KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Langit dan Ceritanya (Chapter 1)

    Langit dan Ceritanya (Chapter 1)

    BY 09 Agu 2025 Dilihat: 6 kali
    Langit dan Ceritanya_alineaku

    Senyuman di Ujung Waktu

    Di kedalaman hutan yang hijau temaram, kabut putih membalut pepohonan bak awan yang turun menyentuh bumi. Secercah cahaya menembus lurus, menyelinap di antara celah dedaunan yang masih basah oleh tetes-tetes gutasi pagi menyentuh bumi seperti salam dari langit yang jauh. Kicauan burung bersahutan, berpadu dengan riak lembut sungai yang sesekali menyentuh bibir daratan mengalun menuju sebuah gubuk kecil, tempat asap tipis mengepul dari atapnya.

    Aroma biji-bijian yang kemarin telah digiling menjadi serbuk hitam menguar hangat, disiram air mendidih yang menguapkan semerbak menggoda. Hidung terbangunkan, mata pun tak mampu lagi terpejam seakan raga memohon agar secangkir hangat segera menyentuh bibir dan mengusir dingin yang menggigit tulang.

    Di sana, seseorang tengah meniup tungku, sesekali menghangatkan kedua tangannya di atas perapian. Senyumnya menyapa, lembut namun penuh cerita; garis-garis di wajahnya menjadi buku hidup yang tak butuh kata-kata. Di balik senyum itu, gurat-gurat wajahnya semakin tegas, bercerita tentang waktu yang diam-diam menua.

    Jika ada satu momen yang pantas ku tulis dalam lembar kenangan hidupku, maka inilah saat itu, ketika dunia menjadi sunyi, dan alam berdiri di sisiku. Tak ada kebisingan, hanya bisikan angin di antara dedaunan, pohon-pohon yang diam namun setia, rumput, tanah, dan aliran air yang seolah mengangguk pada setiap harapanku. Mereka tak pernah membantah, mereka tak pernah menghakimi. Mereka mendengarkan tanpa syarat, menerima semua keluh, semua tangis, semua rapuhku. Di sanalah aku merasa bebas mencurahkan isi hati, tanpa takut tertawa dianggap bodoh, tanpa takut menangis dianggap lemah. Sebab hidup dalam tubuh penuh keraguan, adalah kisah yang selalu menyertaiku. Pikiran ini dipenuhi tanya yang menyesakkan, “Bagaimana jika semua yang kutakutkan menjadi nyata?” 

    Aku pengecut yang gemar bersembunyi di balik bayang, melangkah ragu, dan terlalu sering ingin pergi bahkan sebelum badai benar-benar datang. Namun di momen sunyi itu, aku merasa diterima, meski tak sempurna. Dan barangkali, itu adalah keberanian kecil yang lahir dari luka.

    Pagi ini, senyuman itu menyapa seperti matahari yang baru terbit lembut, hangat, dan menenangkan. Ada ketenangan yang sulit kujelaskan, seolah semesta berhenti sejenak hanya untuk memberiku ruang bernapas. Di tempat ini, aku bukan siapa-siapa, namun pagi memperlakukanku seperti putri di negeri dongeng. Tak ada beban, tak ada suara sumbang. Yang ada hanya angin lembut, cahaya yang menari pelan, dan rasa syukur yang perlahan tumbuh. Segalanya terasa begitu personal, begitu tentang aku. Seakan dunia menyingkirkan segala riuhnya, dan menjadikanku satu-satunya alasan pagi ini tercipta.

    Kusesap perlahan secangkir kopi di hadapanku hangatnya menjalari jemari, aromanya menyusup masuk ke ingatanku, membangunkan rindu-rindu yang telah lama tertidur. Lalu kuambil sepotong singkong rebus yang masih mengepulkan asap. Hangatnya terasa di kulit, dan seperti ada rasa sederhana yang menenangkan. Tanganku bergantian mengangkat singkong itu ke udara, mengayunkan perlahan, membiarkan angin pagi menyapa dan mendinginkan panas yang tersisa. Angin tak hanya menyentuh makanan di tanganku, tapi juga menelusup ke dalam hatiku yang mulai merekah tenang. Tidak ada yang istimewa bagi dunia, mungkin, namun bagiku, inilah salah satu pagi paling indah yang pernah kupunya pagi yang tak menuntut apa-apa, hanya membiarkanku ada, menjadi, dan merasa cukup.

    Sesi sarapan telah usai. Kini saatnya aku, Nenek, dan Kai (begitu aku memanggil Kakek) bersiap berkeliling kebun untuk memanen buah. Ada semangat yang berbeda setiap kali kami memulai perjalanan ini. Hatiku berdebar penuh antusias, karena hari ini adalah waktunya berburu durian. Meski aku tahu ada risiko pohon-pohon durian menjulang tinggi, dan setiap buah yang jatuh tanpa aba-aba bisa menjadi bahaya tetapi rasa penasaran jauh lebih kuat dari rasa takutku. Membayangkan durian besar jatuh tepat di atas kepala saja sudah cukup membuatku merinding, tapi tetap saja aku melangkah dengan semangat.

    Aku ingin menikmati durian hasil temuanku sendiri—buah dari perburuan kecil di kebun keluarga. Dalam langkah-langkah ringan di antara semak dan pepohonan, aku bersenandung dalam hati. Rasanya seperti menjadi seorang petualang sejati, menjelajahi hutan liar dengan keberanian yang meletup-letup. Entah dari mana datangnya keberanian itu, tapi pagi ini aku penuh percaya diri. Setiap daun kering yang kuinjak mengeluarkan suara renyah, seolah menjadi musik latar dalam film petualanganku sendiri, sebuah kisah imajinatif, dimana akulah tokoh utamanya.

    Kami menyusuri jalan setapak yang dibentuk oleh langkah-langkah bertahun-tahun. Rumput basah masih menyimpan sisa embun pagi, dan sinar matahari mulai menembus celah dedaunan, menari-nari di tanah yang becek tapi ramah. Kai berjalan di depan, tongkat kayunya sesekali mengetuk tanah, seolah berdialog dengan alam. Nenek di sampingku, membawa keranjang rotan yang akan segera dipenuhi hasil panen. Aku di belakang mereka, tapi hatiku justru paling duluan sampai di pohon durian.

    Tak lama, aroma khas itu tercium—tajam dan menggoda. Aku menghentikan langkah, memicingkan mata. Di bawah salah satu pohon besar, sebuah durian tergeletak anggun, seakan menantiku menemukannya. Aku tersenyum bangga, seolah baru saja menemukan harta karun. Keranjang pertama kami mulai terisi. Langkah demi langkah, kami menyusuri kebun lebih jauh, sambil terus menajamkan pendengaran—mencari denting khas durian yang jatuh, seperti nada ajaib yang hanya dimengerti oleh para pecinta buah ini. Sesekali kami berhenti, menyesap udara segar, atau sekadar mendengar suara burung yang memanggil dari kejauhan. 

    Hari ini, hatiku penuh puas dan bahagia. Durian-durian yang kami temukan sudah siap dibawa pulang ke kampung untuk dijual. Sebuah keberhasilan kecil yang terasa manis, seperti daging durian yang ku larutkan dalam mulut. Aku menghabiskan tiga buah sendiri, dan tiap gigitannya seperti hadiah dari alam—lembut, manis, dan begitu bersahaja.

    Jika malam kemarin aku tak sabar menunggu pagi, maka malam ini aku justru tak rela senja pergi begitu cepat. Aku ingin waktu berhenti, aku ingin akhir pekan ini berlama-lama di sini, di tempat yang tak menuntutku untuk menjadi siapa-siapa. Tapi waktu tetap melangkah, tak bisa diajak berdamai. Langit mulai menggelap, dan suara hutan pelan-pelan kembali pada keheningannya. Ah, kenapa pagi begitu cepat beranjak?

    Keesokan harinya, sebuah perahu kayu sederhana telah siap. Di dalamnya, buah-buah durian tersusun penuh, berlayar menuju pasar, didayung perlahan oleh tangan Kai yang renta namun tangguh. Air sungai berkilau, memantulkan cahaya pagi yang hangat, sementara dari kejauhan, gubuk kecil itu mulai tampak mengecil seperti pelan-pelan menghilang dari pelupuk mata. Dan entah mengapa, hatiku terasa berat. Ada bagian dari diriku yang tertinggal di sana, pada asap dapur yang mengepul, pada canda Nenek, pada suara durian yang jatuh, dan pada cerita-cerita Kai yang tak selesai. Rasanya aku ingin tetap tinggal… meski hanya semalam lagi. Ingin rasanya aku kembali—bukan sekadar singgah, tapi benar-benar kembali menjadi anak kecil yang berlari di kebun basah oleh embun, menyusuri jejak kaki sendiri di tanah yang lembut, menunggu durian jatuh sambil tertawa bersama Nenek, mendengar petuah-petuah tua dari Kai yang tak pernah membosankan. Namun hari ini, aku tak lagi di sana. Bukan di bawah langit biru itu, bukan di antara pohon durian dan aroma kopi pagi.

    Aku berada di sudut sebuah ruangan yang sempit, gelap, dan terlalu sunyi untuk diisi oleh kenangan yang begitu ramai. Aku duduk di kursi tua, menatap jendela yang tak lagi mengarah ke kebun masa kecilku, tapi hanya menampilkan bayangan diriku sendiri lelah, menua, dan penuh rindu.

    Aku berada di antara pilihan yang tak mudah, dan kesenjangan yang tak kutahu kapan bisa ku jembatani. Tapi aku masih mencoba. Aku masih berusaha menyalakan cahaya kecil di dalam kegelapan ini, berharap secercah dari masa lalu bisa menyusup kembali, meski hanya sekelebat.

    Setiap malam, sebelum tidur, aku mencoba mengingat. Mencari potongan percakapan yang dulu terasa begitu hangat, tentang durian, tentang hutan, tentang tawa. Namun tak bisa lagi kurasakan kesejukannya. Kedamaiannya telah direbut waktu. Bahkan ingatan yang kupeluk erat, kini ingin dirampas perlahan-lahan. Tersisa hanya bayangan dan kerinduan, kerinduan yang diam-diam berubah menjadi sesak, menyelinap di dada saat malam semakin senyap. Betapa aku merindukan diriku yang dulu. Anak kecil yang tidak tahu banyak, tapi begitu tahu caranya bahagia. Yang tidak memiliki apa-apa, tapi merasa memiliki segalanya.

    Kini, waktu telah berjalan jauh, dan aku tertinggal di belakang—berharap bisa mengejarnya, atau sekadar menoleh dan melihat masa lalu tersenyum padaku sekali lagi. Dan, jika aku boleh meminta, aku ingin hanya satu hal: malam yang lain… di gubuk kecil itu. 

    “Langit menjadi saksi, kenangan sederhana di gubuk sunyi itu kini menjadi harta abadi yang hanya bisa disentuh oleh rindu.”

    Kai membuka durian sambil mengamati langit yang mulai jingga. “Kamu tahu tidak, Nak? Hidup itu kayak durian.”

    Aku mengangkat alis, bingung. “Bentuknya berduri, Kai?”

    Kai tertawa pelan, lalu menunjuk durian yang terbuka. “Luar biasa tajam di luar, tapi kalau sabar buka, isinya lembut dan manis. Hidup juga begitu—penuh rintangan di awal, tapi kalau kamu tahan luka-luka kecil, nanti kamu akan tahu rasanya bahagia.”

    Nenek menimpali sambil mengelus rambutku. “Tapi ingat, durian juga bikin panas kalau kebanyakan. Sama kayak hidup—kalau serakah, nanti kamu malah sakit sendiri.”

    Aku mengangguk, pura-pura paham, lalu bertanya, “Jadi, aku harus makan cukup saja?”

    Kai tersenyum penuh makna. “Iya. Jangan ambil semua bagian enak. Sisakan juga buat orang lain. Soalnya, kalau kamu makan semua, yang terakhir bukan durian, tapi penyesalan.”

    Kai mendayung pelan, suara air menyatu dengan senyap senja. Aku memandangi tumpukan durian yang kami bawa.

    Kai berujar, pelan, seperti bicara pada dirinya sendiri, “Dulu Kai juga pernah kayak kamu… suka durian, suka tertawa, suka lari-lari di kebun. Tapi lama-lama, buah itu tidak cuma enak… dia jadi pengingat. Kalau hidup itu ada waktunya matang, ada waktunya jatuh, dan ada juga saat-saat harus diterima meski sudah retak.”

    Aku menatapnya dalam diam. Kali ini, aku tak bertanya. Aku hanya mencatat kata-kata itu diam-diam, seperti menyimpan biji durian di saku, entah akan tumbuh kapan, tapi pasti akan kuingat.

     

     

    Kreator : Endang Radiana

    Bagikan ke

    Comment Closed: Langit dan Ceritanya (Chapter 1)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021