KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Langkah ke Dunia Baru

    Langkah ke Dunia Baru

    BY 25 Des 2024 Dilihat: 81 kali
    Langkah ke Dunia Baru_alineaku

    Lampu jalanan berkedip pelan di luar jendela kamar, memantulkan bayangan cahaya kekuningan di dinding. Aku duduk di lantai, bersandar pada tempat tidur dengan ponsel di tangan. Jari-jariku menggenggam erat perangkat itu, seolah takut melepaskannya akan membuat pikiranku melayang lebih jauh ke jurang kebimbangan. Suara Bima tadi sore terus terulang di kepalaku, bergema seperti bisikan yang tak kunjung reda.

    “Mbak yakin nggak bakal pulang lagi?” tanyanya, nada suaranya lebih berat dari biasanya.

    Aku ingat jelas bagaimana dia berdiri di ambang pintu kamarku, memegang kenangan seperti beban yang tak kasatmata. Matanya yang biasanya ceria tampak redup, dan aku tahu—aku mengecewakannya. Kata-katanya menggantung di udara, terlalu berat untuk kubalas dengan kejujuran penuh.

    “Bukan nggak bakal pulang, Bim. Mbak cuma…” 

    Nafasku terasa berat, seperti membawa seluruh konflik di dalam dadaku. Aku menggigit bibir, mencoba meredakan rasa gugup yang muncul tanpa kendali. 

    “…mau coba sesuatu yang baru.”

    Dia menatapku lama, ekspresinya berubah dari bingung menjadi kosong.

    “Baru, ya?” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. 

    Ada jeda panjang sebelum ia melanjutkan, kali ini suaranya lebih pelan, seperti memaksakan keteguhan yang sebenarnya rapuh. 

    “Aku ngerti, Mbak. Tapi kalau kamu nggak balik, aku bakal tetap nunggu di sini.”

    Pernyataannya itu menghantamku seperti gelombang yang menerjang pasir, perlahan tapi menghanyutkan. Aku tidak sempat menjawab. Bahkan jika sempat, aku tahu tidak ada kata-kata yang cukup untuk menjelaskan rasa bersalahku—atau kebimbanganku.

    Aku mendongak, memandang langit-langit kamar yang kosong, mencoba menenangkan nafas yang tiba-tiba terasa sesak. Pikiranku mengembara pada foto kecil di meja. Aku mengulurkan tangan, meraihnya dengan jari-jari yang sedikit gemetar. Wajahku, Bima, dan Bapak dalam bingkai kayu itu terasa seperti kenangan yang menggenggamku, menolak dilepaskan.

    Aku ingat hari foto itu diambil. Aku sedang mengeluh tentang sepeda tuaku yang selalu macet, dan Bapak menawarkan diri untuk memperbaikinya. Bima, dengan segala kenakalannya, mencoba meniru gaya serius Bapak saat memeriksa rantai sepeda. Aku tertawa saat itu, tetapi kini, hanya senyum kaku di foto yang tersisa.

    Mataku terasa panas, tetapi aku menahan air mata itu. Tanganku memeluk foto itu lebih erat, seolah-olah melepaskannya berarti kehilangan mereka sepenuhnya.

    “Maaf, Bim,” bisikku pada udara kosong.

    Pintu kamarku berderit pelan. Aku cepat-cepat meletakkan foto itu kembali ke meja, seolah takut ketahuan larut dalam emosi. Mama berdiri di sana, membawa cangkir teh yang masih mengepul. 

    “Belum tidur, Nak?” tanyanya lembut, langkahnya perlahan mendekatiku.

    Aku mengusap sudut mataku dengan ujung jari, mencoba mengusir kantuk yang mulai menguasai. 

    “Aku nggak tahu, Ma,” jawabku, suara itu lebih jernih kali ini, seolah-olah aku baru menyadari betapa berat perasaan ini. 

    “Aku sedang mencoba memutuskan apa yang harus kulakukan selanjutnya.”

    Mama mendekat, duduk di sisi tempat tidur sambil meletakkan cangkir di meja. Uap teh melati naik perlahan, mengisi ruangan dengan aroma yang seolah memelukku. 

    “Mikir tentang apa?”

    Aku membuka mulut, tetapi tidak ada kata yang keluar. Tenggorokanku terasa kering. Aku menggigit bibir bawahku, jemariku tak tenang meremas ujung selimut. Aku ingin mengatakan semuanya—rasa bersalahku, kebimbangan tentang pilihanku, dan ketakutanku mengecewakan mereka semua. Tapi kata-kata itu seperti batu besar yang tak bisa ku gerakkan.

    “Banyak hal,” akhirnya aku berbisik, suaraku hampir tenggelam di antara embusan angin malam.

    Mama tidak mendesak. Ia hanya tersenyum tipis, menepuk bahuku perlahan. Sentuhannya seperti tambatan, mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian.

    “Kamu tahu, Nak. Apa pun yang kamu putuskan, Mama akan selalu mendukungmu. Kamu nggak perlu terburu-buru.”

    Tatapanku beralih ke wajahnya, yang terlihat begitu tenang meskipun aku tahu ia pasti mengkhawatirkanku. Hidungku terasa perih, dan mataku kembali memanas. Aku menelan ludah, mencoba menahan emosi yang mendesak keluar. Akhirnya, aku hanya mengangguk, berharap itu cukup untuk menunjukkan rasa terima kasihku.

    Ketika Mama meninggalkan kamar, aku memandangi cangkir teh yang ditinggalkannya. Uapnya mulai memudar, tetapi aromanya masih ada, mengisi ruangan dengan kehangatan yang entah bagaimana berhasil menenangkan gejolak di dadaku.

    Aku menghela napas panjang, berusaha merasakan sedikit ketenangan. Dengan gerakan cepat, aku mulai menyusun barang-barang di meja. Setiap gerakan terasa seperti bagian dari langkah nyata—perubahan yang tak bisa lagi kuhindari. Aku tahu, ini adalah langkah pertama yang harus kuambil.

    Pagi itu, aku duduk di ruang makan bersama Jay dan Willy. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela menciptakan pola-pola bayangan di atas meja. Di hadapanku, secangkir kopi mengepul pelan, aromanya bercampur dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven. Namun, tak ada yang terasa nyata bagiku. Rasanya seperti aku sedang menonton adegan hidup orang lain, terjebak di dalam tubuhku sendiri.

    Jay sedang sibuk membaca koran, wajahnya serius seperti biasa. Sesekali, ia mengetuk permukaan meja dengan ujung jari, kebiasaan kecil yang selalu kulihat setiap kali ia sedang berpikir. Willy, di sisi lain, penuh energi seperti biasa, tetapi tawa dan guyonannya terdengar sedikit dipaksakan, seolah dia tahu ada sesuatu yang tidak beres denganku.

    “Kamu ada rencana hari ini, May?” tanya Jay tiba-tiba, memecah lamunanku. Suaranya tenang, tetapi nadanya penuh perhatian.

    Aku mengangkat kepala, menatapnya sejenak. Pertanyaan sederhana itu terasa seperti pukulan lembut, mengingatkanku bahwa aku belum tahu apa yang harus kulakukan hari ini—atau bahkan dalam hidupku.

    “Nggak juga, Bang,” jawabku akhirnya, mencoba terdengar santai meskipun suara itu terdengar datar bahkan di telingaku sendiri.

    Willy menyikut lengan Jay sambil menyeringai nakal, seperti berusaha mencairkan suasana.

    “Jadi diajak jalan-jalan nih, ya? Biar nggak melamun terus.”

    Aku tersenyum kecil, meskipun tidak sepenuh hati.

    “Nggak apa-apa, Wil. Aku cuma… lagi mikir aja.” Kata-kata itu terasa klise, tetapi aku tidak punya penjelasan lain untuk kekosongan yang melingkupiku.

    Bang Jay menatapku lekat, matanya seperti selalu bisa melihat lebih dari apa yang kutunjukkan.

    “Apapun yang kamu pikirkan, jangan simpan sendiri. Kami di sini buat kamu, May.”

    Kata-kata itu sederhana, tetapi entah bagaimana, mereka menggema di dadaku. Aku merasakan sesuatu seperti sesak, campuran dari rasa syukur dan rasa bersalah yang tidak kumengerti. Aku mengangguk pelan, berusaha tersenyum meskipun sudut bibirku terasa berat.

    “Terima kasih,” gumamku nyaris tak terdengar.

    Willy, yang tampaknya merasa atmosfer sarapan terlalu tegang, mencoba mengubah topik.

    “Bang Jay, serius banget sih! Mayang itu butuh hiburan, bukan filosofi pagi-pagi begini,” katanya, sambil melontarkan tawa kecil.

    Jay yang biasanya tenang, tersenyum tipis, lalu menatapku lebih dalam.

    “May, kalau kamu butuh tempat buat berbicara, kami di sini untuk itu. Tidak perlu menyimpannya sendiri.”

    Jay terkekeh, meskipun ia tidak mengalihkan pandangannya dariku. Aku bisa merasakan perhatian mereka berdua seperti selimut hangat yang membungkusku, tetapi juga membuatku sadar betapa aku belum benar-benar sepenuhnya berada di sini.

    Ketika Willy melanjutkan candanya, aku membiarkan diri tenggelam dalam suara mereka. Untuk sesaat, aku mencoba melupakan semua yang mengganggu—rumah lama, Bima, Bapak—dan hanya menikmati kehadiran mereka. Tetapi meskipun aku berusaha keras, bayangan dunia lamaku tetap ada di sudut pikiranku, seperti angin dingin yang menyelinap di antara celah pintu.

    Siang itu, angin musim penghujan membawa aroma tanah basah ke seluruh taman belakang. Aku melangkah pelan, menggenggam sebuah pot kecil yang sudah kupenuhi tanah basah. Di dalamnya, sebuah tunas mungil berwarna hijau tampak rapuh, tetapi aku tahu ia menyimpan kekuatan untuk tumbuh besar. Setiap langkahku terasa berat, seperti menanggung makna dari keputusan yang belum sepenuhnya kuterima.

    Di sudut taman, pohon mangga tua berdiri tegak meskipun angin menggoyangkan dahannya. Aku berhenti sejenak, menatapnya, mengingat masa kecilku saat aku dan Bima memanjat pohon yang serupa di rumah lama. Rasanya, pohon ini adalah penghubung tak kasatmata antara masa lalu dan masa kini, seperti sebuah pelukan diam yang mengerti keresahanku.

    Aku berjongkok di dekat tanah yang basah, memegang sekop kecil di tangan kanan dan pot di tangan kiri. Telapak tanganku berkeringat, dan aku bisa merasakan jantungku berdetak lebih cepat. Tangan gemetarku mulai menggali tanah dengan hati-hati, seolah takut merusak sesuatu yang lebih dari sekadar bumi.

    Saat itulah aku mendengar langkah kaki mendekat. Suara halus sepatu Mama di lantai teras membuatku menoleh. Ia berdiri di sana dengan senyum lembut, membawa sekop kecil lain di tangannya.

    “Nak, ini mungkin bisa membantu,” katanya sambil menyerahkan alat itu.

    Aku menerima sekop itu dengan senyum kecil yang dipaksakan.

    “Terima kasih, Ma,” gumamku, suaraku nyaris tenggelam dalam embusan angin.

    Mama tidak segera pergi. Ia duduk di bangku kayu di dekatku, memandang dengan tatapan yang tak pernah mendesak. Aku tahu, dia hanya ingin memberiku ruang, tetapi kehadirannya seperti jangkar yang membuatku merasa sedikit lebih kuat.

    Aku mulai menggali dengan sekop itu, membentuk lubang kecil yang cukup dalam untuk menanam tunas. Tangan kiriku menyentuh tanah, merasakan dinginnya bumi yang lembut. 

    “Ma,” panggilku tiba-tiba, suaraku terhenti di antara kata-kata.

    “Hm?” jawabnya, nada suaranya penuh kesabaran.

    “Pohon ini…” Aku menatap tunas kecil itu, mencoba menemukan cara untuk menyuarakan perasaanku. 

    “Aku nggak tahu apa pohon ini bisa tumbuh di sini. Aku nggak yakin aku melakukannya dengan benar.”

    Mama tersenyum kecil, senyumnya yang biasanya membuatku merasa tenang. Namun kali ini, ada keraguan yang samar di balik tatapannya.

    “Nggak apa-apa, Nak,” katanya pelan.

    “Yang penting, kamu memberinya kesempatan untuk tumbuh. Sisanya, biarkan waktu yang bekerja… meskipun Mama tahu, kadang waktu itu bisa sangat menakutkan.’”

    Kata-kata Mama terasa seperti pelukan yang membungkusku di tengah angin dingin. Aku menanam tunas itu dengan hati-hati, memastikan akarnya terkubur dengan baik. Setelah selesai, aku berdiri sejenak, memandangi hasil kerjaku.

    Pohon itu kecil, hampir tak terlihat di antara rerumputan hijau yang lebih tinggi. Tetapi, entah bagaimana, aku merasa ada sesuatu yang tumbuh bersamanya—keputusan kecil, tetapi penting, untuk mulai menerima tempat ini sebagai bagian dari duniaku.

    Aku menoleh ke arah Mama, yang masih duduk di bangku kayu. Ia menatapku dengan mata yang penuh pengertian, seolah tahu betapa beratnya langkah kecil ini bagiku.

    “Mama dulu juga pernah merasa seperti ini,” katanya tiba-tiba, membuatku terkejut.

    “Seperti apa?” tanyaku, penasaran.

    “Ragu. Takut apakah keputusan yang Mama buat adalah yang benar.” Ia tersenyum tipis, matanya menerawang ke arah pohon mangga di sudut taman.

    “Tapi Mama belajar, Mayang, bahwa kadang kita hanya perlu mulai. Tidak ada jaminan semuanya akan berhasil, tetapi kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu.”

    Aku terdiam, membiarkan kata-kata Mama meresap ke dalam pikiranku. Di antara suara angin dan gesekan dedaunan, aku merasa beban di dadaku sedikit berkurang.

    Ketika kami berdua berdiri untuk masuk kembali ke rumah, aku menoleh sekali lagi ke pohon kecil itu. 

    “Terima kasih, Ma,” kataku pelan, tetapi kali ini dengan lebih banyak ketulusan.

    Mama menepuk bahuku dengan lembut. 

    “Kamu sudah melangkah, Nak. Itu sudah cukup untuk hari ini.”

    Dan, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, aku merasa bahwa mungkin aku benar-benar bisa membuat tempat ini menjadi rumah.

    Malam itu, aku duduk di tempat tidur dengan ponsel di tangan, layar menyala memancarkan cahaya dingin di wajahku. Jemariku bergerak lambat, mengetik pesan untuk Bima. 

    “Bim, aku mau ngomong sesuatu. Besok bisa video call?” 

    Aku ragu sejenak sebelum menekan tombol kirim.

    Hanya butuh beberapa detik sebelum balasannya muncul. 

    “Tentu, Mbak. Aku tunggu.”

     

    Keesokan harinya, aku menunggu panggilan video itu dengan jantung yang berdegup cepat. Langit di luar mulai gelap, dan bayangan lampu meja memanjang di dinding kamarku. Aku menarik napas panjang berkali-kali, mencoba menenangkan diriku.

    Ketika panggilan itu akhirnya tersambung, wajah Bima muncul di layar. Senyumnya lebar, seperti biasa, tetapi matanya terlihat sedikit lelah. 

    “Mbak!” sapanya ceria, meskipun aku tahu ada sesuatu di balik suara riangnya.

    Aku berusaha membalas senyumnya, meskipun sudut bibirku terasa kaku.

     “Hai, Bim. Gimana kabar kamu?” tanyaku, mencoba terdengar santai.

    “Baik, Mbak,” jawabnya dengan cepat.

    “Bapak lagi di luar, katanya ada kerjaan tambahan. Jadi aku sendiri di rumah.”

    Aku menelan ludah, merasa sedikit bersalah. Aku bisa membayangkan Bima duduk di ruang tamu rumah kami, mungkin ditemani suara jam dinding yang monoton dan suara hujan yang samar di luar.

    “Bim…” Aku terdiam sejenak, mencoba merangkai kata-kata yang terasa begitu sulit. 

    “Aku mau bilang sesuatu.”

    Bima menatapku melalui layar, senyumnya perlahan memudar. 

    “Apa, Mbak?” tanyanya pelan, suaranya berubah lebih serius.

    Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungku yang tiba-tiba terasa keras di telinga. 

    “Aku… aku memutuskan untuk tinggal di sini, di rumah Mama. Aku nggak tahu ini keputusan yang benar atau nggak, tapi aku merasa aku perlu mencobanya.”

    Ada jeda panjang. Wajah Bima sedikit menegang, tetapi ia tidak langsung berbicara. Aku bisa melihat matanya berkedip cepat, seolah-olah sedang mencerna kata-kataku.

    “Kalau itu yang terbaik buat kamu, aku dukung, Mbak,” katanya akhirnya. Suaranya pelan tetapi tegas, seperti berusaha menyembunyikan sesuatu di balik nada suaranya. 

    “Tapi…” Ia menunduk sejenak sebelum menatapku lagi. 

    “Jangan lupa pulang, ya. Rumah ini selalu ada buat kamu.”

    Kata-katanya menusuk hatiku, membuat dadaku sesak. Namun, di saat yang sama, ada rasa lega yang mulai meresap—mungkin karena aku tahu, Bima akan selalu mendukungku.

    Bima tersenyum, tetapi matanya yang biasanya ceria kini dipenuhi keteguhan yang aku kenal.

    “Mbak, aku paham kalau ini keputusan besar. Tapi aku hanya ingin kamu bahagia,” katanya, suaranya penuh perasaan yang berat. 

    “Jadi, pilihlah apa yang buat kamu merasa utuh. Aku akan selalu ada untuk kamu.”

    Aku tidak bisa menahan air mata yang mulai mengalir.

    “Kamu tahu, Bim, kamu selalu jadi alasan aku merasa sulit untuk pergi. Kamu selalu bikin aku merasa pulang.”

    Bima tersenyum lebar kali ini, senyum yang lebih tulus. 

    “Dan, aku selalu ada di sini, Mbak. Kalau Mbak butuh tempat buat pulang, aku tunggu.”

    Aku mengangguk pelan, tidak mampu berkata-kata lagi. Kami mengobrol beberapa saat lagi, tentang hal-hal kecil—tentang sekolahnya, tentang teman-temannya, dan tentang betapa ia merindukan masakan Bapak. Tetapi di akhir percakapan itu, aku merasa sedikit lebih ringan, seolah-olah sebagian dari bebanku telah berkurang.

    Ketika panggilan berakhir, aku masih memegang ponsel di tanganku. Wajah Bima yang tersenyum terakhir kali sebelum layar mati terus terbayang di pikiranku. Aku tahu, keputusan ini tidak akan mudah, tetapi dukungannya memberiku keberanian untuk melangkah.

    Aku berdiri dan melangkah ke jendela, menatap langit malam yang bertabur bintang. Dalam hati, aku berjanji: aku akan pulang. Aku tidak tahu kapan, tetapi aku tahu aku akan kembali.

    Malam itu, aku berdiri di balkon rumah baru, menatap langit yang gelap dan penuh bintang. Angin malam berhembus pelan, membawa dingin yang menggelitik kulitku, namun hatiku terasa lebih beku daripada udara itu. Bintang-bintang di langit tampak jauh dan tak terjangkau, seperti dunia yang kini terasa begitu asing bagiku.

    Aku mengatur nafasku, berusaha meresapi kedamaian yang seharusnya datang dengan keputusan yang sudah kutempuh. Namun, semakin lama aku berdiri di balkon itu, semakin terasa berat untuk melepaskan satu bagian dari diriku—bagian yang masih terikat erat pada rumah lama, pada Bima, pada kenangan yang tak ingin kulepaskan.

    Di bawah langit yang penuh bintang itu, aku merasa seperti terjebak di persimpangan jalan, di antara dua dunia yang sama-sama penting. Apa yang kulakukan sekarang akan menentukan segalanya, dan aku merasa semakin jauh dari satu dunia, sementara yang lainnya masih terasa asing, seolah mengintipku dari balik bayang-bayang ketidakpastian.

    Suara pintu yang terbuka tiba-tiba mengejutkanku, memecah lamunanku. Aku menoleh, dan Mama berdiri di sana, matanya bertemu mataku, namun ada sesuatu yang tidak biasa. Ada keraguan yang samar, sebuah kekhawatiran yang membuat jantungku berdegup lebih cepat. Seperti ada yang belum ia ceritakan. 

    “Nak Mayang,” katanya pelan, “kamu nggak perlu merasa terburu-buru.”

    Aku menatapnya, hampir tidak percaya pada apa yang baru saja ia katakan. Seolah-olah, kata-katanya mengandung lebih dari sekadar nasihat ibu, tetapi sebuah peringatan yang halus. Sebuah perasaan mengalir dalam diriku—bukan ketenangan, melainkan kegelisahan.

    “Mama,” suaraku bergetar. 

    “Aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Seperti aku telah memilih, tetapi tidak benar-benar tahu apa yang akan kutemui di sini.”

    Mama mendekat dan memegang bahuku dengan lembut. 

    “Itu wajar, sayang,” katanya 

    “Setiap perjalanan ada kekosongan yang harus diisi. Tapi ingat, kamu bukan hanya mencari tempat untuk tinggal, Mayang. Kamu sedang mencari tempat yang benar-benar membuatmu merasa utuh.”

    Aku memejamkan mata, mencoba memahami kata-kata Mama, tetapi di sudut hatiku, aku merasa ada sesuatu yang lebih besar—sebuah perasaan yang lebih berat daripada sekadar memilih rumah. Sesuatu yang sudah lama kuabaikan.

    “Mama…” 

    Aku mulai berkata, tetapi sebelum aku bisa melanjutkan, suara langkah kaki yang terburu-buru terdengar dari belakang rumah. Sesuatu yang tak biasa, sesuatu yang mengganggu keheningan malam.

    Aku menoleh, dan dalam kegelapan, sebuah bayangan melintas cepat di halaman depan rumah. Jantungku berdegup kencang, tubuhku membeku sejenak.

    “Mama?” aku berbisik, mataku mengikuti bayangan itu yang semakin menjauh.

    Mama menatapku, lalu menoleh ke arah yang sama. 

    “Itu…” ia ragu sejenak. 

    “Tidak ada yang harus kamu khawatirkan. Mungkin hanya salah satu tetangga.”

    Namun, ada sesuatu dalam tatapannya—sesuatu yang tidak sepenuhnya meyakinkan. Sebuah ketegangan yang menggantung di udara. Aku bisa merasakan itu, meskipun Mama berusaha menunjukkan sebaliknya.

    Aku mengangkat bahu, mencoba menenangkan diri, tetapi hatiku terasa gelisah. Ada sesuatu yang tidak beres. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar keputusan rumah ini, dan aku mulai merasa bahwa perjalanan yang kuanggap sudah dimulai ini, sesungguhnya masih jauh dari selesai.

    Ketika Mama kembali masuk ke dalam rumah, aku berdiri sendiri di balkon, memandang bintang yang semakin redup. Angin malam bertiup lebih dingin, seolah memperingatkan bahwa ada lebih banyak yang harus kutemui di dunia baru ini daripada yang kubayangkan.

    Saat Mayang melangkah ke dalam rumah, ia merasakan kehangatan yang berbeda. Rumah ini terasa lebih luas, lebih cerah, dengan dinding berwarna lembut yang menyambut setiap langkahnya. Meskipun masih banyak barang yang belum tertata, ada rasa tenang yang mengisi ruang-ruang kosong di dalamnya. Namun, di tengah kedamaian itu, perasaan tak menentu terus menghantui pikirannya. Tadi pagi, Mama mengajaknya berbicara serius tentang masa depan mereka, tentang perubahan yang harus mereka hadapi bersama.

    “Nak Mayang, ini semua bukan tentang menggantikan, tapi tentang memulai yang baru,” kata Mama dengan nada lembut, mencoba memberi pengertian.

    Namun, Mayang tahu bahwa tidak semua hal bisa mulai begitu saja. Ada luka, ada kenangan yang tak mudah dihapus. Bahkan di rumah baru ini, bayangan rumah lama—bersama Bapak dan Bima—terasa begitu dekat. Dalam ruang yang penuh potensi ini, perasaan Mayang bercampur aduk. Akankah ia mampu benar-benar memulai lagi?

    Langkah Mayang berhenti sejenak di depan pintu ruang tamu, matanya menatap pintu yang tertutup rapat. Ada perasaan tak terkatakan yang menggantung. Dalam keheningan rumah baru ini, Mayang hanya bisa mendengarkan detak jantungnya yang berdebar.

    Ponsel di tangannya bergetar. Satu pesan baru masuk.

    Mayang ragu sejenak, sebelum membuka pesan itu. Matanya terfokus pada satu kalimat pendek: 

    “Aku di luar.”

    Tiba-tiba, segalanya terasa lebih berat.”

     

     

    Kreator : Fati Nura

    Bagikan ke

    Comment Closed: Langkah ke Dunia Baru

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021