KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Arsitektur » Langkah di dua dunia

    Langkah di dua dunia

    BY 12 Des 2024 Dilihat: 82 kali
    Langkah di dua dunia_alineaku

    Rumah ini tidak pernah terasa seperti milikku. Langit-langitnya tinggi, dinding-dindingnya putih bersih, dan setiap sudutnya tertata sempurna. Aku merasa seperti berjalan di museum, takut menyentuh apa pun. Bahkan langkahku di lantai marmer yang dingin terdengar terlalu keras, seolah-olah aku tidak pantas berada di sini.

    Jay dan Willy selalu mencoba membuatku merasa nyaman, tetapi kehadiran mereka justru membuatku merasa semakin asing. Jay dengan sikapnya yang selalu tenang tapi terlalu serius, seperti sedang membaca pikiranku setiap kali aku berbicara. Willy, sebaliknya, mencoba mencairkan suasana dengan candaan yang sering kali membuatku bingung harus tertawa atau diam.

    Pagi itu, aku duduk di meja makan, mencoba menikmati sarapan yang sudah disiapkan Mama. Aroma roti panggang memenuhi udara, bercampur dengan harum kopi yang baru saja diseduh.

    “Kau mau tambah teh, May?” Willy bertanya dengan senyum lebar.

    Aku menggeleng, sambil menatap cangkirku yang masih penuh.

    “Tidak, terima kasih.”

    Mama memperhatikan dari dapur, tatapannya penuh perhatian. 

    “Nak Mayang, jika ada yang kau inginkan, jangan ragu untuk bilang pada Mama, ya?”

    Aku mengangguk sambil tersenyum kecil, “Baik, Ma.”

    Tapi senyum itu terasa berat. Aku tahu mereka berusaha keras, tapi aku belum bisa menemukan tempatku di antara mereka. Aku merasa seperti orang asing yang kebetulan singgah, bukan bagian dari keluarga ini.

    Setelah sarapan, aku merasa gelisah, ada sesuatu yang mengganjal di dalam diriku, dan berjalan-jalan di taman belakang adalah cara terbaik yang aku tahu untuk menenangkan pikiran. Taman ini kecil, tapi terasa seperti dunia terpisah yang hanya ada untukku—setiap sudutnya dipenuhi bunga-bunga yang mekar dengan warna cerah, seakan-akan tidak peduli dengan kekusutan dalam pikiranku. Mawar merah yang menyala di dekat pagar, bunga aster ungu yang memantulkan sinar matahari, dan lavender yang wangi di pojok taman. Semua itu tampak sempurna dan teratur, seperti dunia yang tidak pernah terganggu oleh kekacauan.

    Aku duduk di bangku kayu di bawah pohon besar yang rindang, menghadap ke bunga mawar yang sedang bermekaran. Angin pagi yang dingin menyapu wajahku, membawa aroma melati dari sudut taman yang tersembunyi. Aku memejamkan mata, membiarkan angin itu menyentuh kulitku, berharap bisa menghilangkan kekacauan di pikiranku. Tapi semakin aku mencoba menenangkan diri, semakin banyak bayangan masa lalu yang muncul.

    Aku ingat Bima, adikku yang berusia tiga tahun lebih muda dariku. Senyum lebar Bima yang selalu ceria, tawa riangnya yang mudah menular ke seluruh ruangan, bisa membuat hari-hariku yang berat terasa lebih ringan. Aku selalu merasa lebih baik ketika melihat dia tertawa, seperti dia tidak pernah membawa beban, seolah dunia ini memang diciptakan untuknya. 

    Aku ingat Bapak, wajahnya yang selalu terlihat lelah, tapi tidak pernah mengeluh. Setiap hari, Bapak bekerja keras, meskipun tubuhnya sudah kelelahan. Aku sering melihatnya terjatuh ke kursi, matanya terpejam sesaat, hanya untuk kembali bangkit beberapa menit kemudian dan melanjutkan pekerjaan.

    Dia selalu mengatakan pada kami, “Kalian harus lebih baik dari aku,” dengan cara yang penuh kasih, tapi juga penuh harapan. Aku tahu dia berjuang bukan hanya untuk kami bertahan hidup, tetapi untuk memberi kami kesempatan yang lebih baik.

    Siang itu, aku memutuskan untuk keluar rumah. Taman belakang tidak lagi cukup untuk meredakan gelisah di dadaku. Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke taman kota, tempat yang tampaknya menjadi pelarian favoritku belakangan ini.

    Langit cerah, meski angin dingin menusuk kulitku. Jalanan cukup ramai dengan anak-anak yang bermain bola, orang tua yang duduk di bangku taman, dan suara sepeda yang melintas di jalur kecil di depanku.

    Aku duduk di salah satu bangku, memandangi sekelompok anak kecil yang bermain kejar-kejaran. Mereka tertawa riang, suara mereka melayang di udara seperti lagu yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Aku mencoba membayangkan apakah aku pernah merasa seperti mereka—bebas, bahagia, tanpa beban. Tapi, yang muncul hanyalah bayangan samar diriku yang kecil, berdiri di samping Bapak, mengamati dunia dari jauh. Dunia yang penuh dengan orang-orang yang tidak aku kenal, dan aku selalu merasa ada jarak antara diriku dan mereka.

    Di masa kecilku, aku sering melihat anak-anak lain bermain dengan saudara mereka, tertawa bersama orang tua mereka, sementara aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan menyelesaikan pekerjaan rumah. Aku ingat bagaimana rasanya menjadi ibu rumah tangga cilik, menunggu Bapak pulang dari bekerja, atau menemani Bima bermain. Aku merasa seperti sebuah dunia yang tidak pernah memberiku ruang untuk menjadi anak kecil yang bebas. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah aku pernah merasakan kebebasan itu—bebas dari kekhawatiran, bebas dari perasaan bahwa aku adalah anak yang ‘berbeda’. 

    Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir kekacauan di dalam diri yang terus menghantui. Namun setiap kali aku melihat mereka, anak-anak yang bermain bebas, aku merasa semakin terjebak antara dua dunia—dunia lama yang penuh kenangan, dan dunia baru yang masih terasa asing. Aku tahu mereka semua berusaha keras untuk menerima aku, untuk membiarkan aku menjadi bagian dari keluarga ini, tetapi setiap langkah yang aku ambil terasa seperti menempuh jarak yang tak pernah pendek.

    Aku menoleh ke arah rumah yang tampak tenang dari kejauhan. Mama—walau aku masih sulit memanggil beliau begitu—selalu memberikan perhatian penuh. Willy yang ceria selalu berusaha menghibur, Jay yang penuh tanggung jawab selalu memastikan aku nyaman. Mereka berusaha menciptakan sebuah rumah yang hangat dan penuh kasih, tetapi aku tidak bisa mengabaikan rasa asing itu, seperti ada dinding tebal di antara kami.

    Apa yang aku cari sebenarnya? Apa aku hanya mencari kenyamanan ketika bersama Bapak, ataukah aku mencoba menemukan diriku yang baru di dunia ini? Rasanya seperti kedua dunia itu bertarung dalam diriku. Dunia di rumah ini menawarkan kesempatan untuk menerima kasih sayang yang belum pernah aku dapatkan sepenuhnya, tetapi di sisi lain, dunia itu terasa begitu jauh, begitu tidak nyata.

    Aku menatap sekeliling taman, bunga-bunga yang bermekaran dengan begitu cantiknya, tapi aku merasa tidak bisa menikmati pemandangan itu. Rasanya seperti aku melihat sesuatu yang indah tetapi tidak bisa meraihnya, seperti aku berdiri di luar jangkauan segala kebahagiaan yang bisa mereka rasakan.

    Bima—adikku—yang dulu selalu ada untukku, meskipun jaraknya tiga tahun lebih muda dariku. Dia adalah salah satu yang pertama kali mengajakku bermain, mengajakku tertawa. Di dunia lama kami, dia adalah pengingat bahwa meskipun kami hidup sederhana, kami memiliki satu sama lain. Tetapi sekarang, meskipun dia masih ada, semuanya terasa berbeda. Bahkan saat aku bertemu dengan keluarga kandungku, aku merasa ada sesuatu yang hilang, sebuah jarak yang tidak bisa dijembatani dengan mudah.

    Aku memalingkan wajah ke arah jalan setapak, mencoba mencari ketenangan di dalam diriku. Tapi apa yang aku temui adalah kebingungan yang semakin dalam. Setiap kali aku mencoba untuk meresapi dunia baru ini, aku merasa semakin sulit untuk melepaskan dunia lama yang penuh kenangan. Kenangan yang tidak bisa aku tinggalkan begitu saja. Kenangan yang bahkan sekarang, setelah dua puluh tahun, masih sangat jelas dalam pikiranku.

    “Apa aku benar-benar bisa menjadi bagian dari keluarga ini?” tanyaku pada diri sendiri dalam hati, meskipun aku tahu jawabannya mungkin tidak datang dengan mudah.

    Di tengah kebingunganku, ada satu hal yang kuinginkan—untuk merasa diterima, untuk merasa bahwa aku tidak harus memilih antara dunia lama dan dunia baru. Tetapi, semakin aku berpikir tentang itu, semakin aku menyadari bahwa mungkin aku tidak harus memilih. Mungkin, justru dengan membuka hatiku untuk kedua dunia ini, aku bisa menemukan tempatku di antara mereka, meskipun itu tidak akan mudah.

    Aku menghela napas panjang, berdiri dari bangku dan melangkah pelan menuju rumah. Langit senja mulai menggelap, dan aku merasa ada sedikit kedamaian dalam langkahku. Dunia lama dan dunia baru ini, meskipun terasa terpisah, mungkin tidak perlu lagi bertarung. Mungkin keduanya bisa berjalan bersama, membawa aku untuk akhirnya merasa cukup.

    Aku melangkah menuju rumah, tetapi kali ini langkahku terasa lebih ringan. Meskipun udara malam sedikit lebih hangat, ada sesuatu yang berbeda dalam diriku. Rasa sepi yang biasanya menyelimuti hatiku mulai sedikit memudar, dan meskipun aku masih merasa asing, ada sedikit kedamaian yang mulai mengalir di dalamnya. Dunia lama dan dunia baru ini, meskipun terasa terpisah, mungkin tidak perlu lagi bertarung.

    Setibanya di depan pintu, aku berhenti sejenak, menatapnya. Rumah yang begitu besar dan kokoh, namun terasa begitu asing. Seperti ada ruang yang belum terisi—ruang yang selama ini membuatku merasa terjauh dari mereka, meskipun mereka selalu berada di sana. Aku merasakan detak jantungku mulai berdetak sedikit lebih tenang. Mungkin ini adalah langkah pertama untuk menemukan tempatku, meskipun aku tahu prosesnya akan panjang.

    Aku menoleh ke belakang, melihat taman yang samar diterangi cahaya bulan. Bunga-bunga itu tampak indah, begitu sempurna, namun hatiku terasa lebih ringan. Ada sedikit cahaya yang mulai mengusir bayangan itu, sedikit harapan yang mulai tumbuh di dalam hatiku. Aku tahu perjalanan ini tidak akan mudah, dan rasa keraguan masih ada, tetapi aku mulai merasa sedikit lebih siap untuk menerima dunia baru ini.

    Aku menarik napas dalam-dalam, menguatkan diriku, dan membuka pintu. Di dalam, Willy sedang duduk di ruang tamu, dengan buku di tangan. Ketika dia melihatku, senyum di wajahnya menghangatkan suasana.

    “Kembali lebih awal, ya.” tanyanya dengan nada ceria, namun ada rasa perhatian dalam tatapannya.

    Aku mengangguk pelan, mencoba merasakan sedikit kehangatan dalam senyumku.

    “Iya, aku… cuma butuh sedikit waktu untuk berpikir,” kataku, suara yang keluar lebih tenang, meskipun ada gemuruh kecil dalam dadaku.

    Willy meletakkan bukunya dan menatapku dengan serius.

    “Kami tidak terburu-buru, May. Apa pun yang kamu butuhkan, kami akan ada untukmu.”

    Kalimat itu, meskipun sederhana, terasa seperti pelukan yang tak tampak. Aku menyadari bahwa untuk pertama kalinya, kata-kata itu terasa berarti. Selama ini aku merasa seperti orang asing yang singgah, tapi sekarang aku mulai merasa bahwa rumah ini, meskipun belum sepenuhnya aku terima, adalah tempat di mana aku bisa berproses. Dan itu, meskipun aku masih banyak meragukan diriku sendiri, memberikan sedikit keyakinan bahwa aku tidak benar-benar sendirian.

    “Aku hanya butuh waktu, Wil,” jawabku, dengan suara yang lebih pasti.

    “Aku nggak tahu bagaimana memulai, tapi aku akan coba.”

    Willy tersenyum, senyum yang lebih lembut kali ini.

    “Itu sudah cukup, May. Cobalah. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri.”

    Aku duduk di sofa dekat Willy, merasakan sedikit kehangatan yang mulai menyusup ke dalam hatiku. Dunia baru ini memang asing, namun aku tidak merasa sepenuhnya terasing lagi. Mungkin, untuk pertama kalinya, aku bisa merasakan sedikit kenyamanan dalam ketidakpastian itu. Dan itu, meskipun belum sepenuhnya jelas, sudah cukup untuk aku.

    Aku menatap sekeliling ruang tamu—yang dulu terasa begitu besar dan asing—dan untuk pertama kalinya, aku merasa ada tempat untukku di sini, meskipun perasaan itu masih rapuh. Tapi, sedikit demi sedikit, aku merasa bahwa dunia ini bisa menjadi rumahku. Mungkin tidak sempurna, tapi cukup untuk mulai menerima semuanya, perlahan, dengan langkah kecil.

     

     

    Kreator : Fati Nura

    Bagikan ke

    Comment Closed: Langkah di dua dunia

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021