Berjuang sendiri itu lelah apalagi harus hidup bersama orang dengan kecenderungan menderita narsistik disorder. Dia penyebab semua kepahitan ini, namun ku yakin ini hanyalah perantara atas takdirku semata. Meskipun di awal kutaruh harapan besar atas hubungan ini, namun pada akhirnya harus kuterima takdir bahwa kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan harapanku.
Setelah beberapa bulan kepergianku meninggalkannya, ada yang menghubungi melalui gawaiku. Lagi-lagi seorang wanita yang mengaku akan dinikahinya. Aku pun refleks menjawab,
“Apakah kamu mau bertanggung jawab atas hutang-hutangnya?”
Wanita itu menjelaskan bukan untuk bertanggung jawab atas kebingungan dia dan rasa penasaran dia. Setelah panjang lebar ku jelaskan siapa dia sebenarnya dan saranku untuk wanita itu agar segera pulang ke rumahnya. Namun, saran itu ditepisnya sampai wanita itu melihat sendiri kenyataannya bahwa dia lelaki yang dicintai tidak seindah ucapannya di awal perkenalan.
Sedihku kurasakan sendiri. Sakit kunikmati sendiri. Mati-matian aku menyembuhkan luka dan tanggungan hutang karena ulah lelaki itu. Entah bagaimana sampai wanita itu bisa mendapatkan nomorku. Berharap ada sedikit empati dari lelaki itu yang kudapat, malah memberikan sayatan baru. Sebegitu mudahnya berpaling untuk sekedar bisa bersandar hidup setelah tidak bisa lagi menyadarkan hidupnya padaku.
Sayatan-sayatan luka baru terus saja kuterima. Entah pakai bahasa apalagi untuk menjelaskan ke orang yang dengan kecenderungan mempunyai gangguan mental ini. Ingin kuteriakan di telinganya jika aku masih terseok-seok untuk bangkit. Membalut luka-lukaku sendiri.
“Please!!! Jauhi aku!” teriakku dalam hati.
Tak habis pikir ia masih bisa menyalahkanku atas kepergianku. Padahal aku sudah mati-matian bertahan dan berjuang sebelum akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Sudah kuperingatkan jangan membuatku untuk sampai di titik yang aku sudah tidak bisa bertahan lagi. Namun, peringatanku seakan angin lalu, seakan suara nyamuk yang mengganggu tidurnya saja.
Ucapan maaf, ucapan kangen dan ucapan kesiapan untung memancing komunikasi terbuka kembali. Namun sayangnya, hanya kamuflase saja yang pada akhirnya hanya minta uang untuk menyambung hidup. Dalih kesehatan, harus dirawat, kekurangan darah dan menahan sakit untuk minta pertolongan. Padahal, beberapa waktu sebelumnya dia mengajakku untuk bertemu dan memberikan sedikit bantuan untuk meringankan bebanku, menyelesaikan hutang-hutangku akibat ulahnya itu.
Aku sudah pergi dan menjauh. Tak akan ku tengok kembali bayangan tubuhku. Apa yang sudah dijauhkan Tuhan tak akan aku dekati. Tidak ada rasa kasihanku lagi untuknya. Dia yang menyakitiku, dia yang harus merasakan sakitnya sendiri bukan tanggung jawabku untuk menjadi peri penolongnya lagi. Cukup sakit hati dan rasa kecewa ini yang termat sangat.
Sudah sesakit itu aku atas ulahnya. Andaikan takdir Tuhan membawa dia menjadi pribadi yang baik dan sukses, tak akan tergiur aku untuk kembali padanya. Sudah sejijik itu pandanganku padanya. Orang yang dulu saat bersama memandangku lebih rendah dan menganggap dirinya yang paling berkelas nyatanya dialah sampah yang sesungguhnya.
Sudah tidak pernah lagi aku berdoa untuknya agar Tuhan masih memberikan takdir yang baik. Semakin aku berdoa semakin dia memberikan sayatan-sayatan luka baru. Aku pun bingung, entah hanya sekedar tidak ingin mendoakan seseorang yang sudah menyakitiku ataukah masih ada sisa cinta sebenarnya di dalam hatiku ini. Yang pasti aku sudah di titik sudah tidak peduli dan ingin terus fokus dengan kesehatan mental dan melawan ketidakstabilan ekonomi yang aku alami akibat ulahnya.
Cukuplah sudah baktiku untukmu dulu. Menikmati masa-masa indah walau hanya sesaat yang akhirnya menjadi pengalaman terkelam hidup dengan seseorang. Jaga diri baik-baik di luar sana. Jadilah hambaNya yang baik. Semoga ada jalan untukmu untuk bangkit sendiri. Seperti aku yang harus bangkit sendiri. Biarlah semua kenangan kusimpan di ruang hati yang dalam. Tidak pernah kusesali pernikahan ini namun yang aku sesali menikah dengan orang yang salah. Orang yang kuharap menjadi pelindungku malah menjadi orang yang sangat tega menghancurkanku.
Kusimpan setiap bagian yang pernah kita lalui dulu. Tidak ada yang bisa menghapus apa yang sudah terjadi. Biarlah kita menjalani sisa cerita takdir kita masing-masing yang entah bagaimana, kapan dan dimana semua akan berakhir. Akan kusimpan namamu selalu di ujung dukaku. Selamat tinggal masa lalu akan ku songsong masa depanku. Kamu tak perlu lagi mencariku. Tak perlu lagi menjadi pahlawan kesiangan dan tak perlu lagi berusaha untuk bertanggung jawab cukup berdirilah sendiri dengan kakimu sendiri. Aku sudah mengikhlaskan semuanya. Semuanya sudah berakhir.
Kreator : Utari Ningsih
Comment Closed: Kusimpan namamu di ujung duka
Sorry, comment are closed for this post.