Pagi itu, Rina terbangun dengan perasaan berat. Suara alarm dari ponselnya seakan mengingatkannya pada kenyataan pahit yang harus dihadapi hari ini. Ia harus memberi tahu Naya bahwa mereka mungkin harus pindah dari rumah kecil yang telah mereka huni selama lima tahun terakhir.
“Naya sayang, bangun. Sudah pagi,” panggil Rina dengan lembut sambil mengusap kepala putrinya yang masih terlelap.
“Bu, masih ngantuk,” keluh Naya sambil menggeliat.
“Bangun dulu, sayang. Kita harus siap-siap. Ibu buatkan roti panggang kesukaanmu,” kata Rina mencoba membujuk.
Naya pun bangun dengan malas. Di meja makan, mereka menikmati sarapan sederhana. Rina memandangi wajah putrinya yang ceria, merasa semakin berat untuk menyampaikan kabar buruk itu.
“Bu, kenapa Ibu sedih?” tanya Naya tiba-tiba, seakan bisa membaca pikiran ibunya.
Rina tersenyum tipis. “Ibu tidak sedih, sayang. Hanya banyak yang Ibu pikirkan.”
Setelah mengantar Naya ke sekolah, Rina menuju tempat kerjanya di sebuah pabrik konveksi. Hari ini, ia dipanggil oleh manajer.
“Bu Rina, saya harus menyampaikan bahwa karena penurunan produksi, kami terpaksa mengurangi jumlah karyawan. Maaf, tapi Anda termasuk yang harus diberhentikan,” kata manajer dengan nada menyesal.
Rina terdiam, hatinya hancur. “Saya mengerti, Pak. Terima kasih atas kesempatan yang sudah diberikan,” jawab Rina dengan suara bergetar.
Dalam perjalanan pulang, pikiran Rina dipenuhi kekhawatiran. Bagaimana ia bisa membayar sewa rumah bulan depan? Bagaimana dengan sekolah Naya? Sesampainya di rumah, Rina duduk di sofa dengan tatapan kosong. Semua terasa begitu berat.
Pintu rumah terbuka, Naya pulang dengan senyum lebar. “Bu, lihat! Naya dapat nilai 100 di ujian matematika!” serunya bangga.
Rina mencoba tersenyum, menutupi kesedihannya. “Wah, hebat sekali Naya. Ibu bangga padamu,” katanya sambil memeluk putrinya.
Malam itu, setelah Naya tidur, Rina duduk di meja makan, menatap tumpukan tagihan. Ia harus menemukan cara untuk bertahan. “Aku harus kuat untuk Naya,” bisiknya pada diri sendiri.
Keesokan paginya, Rina bangun lebih awal. Ia memutuskan untuk mencari pekerjaan baru. “Naya, Ibu harus pergi mencari kerja. Kamu di rumah dulu, ya. Jangan ke mana-mana,” pesan Rina sambil mempersiapkan sarapan.
“Ibu, Naya mau ikut. Naya janji akan membantu Ibu,” pinta Naya dengan wajah memelas.
Rina terdiam sejenak, kemudian mengangguk. “Baiklah, tapi kamu harus janji tidak akan merepotkan.”
Mereka berjalan keluar rumah, berkeliling kota mencari lowongan pekerjaan. Rina memasukkan lamaran di beberapa tempat, namun belum ada yang memberikan jawaban pasti. Sore harinya, mereka berhenti di taman untuk beristirahat.
“Bu, Naya capek,” keluh Naya sambil duduk di bangku taman.
“Iya, sayang. Ibu juga capek,” jawab Rina sambil memeluk putrinya. “Tapi kita tidak boleh menyerah, ya.”
Tiba-tiba, seorang wanita tua yang duduk di sebelah mereka berbicara. “Maaf, saya tidak sengaja mendengar percakapan kalian. Apakah kamu sedang mencari pekerjaan?”
Rina mengangguk. “Iya, Bu. Saya baru saja kehilangan pekerjaan.”
Wanita itu tersenyum. “Kebetulan, saya butuh seseorang untuk membantu di toko kelontong saya. Kamu bisa datang besok pagi?”
Mata Rina berbinar. “Benar, Bu? Terima kasih banyak. Saya pasti datang.”
Keesokan paginya, Rina dan Naya pergi ke toko kelontong wanita tua itu. Toko tersebut kecil, tetapi ramai pelanggan. “Kamu bisa mulai hari ini. Ini tugas-tugas yang perlu dilakukan,” kata wanita itu sambil menjelaskan.
Rina bekerja keras, berusaha memberikan yang terbaik. Naya juga membantu dengan semangat, menata barang-barang di rak. Setiap langkah kecil di pagi hari itu terasa berarti, memberikan harapan baru.
Beberapa minggu berlalu, dan Rina mulai merasa lebih stabil. Penghasilan dari toko kelontong cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Suatu pagi, ketika mereka sedang sarapan, Naya berkata, “Bu, Naya senang Ibu sudah bekerja lagi. Naya tahu Ibu pasti bisa.”
Rina tersenyum dan memeluk putrinya erat. “Terima kasih, sayang. Kamu selalu memberi Ibu kekuatan.”
Hari-hari berlalu, dan meski banyak tantangan, Rina tetap tegar. Setiap pagi, langkah-langkah kecil yang mereka ambil bersama memberi mereka kekuatan dan harapan baru. Mereka belajar bahwa dengan kebersamaan dan tekad, tidak ada yang tidak mungkin.
“Bu, lihat! Matahari terbit indah sekali,” seru Naya suatu pagi sambil menunjuk ke arah jendela.
“Iya, sayang. Matahari terbit membawa harapan baru setiap hari,” jawab Rina sambil tersenyum. Dengan keyakinan dan cinta, mereka siap menghadapi hari-hari yang akan datang, melangkah maju dengan penuh harapan di setiap pagi yang baru.
Kreator : Masniya Ulfah
Comment Closed: Langkah Kecil di Pagi Hari
Sorry, comment are closed for this post.