Langit masih tampak merah. Angin berhembus semilir membawa dingin angin yang menusuk tulang dan sendi. Matahari masih tampak malu untuk menunjukkan wajahnya. Dia bersembunyi di balik pelukan awan yang tebal. Suara kicauan burung bersautan dengan kokok ayam yang meriuhkan pagi yang tampak cerah. Hawa kota Surabaya kali ini sangat dingin. Masih terdapat beberapa genangan air di ruas jalan yang berlubang, akibat hujan semalam. Semalam telah turun hujan yang sangat deras dan baru berhenti sekitar pukul 3 pagi tadi. Hujan tersebut semakin menambah dingin suasana pagi ini.
Waktu telah menunjukan pukul empat pagi. Jalanan masih tampak lenggang. Beberapa tukang becak tidur meringkuk di atas becaknya dengan berbalut sarung menahan dinginnya kota. Di pinggir jalan tampak pula beberapa gelandangan yang masih tidur dengan nikmatnya di depan sebuah toko yang belum buka dan terlihat kusam. Dia meringkuk dengan tangan memeluk lututnya erat-erat sekadar untuk menahan rasa dingin yang menusuk pergelangan sendinya. Tampak pula 2 orang menghiasi jalan tersebut. Mereka tampak tergesa-gesa. Satu diantaranya mengendarai becak sedangkan lainnya duduk di becak tersebut dengan barang belanjaan yang sangat banyak, mungkin dapat untuk memenuhi kebutuhan 1 kompi pasukan tempur di medan perang. Rupanya mereka selesai kulakan untuk di bawah ke rumah.
Suasana tersebut tampak pula di dalam area Kampung Budaya Surabaya. Beberapa orang mungkin masih terbuai dalam mimpi mereka. Biasanya pukul empat pagi mereka sudah disibukkan dengan aktivitas masing-masing, terutama ibu rumah tangga yang menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya. Namun dinginnya suasana pagi ini sepertinya membuat mereka lebih senang berada di tempat tidur.
Di salah satu pojok bangunan di Kampung Budaya Surabaya, tampak sesosok tubuh tidur meringkuk di atas amben di depan Gedung Amarta berusaha menghalau rasa dingin. Tubuhnya yang tidak terlalu kurus namun masih tegap, kumis melintang di atas bibirnya yang hitam karena rokok dan suaranya yang keras membuat orang akan terkencing-kencing apabila berhadapan dengannya. Itulah sosok Pak Sunarto, sang penjaga keamanan sekaligus penjaga kebudayaan di Surabaya. Beliau sebenarnya adalah seorang pemain ketoprak dan wayang orang yang sekarang mulai jarang ditampilkan di Surabaya.
Tak lama kemudian, beliau menggeliatkan tubuhnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, beliau masuk kedalam rumahnya yang berada di sebelah Gedung Amarta. Ruang tersebuat sebenarnya tidaklah layak disebut sebagai rumah namun hanyalah sebuah ruang yang disulap menjadi dua buah kamar. Di belakang Gedung Amarta juga terdapat lahan yang di petak-petak dengan menggunakan dinding separuh tembok serta kayu. Ruang tersebut berfungsi sebagai rumah yang didiami oleh para senimam Ketoprak, Wayang Orang ataupun Ludruk beserta keluarganya.
Beliau keluar dan menuju ke sebuah kursi yang terletak di depan gedung. Di sana juga terdapat sebuah meja bundar. Tempat yang biasa dijadikan nongkrong sambil ngobrol oleh orang-orang di dalam Kampung Budaya, seniman luar, mahasiswa ataupun masyarakat sekitar. Terkadang tampak juga tokoh masyarakat, tokoh politik ataupun aktivis kesenian yang berkunjung ke Kampung Budaya dan menggunakan meja tersebut sebagai tempat untuk berdiskusi. Mereka biasanya membicarakan tentang kondisi politik dan permasalahan sehari-hari, namun yang sering dibahas adalah masalah kebudayaan. Pak Sunarto membawa secangkir kopi hitam dan sebungkus rokok. Beliau tampak baru saja selesai mandi, terlihat dari rambut dan badannya yang masih agak basah. Beliau meminum sedikit kopi tersebut dan menyalakan rokok serta menghisap aromanya dalam-dalam. Pikirannya yang tampak kosong dan pandangannya menerawang langit, menandakan ada sesuatu yang berat sedang dipikirkannya.
Tak lama kemudian, datang seorang wanita yang agak tua keluar dari rumah tersebut. Wanita itu menuju ke arah Pak Sunarto, dia mengambil kursi dan duduk disebelahnya.
“ Bapak sudah mandi “, tanyanya. Dia adalah Sulastri istri dari Pak Sunarto. Beliau dulunya adalah seniman tari. Namun saat ini beliau lebih memilih menjadi ibu rumah tangga.
“ Sudah baru saja “, jawab Pak Sunarto, dengan kembali menghisap rokoknya.
“ Bapak sudah sarapan belum ? “. tanya Bu Lastri
“ Belum, nanti saja aku makan. Wahyu sudah bangun ? “. tanya Pak Sunarto.
“ Sudah pak, anaknya sedang mandi “, jawab Bu Lastri.
Wahyu adalah anak angkat Pak Sunarto dan Ibu Sulastri. Ayah ibunya sendiri sudah meninggal dunia. Mereka masih saudara dari Pak Sunarto.
“ Bapak jadi pergi ke Malaysia ? “, tanya Bu Lastri
Yang di tanya hanya terdiam. Sebentar beliau menunduk kemudian mendongakkan kepala, seakan-akan memohon bantuan langit untuk memberi jawaban. Beliau menarik nafas dengan berat kemudian melepaskannya.
“ Iya bu “, jawab Pak Sunarto singkat
“ Kapan rencananya bapak berangkat ? “. tanya Bu Lastri
“ Lusa“, jawab Pak Sunarto
“ Bapak ingin ibu bisa ikut kesana. Wahyu bisa tinggal di rumah Rahayu. Kita bisa pulang setahun sekali untuk menengok Wahyu “, tukas Pak Sunarto lagi, sambil sedikit meminum kopinya.
“ Apakah sudah bapak pikirkan masak-masak untuk pindah ke Malaysia , tolong pikirkan lagi pak “, pinta Bu Lastri dengan agak memelas.
“ hem, sudah bu “, jawab Pak Sunarto.
“ Lalu, bagaimana dengan Sanggar Pelangi pak ? “ tanya Bu Lastri
Sanggar Pelangi adalah sanggar yang didirikan oleh Pak Sunarto dan sang kakak Sumitro. Selama ini yang mengelola sanggar itu Pak Sunarto, istrinya Bu Lastri dan anaknya Rahayu. Hal ini dikarenakan Pak Sumitro sudah tua, terkadang sakit-sakitan, dan tempat tinggal yang jauh yaitu di daerah Waru, perbatasan antara Surabaya dan Sidoarjo. Namun sesekali beliau masih sering datang ke sanggar tersebut, sekadar untuk melepas kangen dengan keluarga adiknya dan teman-teman seniman yang masih aktif di sana atau sekadar menggali kembali kenangan lama saat dulu bersama teman-temannya melakukan aktivitas kesenian disana. Saat ini yang membantu Pak Sunarto hanya Bu Sulastri dan Rahayu. Rahayu adalah anak Pak Sunarto dan Bu Sulastri. Dia juga seniman tari. Dia pernah memenangkan juara tari tradisional tingkat Provinsi dan Nasional.
Perbincangan mereka sempat terhenti karena Wahyu berpamitan. Dia akan berangkat sekolah. Setelah Wahyu tidak ada lagi, pembicaraan mereka berlanjut.
“ Biar Rahayu dan Bram, suaminya yang mengurus “, jawab Pak Sunarto.
“ Tapi pak mereka kan punya kesibukan sendiri. Rahayu mengajar di SMA, malamnya dia buka les-lesan, sedangkan Bram sering kena shift jaga malam di kantornya. Masuknya juga setiap hari. Kasihan kalau Rahayu harus mengelola sanggar sendirian “, tukas Bu Lastri.
“ Sanggar dan Kampung Budaya ini adalah hasil jerih payah bapak dan kang Sumitro. Disini tempat berkumpulnya para seniman Surabaya. Bapak dan kang Sumitro berhasil mengumpulkan mereka di tempat ini, bahkan sampeyan berdua berhasil membuat petak-petak untuk tempat tinggal mereka. Sampeyan sekarang juga telah dipercaya pemerintah kota untuk mengelola Kampung Budaya ini. Apa yang terjadi kepada mereka, seandainya sampeyan pergi dari sini, siapa yang akan mengurus mereka dan budaya di Surabaya yang saat ini sedang dalam kondisi kembang kempis “, kata Bu Lastri menjelaskan dengan panjang dan lebar.
“ Aku tahu itu bu, tapi keputusanku sudah bulat “, jawab Pak Sunarto.
“ Hem “, Bu Lastri hanya bisa menghela nafas panjang.
Beliau tahu watak suaminya , kalau sudah mengambil keputusan tidak akan yang dapat mengubahnya, tak terkecuali Sumitro, saudara tuanya yang sangat disayanginya. Mereka berbeda 15 tahun. Sebenarnya ada lagi saudara mereka, merupakan kakak dari Sunarto dan adik dari Sumitro namanya Suroso, namun dia meninggal ketika dalam proses kelahiran.
Tidak berapa lama dari arah pintu masuk Kampung Budaya, tampak seorang lelaki tua mengenakan baju jawa kuno dan kepalanya ditutupi blankon. Beliau mengendarai sepeda kuno. Setelah memarkirkan sepedanya di dekat Gedung Amarta, beliau pun berjalan ke arah Pak Sunarto dan istrinya. Setelah sampai dihadapan suami istri tersebut, beliau pun berhenti. Kedua suami istri tersebut berdiri dan mencium tangan beliau secara bergantian. Ternyata orang itu adalah Pak Sumitro, kakak kandung dari Pak Sunarto. Beliau merupakan orang yang multitalenta dalam kebudayaan Jawa. Pak Sumitro adalah seorang dalang, namun sebelum itu, dia adalah seorang pemain Wayang Orang, Ketoprak dan Ludruk. Namun itu dulu ketika masih muda, namun sekarang aktivitas beliau lebih sering di rumah menghabiskan waktu bersama dengan cucunya.
Pak Sumitro duduk di kursi yang berhadapan dengan Sunarto. Bu Lastripun berdiri dan meninggalkan mereka berdua setelah mohon ijin. Beliau membuatkan minuman untuk Pak Sumitro. Tak beberapa lama Bu Lastri muncul dengan secangkir kopi dan gorengan di atas piring yang tampak masih hangat, kelihatan dari asap yang masih mengepul.
“ Mari kang, diminum. Maaf kang saya tinggal ke belakang dulu“, tukas Bu Lastri.
Tak berapa lama Pak Sumitropun meminum kopi yang disediakan untuknya dan mencomot sebuah pisang goreng yang masih hangat.
“ Bagaimana kabar keluargamu, di ? “, tanya Pak Sumitro.
“ Baik kang,berkat doa sampeyan. Kabar keluarga di Waru bagaimana kang ?“, tany Pak Sunarto.
“ Baik juga “, tukas Pak Sumitro.
“ Sampeyan dari mana kang ? “, tanya Pak Sunarto
“ Dari rumah, di “, jawab Pak Sumitro
Pak Sumitro mengedarkan pandanganya ke sekeliling, sambil sesekali memicingkan matanya, karena perlahan matahari mulai merayap naik. Sesaat dia memandang joglo yang kayu penyangganya mulai tampak rapuh. Setelah itu kembali dia menatap wajah adiknya .
“ Tempat ini masih tetap seperti dulu, saat pertama kali kamu dan aku tampil di tempat ini, saat kita sering bolos sekolah bersama. Saat kita mengelola tempat ini. Semua tetap sama dan tak ada yang berbeda “, tukas Pak Sumitro sambil menyulut rokoknya.
“ Aku mencoba menjaga kelestarian dan keorisinilan tempat ini kang. Seperti saat kita bersama dengan kang Rebo, kang Mamat dan kang Mulyono pertama kali beraktivitas kesenian di tempat ini“ jawab Pak Sunarto.
“ Bagaimana dengan pemerintah kota, apakah masih seperti dulu ? “, tanya Pak Sumitro
“ Apa yang bisa diharapkan dari mereka kang ?. Aku sudah bosan dengan janji-janji dari pemerintah. Pemerintah lebih sibuk membangun taman, pusat perbelanjaan ataupun sarana olah raga, daripada memperdulikan kami komunitas kebudayaan yang memang tidak ada uangnya. Belum lagi betapa rumitnya perizinan apabila kami ingin mengadakan kegiatan, padahal tidak pernah ada dukungan dana dari pemerintah setiap kami mengadakan kegiatan. Kami seperti hidup sendiri kang.“, jawab Pak Sunarto.
“ Apakah itu yang menjadi alasanmu di, sehingga kamu nekat ingin berangkat ke Malaysia dan meninggalkan semua yang telah kita perjuangkan bersama ?“, tanya Pak Sumitro sambil menatap mata adiknya dengan tajam.
Sejenak Pak Sunarto terdiam. Beliau menghembuskan asap rokok, lalu beliau memandang wajah kakangnya, sambil tersenyum.
“ Apakah kakang percaya aku meninggalkan semua ini cuma karena uang ? “, Pak Sunarto balik bertanya.
“ Lalu apa yang menyebabkan kamu meninggalkan tempat ini? Ingatlah di, Rebo, Mamat dan Mulyono sudah meninggal dunia. Tinggal kamu dan aku yang masih berada di sini. Ingat pula wasiat mereka sebelum meninggal, mereka ingin kita merawat tempat ini, dalam kondisi apapun “, Pak Sumitro bermaksud mengingatkan adiknya.
“ Aku ingat itu kang, namun semua telah berubah. Jaman juga mulai berganti. Pemerintah dari dulu sampai sekarang tidak pernah mengubah pemikiran mereka. Mereka menganggap kebudayaan ini tidak ada artinya. Walikota hanya datang sekali ketika akan diadakannya Pemilu, beliau membutuhkan suara teman-teman pelaku seni untuk mendukungnya, namun setelah menjadi walikota, beliau lupa dengan janjinya terhadap kami “, jawab Pak Sunarto dengan wajah agak jengkel.
“ Bukankah dari dulu memang kejadian seperti ini sering terjadi, kenapa kamu menjadi putus asa dan menyerah seperti ini. Apakah idealisanmu perlahan sudah mulai hilang seiring dengan berjalannya waktu dan menuanya dirimu ?, “, tukas Pak Sumitro.
Mereka berdua terdiam terdiam sejenak, semua sedang asyik dalam pikiran masing-masing. Tampak Pak Sumitro sedikit mengernyitkan alisnya.
“ Ataukah peristiwa yang dulu itu, yang membuat kamu hendak meninggalkan tempat ini “ ujar Pak Sumitro.
Sejenak Pak Sunarto berhenti dari aktifitas merokoknya. Beliau menarik nafas yang berat. Matanya mendadak tampak berubah menjadi merah, seakan-akan beliau tak mampu menahan perasaan yang ada di dadanya. Tampak kekecewaan yang luar biasa dari wajahnya.
“ Menyakitkan kang. Memalukan !. Mereka manusia-manusia tak bermoral !“, ujar Pak Sunarto dengan setengah berteriak.
Pak Sumitro terdiam. Berbantah-bantahan dengan adiknya dalam kondisi seperti ini percuma, tidak akan membawa hasil apa-apa. Saat ini kondisi adiknya sedang tidak stabil. Adiknya telah berada di puncak kemarahan.
“ Apa yang ada dipikiran mereka, sehingga mereka ingin menghancurkan bangunan-bangunan yang ada disini dan merubahnya menjadi pusat perbelanjaan ? Bukankah kami selama ini telah berjuang untuk kebudayaan ? Bukankah justru pemerintah yang selama ini tidak pernah memberikan perhatiannya kepada kami dan melupakan kami? Justru aku dikeluarkan dari tempatku bekerja karena aku dianggap tidak mendukung program pembangunan“, ujar Pak Sunarto.
Wajah Pak Sunarto terlihat tegang, matanya tampak semakin memerah dan tangan dikepalkan. Seakan-akan ada perasaan marah yang begitu besar mencoba untuk ditahan.
“ Mereka tidak menyadari betapa pentingnya kebudayaan ini bagi masyarakat terutama generasi muda. Bangsa ini akan hancur seandainya kebudayaan mulai menghilang. Budaya pula yang mengajarkan banyak hal baik tentang budi pekerti ataupun kehidupan dalam bermasyarakat. Bahwa budaya bukan saja tontonan tapi juga tuntunan. Budaya lebih penting diatas segala-galanya.“ jelas Pak Sunarto dengan gamblangnya.
“ Aku tahu itu di. Aku juga marah, aku juga tidak setuju dengan rencana penggusuran itu. Sabarlah dulu di. Anakku, Wiryo sedang menggerakkan komunitasnya untuk melakukan demonstrasi menolak penggusuran yang akan dilakukan pemerintah. Masalah ini akan segera ditindak lanjuti oleh anggota DPRD tingkat 2. Mereka juga berjanji akan memanggil walikota untuk memberikan penjelasan tentang masalah ini “ jawab Pak Sumitro dengan tetap tenang.
“ Maaf kang, aku sudah tidak percaya lagi dengan pemerintah. Aku sudah sakit hati kang “, jawab Pak Sumitro, yang tampak lebih tenang sekarang.
“ Hem, kalau begitu apa yang kamu inginkan sekarang di ? “, tanya Pak Sumitro.
“ Aku mencintai tempat ini, lebih dari segala-galanya, apalagi diriku kang, sampeyan pasti tahu itu. Namun aku harus mengambil keputusan kang. Aku harap sampeyan dapat menghargai dan menghormati keputusanku kang “, jawab Pak Sunarto.
“ Aku tahu di, semua ini keputusanmu. Kalau kamu sudah mengambil keputusan, tidak ada yang dapat mengubahnya, termasuk aku “, tukas Pak Sumitro.
“ Aku doakan kamu selalu bahagia di, jangan lupa beri kabar kepada kakangmu ini. Kami semua akan tetap menunggumu di “, kata Pak Sumitro.
“ Terima kasih kang, maaf mungkin aku mengecewakan kakang “, jawab Pak Sunarto.
Pak Sumitro lalu berdiri dan berpamitan kepada adiknya. Tak lama Bu Lastri keluar.
“ Sudah mau pulang kang, kok terburu-buru ?”, tanya Bu Lastri
“ Iya dik, masih banyak urusan di rumah. Aku pulang dulu dik “, kata Pak Sumitro.
Pak Sunarto dan istrinya berdiri memandang kepergian kakak mereka. Sejenak Pak Sumitro berhenti, berbalik dan menatap Pak Sunarto, seakan tidak percaya atas keputusan yang diambil adiknya. Keputusan bahwa sebentar lagi dia akan berpisah dengan adik kesayangannya. Keputusan bahwa adiknya akan meninggalkan cita-cita yang dulu selalu diagung-agungkan oleh mereka dan teman-teman seprofesinya. Setelah menggelengkan kepala lalu beliau mengayuh sepedanya kembali menuju rumahnya.
Pak Sunarto dan istrinya kembali masuk ke rumah. Pak Sunarto sempat berhenti sejenak di depan rumah. Beliau menoleh ke belakang lalu menatap sekelilingnya. Pikirannya jauh menerawang. Ada perasaan resah dalam dirinya. Namun beliau mencoba menguatkan hati. Mungkin ini memang harus terjadi. Semoga ini adalah yang terbaik bagi semua.
Esok malamnya di sebuah kampung tepatnya suatu daerah yang bernama Waru. Seorang lelaki tua sedang duduk di kursi yang terletak di teras rumahnya. Sebatang rokok ditangannya berulang kali diisapnya. Pandangannya menatap ke langit yang tampak hitam kelam. Helaan nafas yang berat seakan menggambarkan betepa berat permasalahan yang sedang dipiirkannya.
Hari ini adiknya berangkat ke Malaysia, tapi dia tidak ikut melepas keberangkatannya. Begitu besar kesedihan dan kepedihan yang dirasakannya. Beliau tidak ingin adiknya mengetahui kesedihah ini. Biarlah sedih ini aku yang tahu. Itulah ucapnya dalam hati. Beliau tetap mendoakan adiknya agar selamat sampai disana.
Tiba-tiba hp beliau berbunyi. Ketika di lihat ada sms masuk dari adiknya. Sang adik meminta maaf atas apa yang terjadi. Pak Sunarto juga menitipkan anaknya dan Kampung Budaya kepada kakaknya yaitu Pak Sumitro. Pak Sumitro kembali menghela nafas panjang. Tak beberapa lama, masuk lagi sms dari adiknya, ketika di buka ternyata terdapat tulisan yang berbunyi “ Langit itu masih merah, kang “. Setelah membaca sms tersebut, Pak Sumitropun sedikit tersenyum. Beliau lalu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rumahnya. Pak Sumitro berdoa semoga Pak Sunarto dan istrinya selamat sampai disana dan selalu bahagia dalam hidupnya.
Kreator : CAHAYA 2011
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Langit Itu Masih Merah, Kang
Sorry, comment are closed for this post.