Bahan sama dengan donat. Sama dengan cakwe. Sama dengan kue bantal. Sama-sama sering muncul di acara pasar malam. Sama-sama nampang di dasaran pinggir jalan. Ya, kue untir-untir. Banyak orang menyebut juga dengan kue tambang. Tambang yang tidak bisa dipakai untuk tarik-tarikan.
Aku menyimpan memori spesial tentang camilan ini. Kenangan indah yang kembali merekah saat ini. Teringat dalam benak, ketika aku masih duduk di bangku SMP, pada tahun 80-an. Aku dan kakak-kakakku, serta adikku, hampir tiap malam membuat adonan tepung terigu sebagai bahan untuk membuat kue untir-untir, apem, dan kacang telor. Camilan-camilan yang kami kemas dalam plastik ini kami titipkan di warung-warung yang ada di sekitar tempat tinggalku.
Usaha ini lumayan menghasilkan uang tambahan, di luar kiriman wesel per bulan dari bapak. Kami membuat dan menjual kue apem tiap hari. Sedangkan kue untir-untir dan kacang telor kami buat jika titipan di warung-warung mulai menipis. Saatnya kami menambah stok, supaya untir-untir dan kacang telor dalam bungkus plastik yang direnteng itu tetap menggantung di bibir warung. (Yang berenteng seperti shampo sasetan ternyata bukan hanya jumlah pacarmu lo ya)
Adonan tepung terigu kami siapkan pada malam hari. Kadang sampai larut kami baru tidur. Ada yang membuat adonan tepung, ada yang memasukkan kue untir-untir dan kacang telor yang sudah matang kedalam kemasan plastik. Aku paling suka membuat adonan. Memasukkan tepung terigu kedalam baskom, mencampur dengan segala bahan lain, kemudian meremas-remasnya dengan sepuluh jari tangan. Butiran tepung terigu sampai menempel di kedua pipi dan jidatku. Dan esok pagi-pagi, setelah terdengar adzan subuh. Ibuku bangun mengeksekusi adonan yang telah dipersiapkan sejak sore kemarin. Untir-untir digoreng hingga berubah warna dari putih kekuningan hingga tampil mengkilap berwarna keemasan. Dan kalau digigit terasa renyah.
Sedangkan adonan untuk kue apem yang telah mengembang itu digoreng dalam cetakan. Cetakan kue apem berbentuk seperti papan dakon, namun bukan persegi panjang melainkan bulat, dengan lima lobang cetakan. Setiap lobang diolesi minyak kelapa tipis-tipis, setelah panas, cos, adonan kue apem pun disiram ke cetakan. Ibuku mesti membalikkannya agar matang di kedua sisi.
Membuat kacang telur tidaklah sulit. Bahan utamanya adalah kacang tanah. Campurannya ada tepung terigu, tepung tapioka, telur, gula pasir, penyedap rasa, garam, dan margarine. Setelah tepung dan campuran jadi adonan, lalu dituangkan ke tampah secara merata. Masukkan kacang tanah, diputar-putar sampai semua butiran kacang tanah terselimuti adonan tepung. Lalu gorenglah dengan api yang kecil saja supaya tidak gosong. Jadilah camilan kacang yang pasti jadi andalan di meja tamu.
Tiga camilan atau kue jajanan inilah yang merupakan produk olahan dari keluargaku. Menjadi sumber penghasilan tambahan, sekaligus kegiatan yang menghibur di kala malam usai kami sinau. Mantapkan, kami ga cuma pintar di pelajaran, juga pintar cari tambahan duit buat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kembali ke kue untir-untir, ternyata setelah aku besar dan dewasa serta menua sekarang ini, pergumulan kami dengan kue untir-untir yang mengendap sekian dasawarsa itu menyembul kembali. Kenangan itu serupa bunga-bunga kamboja yang berguguran dari tangkainya, layu dan mengering di rerumputan. Eh, surprise, tiba-tiba bunga-bunga kamboja itu berseri kembali memancarkan aura keelokannya. Nah, kekompakan bersama saudara-saudaraku itu memberiku makna hidup yang dalam. Apa yang kami lakukan ketika aku masih remaja itu jumbuh atau bahasa kerennya relate dengan liku-liku kehidupan keluarga kami, keluarga yang berjuang. Banyak fragmen atau penggalan waktu dalam perjalanan hidup keluarga kami yang muntir-muntir seperti topografi kue untir-untir. Kami telah melalui jalan kehidupan yang tidak lurus mulus seperti jalan tol cipali, tetapi seperti jalan di perbukitan yang berkelok-kelok, meliuk-liuk tajam, miring, dan sempit. Kadang kami menemui jalan buntu, mentok, terkunci di ujung jalan yang dikelilingi tebing terjal dan tubir jurang.
Dari cerita lisan yang beredar dari mulut ke mulut para saksi hidup dan penuturan kedua orangtuaku, keluargaku terpisah dari bapak pasca peristiwa kelabu tahun 1965, yang berlanjut ke perburuan para pengikut partai terlarang hingga tahun 70-an.
Waktu itu ayahku bekerja sebagai pegawai negeri di instansi pemerintah yang mengurusi masalah pertanian. Rezim menuduh ayahku telah bergabung ke partai terlarang. Ayahku yang hanya ikut-ikutan teman-teman sekerja pun tersadar akan nasibnya ke depan. Dan sebelum kena ciduk seperti yang dialami beberapa teman sekerja, ayahku segera bertolak ke Jakarta untuk mencari pekerjaan (mungkin lebih cari selamat). Keluarga ku pun tercabik. Tiada ayah di rumah. Ibu dan anak-anaknya terpisah dari bapak berjarak ratusan kilometer. Ibu seorang diri mengurus dan membesarkan tujuh anaknya di Yogyakarta.
Ayahku termasuk beruntung, berkesempatan ke Ibukota dan memperoleh pekerjaan di sana. Banyak orang yang kena ciduk lalu dibuang ke pulau Buru menjadi tahanan politik. Dari tahun 1969-1979, sekitar 24 ribu tapol menjalani pengasingan. Para tapol ini bukan orang-orang yang bodoh dan tidak berpendidikan. Justru orang-orang pintar yang berpendidikan tinggi pada masa itu. Banyak lulusan perguruan tinggi ternama yang telah mempunyai posisi tinggi di suatu instansi. Para insinyur, dosen, dokter, guru, budayawan, sastrawan, dan profesi lain. Diantaranya sastrawan terkemuka Pramudya Ananta Toer.
Dalam satu kesempatan, aku bertemu seorang imam Katolik yang menjadi pendamping rohani para tapol di Pulau Buru selama beberapa tahun. Aku menggali cerita tentang kehidupan para tapol ini langsung dari pastor dari salah satu kongegasi para imam ini.
Sang Imam menceritakan satu kejadian tragis. Di suatu sore, lima orang tapol menemuinya di pastoran. “Mereka meminta izin kepada saya untuk bunuh diri bersama-sama,” tutur imam ini. Tentu saja sang imam kaget. Lalu menanyakan alasan mengapa ingin bunuh diri. Mereka mengaku sudah tidak tahan lagi menahan rindu untuk bertemu dengan istri dan anak di Jawa yang telah mereka tinggalkan selama bertahun-tahun. Mereka merasa putus asa tidak ada harapan untuk berkumpul dengan keluarga. “Lebih baik kami mati di sini, sekarang ini,” tegas mereka, seperti dituturkan sang imam itu.
Mendengar permintaan kelima orang ini, sang imam diam sejenak. “Saya tidak bisa melarang dan tidak bisa juga mengizinkan. Saya minta mereka kembali ke barak saja,” aku sang imam. Lima orang itu pun pergi meninggalkan pastoran.
Malam itu hujan sangat deras. Semua tapol di camp itu berada di dalam rumah. Hujan deras menyebabkan sungai yang melintas di tepi camp tahanan para tapol meluap. Pagi hari hujan pun reda. Semua tapol seperti hari-hari biasanya, hadir apel pagi di lapangan. Komandan jaga mengecek satu persatu para tahanan. Namun lima orang yang bertemu sang imam pada malam itu tidak ada di apel pagi. Tak seorang pun tahu keberadaan lima orang itu. Sang imam juga tidak tahu dimana mereka semua berada.
Komandan memerintahkan semua tahanan untuk mencari mereka. Dan, menurut sang imam, setelah agak siang, dan air banjir surut, pencari menemukan lima orang itu tersangkut di pohon besar di tepi sungai. Berlima saling berpelukan, tiada lagi bernyawa. Mereka mengakhiri hidup bersama-sama dengan menghanyutkan diri di sungai yang tengah banjir bandang.
Sebulan dari peristiwa bunuh diri lima sekawan itu, Pangkopkamtib Sudomo mengumumkan, bahwa pemerintah akan memulangkan para tapol di Pulau Buru kembali ke tempat asal masing-masing. Kabar baik bagi para tapol di Pulau Buru, namun lima orang itu tak lagi dapat mendengar kabar baik ini. Kabar baik dari pemerintah itu tak lagi bermakna bagi lima sekawan yang telah berada di dalam kubur ini.
Perbaiki nasib
Bapakku mengirim wesel pada setiap awal bulan. Ditujukan ke alamat sekolah kakakku, atau sekolahku. Lalu aku mengambil uangnya di kantor pos. Kiriman bapak belum cukup untuk biaya hidup kami sekeluarga. Namun Ibu dan anak-anak tidak berpangku tangan. Kami berjualan kue apem, kue untir-untir, dan kacang telor.
Semangat untuk memperbaiki nasib dan meningkatkan kualitas hidup juga kami perjuangkan lewat pendidikan. Kami harus pintar. Kalau tidak pintar, kami tidak akan diterima di sekolah negeri yang murah biayanya. Dan untuk pintar hanya satu caranya: rajin belajar. Tanpa disuruh orang tua, aku dan saudara-saudaraku bertekun diri. Dan, hampir tiada malam terlewat tanpa belajar.
Kalau kami tidak tekun, ulet dan rajin serta berupaya keras menggapai cita-cita, kami hanya akan jadi orang-orang kalah dan gampang menyerah pada tekanan dunia. Anak-anak seperti kami, yang lahir dari orangtua dengan cap eks tapol di KTP pada umumnya mengalami tekanan di masyarakat. Entah berupa cibiran, cercaan, kecurigaan, pengucilan, dan perlakuan diskriminatif lainnya.
Kami pun menyandang stigma itu. Misalnya, tak satupun dari keluarga ku diterima sebagai pegawai negeri. Walaupun kami pernah mencoba dengan mendaftar dan mengikuti tes, tak ada yang lolos tes ideologi. Aku sendiri pada tahun 1993 ikut tes pegawai negeri di kementrian pusat. Dari 50 peserta tes tertulis, aku termasuk lima orang yang lolos. Lumayan Lah, agak pintar. Ya, akhirnya gagal di seleksi terakhir.
Demikianlah, sedikit kisah nasib keluarga terdampak peristiwa politik tahun 1965. Banyak keluarga goyah kehilangan sosok ayah yang menjadi penopang hidup keluarga. Kami mengalami dan merasakan pahit getir perjalanan hidup yang muntir-muntir seperti kue untir-untir. Petir yang menggelegar di langit Indonesia pada tahun 1965, itu, benar adanya, telah mengoyak sendi-sendi kehidupan jutaan keluarga di negeri tercinta.
Kreator : Breska
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Kue Untir-untir dan Pahit Getir Perjalanan Hidup Keluargaku
Sorry, comment are closed for this post.