunggu kekasih yang datang apel. Namun, orang tuaku sangat disiplin, sehingga bagiku, tidak ada pilihan lain selain mengaji di langgar dekat rumah.

    Aku berhenti sejenak di Stasiun Pengisian Bahan Bakar di Terisi. Dulu, tempat yang kini terang benderang dengan cahaya lampu ini adalah hamparan sawah dengan parit yang curam. “Berapa, Mbak?” tanya petugas yang ternyata masih sama seperti dulu, saat terakhir kali aku mengisi BBM di sini. “Full ya, Mas,” jawabku sambil tersenyum menyapanya.

    “Mbak, baru lihat lagi sekarang. Sudah punya anak berapa?” tanyanya ramah sambil mengisi bensin.

    “Ya Mas, Alhamdulillah sampean masih ingat. Belum ada anak, wong suaminya saja belum ada,” jawabku terkekeh.

    Dia pun tertawa kecil sambil memberikan uang kembalian. Aku berlalu, memutuskan untuk menyebrang dan berhenti di bawah pohon baujan (Samanea Saman)  yang batang pohonnya meneduhi seluruh area parkiran  sebuah kafe dekat SPBU.

    Hiasan lampu pijar yang melingkari pohon baujan dan dinding berornamen kayu menciptakan suasana teduh dan bersahaja di kafe ini. Suasananya begitu ramai; remaja, pasangan dewasa, hingga keluarga muda dengan anak-anak mereka memenuhi setiap sudut. Nuansa malam Minggu ini sangat kontras dengan malam Mingguku dulu, yang paling banter hanya izin tidak mengaji kemudian tiduran dalam kamar sambil mendengarkan radio menunggu atensiku dibacakan oleh Ara, penyiar radio terkenal di awal 2000-an. Suara khasnya yang jahil ketika membacakan atensi dari seseorang yang pernah menyatakan perasaannya padaku.  “…  Dian Indah Sari, seperti biasa nih, ada bingkisan khusus untukmu, persembahan lagu dari Padi, Menanti Sebuah Jawaban…” Musik pun mengalun.

    Momen seperti itu kini terasa begitu berbeda. Remaja sekarang menikmati kebebasan yang tak kumiliki dulu; mereka duduk santai di kafe, mengobrol sambil menyeruput kopi, atau sibuk memposting momen di media sosial. Jika dulu setiap pesan harus dikirim melalui surat atau disampaikan lewat telepon singkat, kini mereka bisa berinteraksi tanpa batas, baik di dunia maya maupun di tempat-tempat seperti ini. Gaya hidup yang dulu terikat aturan keluarga yang ketat sekarang terasa lebih bebas, dengan anak muda yang lebih leluasa menjelajahi dunia luar tanpa perlu selalu meminta izin. 

    ****

    Aku melangkah masuk, di luar sudah dipenuhi pengunjung. Beruntung, masih ada tempat kosong di pojokan dekat area mushola. Dua buah kursi dengan satu meja kecil berukuran persegi menanti. Setelah beberapa saat, pramusaji mengantarkan pesanan berupa sepotong banana roll dan lemon squash. Dari banyaknya pengunjung, hanya beberapa saja yang ku kenal, kami pun saling bertegur sapa. Umumnya mereka bertanya, “Sendirian saja?” lalu kujawab santai apa adanya.

    Dari rumah, aku memang berniat menghirup udara malam minggu ini sendirian, meresapi banyak perubahan di daerah kelahiranku seperti angkringan dan aneka kuliner lainnya memadati epi jalan yang ku lalui, ruko yang berjejer, klinik kesehatan, klinik kecantikan, cafe, dan butik yang kian menjamur. Jalan yang dulu dikenal sebagai desa yang asri karena dekat hutan kini telah berubah. Bahkan, ketika sore tadi aku mencari angin lebih ke selatan, tanah pangonan yang dulu terkenal dengan kerbau-kerbaunya kini berubah menjadi lahan persawahan, hunian, dan tempat-tempat hiburan malam.

    Lagipula, sahabat dekat yang ku hubungi sebelumnya memang sedang tidak bisa berkumpul di antara mereka ada yang anaknya sakit, ada yang tidak enak meninggalkan suaminya yang baru pulang dari rantauan, dan ada yang sedang menyiapkan pesanan makanan untuk acara besok pagi. Bagiku, tidak apa-apa. Aku mengerti keadaan mereka. Bagiku, bersahabat di usia yang sekarang bukan hanya untuk sekedar kumpul dan haha hihi semata.

    Aku menikmati hidangan banana roll yang sedari tadi berada di hadapanku. Perhatianku teralihkan pada area lesehan di samping kanan tempat dudukku. Di sana, seorang ibu muda tengah sibuk menyuapi anak laki-lakinya yang tampaknya usianya jauh di bawah usiaku. Anak itu melengos, berjalan mengitari meja panjang sambil bermain tisu. Aku tersenyum melihat pemandangan itu, terbesit pertanyaan yang sering mampir dalam benakku: “Kapan ya aku mengalami momen-momen seperti itu?”

    Saat pikiranku traveling ke masa depan, jantungku langsung berdegup kencang. Keringat dingin mulai membasahi keningku. Aku hampir tersedak dan hanya mendehem pelan, mencoba menormalkan seluruh efek kejut yang ku terima dari pemandangan yang sedang kulihat. Seorang pria yang mengikuti istri dan ketiga anaknya menuruni tangga tepat di hadapan tempat dudukku. Kami bertemu pandang; tampaknya dia juga kaget. sepertinya ia mau menyapa namun terkesan ragu. Akhirnya, dia berlalu, menoleh tiga kali mungkin untuk memastikan siapa aku, perempuan yang baru saja dia lihat.

    “Allah… Allah…” 

    lirihku dalam hati. Kenangan mengenai perasaan sakit yang dulu begitu hebat memporak-porandakan hidupku kembali menghampiriku. 

    “Allah… Allah… Allah…”

     Aku mencoba untuk menetralisir gejolak perasaanku. Ku taruh potongan banana roll yang masih kupegang pada tempatnya semula dengan tangan dingin dan bergetar, kemudian ku sruput lemon squash yang rasanya berubah hambar.

    “Ya Allah, teguhkan hatiku menjalani hidup dengan takdir yang telah Kau tetapkan untukku,” doaku dalam hati. Air mataku kembali jatuh karena perasaan sakit yang kukira telah lama hilang. Dia yang ada di hadapan ku adalah seorang santri tahap akhir di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur yang dikenalkan Habil, teman ngajiku dulu. Dia yang dalam kurun tiga tahun telah empat kali datang ke rumah untuk menemuiku. Dia yang pada pertemuan keempat kalinya mengatakan sangat mencintaiku dan memintaku untuk menunggunya pulang setelah selesai program mengabdi di pesantren. Dia yang meyakinkan hatiku dengan memberikan cincin dan sebuah mukenah berbahan sutra Jepang dengan motif bordir bunga-bunga kecil berwarna putih gading sebelum pergi kembali ke pesantren. Dia yang mengatakan“Cincin dan mukenah ini sebagai pertanda kemantapan hatiku padamu. Setelah aku boyong dari pesantren, berjanjilah engkau akan menerima pinanganku.” 

    “Allah… Allah,”  gumam ku menahan kecamuk batin. Luka itu kembali menganga.

    ****

    Ramadhan telah tiba. Harusnya ia kembali menyambangiku sebagaimana sebelumnya, namun sudah dua pekan aku menanti, bahkan sampai memasuki syawal tak kunjung ada kabar darinya. Tidak ada surat atau telepon. Aku mencoba memahami kondisinya di sana. Tak pernah ku beranikan meminta alamat surat atau nomor telepon di pesantren. kalaupun meminta, nomor telepon siapa yang ku minta? 

    Pada pekan berikutnya, aku bertemu Habil di minimarket satu-satunya di Kecamatan Terisi waktu itu. “Dian, bagaimana kabarmu?” panggilnya dari belakang.

    “Ya Allah,” ucapku kaget. “Habil? Kamu pulang kapan?” tanyaku penasaran.

    “Sudah dua minggu, Yan. Lah, emang Bana belum menemuimu?” tanyanya juga penasaran.

    “Aku menggeleng. Dia juga pulang, kan, Bil?” sambungku.

    “Iya, Yan. Kita pulang bareng kok. Sepanjang perjalanan, dia bercerita banyak tentangmu,” jawabnya sumringah.

    “Benarkah, Bil? Tapi kenapa, ya, dia belum mengabariku kalau sudah pulang?” Perasaanku yang gembira saat mendengar cerita Habil berubah kembali menjadi ragu, cemas, dan penasaran.

    “Mungkin dia mau memberikan kejutan padamu, Yan,” jawab Habil sekenanya. Aku dan Habil terus mengobrol, umumnya tentang teman-teman kami waktu mengaji dulu sambil menunggu antrian di kasir. Kami pun berpisah dengan sepeda motor masing-masing.

    Dua bulan setelah pertemuan itu, setelah Ashar, Habil datang ke rumahku. Saat itu aku sedang merapikan tanaman bunga melati belanda yang dahannya sudah menjalar tak beraturan di halaman depan. Melihat kedatangannya, perasaanku campur aduk. “Tapi kok, dia datang sendiri? Di mana Bana?” tanyaku dalam hati.

    “Tumben, ada apa, Bil?” tanyaku, merasa ada yang janggal.

    “Ah, nggak, Yan, cuma pengen main saja. Sebaiknya kita duduk di situ yuk,” ajak Habil sambil menunjuk kursi di teras rumahku.

    “Oh, ya, maaf Bil, mari sini, duduk dulu. Sebentar ya, aku mau ambil minuman dulu.kamu Mau apa? Kopi atau apa?” tanyaku tergesa-gesa.

    “Ah, nggak usah, Yan, nggak apa-apa,” jawabnya.

    “Gak apa-apa lagi, Bil. Mumpung kamu kesini, nanti dulu ya,” kataku sambil masuk untuk membuatkan secangkir kopi hitam dengan sedikit gula.

    “Jadi, angin apa nih yang membawa seorang Habillah datang sore hari begini ke rumahku?” tanyaku sambil menyerahkan secangkir kopi untuk meredam gelombang perasaanku yang ingin segera menanyakan banyak hal kepadanya tentang Bana yang belum juga menemuiku.

    Setelah menyeruput kopinya yang kedua kali, Habil membetulkan posisi duduknya. Tampaknya dia mengerti kegelisahanku terkait kabar Bana. Dia kembali duduk membungkukkan setengah badannya dengan kedua tangan saling bertautan. “Yan, saya kesini membawa pesan dari Bana. Ehm… kemarin Bana ke rumahku…”

    “Apa yang ia katakan, Bil?” potongku penasaran.

    “Katanya dia minta maaf atas penantianmu untuk pertemuan yang telah dia janjikan. Katanya orang tuanya telah meminang seorang perempuan dari kecamatan sebelah untuknya, seorang anak pak haji yang memiliki mushola dan madrasah diniyah. Rencananya pernikahan itu akan diselenggarakan pekan depan, tepatnya hari Senin pada minggu terakhir bulan Dzulhijjah.”

    Habil masih melanjutkan penjelasannya, namun sayangnya telingaku sudah tak mampu lagi mendengar perkataannya. Perasaan aneh apa yang ku rasakan ini? seumur hidupku baru kali ini aku merasakan gejolak batin yang demikian hebat. Dadaku bergemuruh, lisanku tak mampu lagi untuk mengucapkan sepatah katapun. Aku tahu Habil tak mungkin berbohong, kendatipun aku mengharapkan apa yang dia katakan adalah kabar bohong. Tanpa permisi, aku langsung nyelonong masuk ke kamar.

    Perasaanku seakan terhantam badai tanpa ampun. Aku seperti berdiri di tepi pantai yang dulu begitu indah. Namun, dalam sekejap, langit berubah gelap, seolah seluruh alam semesta bersekongkol untuk menjatuhkan ku. Awan hitam berkumpul dengan cepat di atas kepalaku, dan tanpa peringatan, badai besar menghantam dengan kekuatan yang menghancurkan. Ombak yang dulu menenangkan kini berubah menjadi monster raksasa yang ganas, menarikku dengan paksa ke tengah lautan kegelapan. Aku menahan sakit tanpa air mata, seperti orang linglung, aku pun berbaring dan terbenam dalam luka yang amat dalam.

    ***

    Aku  kembali teringat perjuanganku. Meski harus tertatih, akhirnya aku dapat kembali berdiri tegak setelah tiga bulan dalam kesakitan yang tak berujung. Orang tuaku hampir putus asa; berbagai ikhtiar telah mereka lakukan demi melihatku sembuh. Berbagai obat tersedia di meja dekat ranjangku, infus selalu melekat di tangan kiri ku. Air doa dari para Kiai telah ku minum hingga pada suatu titik aku seolah bermimpi kembali sedang mengaji kitab Ayyuhal Walad karya ulama besar Imam Al Ghazali pada bagian nasihat ke delapan belas. Pengajian yang dulu pernah ku ku ikuti saat Ramadhan di langgar dekat rumahku setiap ba’da ashar. Pak Kyai membacakan kitab kemudian menjelaskan:

    الْعُبُوْدِيَّةِ وَهِيَ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ : أَحَدُهَا مُحَافَظَةُ أَمْرِ الشَّرْعِ وَثَانِيْهَا الرِّضَاءُ بِالْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ وَقِسْمَةِ اللّٰهِ تَعَالٰى وَثَالِثُهَا تَرْكُ رِضَاءِ نَفْسِكَ فِيْ طَلَبِ رِضَاءِ اللّٰهِ تَعَالٰى

    Artinya kurang lebih demikian kata Pak Kyai: “ Wahai Anakku tercinta, Hakikat beribadah kepada Allah itu mengandung tiga perkara. Yang pertama, menjaga perintah – perintah syariat. Yang kedua, ridha terhadap ketentuan Allah dengan segala bagian-bagian yang telah Allah tetapkan. Dan yang terakhir, Bahwa engkau mencari keridhaan  Allah Ta’la walaupun engkau terpaksa meninggalkan keridhaan dirimu sendiri.”

    Nak, setiap manusia pasti pernah merasakan pahitnya ujian hidup. Apa yang kau alami sekarang, ditinggal menikah oleh orang yang kau cintai, memang berat dan menyakitkan. Tapi ingatlah, ini adalah bagian dari ketentuan Allah yang harus kita terima dengan lapang dada.

    Sebagaimana yang telah Bapak bacakan barusan, dalam keadaan apapun, termasuk saat hatimu hancur seperti sekarang, jangan pernah tinggalkan ibadahmu. Tetaplah menjaga sholatmu, teruslah membaca Al-Qur’an, dan jangan jauh dari zikir kepada-Nya. Ini akan menjadi peganganmu dalam menghadapi segala cobaan. Kedua, ridhalah terhadap ketentuan Allah. Apa yang terjadi padamu saat ini bukanlah kebetulan, Nak. Ini adalah takdir yang sudah Allah tetapkan jauh sebelum kau lahir. Allah tahu yang terbaik untuk hamba-Nya. Mungkin sekarang kau merasa hancur, tapi percayalah, ada hikmah besar yang Allah simpan untukmu di balik semua ini. Belajarlah menerima dengan ikhlas, meskipun berat, karena ridha kepada ketentuan Allah adalah tanda kedewasaan iman. Yang terakhir, tinggalkan nafsu dan keinginan duniawi demi mencari ridha Allah. Kadang kita terlalu terikat dengan keinginan kita sendiri, hingga lupa bahwa apa yang kita inginkan belum tentu yang terbaik menurut Allah. Melepaskan seseorang yang kau cintai adalah sebuah ujian besar, tapi jika kau mampu melaluinya dengan ikhlas, kau akan mendapatkan keridhaan Allah yang jauh lebih besar dari apa yang kau bayangkan. Ingatlah, Nak, cinta yang sejati adalah cinta kepada Allah. Apapun yang terjadi di dunia ini, selama kau berusaha mendekat kepada-Nya, kau akan selalu mendapatkan pengganti yang lebih baik dari yang hilang. Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang berserah diri kepada-Nya. Yakinlah, setelah hujan lebat, selalu ada pelangi yang indah. Kuatkan hatimu, dan percayakan semuanya pada Allah.”

    Setelah terbangun dari mimpi itu, perlahan demi perlahan aku pun mulai membaik. Beberapa pekan kemudian, aku kembali sehat. Dengan restu orang tua dan meminta doa dari Pak Kyai, kuputuskan untuk merantau. Aku melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi meski harus terlambat tiga tahun lamanya, kemudian bekerja di sana sampai hampir 12 tahun.

    ****

    Kafe yang tadinya riuh kini meredup dalam kesunyian malam. Tak banyak pengunjung yang tersisa, hanya beberapa pasangan muda yang masih asyik ngopi sambil mabar. Langit malam semakin gelap, menyelimuti jalanan yang kini semakin sepi.

    Aku memandang sekeliling, menyaksikan lampu-lampu jalan yang bersinar redup, membentuk bayangan-bayangan lembut di tepi jalan. Skuterku menunggu di parkiran, menanti untuk membawaku pulang ke rumah.

    Rasa dingin malam menyentuh kulitku, namun hatiku terasa lebih dingin dari itu. Aku telah lama berusaha untuk mengabaikan dan menutup luka, namun malam ini, aku merasakan bahwa mengikhlaskan bukan berarti melupakan. Ini adalah tentang memahami dan menerima.

    Sambil mengenakan helm, aku menatap ke depan, melihat skuterku yang siap membawaku menjauh dari kenangan-kenangan yang masih menyisakan rasa sakit. Perasaan itu tidak sepenuhnya hilang, tetapi kini aku mampu untuk tidak membiarkannya menguasai hidupku.

    “Ku terima luka itu,” gumamku perlahan, merasa berat namun juga lega. “Ini bagian dari perjalanan hidupku.”

     

     

    Kreator : Uus Hasanah

    Bagikan ke

    Comment Closed: Ku Terima Luka Itu

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021