Siang itu terdengar tawa canda anak-anak di teras rumah. Wah! Begitu seru rupanya anakku sedang bermain sekolah-sekolahan bersama teman-temannya. “Aku yang jadi gurunya ya?”, kata anakku. Lalu yang lain menjawab, “aku muridnya”. “Yaudah sekarang kalian belajar membaca ya?”, seru anakku. Lalu ia pun menunjuk teman-temannya untuk membaca buku yang sudah disiapkannya sejak tadi. Kebetulan memang di rumah banyak buku-buku bekas kakaknya yang sudah tidak dipakai. Satu persatu dari mereka mulai membaca., dan tiba giliran terakhir yaitu Lia anak tetangga. Sambil tertawa-tawa ia hanya bersuara, “Bla-bla-bla….bla-bla-bla…”. Yang lain pun ikut tertawa.
Dibandingkan dengan anak-anak yang lain, Lia termasuk yang paling besar postur tubuhnya. Ya, memang usianya juga lebih tua. Saat itu dia sudah duduk di bangku kelas tiga SD. Sementara teman-teman sepermainannya masih kelas satu seperti halnya anakku. Wajahnya cantik, bodinya tinggi, dengan kulit kuning langsat. Anaknya senang bercanda dan tidak pemarah. Ditambah lagi sifatnya yang suka mengalah membuat ia begitu disukai teman-temannya. Siapa sangka gadis kecil nan periang ini sejak kecil tidak tinggal bersama ibunya, melainkan ikut neneknya.
Konon katanya kedua orang tuanya sudah berpisah sejak ia masih kecil. Lalu ibunya pun pergi bekerja ke kota hingga bertemu dengan suaminya yang sekarang. Itu sebabnya Lia kecil dititipkan pada neneknya. Namun setelah ibunya menikah ia tetap tinggal bersama neneknya. Di rumah nenek hanya ada empat anggota keluarga, nenek, kakek, anaknya nenek, dan lia. Anaknya nenek yang biasa Lia panggil om terlihat begitu menyayangi Lia. Ya, mungkin karena sejak kecil mereka hidup bersama jadi seperti kakak dan adik saja. Kakek dan nenek Lia juga sangat sayang pada Lia. Bagi Lia mereka sudah seperti orang tua sendiri, bahkan Lia memanggil mereka emak-bapak. Dulu saat aku baru tinggal di kampung ini ikut suami, aku mengira kalau Lia adalah anak dari nenek dan kakek Darno.
Waktu terus berlalu…. Tak terasa sekarang Lia sudah kelas enam SD. Seperti hari-hari sebelumnya dia sering datang ke rumah untuk bermain dengan anakku. Terkadang mereka berangkat dan pulang mengaji bersama-sama. Hari itu, sepulang sekolah anakku bercerita bahwa katanya ia mendengar bu guru menyuruh Lia membaca, tapi Lia hanya diam saja. “ Tau nggak bunda?, Lia itu belum lancar lo membacanya”. Sontak aku pun kaget dibuatnya. “ Ah, masa sih udah kelas enam belum lancar membaca”!, tanyaku. Tak sengaja sewaktu berkumpul dengan tetangga di acara hajatan, mereka sedang asik membicarakan Lia yang katanya memang belum lancar membaca. Bahkan tulisannya pun sulit dibaca. Terdengar dari mereka berkata, “ la gimana nanti kalau mau melanjutkan ke SMP?”. Begitu menusuknya kalimat ini dihatiku. Sedih bercampur kasian rasanya. Teringat aku beberapa tahun yang lalu saat anakku menyuruhnya membaca ia hanya tertawa-tawa saja. Kukira ia hanya bercanda saja. Ya, Tuhan….ternyata memang benar-benar belum lancar membaca.
Sebagai seorang guru aku merasa terpanggil untuk ikut membantu Lia. Aku ingin Lia bisa lancar membaca seperti anak-anak lainnya. Kemampuan membacanya yang sangat minim membuat ia kesulitan menerima materi pelajaran di sekolah. Suatu hari, menjelang hari raya idul fitri ibunya Lia pulang kampung. Betapa bahagianya Lia saat itu bisa bertemu dengan seseorang yang sudah dirindukannya bertahun-tahun yang lalu. Setelah hari raya berlalu, terpikir dalam benakku aku ingin membuka bimbel di rumah. Sebenarnya, sasaranku adalah Lia. Tapi supaya tidak jenuh sengaja kubuka untuk anak-anak yang lain juga.
Hari itu, kulangkahkan kakiku menuju rumah neneknya Lia. Kebetulan nenek dan ibunya Lia tengah duduk santai di depan rumah. Segera saja kuutarakan maksud kedatanganku yang tak lain meminta izin mereka agar kiranya Lia bisa ikut belajar bersama teman-teman yang lain di rumah. Mereka tampak gembira sekali dengan niatku itu. Sang ibu bahkan bercerita katanya ia sudah bertanya pada Lia kira-kira nanti kalau sudah lulus SD mau lanjut ke mana?. Lia pun menjawab, “ Aku ingin sekolah di tempatnya om”. Kaget bukan kepalang aku, karena sekolah yang dimaksud adalah lembaga tempatku bekerja. Dalam hati aku berkata tentu ini akan menjadi PR buat kami bila sampai nanti masuk SMP belum juga lancar membacanya. Ibunya Lia juga mengungkapkan rasa syukurnya itu, bahwa dari kemarin-kemarin dia ingin mencari guru yang mau mengajari anaknya.
Sejak saat itu Lia menjadi murid istimewaku di rumah. Kemauan belajarnya yang besar membuatku bersemangat mengajarinya. Sehari dua hari seminggu dan bulan pun berlalu makin terlihat kemajuan belajarnya. Kemampuan membacanya juga mulai lancar. Tak terasa Lia pun lulus SD. Benar saja, seperti yang pernah ibunya bilang Lia mendaftar sekolah di tempatku bekerja. Setelah masa orientasi sekolah selesai, kini tiba saatnya memulai pembelajaran di kelas. Ketika jam pelajaran berlangsung tak jarang kusuruh Lia membaca teks atau materi yang sedang dipelajari. Alhamdulillah membacanya sudah lancar. Kini ia tak lagi malu membaca seperti dulu. Dulu setiap disuruh membaca oleh gurunya suaranya begitu pelan, bahkan nyaris tak terdengar. Ada haru dihatiku, bahagia bercampur lega. Terimakasih Lia, berkat dirimu kini di rumah masih terus berjalan bimbel. Silih berganti anak-anak usia pra sekolah atau SD tapi belum lancar membaca datang ke rumah untuk belajar membaca, menulis juga berhitung atau yang sering dikenal dengan metode CaLisTung. Biarkan mereka mengikuti jejakmu.
Kreator : Sri Dewi Rejeki
Comment Closed: Kuantar kau ke gerbang SMP
Sorry, comment are closed for this post.